Minggu, Oktober 10, 2010

Sex outside wedlock, anyone?

Obrolan tentang TES KEPERAWANAN di milis yang kuikuti (Jurnal Perempuan) melebar menjadi semacam ajang curhat bagi beberapa anggota yang merasa tidak keberatan untuk berbagi pengalaman. Hal ini mengingatkanku pada tulisanku di blog tiga tahun yang lalu, yang kuberi judul FREE SEX: CO-CULTURE IN INDONESIA (ALREADY)? (Berdasarkan keberatan beberapa pihak, alamat postingan ini tidak kusertakan disini, namun teman-teman biisa browsing sendiri di beberapa alamat blogku.)

Hasil diskusi postingan tiga tahun lalu memang telah memberi jawaban bahwa free sex bukanlah hal yang 'baru' dilakukan oleh para remaja di Indonesia. (Betapa aku sampai terhenyak-henyak kaget manakala membaca diskusi ini di milis RUMAH KITA BERSAMA tiga tahun lalu.) Seorang rekan menuliskan pengalaman temannya yang melakukan itu di era tahun tujuhpuluhan! Hanya karena -- menurut pendapatku pribadi -- orang-orang di Indonesia ini hipokrit, 'kenyataan' bahwa para remaja -- maupun yang sudah dewasa -- melakukan hubungan seks pra nikah pun tentu tidak diakui. Maka jangan heran jika konon operasi agar selaput dara utuh kembali pun diminati banyak orang karena khawatir mendapatkan suami yang hanya menilai calon istrinya dari utuh tidaknya selaput dara. Atau paling tidak beberapa perempuan melakukan tindakan 'tricky' agar tatkala di malam pertama mereka melakukan hubungan seks dengan suami sah mereka mengeluarkan percikan darah. how pathetic. (dan nampaknya kaum laki-laki pun suka dibohongi seperti ini.)

Seperti hasil diskusi topik FREE SEX ini di milis RKB yang membuatku ternganga-nganga, hasil diskusi TES KEPERAWANAN di milis JP pun membuatku bengong. Benar-benar nampaknya remaja di Indonesia tak mau kalah dibandingkan negara-negara tetangga, misal Jepang. (Aku masih ingat film serial Jepang yang berjudul TOKYO LOVE STORY membuatku terhenyak karena betapa remaja Jepang dengan lihai telah 'meniru' kebiasaan remaja-remaja di belahan bumi Barat sana. Poor those western countries for being judged as immoral due to this free sex thing!)

Dalam postingan ini aku hanya ingin memaparkan 'sedikit' hasil diskusi di kedua milis yang kuikuti, tanpa merasa perlu membuat summarynya. Dan aku pun tidak membahas pro kontra wacana TES KEPERAWANAN.

Nana Podungge
PT56 19.00 101010

P.S.
Check out this cool site: CORONA

Minggu, Oktober 03, 2010

Feminis = Dekonstruktor


Apa pendapat anda jika seseorang mengaku sebagai feminis namun dia melakukan hal-hal yang mendukung kekerasan kepada sesama perempuan?

Tulisan ini merupakan reaksi dari diskusi di milis tentang seorang perempuan yang mengaku sebagai seorang feminis yang terlibat dalam poligami. Diskusi berawal dari sebuah tulisan di sebuah majalah yang dikenal sebagai corong Islam konvensional.

Di postingan yang berjudul “Feminisme a la Nana Podungge”,(klik http://nana-podungge.blogspot.com/search/label/Feminisme ) secara ringkas saya menulis sejarah gerakan perempuan untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki, menggunakan sejarah gerakan perempuan di Amerika, mulai dari KTT perempuan pertama tahun 1848 di Seneca Falls, yang menghasilkan hak memilih perempuan Amerika dalam Pemilu tujuh puluh tahun kemudian (1920), gerakan perempuan aliran kedua pada tahun 1960-an yang dimotori oleh Betty Friedan, sampai ke gerakan posfeminisme dimana pada awalnya banyak pihak mengklaim gerakan posfeminisme ini sebagai anti klimaks gerakan perempuan. Tulisan kuakhiri dengan ‘menyederhanakan’ feminisme sebagai suatu ideologi dimana para perempuan menyadari bahwa tubuh dan pikiran mereka adalah milik mereka secara penuh. Apa pun yang mereka pilih, asal mereka dengan sadar melakukannya, tidak boleh orang lain ikut campur. Seorang perempuan berhak untuk memilih menjadi seorang ‘wanita karier’ yang mencurahkan seluruh perhatian, waktu, dan pikirannya kepada pekerjaannya. Sebaliknya, seorang perempuan pun berhak untuk memilih menjadi seorang ibu rumah tangga, dan lebih memilih mendedikasikan kehidupannya pada keluarga, suami dan anak-anak. Dengan syarat bahwa itu adalah pilihan yang dia ambil secara sadar, dan menerima konsekuensinya. Orang lain tidak berhak menghakimi pilihan itu. Seorang perempuan berhak untuk memilih melajang sampai usia kapan pun, jika dia merasa bahagia dengan kelajangannya. Sebaliknya, seorang perempuan pun berhak memilih untuk menikah. Tak satu pun pilihan akan membuat seorang perempuan kemudian berhak mendapatkan label sebagai ‘seorang perempuan sejati’ maupun ‘perempuan pecundang’ hanya karena pilihan hidupnya.

Bagaimana dengan seorang perempuan yang mengaku seorang feminis namun kemudian dia memutuskan untuk berbagi suami dengan perempuan lain?

Sebagai seorang feminis yang meyakini bahwa membuat pilihan hidup secara penuh berada di tangan perempuan, bagi saya, sebenarnya tidak masalah, karena itu adalah hidupnya sendiri. Yang menjadi masalah adalah jika kemudian perempuan itu menyitir ayat-ayat kitab suci, yang sayangnya berpotensial untuk mematikan nalarnya sebagai seorang manusia yang selayaknya mampu berpikir secara kritis, dan kemudian gembar-gembor di media massa, bahwa sebagai feminis dia ‘bangga‘ menjadi pelaku sekaligus korban poligami, dan mengajak perempuan lain untuk mengikuti jejaknya.

Gerakan feminisme – alias kesetaraan perempuan – berangkat dari teori dekonstruksi Derrida yang ingin mendekonstruksi kemapanan budaya patriarki. Mengapa harus didekonstruksi? Teori dekonstruksi ‘diciptakan’ oleh Derrida tentu karena dia melihat ada banyak carut marut dalam ‘kemapanan’ yang telah ada, untuk mengurangi – jika tidak bisa menghapus seluruhnya – ketimpangan-ketimpangan yang ada di balik kemapanan tersebut.

Jika teori dekonstruksi ini diaplikasikan dalam membaca surat An-Nisa ayat ketiga yang selama ini menjadi ‘senjata’ pelaku poligami, maka akan menghasilkan hukum poligami itu HARAM. (Lihat tulisanku yang berjudul “POLIGAMI” di http://nana-podungge.blogspot.com/2009/03/poligami.html ) Seorang feminis bisa dikatakan sebagai seorang pendobrak kemapanan, seorang dekonstruktor, bagaimana mungkin dia bisa mendukung kemapanan suatu gaya hidup yang menghasilkan kesengsaraan? Poligami lebih menghasilkan mudhorot daripada kebaikan. Perasaan para perempuan yang terlibat, perasaan anak-anak yang terkadang harus bersaing dengan anak-anak dari ibu yang lain demi mendapatkan perhatian dari sang ayah, belum lagi kekerasaan secara finansial.

Beberapa tahun lalu di milis “Perempuan” maupun milis “Jurnal Perempuan” sempat heboh tatkala seorang laki-laki yang semula dikenal berada di barisan terdepan gerakan kesetaraan jender tiba-tiba ‘terjungkal’ dengan masalah syahwat ini. (Di zaman ini, poligami lebih cenderung ke masalah selangkangan ketimbang ‘membantu para janda  miskin ataupun menyantuni anak-anak yatim’.) Dengan sangat tidak hormat laki-laki yang berinisial AA ini pun dipojokkan karena bahkan jika merunut ke beberapa persyaratan yang dicantumkan dalam surat nikah, dia sama sekali tidak berhak melakukan poligami: istri pertamanya masih segar bugar untuk terus ‘melayaninya’, dan dari istri pertamanya ini pun dia memiliki anak. Dan istri keduanya pun tidak merupakan seorang janda miskin yang perlu disantuni!

Siapa pun berhak mengklaim diri untuk menjadi feminis. Namun orang lain yang akan melihat apakah dia benar-benar mengimani ideologi feminisme atau hanya mengaku-aku saja. Majalah apa pun bisa memuat tulisan yang menggunakan sudut pandang apa pun, termasuk sudut pandang seorang feminis. Akan tetapi, orang-orang yang menggunakan kemampuan berpikir kritisnya akan mampu memilah dan memilih jenis bacaan apa saja yang memiliki kredibilitas.
Nana Podungge
~ an acclaimed feminist ~
PT56 19.49 031010