Sabtu, Februari 28, 2009

Feminis Laki-laki


Di salah satu milis yang kuikuti ‘jurnal perempuan’, beberapa hari terakhir ini sedang hangat memperbincangkan tentang fenomena laki-laki feminis. Hal ini bukan merupakan fenomena baru sebenarnya, karena JURNAL PEREMPUAN (yang bukan milis) telah mengangkat topik ini sejak tahun 1998, tatkala masuk seorang laki-laki masuk ke jajaran editorship. Kalau bukan merupakan sesuatu yang baru, mengapa harus diperbincangkan lagi? Sebuah artikel yang ‘trigger’ perbincangan ini menyoroti ketidakkonsistenan yang kadang-kadang menimpa seorang laki-laki yang telah ikut berjuang di barisan para pejuang perempuan untuk kesetaraan. Misal: seorang laki-laki yang pernah ‘berjuang’ untuk mendorong implementasi kesetaraan jender di Indonesia, out of the blue, shockingly di saat kemudian menjadi seorang pelaku poligami. Apalagi ‘excuse’ yang digunakan sangatlah tidak cerdas, “Saya hanyalah manusia biasa...”
Harus diakui memang sangatlah sulit untuk tetap mencoba ‘melawan arus’ di tengah-tengah pusaran kultur patriarki yang selama sekian abad telah dianggap sebagai sesuatu yang ‘alami’, God-gifted. Misal: mempercayai bahwa laki-laki memang diciptakan untuk lebih ‘perkasa’ dalam urusan di tempat tidur, sehingga tatkala sang istri tidak mampu mengimbanginya, seorang laki-laki kemudian memilih untuk menjadi poligamor. Kebalikannya, jika ternyata sang istri yang senantiasa ‘perkasa’ dalam urusan ‘di balik kelambu’ ini, namun ‘kurang beruntung’ mendapatkan suami yang tidak mampu memuaskannya, masyarakat menganggap bukan satu hal yang ‘natural’ jikalau sang istri ingin memiliki suami baru.
Salah satu contoh yang beberapa waktu lalu lumayan heboh didebatkan di beberapa milis yang kuikuti berasal dari hawa nafsu ini: seorang laki-laki yang dianggap pro terhadap perjuangan perempuan, menikahi seorang perempuan yang lebih muda daripada sang istri. Padahal kalau merunut ke tiga syarat bahwa seorang laki-laki boleh menikah lagi (yang disebutkan dalam surat kawin yang bersifat misoginis yang diterbitkan oleh KUA Indonesia), laki-laki itu jelas-jelas tidak seyogyanya menikah lagi. Alhasil, ayat 3 surat An-Nisa yang diinterpretasikan oleh para pejuang perempuan sebagai ayat yang mengharamkan poligami, dibelokkan oleh para penindas itu sebagai ‘lampu hijau’. Jikalau ada orang yang mengatakan ‘Cinta telah membutakan mata hati laki-laki itu’, para feminis menyebut ‘itu bukan cinta, melainkan hawa nafsu’.
Seorang miliser menanggapi dengan bijaksana bahwa jangankan laki-laki feminis, perempuan feminis saja bisa jadi ‘terjerembab’ dalam hal kekonsistenan ini. Untungnya, selama ini belum ada perempuan yang dijadikan bulan-bulanan di milis karena hal ini. Mungkin karena perempuan lebih sering menjadi korban ketidakadilan dalam kultur patriarki sehingga mereka menjadi lebih konsisten dalam memperjuangkan kaumnya.
Ngobrolin tentang istilah ‘feminis’ mengingatkanku pada sebuah seminar internasiona yang kuikuti beberapa tahun lalu. Seorang ‘keynote speaker’ dari Australia mengatakan bahwa dia tidak perlu mengklaim diri sebagai seorang feminis kalau ‘HANYA’ untuk memahami perempuan dan ikut memandang segala permasalahan dari kacamata perempuan (baca  kacamata feminis). “We only need to be humane.” Katanya.
What is in a name, anyway?
Nevertheless, aku tetap lebih suka menggunakan istilah feminis untuk lebih memperkenalkan cara berpikir dan point of view yang kugunakan untuk diriku sendiri. Karena di Indonesia, masih banyak orang yang rancu dengan istilah ‘feminis’ dan ‘feminin’, apalagi kalau kita hanya menggunakan istilah ‘manusiawi’. Contoh kerancuan istilah ‘feminis’ dan ‘feminin’ lihat saja sebuah komentar yang ditulis oleh seorang pengunjung di ‘blogger of the week’ ... atau pengalamanku sendiri beberapa tahun lalu. Di fitness center tempatku berolahraga, ada seorang instruktur laki-laki yang berkomentar, “Makanya sekarang mbak Nana terlihat feminin...” setelah dia membaca judul buku yang kubaca pada waktu itu KAJIAN BUDAYA FEMINIS.
PT56 22.36 220209

Jumat, Februari 27, 2009

Look who's talking

Berbincang tentang feminisme, aku jadi teringat di awal-awal aku ‘menemukan’ cara pandang yang menurutku sangat mencerahkan ini, di pertengahan tahun 2003. Maklum a newbie yang naive, aku akan mudah terprovokasi untuk membeli sebuah buku hanya dengan ada kata ‘feminis’ atau ‘feminisme’ di judulnya, tanpa melihat siapa penulisnya. Alhasil, aku pernah sangat kecewa setelah membeli sebuah buku, tanpa mengecek daftar isi, ataupun melihat isi secara sekilas. Setelah sampai rumah dan membaca, ternyata buku itu ditulis oleh seorang perempuan, dosen di sebuah universitas terkenal di Bandung, yang memandang feminisme dari kacamata patriarki, dan merupakan seseorang yang anti-kesetaraan, yang menganggap bahwa berjuang demi kesetaraan bagi perempuan justru akan menyengsarakan perempuan sendiri, dan bahkan melecehkan diri sendiri ke lembah nista. (opo kuwi? LOL.)

Sejak itu kenaifanku berkurang. Sedikit. LOL. Aku berusaha melihat ‘who is talking?’ atau ‘who is writing?’

Beberapa minggu lalu, aku menemukan seorang perempuan yang tinggal di Malaysia memberikan link ke blogku yang berlabel ‘polygamy’ di blognya. Aku pikir dia tentu supportive pada cara pandangku yang anti-polygamy. Setelah berkunjung ke blognya, membaca sedikit pengantar yang dia tulis, goodness, ternyata dia adalah seorang pendukung poligami sejati. LOL. You can imagine dia tidak bisa memahami bahwa praktek poligami merupakan pelecehan kaum perempuan. Contoh: laki-laki berhak memiliki lebih dari 1 istri, perempuan tidak boleh memiliki lebih dari 1 suami. Laki-laki bisa berganti teman tidur setiap malam, perempuan hanya bisa memeluk guling dan bantal sementara suami paruh waktunya memeluk dan mencumbu perempuan (istri) lain. Emang enak?

Mungkin perempuan Malaysia itu tidak membaca tulisan-tulisan di blogku yang kuberi label ‘polygamy’ secara teliti.

Look who is talking’ ini pun tentu saja sangat berlaku dalam melihat sebuah tulisan dimuat di site mana. Website dan milis JIL merupakan salah satu rujukanku untuk mencari tulisan ilmiah berbobot yang berhubungan dengan agama Islam. Beberapa hari yang lalu di sebuah milis aku membaca sebuah artikel dengan topik ‘multikulturalisme’, sebuah artikel yang dicomot dari sebuah website yang sering memandang sinis JIL sebagai perpanjangan tangan Amerika, aku langsung mempersiapkan mental untuk membaca sebuah tulisan dari seseorang yang dengan sengaja menutup pikiran dan mata hatinya dari kemungkinan menjadi seorang yang toleran, yang lebih memilih the so-called jihad ketimbang perdamaian di dunia ini.

Hal ini mengingatkanku pada diskusi di salah satu kelasku beberapa minggu yang lalu. Dalam Alquran Allah telah berfirman bahwa Dia menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita semua saling mengenal dengan baik, bergaul dengan baik, dan bukannya agar berperang ‘membela kebenaran’ (kebenaran menurut siapa?). Aku percaya dengan segala kemahaan-Nya, Allah tentu sangat mampu dan berkuasa untuk membuat seluruh manusia di muka bumi ini untuk menjadi Islam, dalam satu kali kedipan mata. Namun toh setelah sekian ratus abad berlalu, Islam tetaplah bukan satu-satunya agama samawi yang eksis di dunia ini. Mengapa? Allah memang menghendaki hal ini terjadi, sesuai dengan firman-Nya, ‘Dia menciptakan manusia berbeda-beda, dan bukannya sama semua’.

So? What seems to be the problem with ‘multikulturalisme’ sehingga dirasa MUI perlu untuk memfatwakannya haram? Kepengen lebih berkuasa di dunia ini daripada Allah ya?

Nana Podungge
PT56 23.14 220209

Minggu, Februari 15, 2009

Perempuan dalam sinetron

Aku ingat satu hari tatkala aku duduk di bangku kuliah (sekitar lima tahun yang lalu), salah seorang dosen senior, yang kebetulan seorang profesor, memprotes penggambaran perempuan ‘modern’ di banyak sinetron di televisi. Perempuan ‘modern’ digambarkan sebagai perempuan yang tak lagi memiliki sifat yang secara stereotipikal dianggap sebagai sifat ‘alamiah’ perempuan: mengalah, lemah lembut, feminin, dan keibuan. Dan yang membuatku kecewa, beliau menyatakan bahwa gambaran perempuan yang ‘tidak perempuan’ itu disebabkan oleh gerakan feminis; feminisme dijadikan kambing hitam sebagai penyebab ‘kebencian’ kepada segala hal yang feminin.

Berhubung aku sangat jarang nonton televisi (yang berarti pula aku jarang nonton sinetron) aku tidak tahu pasti gambaran perempuan yang seperti apa yang ada di benak dosen senior tersebut. Oleh karena itu, aku pun tidak menyangkalnya atau pun melibatkan diri kedalam diskusi yang lebih jauh lagi, meskipun sebenarnya aku tidak setuju jika gerakan kesetaraan perempuan (yang juga dikenal sebagai feminisme) dijadikan penyebab gambaran seperti itu.

Beberapa tahun telah berlalu ...

Beberapa saat yang lalu aku membaca sebuah artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol 30, No. 1, 2006 yang berjudul “Menjadi Perempuan di dalam Sinetron: Kekinian Femininitas” tulisan Widjajanti Mulyono Santoso. Artikel ini ditulis oleh Widjajanti berdasarkan riset pada sebuah sinetron yang berjudul “Inikah Rasanya” yang ditampilkan dalam sebuah stasiun televisi pada tahun 2004.

Jenis-jenis perempuan yang bagaimana kah yang ditampilkan dalam sinetron ini?

Pertama: seorang perempuan yang jatuh cinta pada seorang laki-laki.

Gerakan feminis mendukung perempuan pun berhak untuk mengekspresikan perasaannya kepada sang laki-laki yang mereka taksir terlebih dahulu (sebagai pihak yang aktif, dan tidak hanya pasif menunggu ‘ditembak’) meskipun di masyarakat masih banyak orang—baik laki-laki maupun perempuan—yang beranggapan adalah sesuatu yang memalukan (dan tidak feminin) bagi seorang perempuan untuk menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Bisa jadi sang tokoh Rena yang secara terbuka menunjukkan perasaannya terhadap laki-laki yang dia taksir (bahkan cenderung agresif) dianggap merupakan representasi tokoh feminis. Buruknya, Rena digambarkan sebagai seseorang yang sangat emosional, apalagi saat mengetahui sang gebetan lebih memilih perempuan lain, yang mewakili tokoh perempuan ‘tradisional’ yang feminin, yang lebih memilih ‘menunggu’ daripada ‘menembak’ terlebih dahulu.

Kedua: seorang perempuan jomblo atau pun ‘single mother’.

Perempuan yang tidak memiliki pasangan digambarkan memiliki kondisi emosional sangat terganggu. Dalam sinetron “Inikah Rasanya” ibu Jason maupun tante Nadia digambarkan memiliki gangguan psikologis karena mereka berdua tidak memiliki suami. Gangguan psikologis ini menyebabkan keduanya memperlakukan anak dan keponakannya secara kasar. Sebenarnya gambaran seperti ini bukanlah hal yang jarang terjadi dalam kultur patriarki, apalagi jika si perempuan telah mencapai usia tertentu. Orang akan selalu menghubungkan kondisi psikologis seorang perempuan yang masih jomblo di usia lebih dari tigapuluh tahun dengan ketidakadaan seorang pacar atau suami, sehingga tidak memiliki ‘media’ untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Seorang perempuan adalah seorang perempuan yang ‘nakal’ jika dia melakukan hubungan seks di luar nikah, sementara laki-laki dianggap biasa-biasa saja, karena mereka dimaklumi memiliki libido yang lebih tinggi daripada perempuan. Selain itu, karena dalam kultur patriarki orang-orang memuja pernikahan (menikah dipercaya sebagai satu-satunya cara untuk mencapai puncak kebahagiaan yang hakiki), maka banyak orang yang masih jomblo akan merasa nelangsa, merana, dll. Terkadang untuk mengurangi perasaan negatif itu, mereka pun akan dengan ngawur memilih siapa pun yang ‘tersedia’ tanpa berpikir panjang apakah orang itu orang baik-baik, memiliki pekerjaan yang mapan, tidak bersifat ringan tangan; bahkan kadang suami orang lain pun tidak apa-apa, asal terlepas dari sorotan masyarakat sebagai seseorang yang ‘tidak laku’. Jika mereka tak kunjung mendapatkan apa yang mereka cari (pasangan), untuk melepaskan perasaan nelangsa tersebut, mereka pun bertindak kasar kepada orang-orang yang ada di sekitarnya; kebetulan dalam sinetron ini, kepada sang anak dan keponakan.

Hubungan dengan tuduhan campur tangan gerakan feminis adalah bahwa gerakan ini mendukung perempuan untuk menjadi ekspresif, tidak melulu bungkam. Keekspresifan ibu Jason dan tokoh Nadia pun dituding sebagai imbasnya.

Ketiga: seorang guru perempuan yang bawel dan menyebalkan.

Perempuan yang memiliki kemampuan dianggap tidak konvensional dalam kultur patriarki. Kekuasaan yang dimiliki oleh guru perempuan di hadapan murid-muridnya membuatnya menjadi bahan tertawaan. Selain itu, kebanyakan guru perempuan digambarkan sebagai perempuan yang sudah berusia tidak muda lagi namun masih jomblo, sehingga mereka pun memiliki gangguan psikologis. Lebih buruk lagi mereka digambarkan memiliki kekurangan secara fisik, misal memiliki suara yang nyaring melengking sehingga terdengar menggelikan. Dari segi penampilan, mereka digambarkan memakai kacamata tebal dan baju yang kaku serta memiliki mimik wajah yang tidak bersahabat.

Gambaran ketiga tokoh perempuan tersebut aku yakin tidak hanya ada dalam sinetron “Inikah Rasanya”, namun juga dapat ditemukan dalam sinetron-sinetron yang sejenis.

Menilik bahwa kebanyakan scriptwriter (penulis naskah) adalah laki-laki, mudah saja kita menyimpulkan bahwa ada pemahaman gerakan feminis yang melenceng dalam pengertian para laki-laki tersebut. Atau bisa juga dikatakan para penulis naskah itu termasuk laki-laki yang merasa terancam dengan gerakan kesetaraan jender, sehingga mereka menggambarkan perempuan independen yang kejam, sebagai akibat feminisme. Hal ini bukan bermaksud menegasikan adanya laki-laki feminis. Namun dalam bisnis besar seperti pembuatan sinetron, ada berapa gelintir laki-laki feminis yang terlibat di dalamnya? Kalau pun ada, mereka tentu kalah dengan para pemilik modal yang kebanyakan lebih ingin menampilkan perempuan dengan stereotipe feminin, mengalah, lemah lembut, dan keibuan.

Apa yang mereka harapkan? Masyarakat akan memiliki gambaran negatif tentang gerakan kesetaraan jender, sehingga akan menghentikan usaha para ‘pejuang kesetaraan’ karena feminisme hanya akan membuat perempuan tidak memiliki hati, berubah menjadi monster, tidak feminin, sehingga melawan hukum alam.

Nana Podungge

PT56 15.45 150209

(terjemahan artikel “Women in our sinetrons”

at http://afeministblog.blogspot.com/2009/01/women-in-our-sinetrons.html )


Valentine's Day

bSabtu 14 Februari 2009 tatkala memasuki kelas, aku tertarik dengan penampakan dua mahasiswi perempuan yang memakai busana bernuansa pink yang kebetulan sama persis. Lupa bahwa pada hari itu banyak orang di dunia merayakan Valentines’ Day, aku pun bertanya,

Hey you two, how come you are wearing exactly the same color for your clothes today?”

Secara serempak keduanya menjawab, “It’s Valentine’s Day, Miss...”

What a surprise ...

Mengapa surprise? Karena keduanya mengenakan jilbab, dan menurutku orang-orang yang berbusana muslimah seperti itu biasanya anti segala hal yang berbau Barat.

Berhubung pada hari itu topik pembahasan adalah tentang perbedaan budaya di beberapa tempat di dunia ini, aku langsung menggunakan topik Valentine’s Day sebagai ‘motivating strategies’, untuk elicit hal-hal yang kemungkinan besar akan muncul dalam perbincangan nantinya.

Hanya ada tujuh mahasiswa, dua laki-laki, lima lain lagi perempuan pada hari itu. Kebetulan yang pertama kali kutanya adalah seorang laki-laki, jebolan Islamic Boarding School (yang lumayan punya nama di Indonesia) tatkala dia duduk di bangku SMP dan SMA.

In my opinion, I don’t agree with that kind of celebration. Simply because it is western culture. Not our own culture.”

Aku langsung menohoknya dengan mengatakan, “Do you use computer in your daily life?”

Dia jawab, “Yes Miss.”

Don’t you think it is also western culture? Computer technology comes from the west. If you want to stick to your principle that western culture is not supposed to be followed by eastern people, you had better be consistent.” Jawabku nyelekit. LOL.

Kemudian dia pun mengatakan tentang (konon) sejarah tentang St. Valentine’s, seorang santo atau orang suci dari agama Katolik yang dihukum karena melanggar peraturan tidak boleh menikah.

If we celebrate Valentine’s Day, it is said that we will be like them.” Kata mahasiswaku itu.

What do you mean ‘to be like them’?” tanyaku, ingin memastikan, meskipun aku sudah bisa ‘membacanya’, to be Catholic, no longer Muslim. Bagi para Muslim yang naif (dan yang bukan sekuler atau pluralis sepertiku) hanya karena melakukan sesuatu kemudian kita ‘divonis’ tak lagi Muslim adalah sesuatu yang sangat menakutkan.

Aku pun kemudian menyitir salah satu artikel yang telah beredar di beberapa milis tentang ‘usulan 17 fatwa haram kepada MUI’, salah satunya adalah larangan orang Indonesia mengikuti Olimpiade, karena konon di awal sejarah penyelenggaraan Olimpiade adalah untuk memuja dewa orang Yunani. Nah, kalau kita mau saklek seperti dalam perayaan Valentine’s Day, ya ga boleh juga dong bagi orang Muslim Indonesia untuk bertanding di ajang Olimpiade karena itu sama saja dengan memuja dewa orang Yunani. Musyrik namanya.

Mengakui kekonyolan dalam hal pertandingan Olimpiade ini, mahasiwaku pun bisa melihat kekonyolan tidak boleh merayakan Valentine’s Day yang dihubungkan dengan kematian seorang Catholic Saint.

Yang mengherankan adalah tatkala kedua perempuan yang memakai busana pink, dan menyebut ‘Valentine’s Day’ sebagai ‘penyebab’ mereka memakai pink pun mengatakan hal yang senada dengan si jebolan Islamic Boarding School itu. Namun nampaknya mereka pun bisa menerima penjelasanku tentang perbandingan antara Valentine’s Day dan Olympic Games. Lebih lanjut lagi aku pun menyitir sebuah hadits yang menyatakan pentingnya ‘niat’ dalam melakukan sesuatu; waktu kita ikut merayakan Valentine’s Day—misal dengan saling berbagi coklat atau hadiah-hadiah kecil lain—kita niatnya untuk saling berbagi kasih sayang dengan teman-teman atau pun saudara atau boyfriends/girlfriends bagi yang punya atau pun suami/istri bagi yang sudah menikah atau mau memperingati kematian St. Valentine. Tapi, kalau tidak mau ‘dimanfaatkan’ oleh pihak yang menanggung keuntungan dalam perayaan ini (para penjual coklat, bunga, boneka, dll) ya ga usah aja. Toh menunjukkan kasih sayang kepada our loved ones tidak perlu harus memberikan ini itu.

Nana Podungge

PT56 14.00 150209

Minggu, Februari 08, 2009

Perkawinan Beda Agama


Di salah satu milis yang kuikuti ada diskusi sangat menarik, yakni tentang perkawinan beda agama. Diskusi ini berasal dari laporan pandang mata dari seorang member tatkala menghadiri bedah buku ‘Perkawinan Beda Agama’ tulisan Muhammad Munif dan Ahmad Nurkholis, yang diterbitkan oleh GM Pustaka. Tiga pembicara utama bedah buku yakni Prof Musdah Mulia (Muslim), Pendeta Saut Sirait (Kristen), dan Bapak Herman (pemuka agama Buddha).
Sebagai seorang Muslim, dalam postingan ini aku hanya ingin menuliskan tentang pandangan yang disampaikan oleh Prof Musdah, dan bukan diskusi dalam milis secara keseluruhan. FYI, milis ini diikuti oleh orang-orang dari berbagai macam agama, dan kebanyakan dari mereka memiliki sifat broad-minded dan open-minded, selain juga pluralis dan well-educated.
Prof Musdah mengatakan dalam Islam ada tiga pandangan dalam hal ini:
Pertama, haram. Karena banyaknya ulama mengatakan haram, MUI pun dengan serta merta mengeluarkan fatwa haram dalam hal ini. (Jika mengacu ke postingan sebelum ini, tentang fatwa haram merokok, bisa jadi tatkala MUI mengeluarkan fatwa haram untuk perkawinan beda agama pun cuma iseng belaka ya? karena kurang kerjaan. Atau seperti my ex boss bilang, “MUI members get paid to make fatwa.”
Kedua, boleh, asal yang laki-laki Muslim yang perempuan boleh non Muslim. BIAS JENDER banget kan? Alasan utama (menurutku) karena dalam kultur patriarki perempuan menjadi the second sex, selalu pihak yang kalah, maka dalam perkawinan beda agama dimana si perempuan yang Muslim dan laki-laki non Muslim, dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan dari pihak laki-laki agar sang istri mengikuti agama suami. Atau pemaksaan dalam hal anak-anak harus mengikuti agama sang ayah, sang pemimpin keluarga. Kalau begini jadinya dikhawatirkan pengikut agama Islam akan berkurang. LOL.
Ketiga, boleh tanpa ada syarat apapun. Yang penting dalam suatu perkawinan kedua belah pihak setuju untuk menikah, tanpa ada pemaksaan dari satu pihak, bukan karena kasus trafficking, bukan merupakan nikah siri, bukan kasus poligami, maupun pedofil, seperti kasus Puji dan Ulfa. Untuk kasus ketiga ini, menurutku masih sangat jarang di Indonesia yang berpandangan seperti ini. Para anggota MUI apalagi, tentu kebanyakan tidak setuju. Atau mungkin ada baiknya mereka dibayar untuk membuat fatwa baru dalam hal perkawinan beda agama ini? LOL. Selama ada uang, fatwa baru boleh dibuat kali ya?
Lebih lanjut Prof Musdah mengemukakan dalam ajaran Islam ada tiga hal yang harus diketahui:
Aqidah, berhubungan langsung dengan ketuhanan dan kenabian.
Ibadah, hubungan manusia dengan Tuhan, misal shalat dan puasa.
Muamalah, hubungan antara manusia dengan manusia.
Perkawinan termasuk masalah muamalah, hubungan antara satu manusia dengan manusia lain, tidak berhubungan dengan ketuhanan maupun kenabian.
Masalahnya adalah, dalam agama Islam, banyak ulama mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan salah satu ibadah. Lah, kan jadi rancu ya? Tapi memang di Indonesia banyak terjadi kerancuan dalam ketiga masalah di atas, aqidah, ibadah, maupun muamalah. Misal: Orang-orang lupa bahwa masalah ibadah—misal shalat dan puasa—adalah hubungan langsung antara Tuhan dan makhluk-Nya. Banyak orang merancukannya dengan masalah muamalah, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka memiliki hak untuk campur tangan urusan ibadah orang lain.
Masih ada hal-hal lain lagi yang ingin kutulis tentang perkawinan beda agama ini. But karena sesuatu dan lain hal, aku harus mengakhiri tulisan ini. Lain waktu kusambung lagi. Sebagai seorang feminis yang percaya bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk tubuh dan cara berpikirnya, aku setuju bahwa perempuan Muslim pun berhak untuk menikah dengan laki-laki non Muslim.
PT 19.03 080209

Fatwa: Merokok Haram


Lama-lama MUI seperti kurang kerjaan aja yah, sampai masalah merokok pun dibuatkan fatwa. Selain fatwa dalam urusan merokok, MUI pun mengharamkan golput. (Correct me if I am wrong, aku super jarang baca surat kabar hari-hari terakhir ini, selain karena sibuk, tapi juga ‘fed-up’ dengan berita-berita yang menghiasi lembar-lembar koran, plus malas membaca ulasan yang kurang cerdas di surat kabar langganan Nyokap.)
Aku bukan perokok. Aku juga tidak pernah kepikiran untuk mencoba bagaimana rasa rokok itu maupun ‘rasa merokok’, apakah aku akan merasa menjadi ‘cool’ atau maskulin (orang-orang sering salah interpretasi bahwa yang feminis itu non feminin sehingga bisa jadi beranalogi dengan maskulin). Bahkan waktu di usia remaja—konon usia dimana seseorang merasa tertantang untuk melakukan segala sesuatu—aku juga tidak tergoda untuk mencobanya. Waktu mulai kuliah di Sastra Inggris UGM semester 1, aku kulihat beberapa teman sekelas (cewe) mencoba merokok, mumpung tinggal jauh dari orang tua, mungkin begitu jalan pikiran mereka. Dan aku tetap tidak bergeming.
Aku juga tidak begitu peduli apakah orang lain merokok atau tidak. Mungkin karena aku pun sadar bahwa pabrik-pabrik rokok memberi kontribusi paling besar sebagai pembayar pajak di Indonesia. Namun ada satu syarat penting: JANGAN PERNAH MEROKOK DI DEKATKU. My ex hubby used to be a ‘train smoker’, namun dia selalu keluar dari ruangan untuk merokok. Kalau dia mau mati karena kanker, jangan ngajak-ngajak orang lain. Itu intinya. LOL.
Nah, bagaimana dengan fatwa haram untuk merokok?
Aku paling tidak suka tatkala ada paksaan untuk melakukan sesuatu, apalagi ada embel-embel hukuman, untuk sesuatu yang menurutku hanya merupakan ‘little misdemeanor’. Para perokok itu sebaiknya, atau SEHARUSNYA, sadar diri bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain yang berada di dekat mereka. Kalau tidak tahan untuk tidak merokok, ya hormatilah hak para non-smoker (orang lain yang tidak merokok) untuk menghirup udara yang bersih, bebas dari asap rokok.
Namun mengingat banyak orang bilang bahwa kebanyakan orang Indonesia kurang dewasa cara berpikirnya (misal: “Terserah gue dong mau merokok, kenapa elo yang repot? Emang dunia ini milik nenek moyang elo saja?” Mereka lupa bahwa para non-smoker pun bisa mengajukan protes yang sama, “Kalo elo mau bunuh diri pelan-pelan dengan ngisep nikotin, jangan ajak-ajak gue dong. Emang udara ini milik elo doang?”) mungkin ada baiknya juga MUI mengeluarkan fatwa ini. Kebanyakan orang Indonesia harus dipaksa untuk melakukan sesuatu atau harus diancam agar meninggalkan suatu kebiasaan buruk.
Yang pasti I am not included. LOL.
PT56 18.29 080209

Jumat, Februari 06, 2009

Andrea Hirata

Beberapa hari yang lalu, di sebuah milis yang kuikuti ada perbincangan tentang dunia tulis menulis. Ngobrol ngalor ngidul akhirnya nama Andrea pun tersentil. Salah seorang anggota milis yang lebih banyak tinggal di daratan Eropa sana menulis pertanyaan retorik apakah Andrea terkenal karena dia lulusan Universitas Sorbonne.
I swear I am not really a fan of Andrea Hirata meski harus kuakui aku mengangkat topi tinggi-tinggi buatnya, seorang Ikal kecil dekil, berasal dari sebuah desa terpencil dan miskin, yang mampu mewujudkan impiannya untuk menembus bangku perkuliahan, bahkan setelah lulus dari Universitas Indonesia dia melanjutkan ke universitas bergengsi dunia, Universitas Sorbonne. Dan berhubung membaca adalah salah satu hobbyku, maka tak heran bukan kalau aku pun membaca keempat novel tetralogi LASKAR PELANGI itu.
Aku tidak begitu banyak mengikuti berita-berita tentang Andrea karena bagiku kehidupan pribadinya tidak menarik kuikuti, yang aku sukai adalah keempat bukunya, dari LASKAR PELANGI, SANG PEMIMPI, EDENSOR, dan MARYAMAH KARPOV.
Dengan sekedar iseng, aku menulis komentar atas pertanyaan retorik yang kutulis di atas, "Apakah Andrea Hirata terkenal karena dia lulusan Universitas Sorbonne?" Dari beberapa kritik sastra yang kubaca tentang LASKAR PELANGI, novel ini terkenal karena para pembaca sedang terkena penyakit BOSAN dengan tema-tema novel yang ada. (Contoh: Keterkenalan novel 'Ayat-ayat Cinta' membuat orang-orang pun menulis novel-novel dengan tema yang mirip-mirip. Senada dengan saat terkenalnya seorang Ayu Utami karena dwilogi SAMAN dan LARUNG nya. Karena banyak orang menuding seksualitas yang diusung oleh Ayu sebagai pendongkrak popularitas kedua novel ini, banyak orang kemudian beramai-ramai menulis novel yang banyak dibumbui oleh seks, tanpa tema yang khusus mengapa seks diilustrasikan dalam novel-novel mereka. Ayu Utami berbeda karena dalam kedua novel itu dia ingin mendobrak ketabuan bahwa perempuan dilarang berbicara tentang seks, dan kritik tentang virginitas yang wajib dimiliki semua perempuan tatkala memasuki
gerbang perkawinan.)
Aku menulis bahwa Andrea terkenal bukan karena dia lulusan Sorbonne, melainkan karena cerita yang ditulis oleh Andrea dalam LASKAR PELANGI benar-benar memikat pembaca, tema yang berusaha untuk membangkitkan semangat para pelajar untuk rajin berangkat ke sekolah, karena para anggota 'laskar pelangi' yang berasal dari desa terpencil dan miskin itu selalu penuh semangat untuk berangkat sekolah, untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan. Andy F Noya mengangkat LASKAR PELANGI dan Andrea Hirata dalam salah satu acara KICK ANDY karena cerita yang membumi dan mengharukan tersebut, bukan karena sang penulis adalah lulusan Sorbonne.
Seandainya Andrea menulis EDENSOR sebagai novel perdananya, aku tidak yakin bahwa dia akan seterkenal sekarang, meksipun EDENSOR ditulis dengan teknik penulisan yang jauh lebih menarik dibandingkan tatkala Andrea menulis LASKAR PELANGI. Karena dia adalah seorang prodigy dan pekerja keraslah maka dia pun mampu meningkatkan kemampuan menulisnya dalam waktu yang singkat. Apakah karena dia lulusan Sorbonne? Dalam hal ini, mungkin iya. Namun hal ini bukanlah penyebab utama seorang Andrea terkenal di Indonesia, dan kemudian sampai ke manca negara. Lulusan Sorbonne membuat dia seorang prodigy yang semakin terasah.
Salah satu bukti bahwa LASKAR PELANGI lah yang menyebabkan seorang Andrea terkenal adalah buku yang dia tulis sebelum LASKAR PELANGI, buku ilmiah berdasarkan riset tesisnya, SAMA SEKALI TIDAK TERKENAL, sebelum LASKAR PELANGI terkenal.
Any comment, please dear friends?

Friends net 14.24 070209


Rabu, Februari 04, 2009

Perempuan Sejati

Artikel yang kupost sebelum ini kutulis karena sebuah artikel yang dimuat di sebuah surat kabar lokal yang menurutku menyesatkan. Artikel yang dipublikasikan pada tanggal 21 Desember 2008 ini mengelu-elukan kaum perempuan yang memilih menjadi seorang ibu rumah tangga dan melabelinya sebagai feminis modern. Seorang feminis modern adalah seorang perempuan yang dengan sepenuh hati memilih meninggalkan karir di luar rumah (yang telah mencapai posisi tinggi),untuk menghabiskan waktu dengan anak-anak, dan mengurusi suami yang sibuk bekerja di luar rumah. Karena biar bagaimana pun, peran seorang perempuan sebagai seorang ibu—mengandung, melahirkan, menyusui, kemudian mengasuhnya sehingga besar, tanpa melibatkan pihak lain—tak kan pernah tergantikan Untuk ketidakegoisan mereka inilah, perempuan yang dengan sadar memilih peran sebagai ibu rumah tangga dielu-elukan sebagai ‘pahlawan’ perempuan sejati.

Sementara itu kaum perempuan yang memilih berkarir di luar rumah dianggap feminis ketinggalan zaman karena mengacu kepada ‘ajaran’ ideologi feminisme tahun 1960-an. Zaman telah berubah.

Di Indonesia dimana orang dengan mudah terbuai dengan segala label yang berbau ‘sejati’, artikel tersebut akan membentuk opini yang seragam pada pembacanya: di zaman sekarang, jika seorang perempuan ingin dilabeli gelar perempuan sejati, juga sebagai feminis modern, dia harus meninggalkan karirnya di luar rumah, kembali ke rumah, menjadi istri dan ibu yang baik.

Artikel tersebut juga menuliskan beberapa alasan mengapa seorang perempuan bekerja (di luar rumah): harga-harga kebutuhan sehari-hari yang senantiasa merangkak naik membuat pasangan suami istri harus bersama-sama menjadi pencari nafkah. Selain alasan ekonomi ini, dua alasan lain yang disebut dalam artikel tersebut yaitu: memanfaatkan ijazah yang telah diperoleh dengan penuh perjuangan, dan agar diterima secara sosial oleh masyarakat.

Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, ada lima tingkat kebutuhan yang ingin dicapai oleh seorang individual: safety (keamanan), security (keselamatan), social acceptance (penerimaan secara sosial), self-esteem (harga diri) dan self-actualization (aktualisasi diri). Alasan ekonomi mengacu ke kebutuhan pada tingkat pertama safety dan kedua security. Seseorang membutuhkan pangan, sandang, dan papan. Selain itu, orang juga butuh jaminan bahwa di bulan-bulan berikutnya mereka bisa mencukupi kebutuhan pokok mereka dengan memiliki pekerjaan yang mapan. Alasan ‘agar diterima secara sosial oleh masyarakat’ mengacu ke teori Maslow tingkat ketiga, social acceptance. Untuk memanfaat ijazah yang telah diperoleh mengacu ke tingkat keempat, self-esteem. Seorang perempuan akan merasa harga dirinya meningkat jika mereka memanfaatkan ijazah yang telah mereka peroleh dengan semestinya, dengan mengaplikasikan ilmu yang mereka kejar di bangku kuliah. Kebutuhan pada strata tertinggi dari teori Maslow, self-actualization nampaknya dilupakan oleh jurnalis penulis artikel tersebut. Tidak semua perempuan ditakdirkan menjadi makhluk domestik, yang merasa dapat mengaktualisasikan diri dengan ‘hanya’ menjadi koki di rumah untuk keluarga, melahirkan dan menyusui anak, kemudian menjadi pengasuh. Banyak perempuan yang merasa mereka mendapatkan kepuasan jika mengaktualisasikan dirinya di ranah publik. Semua tergantung pada panggilan jiwa masing-masing.

Sebagai seseorang yang menyukai bidang tulis menulis, aku sendiri merasa bisa mengaktualisasikan diri dengan cara menulis dan blogging.

Sebagai seseorang yang suka memasak, seorang perempuan tentu akan merasa mampu mengaktualisasikan diri di bidang masak memasak.

Sebagai seseorang yang suka berkebun, seorang perempuan akan mencapai aktualisasi diri yang tinggi jika dia berhasil memiliki kebun yang indah, penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran.

Sebagai seseorang yang suka bekerja di balik meja, mungkin seorang perempuan akan mencapai aktualisasi diri dengan bekerja di sebuah perusahaan.

Sebagai seseorang yang suka bekerja di lapangan, mungkin seorang perempuan akan mengejar aktualisasi diri dengan bekerja sebagai penambang, kontraktor, arsitek, arkeolog, dll yang memungkinkan dia untuk selalu berada di lapangan.

Sebagai seseorang yang menyukai pekerjaan yang lebih menantang lagi, mungkin seorang perempuan akan mampu mengaktualisasikan diri dengan bekerja sebagai pilot, astronot, insinyur perkapalan, dll.

Dan lain sebagainya.

Perempuan memiliki hak penuh atas diri, tubuh, dan pikirannya. Perempuan sangat berhak untuk memilih apa yang ingin dia ingin lakukan, tanpa perlu ada batasan bahwa dia akan menjadi perempuan modern atau feminis kuno jika memilih satu profesi tertentu.

Semua perempuan adalah perempuan sejati tanpa ada batasan hanya merekalah yang mampu mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak yang berhak menyandang predikat predikat perempuan sejati. Bukankah urusan seorang perempuan bisa mengandung atau tidak adalah rahasia Ilahi? Seorang perempuan berhak untuk memilih mengadopsi anak, ataupun tidak mengadopsi anak, dan dia tetaplah seorang perempuan sejati.

Seorang perempuan yang mengandung, kemudian melahirkan, tetaplah seorang perempuan sejati jika dia memilih untuk tidak menyusui bayinya dengan alasan yang dia sendiri yang tahu. Bukankah banyak pula perempuan yang tidak mampu menghasilkan air susu, meskipun baru saja melahirkan, karena ini pun merupakan rahasia Ilahi.

Seorang perempuan tetaplah menjadi perempuan sejati meskipun dia memilih untuk terus berkarir di ranah publik karena itulah cara dia mencapai aktualisasi diri, tanpa perlu dibebani rasa bersalah karena dia memerlukan seorang pengasuh untuk mengasuh anaknya.

Kesimpulan: berhentilah melabeli seorang perempuan sebagai perempuan yang sejati atau tidak sejati. Biarkan perempuan memilih dengan kesadaran yang tinggi dalam hidupnya.

Nana Podungge

PT56 17.17 010209

(terjemahan postingan “True woman = modern feminist?” bisa diakses di

http://afeministblog.blogspot.com/2008/12/true-woman-modern-feminist.html)


Feminisme a la Nana Podungge

Aku berpendapat bahwa mereka yang MENGHARUSKAN kaum feminis (atau seseorang yang mengaku diri sebagai seorang feminis) termasuk salah satu dari ideologi feminisme yang ada selama ini justru adalah orang-orang yang tidak begitu memahami ideologi feminisme. Atau mereka sedang belajar memahami ideologi ini sehingga yang mereka ketahui baru bagian luarnya saja, dan kemudian berbicara tentang feminisme seolah-olah mereka sudah ‘khatam’ mempelajarinya. Mereka berpikir bahwa tak ada seorang feminis pun yang bisa bebas dari klasifikasi ideologi feminisme tertentu, bahwa seseorang yang mengaku sebagai feminis kemudian harus mengikuti ‘ajaran’ ideologi feminisme yang mereka anut secara khusyuk, dan tidak diperbolehkan mengamalkan ideologi feminisme yang lain. Misal: seorang feminis Marxist tidak boleh ‘mengamalkan’ ajaran ideologi feminisme radikal, atau liberal, atau yang lain. Dengan cara begini, mereka memperlakukan ideologi feminisme selayaknya suatu agama dengan berbagai macam denominasi. Seorang Kristen Protestan tidak boleh melakukan ibadah yang diimani seorang Kristen Advent.
Dilihat dari sejarah pembentukan gerakan perempuan—yang di awal abad 20 mendapatkan julukan ‘feminisme’—memang gerakan ini terbagi menjadi tiga tahap utama. Tahap pertama dimulai dari perjuangan kaum perempuan (Amerika) di pertengahan abad 19, dengan mengadakan KTT perempuan pertama pada tahun 1848, di Seneca Falls. Perjuangan kaum perempuan tahap pertama ini digawangi oleh Lucretia Mott and Elizabeth Cady Stanton. Para pejuang perempuan ini, bekerja sama dengan para pejuang abolisionis—kesetaraan kaum kulit hitam dengan kulit putih—memperjuangkan kaum perempuan untuk mendapatkan hak pilih dalam Pemilu, sebagai satu-satunya tujuan. Tahap kedua mengacu pada perjuangan yang digawangi oleh Betty Friedan pada tahun 1960-an, yang memperjuangkan hak untuk bekerja di luar rumah. Tahap ketiga yang juga dikenal sebagai postfeminisme, dimulai awal tahun 1990-an. Ada benang merah yang bisa ditarik dari tahap pertama, kedua, dan kemudian ketiga, dengan alasan masing-masing mengapa muncul gerakan pada tahap kedua dan ketiga.
Di artikel ini aku akan menuliskan proses gerakan perempuan ini, dari tahap pertama, kedua, dan ketiga, secara singkat. Dan karena latar belakang pendidikanku adalah American Studies, yang membuatku banyak membaca buku-buku sejarah Amerika, maka aku akan mendasarkan tulisan ini pada sejarah gerakan perempuan di benua yang konon ditemukan oleh Christopher Columbus ini.
Amerika memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1776 dan melepaskan diri dari pengaruh kuat pemerintahan kolonialisasi Inggris, dan mulai memiliki pemerintahan sendiri. Sejak pertama diselenggarakan Pemilu pemilihan presiden, kaum perempuan tidak diikutkan. Masyarakat Amerika yang waktu itu masih sangat mendasarkan diri pada ajaran agama beranggapan bahwa pemilihan presiden, urusan pemerintahan negara adalah urusan laki-laki. Revolusi Industri belum memasuki Amerika, sehingga banyak masyarakat memiliki mata pencaharian bercocok tanam, maupun home industri kecil-kecilan. Baik laki-laki maupun perempuan memegang peran sebagai ‘breadwinner’ alias pencari nafkah.
Di awal abad 18, Revolusi Industri mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat Amerika. Dengan berdirinya banyak pabrik, kaum laki-laki mulai meninggalkan rumah untuk bekerja, mendapatkan uang. Merasa bersalah karena telah berubah menjadi kaum materialistis, dan mulai meninggalkan kehidupan relijiusitas yang cukup tinggi, seperti para pendahulu mereka di abad-abad sebelumnya, kaum laki-laki memasrahkan peran untuk menjaga kerelijiusan ini pada pundak kaum perempuan. Selain itu juga kaum perempuan masih bertanggungjawab untuk melanjutkan home industry yang telah mereka lakukan sejak abad sebelumnya.
Sebagai sesama pencari nafkah, kaum perempuan pada waktu itu seharusnya merasa setara dengan kaum laki-laki. Namun karena mereka tidak dilibatkan dalam kehidupan bernegara—dengan ikut memilih pada Pemilu—kaum perempuan memperjuangkan kesetaraan dalam Pemilu ini. Mereka bekerja sama dengan para pejuang abolisionis, karena kaum kulit hitam dianggap warga negara paling hina. Praktek perbudakan yang telah dilakukan selama kurang lebih dua abad menunjukkan betapa kaum kulit hitam dianggap jauh di bawah kaum kulit putih.
Sementara ini, pihak gereja yang merasa bertanggungjawab untuk menjaga kerelijiusitas negara, mencetuskan ‘the Cult of True Womanhood’; agar kaum perempuan tidak ikut-ikutan meninggalkan rumah untuk bekerja di pabrik-pabrik yang banyak bermunculan setelah Revolusi Industri. Seorang perempuan adalah seorang perempuan sejati jika dia memiliki sifat ‘pious’ (relijius), ‘pure’ (suci), ‘submissive’ (mengalah), dan ‘domestic’ (tinggal di rumah).
Kaum perempuan Amerika akhirnya mendapatkan hak pilih pada tahun 1920, setelah berjuang selama kurang lebih tujuhpuluh tahun.
Merasa telah mendapatkan apa yang mereka perjuangkan selama tujuh dekade, hal ini membuat semangat para pejuang perempuan melemah.
Perang Dunia kedua membuat banyak kaum laki-laki harus berangkat perang. Hal ini tentu membuat banyak pabrik kehilangan pekerja. Untuk mengisi kekosongan ini, kaum perempuan pun dipekerjakan. Namun tak lama kemudian, kaum perempuan didepak lagi, setelah Perang Dunia usai. Perempuan kembali lagi ‘dikurung’ di rumah, menjadi ‘the angel of the house’, penjaga kerelijiusan rumah tangga.
Hal ini membuat para perempuan yang kritis dan intelektual seperti Betty Friedan bertanya, “setelah menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, lalu bagaimana?” Mereka tidak ingin terus menerus dikurung di dalam rumah.
Cara perempuan memandang kesetaraan dengan kaum laki-laki pun bergeser, tidak cukup hanya dengan mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Mereka pun ingin dengan bebas memilih karir di luar rumah.
Simone de Beauvoir dengan buku fenomenalnya ‘The Second Sex’ memberi inspirasi kepada para pejuang gerakan perempuan bahwa agar tidak menjadi ‘the second sex’, perempuan harus menjadi seperti laki-laki, mulai dari cara berpikir, berpakaian (agar tampak maskulin), bertingkah laku, dll. Itu sebab banyak ditemukan pejuang perempuan di dekade 1960-an berpakaian ala laki-laki. Perempuan harus menjadi seperti laki-laki, agar setara.
Seiring waktu berjalan, para pejuang perempuan menemukan inti utama kesetaraan perempuan dan laki-laki, yakni kontrol pada diri sendiri, pada cara berpikir, dan tubuh. Seorang perempuan memiliki hak penuh untuk mengatur hidupnya sendiri, tanpa kontrol dari orang lain—misal sang ayah, suami, atau saudara laki-laki. Masyarakat tidak berhak memaksa seorang perempuan untuk berkarir di rumah maupun di ranah publik; perempuan berhak untuk memilih tampil feminin maupun maskulin, perempuan memiliki hak penuh untuk memilih berkarir ataupun menjadi ibu rumah tangga, untuk menikah atau melajang seumur hidup, dll. Prinsip yang paling penting di sini adalah perempuan menentukan pilihannya sendiri. Di awal kemunculannya gerakan perempuan tahap ketiga ini sempat dituduh sebagai ‘anti feminisme’, namun hal ini hanyalah kesalahpahaman belaka.
Jika mengacu ke ‘the cult of true womanhood’, perempuan tetaplah menjadi perempuan ‘sejati’ dengan memilih untuk menjadi apapun, tanpa dibatasi keempat prinsip utamanya; piety, purity, submissiveness, domesticity. Tidak ada perempuan yang lebih sejati daripada perempuan lain hanya karena hal-hal sepele.
Tak ada satu pun yang tidak berubah dalam hidup ini karena hukum alam lah yang mengatakan bahwa perubahan selalu terjadi seiring waktu berjalan. Demikian pula dalam gerakan perempuan.
Nana Podungge
PT56 09.59 010209
(terjemahan postingan "Feminism", bisa diakses di
http://afeministblog.blogspot.com/2008/12/feminism.html )

Pelecehan Seksual

Apakah pelecehan seksual itu?

Pelecehan seksual adalah suatu pelecehan yang berhubungan dengan tindakan seksual yang dilakukan oleh seseorang, atau sekelompok orang, kepada orang lain, sehingga orang tersebut merasa direndahkan, muak, jijik, dan tentu saja terluka. Tindakan seksual ini tidak dikategorikan pelecehan jika kedua belah pihak menikmatinya.

Hari Sabtu 6 Desember 2008 aku mengajak salah satu kelas yang kuampu untuk menonton film NORTH COUNTRY. Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi kepada seorang perempuan bernama Josey Aimes yang bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. (Akan kutulis resensi film ini di post yang lain.)

Pada pertemuan hari itu, ada delapan mahasiswa yang hadir, semua perempuan; enam dari mereka kuliah di Fakultas Teknik (yang biasanya lebih banyak memiliki mahasiswa berjenis kelamin laki-laki), satu kuliah di Fakultas Ekonomi, dan satu lagi kuliah di Fakultas Kedokteran. Berkebalikan dengan Fakultas Teknik, di kedua fakultas yang kusebut belakangan lebih banyak memiliki mahasiswa perempuan daripada laki-laki.

Topik dalam film NORTH COUNTRY merupakan topik yang sangat menarik bagi delapan mahasiswa tersebut karena film ini menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang bekerja di bidang pekerjaan yang umumnya digeluti oleh laki-laki, dan semua mahasiswaku perempuan. Tidak heran jika kedelapan mahasiswa itu langsung tertarik pada kisah tersebut.

Setelah selesai menonton film, aku bertanya kepada keenam mahasiswa yang kuliah di Fakultas Teknik. “Karena kalian kuliah di jurusan dimana kebanyakan mahasiswa berjenis laki-laki, apakah kalian pun mengalami pelecehan seksual, seperti yang dialami oleh Josey Aimes, sang lakon utama film NORTH COUNTRY?”

Well, sebenarnya aku sendiri yakin bahwa Indonesia bukanlah negara dimana para penduduk perempuan perlu senantiasa merasa selalu terancam akan mengalami pelecehan seksual, seperti dalam film tersebut. (Itu sebabnya aku MENOLAK UU APP yang menurutku justru menuduh laki-laki akan selalu tidak mampu menahan nafsu tatkala melihat seorang perempuan yang ‘kebetulan’ berpakaian sedikit terbuka (misalnya), UU APP juga membuat perempuan rentan dituduh menjadi kriminal; misal saja tatkala seorang perempuan terpaksa menyusui bayinya di tempat umum, karena sang bayi perlu disusui karena lapar maupun haus; sang ibu yang malang ini bisa saja dikenai hukuman berdasarkan UU APP dengan tuduhan, “memamerkan bagian tubuh yang seksi, sehingga dikhawatirkan membangkitkan nafsu laki-laki yang melihatnya”.) Aku tidak heran tatkala para mahasiswa itu mengatakan mereka tidak pernah mengalami pelecehan seksual dari teman-teman kuliah mereka, meskipun mereka termasuk kelompok minoritas. Bahkan ada kecenderungan para mahasiswa laki-laki itu untuk melindungi para mahasiswa perempuan. Misal: tatkala mereka mengerjakan tugas kuliah bersama-sama sampai larut malam, yang laki-laki merasa bertanggungjawab untuk mengantar pulang yang perempuan ke rumah atau kos masing-masing, dan tidak membiarkan mereka pulang sendiri. Akan tetapi, setelah beberapa waktu berlalu, dan mereka tak lagi merasa ada ‘hambatan’ dikarenakan jenis kelamin yang berbeda (menurut bahasa mereka, ‘lupa bahwa mereka berjenis kelamin perempuan’), mereka tak lagi mendapat perlakuan bak ‘porselin’. LOL.

Dua mahasiswa yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan Kedokteran mengatakan meskipun lebih banyak perempuan yang kuliah di kedua fakultas tersebut, hal ini tidak berarti laki-laki menjadi kelompok minoritas.

“Bagaimana kalau di komunitas dimana laki-laki termasuk kelompok minoritas, para perempuan gantian melakukan pelecehan seksual kepada mereka?” iseng kulontarkan ide seperti ini kepada mereka.

Secara spontan di wajah-wajah mereka terpasang mimik jijik. LOL.

“Wah, mereka ga bakal merasa terlecehkan, Ma’am. Bahkan mereka justru akan menikmatinya!” salah satu dari mereka berkata dengan suara nyaring. LOL.

Kemudian aku bercerita kepada mereka pengalamanku naik bus dari Jogja ke Semarang beberapa tahun yang lalu. Aku duduk di samping seorang laki-laki yang mungkin berusia menjelang tigapuluh tahun. Aku tidak begitu ingat kita waktu itu ngobrol tentang apa, tatkala tiba-tiba dia nyeletuk,

“Zaman sekarang ini, dikarenakan ideologi feminisme, kaum perempuan sudah banyak lupa keperempuanan mereka.”

Sebagai seorang feminis, aku langsung melengak keheranan mendengar pernyataan yang entah datang darimana itu.

“Maksudmu kaum perempuan lupa keperempuanan mereka itu yang bagaimana? Lupa ‘kodrat’ mereka sebagai perempuan? Kalau iya, ‘kodrat’ yang mana yang kamu maksud?” tanyaku, tidak terima. LOL.

Sayangnya dia tidak memberiku jawaban yang memuaskan. Malah dia dengan sekenanya berkata,

“Jika tiba waktunya perempuan memperkosa laki-laki, aku akan dengan senang hati menawarkan diri untuk diperkosa.”

Pede, eh? LOL.

Sontak aku langsung menoleh ke arahnya, agar bisa memandangnya dengan lebih jelas (sebelum itu aku selalu memandang ke arah depan, atau ke arah jendela, kebetulan aku duduk di samping jendela, dan bukan ke arahnya, meskipun aku sedang ngobrol dengannya). Kemudian aku berkata dalam hati, karena dia tidak memenuhi kriteriaku, LOL,

“Jika waktunya tiba aku ingin memperkosa seorang laki-laki, kamu tidak masuk perhitunganku.”

Wakakakaka ...

Namun kepadanya aku berkata, setelah tersenyum tipis,

“Jika tindakan seksual itu dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak, itu namanya bukan perkosaan, maupun pelecehan. Namun seks atas dasar suka sama suka.”

Para mahasiswaku langsung tertawa mendengarnya. Kemudian salah satu dari mereka berkomentar,

“Itulah sebabnya, Ma’am, kita ga bakal mau melakukan tindakan pelecehan seksual kepada teman-teman laki-laki kita. Mereka malah bakal senang menerimanya.”

Tentu mereka belum pernah menonton film “Indecent Proposal” dimana ada seorang perempuan melecehkan seorang laki-laki secara seksual, dan sang laki-laki merasa tidak nyaman karenanya. Aku juga kemudian bercerita kepada mereka pengalaman seorang ‘online buddy’ku (laki-laki) yang dilecehkan secara seksual oleh keponakan (perempuan) bosnya. Pada hari yang sama dia mendapatkan pelecehan seksual itu, dia langsung mengundurkan diri dari perusahaan yang cukup ternama di zaman Orde Baru itu. Peristiwa ini menunjukkan bahwa laki-laki pun rentan pada pelecehan seksual yang dilakukan oleh perempuan. (Pelecehan yang dilakukan oleh kaum ‘waria’ atau ‘homo’ tentu beda lagi. Atau sebaliknya, pelecehan yang dilakukan kaum ‘straight’ kepada para ‘waria’ atau ‘homo’.)

Kesimpulannya adalah pelecehan seksual bisa terjadi kepada siapa saja, laki-laki maupun perempuan, dilakukan oleh lawan jenis mereka. Biasanya dalam kultur patriarkal, laki-laki melecehkan perempuan; atau perempuan yang memiliki kelas sosial lebih tinggi melakukannya kepada laki-laki yang ada di bawah mereka.

Nana Podungge

PT56 21.26 310109

(terjemahan postingan “Sexual Harassment” bisa diakses di http://afeministblog.blogspot.com/2008/12/sexual-harassment.html )