Sabtu, Februari 28, 2009

Feminis Laki-laki


Di salah satu milis yang kuikuti ‘jurnal perempuan’, beberapa hari terakhir ini sedang hangat memperbincangkan tentang fenomena laki-laki feminis. Hal ini bukan merupakan fenomena baru sebenarnya, karena JURNAL PEREMPUAN (yang bukan milis) telah mengangkat topik ini sejak tahun 1998, tatkala masuk seorang laki-laki masuk ke jajaran editorship. Kalau bukan merupakan sesuatu yang baru, mengapa harus diperbincangkan lagi? Sebuah artikel yang ‘trigger’ perbincangan ini menyoroti ketidakkonsistenan yang kadang-kadang menimpa seorang laki-laki yang telah ikut berjuang di barisan para pejuang perempuan untuk kesetaraan. Misal: seorang laki-laki yang pernah ‘berjuang’ untuk mendorong implementasi kesetaraan jender di Indonesia, out of the blue, shockingly di saat kemudian menjadi seorang pelaku poligami. Apalagi ‘excuse’ yang digunakan sangatlah tidak cerdas, “Saya hanyalah manusia biasa...”
Harus diakui memang sangatlah sulit untuk tetap mencoba ‘melawan arus’ di tengah-tengah pusaran kultur patriarki yang selama sekian abad telah dianggap sebagai sesuatu yang ‘alami’, God-gifted. Misal: mempercayai bahwa laki-laki memang diciptakan untuk lebih ‘perkasa’ dalam urusan di tempat tidur, sehingga tatkala sang istri tidak mampu mengimbanginya, seorang laki-laki kemudian memilih untuk menjadi poligamor. Kebalikannya, jika ternyata sang istri yang senantiasa ‘perkasa’ dalam urusan ‘di balik kelambu’ ini, namun ‘kurang beruntung’ mendapatkan suami yang tidak mampu memuaskannya, masyarakat menganggap bukan satu hal yang ‘natural’ jikalau sang istri ingin memiliki suami baru.
Salah satu contoh yang beberapa waktu lalu lumayan heboh didebatkan di beberapa milis yang kuikuti berasal dari hawa nafsu ini: seorang laki-laki yang dianggap pro terhadap perjuangan perempuan, menikahi seorang perempuan yang lebih muda daripada sang istri. Padahal kalau merunut ke tiga syarat bahwa seorang laki-laki boleh menikah lagi (yang disebutkan dalam surat kawin yang bersifat misoginis yang diterbitkan oleh KUA Indonesia), laki-laki itu jelas-jelas tidak seyogyanya menikah lagi. Alhasil, ayat 3 surat An-Nisa yang diinterpretasikan oleh para pejuang perempuan sebagai ayat yang mengharamkan poligami, dibelokkan oleh para penindas itu sebagai ‘lampu hijau’. Jikalau ada orang yang mengatakan ‘Cinta telah membutakan mata hati laki-laki itu’, para feminis menyebut ‘itu bukan cinta, melainkan hawa nafsu’.
Seorang miliser menanggapi dengan bijaksana bahwa jangankan laki-laki feminis, perempuan feminis saja bisa jadi ‘terjerembab’ dalam hal kekonsistenan ini. Untungnya, selama ini belum ada perempuan yang dijadikan bulan-bulanan di milis karena hal ini. Mungkin karena perempuan lebih sering menjadi korban ketidakadilan dalam kultur patriarki sehingga mereka menjadi lebih konsisten dalam memperjuangkan kaumnya.
Ngobrolin tentang istilah ‘feminis’ mengingatkanku pada sebuah seminar internasiona yang kuikuti beberapa tahun lalu. Seorang ‘keynote speaker’ dari Australia mengatakan bahwa dia tidak perlu mengklaim diri sebagai seorang feminis kalau ‘HANYA’ untuk memahami perempuan dan ikut memandang segala permasalahan dari kacamata perempuan (baca  kacamata feminis). “We only need to be humane.” Katanya.
What is in a name, anyway?
Nevertheless, aku tetap lebih suka menggunakan istilah feminis untuk lebih memperkenalkan cara berpikir dan point of view yang kugunakan untuk diriku sendiri. Karena di Indonesia, masih banyak orang yang rancu dengan istilah ‘feminis’ dan ‘feminin’, apalagi kalau kita hanya menggunakan istilah ‘manusiawi’. Contoh kerancuan istilah ‘feminis’ dan ‘feminin’ lihat saja sebuah komentar yang ditulis oleh seorang pengunjung di ‘blogger of the week’ ... atau pengalamanku sendiri beberapa tahun lalu. Di fitness center tempatku berolahraga, ada seorang instruktur laki-laki yang berkomentar, “Makanya sekarang mbak Nana terlihat feminin...” setelah dia membaca judul buku yang kubaca pada waktu itu KAJIAN BUDAYA FEMINIS.
PT56 22.36 220209

6 komentar:

  1. nice post..
    hmmm, ikut ICT juga ya... hehe..
    jadi pengen nih.. :D

    BalasHapus
  2. Yuk ... yuk ... pada ngikut ICT :)
    the more the merier ...

    BalasHapus
  3. Fenomena lelaki feminis dan metroseksual..Dua hal yang kadang susah dibedakan melalui kasat mata

    BalasHapus
  4. miss, saya sih udah beli buku itu pada tahun 2004. quite nice book, actually.

    menurut miss saya ini feminist apa feminin ya?

    BalasHapus
  5. Well, kalau dari postingan di blog mu sih, you can be categorized into a feminist. But you know many people mind being called as a feminist. karena di negara kita ini feminist cenderung memiliki konotasi negatif.
    Kalo feminin, oh well, we need to meet in person perhaps.
    How do you 'label' yourself, anyway? :)

    BalasHapus