Sabtu, Juli 17, 2010

Hermenetik - Teori Interpretasi




‘Hermeneutics’ adalah studi teori interpretasi; bisa jadi seni interpretasi maupun praktek interpretasi. Traditional hermeneutics -- dimana Biblical hermeneutics termasuk di dalamnya – mengacu ke studi interpretasi teks-teks tertulis, terutama di bidang kesusastraan, agama, dan hukum. Modern hermeneutics melingkupi tidak hanya teks-teks tertulis, namun segala sesuatu yang mengalami proses diinterpretasi. Hal ini termasuk komunikasi verbal dan non verbal. Ketika kita membaca sesuatu, kita akan mendapatkan sebuah interpretasi. Ketika membacanya kembali, akan selalu mungkin terjadi bahwa kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam lagi dimana akhirnya akan membawa kita ke sebuah interpretasi yang jauh lebih menyeluruh. Tatkala kita sampai ke interpretasi yang menyeluruh ini, sangatlah mungkin bahwa hasil interpretasi tersebut dipengaruhi oleh apa yang kita simpan dalam otak maupun memori kita: bacaan-bacaan yang telah kita baca, interpretasi-intepretasi yang kita hasilkan sendiri dari kegiatan membaca atau mengamati segala hal yang terjadi di sekitar kita, pengalaman kita sendiri maupun pengalaman orang lain yang kita dengar atau lihat, dll. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian muncullah pertanyaan: adakah suatu interpretasi yang objektif, lepas dari segala yang telah kita simpan dalam otak maupun memori kita, lepas dari segala indoktrinasi yang telah dia terima sepanjang hidupnya, juga lepas dari segala pengalaman hidupnya. Tentu saja jawabannya adalah TIDAK.

Dalam bidang kesusastraan, teori hermeneutics ini tentu sangat mendukung adanya multi-interpretasi dari sebuah karya sastra. Apalagi dengan sangat luwesnya sebuah karya sastra dianalisis, tergantung teori mana yang kita gunakan, mulai dari teori klasik yang diajukan oleh Aristotle – expressive theory: berdasarkan pemikiran pengarang; pragmatic theory: berdasarkan pemikiran pembaca; mimetic theory: pemikiran bahwa karya sastra merupakan tiruan apa yang terjadi di masyarakat; dan objective theory: teori yang berdasarkan semata-mata pada karya sastra itu sendiri – sampai ke teori-teori sastra yang lebih modern, seperti Historical & Biographical Criticism, New Criticism, Russian Formalism, Structuralism, sampai ke Marxism, Feminism, Reader-Response Theory, Deconstruction, Psychoanalytic Criticism, Postcolonialism, etc. Dengan pemaparan yang sangat kuat, berdasarkan teori yang kita pilih, hampir tidak mustahil kita bisa menghasilkan interpretasi apa pun yang kita ingini. Bahkan, dengan teori The Death of the Author milik Roland Barthes, seorang kritikus sastra bisa menafikan keberadaan seorang pengarang di balik karya sastra yang dihasilkannya. ”The essential meaning of a work depends on the impressions of the reader, rather than the “passions” or “tastes” of the writer, “a text’s unity lies not in its origins, or its creator”, but in “its destination” or it audience.”

Dalam ranah spiritualitas, hal ini pun berlaku. ‘Kedewasaan’ spiritualitas seseorang tentu amatlah ditentukan oleh seberapa banyak seseorang membaca, seberapa banyak variasi bahan bacaannya, seberapa banyak seseorang mengalami ‘guncangan-guncangan’ spiritualitas, yang bisa jadi disebabkan oleh pengalaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman spiritualitas yang berbeda, bahkan mungkin kontradiktif, kesediaan diri untuk membuka otak dan mata hati bahwa tidak ada interpretasi tunggal dalam memahami Kitab Suci, (contoh yang paling ‘mudah’ dalam hal ini misalnya pemahaman seseorang atas ayat ‘lakum dinukum waliyadin’ bisa jadi menghasilkan interpretasi yang berbeda dengan orang lain, yang disebabkan oleh pengalaman spiritualitas yang berbeda). Maka, tidaklah mengherankan jika seorang Amina Wadud berani mengutarakan pendapatnya bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat, meski ditentang oleh banyak ulama; seorang Irshad Manji dengan berani mengaku sebagai seorang lesbian padahal dia adalah seorang Islam scholar; seorantg Siti Musdah Mulia membolehkan seorang perempuan Muslim untuk menikah dengan lelaki non Muslim, dlsb. Pengalaman spiritualitas yang berbeda, didukung dengan teori hermeneutics tatkala menafsirkan suatu ayat sangat memungkinkan hal ini terjadi.


Untuk mengakhiri tulisan ini, yang paling penting adalah menghormati pendapat orang lain, tidak serta merta menghakimi pendapat orang lain salah tanpa berusaha memahami mengapa seseorang berpendapat seperti itu terlebih dahulu, juga tanpa bersifat oppressive terhadap sebuah komunitas yang mungkin merupakan sekelompok minoritas. Mari kita ciptakan dunia yang lebih aman, tentram, dan damai.


Nana Podungge


PT56 21.45 160710

72 komentar:

  1. sEBAIKNYA ANDA PERLU MENYIMAK BUKU FENOMENOLGI TAFSIRNYA ,ANDA AKAN TAHU APA SEBAB-SEBAB DILARANGNYA ...TKS

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas komentar dan sarannya :)

      btw, buku fenomenologi tafsir yang anda sebutkan disini juga merupakan tafsir manusia biasa bukan? semua manusia berhak untuk membuat tafsir bukan? termasuk apa yang saya tulis di postingan ini. :)

      Salam :)

      Hapus
    2. I love your "Untuk mengakhiri tulisan ini, yang paling penting adalah........."
      Absolutely Na.

      And a rat in a hole trying to teach you from things he has seen in it the whole life. Thinking the hole is the world....

      Hapus
  2. Suatu pemikiran yang menafsirkan sesuatu selalu melalui sebuah informasi tertentu yang diperolehnya. Kalau saya mengedanpankan sebuah informasi apa adanya dari surah-surah sebagai sebuah FENOMENA maka itu bisa anda saksikan dan lihat sendiri ,yaitu fenomena-fenomena yang akan kami sajikan sebagai interpetasi dari informasi Al-Qur'an Surah Az-Zumar 23 . Buku ini sebagai teori yang dapat digunakan bagaimana cara menafsirkan ayat-ayat itu. Tujuannya menerangkan dari adanya sebuah informasi yang kemudian menggambarkan sedekat mungkin apa yang dikandung oleh ayat-ayat dari informasi QS.AZ-ZUMAR 23 tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sangat menarik :)

      meskipun begitu, kembali ke tulisan saya di atas, pengalaman spiritual seseorang dengan orang lain tentu berbeda, tidak melulu berhenti dari bacaan-bacaan yang dibaca, apalagi jika kemudian berhenti pada satu sudut pandang saja.

      seperti yang saya tulis di paragraf terakhir, dalam hidup hablum minannas, yang paling penting adalah saling menghormati satu sama lain. sedangkan dalam tataran hablum minallah, itu adalah ranah pribadi masing-masing setiap orang dengan the so-called god.

      Salam :)

      Hapus
  3. Pemikiran yang menafsirkan sesuatu selalu melalui sebuah informasi tertentu yang diperolehnya. Kalau saya mengedepankan sebuah informasi apa adanya dari surah-surah sebagai sebuah FENOMENA maka itu bisa anda saksikan dan lihat sendiri ,yaitu fenomena-fenomena yang akan kami sajikan sebagai interpretasi dari informasi Al-Qur'an Surah Az-Zumar 23 . Buku ini sebagai teori yang dapat digunakan bagaimana cara menafsirkan ayat-ayat itu Tujuannya adalah menerangkan dari adanya sebuah informasi yang kemudian menggambarkan sedekat mungkin apa yang dikandung oleh ayat-ayat dari informasi QS.AZ-ZUMAR 23 tersebut...(*Ralat)

    BalasHapus
  4. Sebaik apapun sebuah interpretasi adalah sebuah jalan yang dapat ditelusuri. Dengan demikian akan senantiasa dipikirkan bagaimana cara menggambarkan sesuatu yang akan mengungkapnya sebagai objektifitas yang digunakan LEBIH DARI SEKEDAR menyampaikan informasi tetentu. Maka tingkat objektifitas inilah yang akan menguak strategi fenomenologi untuk menghindari subjektifitas dalam interpretasi. Ok coba anda bayangkan kalo kajian dalam fenomenologi sosial yang tentu dikaitkan dengan sosok fenomena kehidupan orang-orang tertentu maka kajian kali ini dari sisi ayat-ayat Al-Qur'an yang terkandung sebagai informasi yang akan di interpretasikan dari QS.AZ-ZUMAR 23. kALO aL-Qur'an mengatakannya sebagai ayat-ayat yang serupa TENTU ITU ARTINYA 'ayat itu dengan seluruh substansi yang ada memiliki makna yang tersendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda mengatakan:
      "Sebaik apapun sebuah interpretasi adalah sebuah jalan yang dapat ditelusuri. Dengan demikian akan senantiasa dipikirkan bagaimana cara menggambarkan sesuatu yang akan mengungkapnya sebagai objektifitas yang digunakan LEBIH DARI SEKEDAR menyampaikan informasi tetentu."

      Jawaban saya:
      apakah ada dari kalimat yang saya tulis di postingan ini yang mengatakan bahwa sebuah interpretasi tidak dapat ditelusuri?

      Anda mengatakan:
      " ... tingkat objektifitas ..."

      Jawaban saya:
      bisakah anda memberi contoh objektifitas yang dihasilkan oleh sebuah kajian yang menggunakan teori hermenetik?

      Hapus
  5. Nah ,jadi sebuah interpretasi tidak dapat menerangkan keistimewaan teks kecuali jika itu sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh si 'pengarang'-(Al-Qur'an).Kita aakn kembali kepada sbuah interpretasi ,keistimewaan isi ayat Al-Qur'an selanjutnya merupakan suatu bukti untuk interpretasi ketika hanya dan kalu hanya keistimewaan-keistimewaan itu adalah bukti mengenenai maksud si pengarang tadi yaitu Al-Qur'an (QS.AZ-ZUMAR 23).bAHWA AYAT-AYAT YANG SERUPA ITU ARTINYA 'TIDAK SAMA' atau memiliki substansi makna tersendiri.Bukti itu akan ada dalam kajian kami dalam teks interpretasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisakah anda menggunakan kalimat yang lebih mudah dipahami? dan tidak 'mbulet'?

      terima kasih

      Hapus
  6. Interpretasi tidak dapat menerangkan keistimewaan isi yang akan menjadi bahan buktinya ,kecuali jika itu sebuah pernyataan mengenai maksud si 'pengarang' (Al-Qur'an menyatakannya sendiri bahwa 'ayat-ayat nya 'serupa lagi berulang-ulang).
    oleh karena teori apapapun dalam sebuah interpretasi sejauh di dalam daya tarik implisit 'pengarang' ia dituntut agar dapat membuktikan bahwa keistimewaan isi adalah bukti untuk suatu interpretasi hanya dan kalau hanya keistimewaan-keistimewaan itu adalah bukti mengenai maksud si pengarang .

    Telah banyak teori mengenai interpretasi bermunculan ,tapi tidak sedikit suatu informasi (mengenai maksud pengarang) yang tidak dinyatakan oleh si pengarang yang mana akan menjadi sumber interpretasinya.

    BalasHapus
  7. Saudara nana ,sebut dari blogger...apakah sebuah interpretasi selalu identik dengan informasi ? jawaban kami adalah ya , sebab tanpa informasi apapun yang akan digambarkan pada sumber interpretasinya masih mungkin bisa mendekatinya ,yaitu dengan berbagai teori yang digunakan. Nah kalau teori yang akan digunakan adalah suatu usaha menjelaskan fakta dengan analasis atau menjelaskan masalah dengan permasalahan ,maka interpretasi yang menafsirkan kata/teks dari suatu sumber baginya dituntut setidaknya menggambarkan kesan pertama yang akan mengungkap maksud pengarangnya dari suatu informasi. Interpretasi jatuh bersama dalam kenyataan (identik) dengan informasi dan bertugas menggambarkan 'cara' yang akan digunakan sehingga lebih dari sekedar menyampaikan sebuah informasi .Interpretasi harus berhasil membuat suatu 'cara' bahwa keistimewaan dari pengungkapannya adalah bukti dari keistimewaan mengenai arti yang dimaksudkan 'pengarangnya'.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda menyebutkan:
      " ... apakah sebuah interpretasi selalu identik dengan informasi ? jawaban kami adalah ya ..."

      Jawaban saya:
      apakah anda menemukan kalimat dari postingan saya yang mengatakan bahwa interpretasi bukanlah sebuah informasi? sehingga anda perlu mengatakan hal seperti itu?

      Hapus
    2. Informasi tidaklah sama dengan interpretasi ,tetapi identik (jatuh bersama dalam kenyataan).Karena sebuah interpretasi akan memberikan bagaimana cara menyampaikan informasi tersebut -tanpa menyajikannya sebagai bentuk fakta-fakta yang asli ,tetapi dia mengujinya sebagai penafsiran dari bentuk persepsi menuju prediksi-prediksi .

      Hapus
  8. Hermeneutika adalah salah satu metode interpretasi . Hermeneutika merupakan upaya menjelaskan atau menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang abstrak ,belum terjelaskan maknanya. Sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar dan pembacanya. Keraguan ini adakalanya muncul ketika seseorang dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja keras melakukan kajian yang serius untuk menemukan sumber2 yang otentik serta pesan yang jelas. Nah sekilas gambaran tersebut menunjukkan bahwa interpretasi tidak dapat menunjukkan keistimewaan teks kecuali jika itu 'sebuah pernyataan' mengenai arti yang dimaksudkan pengarangnya. Sebuah pernyataan itulah yang akan menjadi pesan yang jelas serta sumber yang otentik untuk membangun sebuah cara yang dapat diandalkan atau tepat sebagai pengertian maupun penjelasan dari sebuah informasi yang dikajinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda mengatakan:
      "Hermeneutika adalah salah satu metode interpretasi . Hermeneutika merupakan upaya menjelaskan atau menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang abstrak ,belum terjelaskan maknanya."

      Jawaban saya:
      Saya juga berpikir begitu. namun, interpretasi yang kita hasilkan tidak akan mati di satu titik, karena segala sesuatu yang terjadi di kemudian hari, bisa jadi akan mengasilkan interpretasi baru. hal ini akan sangat mungkin terjadi lagi, lagi, dan lagi.

      anda mengatakan:
      " ... Keraguan ini adakalanya muncul ketika seseorang dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja keras melakukan kajian yang serius untuk menemukan sumber2 yang otentik serta pesan yang jelas. ..."

      Jawaban saya:
      menurut saya, tidak melulu harus berawal dari sebuah keraguan, karena sebuah teks bisa saja bersifat sangat dinamis, berdasarkan apa yang dipikirkan dan yang dipunyai di otak si pembaca, juga pengalaman-pengalaman hidupnya.

      Hapus
  9. Pada dasarnya interpretasi berarti tercapainya pemahaman yang benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari. Interpretasi bukanlah apa yang disampaikan kepada sekolompok sasaran akan tetapi bagaimana cara menyampaikan sebuah informasi tertentu kepada kelompok sasaran. Informasi itu menjadi identik dengan keistimewaan teks yang akan diterangkan oleh suatu interpretasi.Maka dari keistimewaan teks/isi inilah olehnya dijadikan bukti dibalik 'sebuah pernyataan'apa yang dimaksudkan oleh pengarang (QS.Az-Zumar)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda mengatakan:
      "Pada dasarnya interpretasi berarti tercapainya pemahaman yang benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari."

      Jawab saya:
      Sejak awal saya sudah merasa bahwa meski kita berangkat dari teori yang sama, pemahaman teori yang sama, namun kita mengacu ke sebuah konklusi yang berbeda.

      Saya tetap yakin bahwa 'pemahaman yang benar' itu tidak bersifat statis, melainkan dinamis, berdasarkan beberapa faktor, misal zaman yang sudah berubah, bahkan jika zaman masih sama, seorang pembaca fenomena bisa jadi mengalami hal-hal yang memperkaya pengetahuan dan pengalamannya, hingga hal-hal ini bisa membuatnya menghasilkan pemahaman yang berbeda, meski dari sebuah fenomena yang sama.

      Maka, kembali ke apa yang saya tulis dalam post ini -- yang nampaknya benar-benar anda abaikan -- bahwa interpretasi apa pun atas sebuah fenomena maupun 'bacaan' itu sah-sah saja, ASAL tidak merugikan kelompok yang lain.

      Dan, penulisan post ini tidak hanya berangkat dari sebuah teori hermenetik saja -- misal seperti anda yang kukuh untuk berangkat dari QS Az-Zumar -- namun merupakan rangkuman dari beberapa teoritikus.

      Anyway terima kasih atas kesedian anda berulang-ulang kembali ke post ini. :)

      Saya baru berkesempatan berkunjung ke blog anda yang nampaknya anda tulis untuk promosi buku yang anda tulis ya? Well, semoga laris deh bukunya. :)

      Salam.

      Hapus
    2. Sejauh mana kemendesakan suatu interpretasi harus ditelaah menurut kami itu akan kembali kepada faktanya sejauh mana dimungkinkan baginya bersumber pada fakta yang murni -yang identik dengan 'diri sendiri'- hingga sumber itupun menjadi tidak dapat diganggu gugat untuk menetapkan karya pada posisi /efek tertentu. Nah yang 'dikatakan'(QS.AZ-ZUMAR) bergantung pada kemampuan kita merekonstruksi Fenomena Surah Al-Qur'an dimana karya itu sendiri menjadi 'jawabannya' (Fenomenologi Tafsir).Sebab karya itu juga adalah sebuah dialog dengan sejarahnya sendiri ,maka ayat-ayat Al-Qur'an sebagai Kitab suci memberikan semacam 'jalan' membuktikan segala sesuatu tentang kebenarannya disegala ruang dan waktu didalam sejarah yang pernah ada ini yang dengannya Kitab suci ini dapat berdialog dengan segenap masa bahkan untuk kehidupan-kehidupan mendatang .

      kami menyediakan bagi anda jawaban yang pernah anda nantikan-nantikan seputar hukum-hukum syi'ar islam didalam Al-Qur'an menggunakan 'Teks Interpretasi dari fenomena Surah ayat-ayat Al-Qur'an.Tentukan satu langkah anda didalam seribu jalan menuju 'Keajaibannya' dari-nya .

      Hapus
  10. kami menyediakan bagi anda jawaban yang pernah anda nantikan-nantikan seputar hukum-hukum syi'ar islam didalam Al-Qur'an menggunakan 'Teks Interpretasi dari fenomena Surah ayat-ayat Al-Qur'an.Tentukan satu langkah anda didalam seribu jalan menuju 'Keajaibannya' dari-nya .

    BalasHapus
    Balasan
    1. :)

      saya persilakan anda mempromosikan buku anda di blog saya ini :)

      Hapus
  11. 'Keyword' yang dimasukkan adalah 'Teks' didalam interpretasi. Sehingga terbukalah arti dari apa yang dimaksudkan oleh seorang pengarang dibalik naskah/karya.apalagi Jujur semua ini berangkat dari semua cakrawala pemikiran pembaca terhadap tindakan-tindakan didalamnya yang akan menentukan sebagai apa yang disebut transformasi ketika pengarang memasukkan makna .Maka kemudian pembaca meletakkan signifikasi sebagai yang disebut 'Mengakses makna' ke maksud pengarang.

    Teori resepsi juga memungkinkan bahwa kepastian yang menetapkan teks dalam sebuah makna dapat mengakses ke maksud pengarangnya bila makna -sesuai dengan pendapat Hirsch -berangkat dari fakta yang murni /solid ,identik dengan 'diri sendiri'.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebuah quote dari Emerson yang selalu saya imani sebagai berikut:

      A foolish consistency is the hobgoblin of little minds, adored by little statesmen and philosophers and divines. With consistency a great soul has simply nothing to do. He may as well concern himself with his shadow on the wall. Speak what you think now in hard words, and tomorrow speak what tomorrow thinks in hard words again, though it contradict every thing you said to-day. ‘Ah, so you shall be sure to be misunderstood.’ Is it so bad, then, to be misunderstood? Pythagoras was misunderstood, and Socrates, and Jesus, and Luther, and Copernicus, and Galileo, and Newton, and every pure and wise spirit that ever took flesh. To be great is to be misunderstood.

      semoga anda memahaminya :)

      Hapus
    2. Terminologi yang saya gunakan didalam 'Menjawab antara lain :
      -Teori resepsi :serangkaian 'syarat' bagi pembaca untuk mengkonkritkan karya untuk menjadi fakta yang dinamis.
      -Teks interpretasi :serangkaian 'isyarat' bagi pembaca untuk membangun sederet bahasa menjadi makna yang statis.
      -Fenomena :'menampakkan diri' ,data sejauh dapat disadari atau masuk dalam pemahaman .Fenomena dan kesadaran adalah satu kesatuan yang identik.
      -fenomenologi :suatu cara untuk melihat kembali atau menuju pada benda itu sendiri ,memberi kesempatan pada mereka untuk berbicara 'mengungkapkan' dirinya sendiri sepenuhnya.

      Hapus
  12. sebagai suatu pedoman yang akan menjawab segala bentuk kontradiksi adalah langkah yang akan menanyakan sebab-sebabnya .Anda juga tidak akan bergerak dalam tempat dan ruang yang sama tetapi anda menggejala dalam ruang dan temapt yang berbeda .Disana ,dan dari sana fenomena ber'Bicara' seperti apa adanya. Menyentuh tiap kesadaran manusia yang sensitif ,pasih dan kontemplatif. Hampir tidak ada yang percaya bahwa petir yang menyambar disiang bolong adalah gejala alam yang pernah terjadi seribu atau sejuta tahun yang lalu. Seperti itulah fenomena ini ber'laku. Didalam pengungkapannya hampir semua manusia percaya bahwa petir tersebut bentuknya tidak jauh berbeda seperti garis-garis panjang berkelip cahaya(bukan seperti gumpalan-gumpalan laksaan awan).

    Kalau sebuah pemahaman yang konsisten terhadap gejala /fenomen tertentu pasti mereka menafsirkan terhadap sifat-sifat yang hampir sama sejauh yang memang kontemplatif dan sensitif dalam kesadaran terhadap fenomenanya ,senantiasa bersifat pasif menerima berbagai bentuk sejauh yang disadari secara spontan sebagai yang diluar kesadaran dirinya itu maupun yang merupakan sesuatu yang dihidupi secara keseluruhannya dalam kesadaran fenomena. So pastilah ada pemahaman yang menyatakan dalam sifat-sifat yang sama dari adanya kesadaran-kesadaran terhadap sebuah fenomena.

    BalasHapus
  13. Sekaligus yang menarik juga pernyataan derrida bahwa kemajuan dan proses kritik adalah sangat mungkin terhadap pemikiran tertentu yang terdapat atau mengendap dari sekian banyak dibalik tradisi pemikiran sebelumnya ,yaitu menampakkan aneka ragam aturan yang sebelumnya tersembunyi yang nantinya akan menentukan teks.Dia memang berseberangan dengan pandangan makna 'kehadiran' yang diikuti oleh fonosentrism.Titik pandang keduanya adalah tentang 'tanda' yang diwakilkan oleh tulisan yang mewakili ucapan suatu bahasa. Makna yang esensial mengenai apa yang dituliskan pada mulanya berbentuk petanda yang hadir mendahului penandanya ,kemudian dengan berbeda derrida memandang sebagai penanda-lah yang mendahului petanda dalam rangka yang menyangkut Makna.

    Derrida dari sudut pandangnya meneruskan bahwa jika menafsirkan suatu 'tanda' lisan ,harus mengenali bentuk yang stabil dan identitas tertentu bagaiamanapun tekanan ,nada ,ataupun distorsi2 -yang mungkin terlibat dalam ucapan.Disisi lain konsepsi logosentrism yang telah memandang dengan suatu rumus 'metafisika kehadiran' (dimana berseberangan dengannya) terlalu memandang subjek (petanda yang hadir sebagai asal realitas) dari suatu makna.

    Oleh karena 'makna' dapat muncul dari terapan kedua pandangan tersebut maka kami mengembalikan pada fenomenologi sebagai pendekatan suatu teks yang akan dapat dikatakan bermakna ketika dapat menjadi prasyarat bagi semua bentuk fenomenal.

    BalasHapus
  14. tidak ada 'penanda' yang transendental maupun ada ,bagi bentuk makna yang tetap /murni ketika disampaikan kepada oranglain ataupun tidak ,penunjuk dari bekas atau jejak penandaan ataupun realitas subjek petanda dalam substansi ,dekonstruksi ataupun kontruksivism semua memandang bahwa jarak fenomena-lah yang menetukan kualitas makna sesuatu yang dituliskan atau diucapkan sebagai apa yang diwakilkan dari suatu bahasa (essensial
    )maupun penggejala bahasa (substansial). Makna yang 'sebenarnya' terdapat pada 'kehidupan' fenomenanya.Fenomena yang 'sesungguhnya' akan terdapat pada 'kesadaran' sentuhannya.

    BalasHapus
  15. Yang memandang dari sudut-pandang pembaca melahirkan dekonstrksi 'derrida' ,teori resepsi ,dll
    yang memandang dari sudut-pandang penulis melahirkan logosentrism ,fonosentrism ,dll


    pada intinya Makna yang 'sebenarnya' terdapat pada 'kehidupan' Fenomenanya. Fenomena yang 'sesungguhnya' akan terdapat pada 'kesadaran' Sentuhannya.

    suatu cara 'Penyampaian'seorang penulis (+pembaca) dari sebuah karya yang dibacanya melahirkan 'hermeneutika' -salah satu metode interpretasinya.

    So. yang menjadi masalah adalah pada ruang lingkup variabel yang akan gunakan. Apakah sejauh ini bagi sebuah interpretasi tersebut telah berhasil 'menerangkan' apa yang dimaksudkan oleh si pengarang ,maka ditentukan pula dari sejauh mana seorang pengarangnya memberikan gambaran tentang maksud yang hendak disampaikan ,semacam 'evidens' fenomenal.

    BalasHapus
  16. Yang memandang dari sudut-pandang pembaca melahirkan dekonstrksi 'derrida' ,teori resepsi ,dll
    yang memandang dari sudut-pandang penulis melahirkan logosentrism ,fonosentrism ,dll


    pada intinya Makna yang 'sebenarnya' terdapat pada 'kehidupan' Fenomenanya. Fenomena yang 'sesungguhnya' akan terdapat pada 'kesadaran' Sentuhannya.

    suatu cara 'Penyampaian'seorang penulis (+pembaca) dari sebuah karya yang dibacanya melahirkan 'hermeneutika' -salah satu metode interpretasinya.

    So. yang menjadi masalah adalah pada ruang lingkup variabel yang akan gunakan. Apakah sejauh ini bagi sebuah interpretasi tersebut telah berhasil 'menerangkan' apa yang dimaksudkan oleh si pengarang ,maka ditentukan pula dari sejauh mana seorang pengarangnya memberikan gambaran tentang maksud yang hendak disampaikan ,semacam 'eviden' (evidence) fenomenal. (*ralat)

    BalasHapus
  17. seorang Irshad Manji dengan berani mengaku sebagai seorang lesbian padahal dia adalah seorang Islam scholar; atau seorang Siti Musdah Mulia ,atau seorang Amina Wadud adalah sosok manusia lemah dan tidakl berani memaprkan alasan secara objektif -interpretasi mereka sama sekali bukan andalan bagi suatu cara 'mengungkap' apa yang bisa mereka sampaikan kepada pembaca -khususnya umat islam -secara objektif menyeluruh dari apa pernah yang dibacanya . Sumber yang digunakan pun tidak dapat menjadikan pijakan universal yang lebih memandang sisi-sisi objektif tafsir. Toh merekalah jua dari pemikiran yang demikian adalah gejala yang menjadikan kesan subjektif tafsir yang tidak akan berujung penyelesaiannya. Disisi inilah Al-Qur'an dengan TEGAS Menyatakan dalam ayatnya bahwa dari ayat yang serupa dan berulang-ulang mengandung seluruh substansi makna yang dapat menjawab 'bagaimana sebuah tafsir dituntut secara objektif' menjembatani suatu pemikiran.

    BalasHapus
  18. Al-Qur'an menantang segenap umat manusia memakai delegasi akal dalam dirinya -tentu bukan tidak mungkin manusia akan menafsirkan sekehendak hatinya. Tetapi ada fenomena Surah Al-Qur'an yang akan menyentuh setiap kesadaran mereka yang mereka tidak ketahui sebelumnya. Inilah latar-belakang semua tafsir yang mereka gunakan akan bersifat subjektif.Maka dengan harapan baru dan kajian fenomenologi akan terungkap bagaimana semestinya objektifitas itu dapat dipenuhi dengan memandang pada 'kesadaran murni'( Melihat kembali kepada ayat Al-Qur'an ).So niscaya mungkin kita akan dapat menemukan seluruh substansi yang dinyatakan oleh QS.Az-Zumar 23 tersebut.(Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.QS.AZ-ZUMAR :23)

    BalasHapus
  19. menurut anda "bahwa tidak ada interpretasi tunggal dalam memahami Kitab Suci",.Menurut kami :bagaimana tidak mengherankan kalau seandainya Al-Qur'an tidak menyatakan sesuatu seperti didalam QS Az-Zumar 23 ,lantas mereka tidak tahu dibalik makna ayat-ayat itu dan bisa 'seenaknya' mereka menginterpretasikan Al-Qur'an .?Nah objektifitas itu ditawarkan sendiri didalam QS.Az-Zumar 23.Ayat Al-Qur'an benar-benar terjaga 'validitasnya' sehingga dia menyatakan bahwa ayat-ayatnya 'Serupa lagi berulang-ulang' .Kalau begitu berarti Ada 'jalan Pemahaman' yang digunakan untuk menilai objektifitas suatu interpretasi yang berpedoman pada objek ayat Al-Qur'an.

    Kaidah2 yang objektif selama inipun telah banyak digunakan menafsirkan Al-Qur'an ,tetapi suatu interpretasi lain lagi -inilah yang akan menerangkan keistimewaan fenomena surah Al-Qur'an secara implisit untuk dapat dinilai objektif. Sebuah 'pernyataan' kemudian merupakan suatu bukti untuk Interpretasi hanya dan kalau hanya keistimewaan isi interpretasinya merupakan bukti dari QS.Az-zumar:23-bahwa ayat-ayat Al-Qur'an itu berarti mengandung substansi makna secara keseluruhan yang 'tersendiri' dalam Surah-surahnya.

    Selama tidak kembali kepada jalan pemahaman terhadap fenomena surah Ayat Al-Qur'an ini ,maka selamanya interpretrasi tidak akan tahu bahkan mereka hanya terus akan menilai secara subjektif saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya mempercayai bahwa tidak pernah ada kebenaran yang absolut. ketika kita memaksakan suatu 'kebenaran' kepada pihak lain, itu bukan lagi sebuah 'kebenaran', melainkan telah menjadi pemaksaan atau pamer kekuasaan

      mari kita lanjutkan berbincang di alam akhirat nanti, mungkin pada waktu itu 'kebenaran' yang anda paksakan kepada saya akan terbukti: benar-benar merupakan satu kebenaran, ataukah pamer kekuasaan. :)

      Hapus
    2. Kekita berhadapan dengan 'kebenaran' maka yang terjadi adalah pertimbangan.Sebuah pertimbangan itu akan menguji kebenaran-kebenaran (jamak) sebagai suatu hal baru yang dapat diandalkan dalam akal dan perbuatan.Jadi kami bukan memandang suatu kebenaran yang absolut ,tetapi sebagai suatu pandangan yang akan menelaah pengalaman yang telah dijadikan dasar bagi suatu pemikiran -dimana pemikiran akan menjadi sasaran ilmu pengetahuan.

      Hapus
  20. Setelah ilmu pengetahuan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman ,dan pengalaman-pengalaman diklarifikasi oleh pemikiran-pemikiran ,akan diketahui suatu latarbelakang yang dapat membuktikan 'kebenaran' dapat digunakan dalam perbuatan.Kebenaran ini menjadi bersifat 'Baru' terus menerus dengan kondisi yang dapat berubah. Maka dari itu pengujian terus menerus terhadap suatu kebenaran menentukan tingkat kegunaannya -menghadapi segala pertimbangan yang ada. Oleh karenanya maka ketika 'Fenomena' berhasil diketahui lalu mengupayakan sebuah langkah pemikiran 'essensi' dari fenomena terhadap objek yang diamati -sesungguhnya ,kemudian mengembalikan pada subjeknya dalam kesadaran murni inilah suatu reduksi dalam FENOMENOLOGI sebagai menjawab arti pertimbangan-pertimbangan yang ada. Namun kita sekali lagi ditantang untuk menemukan 'FENOMEN' Yang sesungguhya untuk mendapatkan suatu 'kebenaran' (didalam interpretasi) tentang objek -Al-Qur'an seperti yang tersebut didalam QS.Az-Zumar :23.

    BalasHapus
  21. NB: Kalaupun Al-Qur'an dapat ditelaah dari sisi hermeneutika -metode yang memiliki sisi analisis tentang teks- maka sekali suatu interpretasi digunakan dituntut seterusnya 'mendudukkan-diri' pada fenomena ayat-ayat Al-Qur'an. Suatu kepastian bahwa Al-Qur'an dapat menawarkan 'kebenaran' yang terus menerus baru dapat dipertimbangkan kegunaannya terhadap semua perbuatan itu. Maka cara yang lain mendekati suatu fenomena dengan kajian yang objektif adalah mereduksi -pengalaman ,objek ,dan subjek- dalam kesadaran murni. Sebagai Salah-satu yang dapat diandalkan oleh 'FENOMENOLOGI' dalam menguji tingkat 'kebenaran' adalah 'fenomena yang sesungguhnya'(dari keberhasilan menemukan fenomena).

    BalasHapus
  22. NB: Kalaupun Al-Qur'an dapat ditelaah dari sisi hermeneutika -metode yang memiliki sisi analisis tentang teks- maka sekali suatu interpretasi digunakan dituntut seterusnya 'mendudukkan-diri' pada fenomena ayat-ayat Al-Qur'an. Suatu kepastian bahwa Al-Qur'an dapat menawarkan 'kebenaran' yang terus menerus baru -dapat dipertimbangkan kegunaannya terhadap semua akal dan perbuatan itu. Maka cara yang lain mendekati suatu fenomena dengan kajian yang objektif adalah mereduksi -pengalaman ,objek ,dan subjek- dalam kesadaran murni. Sebagai Salah-satu yang dapat diandalkan oleh 'FENOMENOLOGI' dalam menguji tingkat 'kebenaran' adalah 'fenomena yang sesungguhnya'(dari keberhasilan menemukan fenomena).*ralat

    BalasHapus
  23. yang sangat perlu anda perhatikan adalah hanya perbedaan antara Kebenaran objektif dan Objektifitas kebenaran. Yang bersifat absolut adalah objektifitas Kebenaran dan yang bersifat relatif (tidak absolut) adalah Kebenaran objektif. Maka yang kami pandang sebagai suatu pertimbangan dalam kajian kami adalah yang kedua. Ternyata Al-Qur'an memiliki Kebenaran objektif -senantiasa dihadapkan pada akal dan perbuatannya (konsep) sebagai informasi didalam menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baru ,dan sekaligus memiliki objektifitas Kebenaran -senantiasa dihadapkan pada akal dan perbuatan-perbuatan (resep) sebagai motivasi didalam menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru.*ralat

    BalasHapus
  24. antara OBJEKTIFITAS KEBENARAN dan KEBENARAN OBJEKTIF terdapat perbedaan. Yang bersifat relatif adalah Kebenaran objektif -senantiasa dihadapkan pada akal dan perbuatannya (konsep) sebagai informasi didalam menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baru . Pengalaman dapat berubah2 sehingga kebenaran dapat berkembang (bersifat berubah sesuai manfaat). Objektifitas Kebenaran bersifat absolut adanya -senantiasa dihadapkan pada akal dan perbuatan-perbuatan (resep) sebagai motivasi didalam menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru .Tidak dapat berubah walaupun pengalaman telah berubah (bersifat tetap sesuai dengan objektifikasi pemikiran).

    BalasHapus
    Balasan
    1. "antara OBJEKTIFITAS KEBENARAN dan KEBENARAN OBJEKTIF"

      seberapa yakin anda bahwa yang diakui oleh anda -- maupun orang lain -- sebagai objektif memang benar-benar objektif, lepas dari kepentingan dari pihak mana pun?

      itulah yang saya maksud dengan apa pun interpretasi yang kita hasilkan dari sebuah pembacaan, akhirnya di satu saat nanti akan bisa juga dianggap subjektif oleh orang lain yang memiliki pengalaman yang berbeda, menggunakan pisau kaji yang berbeda juga, beserta kacamata yang berbeda pula tentunya.

      maka ...

      kembali ke kesimpulan yang saya tulis di akhir post ini, bukankah sebaiknya kita saling menghargai satu sama lain, tidak menghakimi pihak lain, dan hidup bersama dengan damai?

      Salam.

      Hapus
    2. ‘Kedewasaan’ spiritualitas seseorang tentu amatlah ditentukan oleh seberapa banyak seseorang membaca, seberapa banyak variasi bahan bacaannya, seberapa banyak seseorang mengalami ‘guncangan-guncangan’ spiritualitas, yang bisa jadi disebabkan oleh pengalaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman spiritualitas yang berbeda, bahkan mungkin kontradiktif,,,
      Seyakin-yakin anda dengan kesadaran pengalaman adalah suatu tantangan bagi anda menemukan parameter akibat2 yang cukup berhasil sebagai perbuatan2 baru yang dipersiapkan oleh nilai pertimbangan. Agar dapat MEMBEDAKAN DISTINGSI kesadaran akal-sehat dan kesadaran pengalaman adalah dengan suatu peristiwa fenomenal yang dapat menyadarkan seseorang terhadap objek. Dengan berbekal kesadaran inilah seseorang akan mengetahui hakikat sesuatu hal dan tanpa tenggelam dalam "euforia" pengalaman-pengalaman subjektif.

      Hapus
  25. Persoalannya adalah bagaimana 'mengakomodasi' ruang-ruang kebenaran yang dijumpainya untuk melayani sikap perbuatan dan pengetahuan yang dimiliki Seseorang. Kadangkala seseorang hanya sekali saja menyaksikan sesuatu hal didepan kesadaran murni ,lalu meyakini suatu itu benar dengan nilai-nilai pertimbangan yang tergantung akibat2 atau keberhasilan2 perbuatan yang telah dipersiapkan dari sebuah pertimbangan. Sejauh ini manusia akan menyadarinya akal dan perbuatannya (konsep) sebagai informasi2 yang dikaji kebanyakan tafsir sebagai informasi yang seharusnya tidak bertentangan dengan kesadaran akal sehat (bukan kesadaran pengalaman-pengalaman). Secara keseluruhan dapat membentuk kebenaran objektif penafsiran kalau informasi tersebut benar-benar diterapkan secara menyeluruh.

    BalasHapus
  26. Kesadaran akal-sehat inilah dapat dikatakan 'pembuka' objektifitas pemikiran menuju ke kebenaran objektif. Suatu interpretasi sejauh yang menyadari hal ini telah ber-distingsi dengan akal sehat karena memandang kesadaran pengalaman saja. Seringkali interpretasi baru menjadi objektif dengan bantuan suatu informasi atau pernyataan tertentu (fenomenal)untuk dapat menerangkan segala sesuatu secara objektif.

    BalasHapus
  27. "Kedewasaan’ spiritualitas seseorang tentu amatlah ditentukan oleh seberapa banyak seseorang membaca, seberapa banyak variasi bahan bacaannya, seberapa banyak seseorang mengalami ‘guncangan-guncangan’ spiritualitas, yang bisa jadi disebabkan oleh pengalaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman spiritualitas yang berbeda, bahkan mungkin kontradiktif........."

    Seyakin-yakin anda dengan kesadaran pengalaman adalah suatu tantangan bagi anda menemukan parameter akibat2 yang cukup berhasil sebagai perbuatan2 baru yang dipersiapkan oleh nilai pertimbangan. Agar dapat MEMBEDAKAN DISTINGSI kesadaran akal-sehat dan kesadaran pengalaman adalah dengan suatu peristiwa fenomenal yang dapat menyadarkan seseorang terhadap Objek. Dengan berbekal kesadaran inilah seseorang akan mengetahui hakikat sesuatu hal dan tanpa tenggelam dalam "euforia" pengalaman-pengalaman subjektif dalam rangka menemukan objektifikasi pemikiran .*ralat

    BalasHapus
  28. Mendaki filsafat tidak akan melelahkan...Kesadaran akal-sehat berbentuk intensi2 atau intensionalitas, namun kesadaran pengalaman selalu membentuk objek intuitif. Segala sesuatu yang "di-isikan" terhadap objek adalah intensi2. Fenomen adalah realitas sendiri yang tampak apa adanya ,tanpa selubung yang memisahkan realitas itu. "Konstitusi" merupakan proses tampaknya fenomen kepada kesadaran.

    Berpandang pada kajian yang digunakan oleh fenomenologi ini sebenarnya ada korelasi antara kesadaran dan realitas. Dan ini memungkinkan bagi suatu interpetasi untuk mengisikan intensi-intensi yang ada agar dapat menerangkan sesuatu secara objektif.

    BalasHapus
  29. Untuk membedakan distingsi kebenaran objektif -yang relatif dengan objektifitas kebenaran -yang absolut itu hanyalah dengan mengembalikan pada struktur-struktur yang membentuk akibat-akibat dan sebab-sebab untuk mengukur tingkat keberhasilan yang dipersiapkan dari "nilai Pertimbangan" suatu perbuatan ataupun dari "nilai Perimbangan" suatu pengetahuan.

    Tingkat keberhasilan tersebut akan mengarahkan pada suatu penilaian kebenaran yang objektif apabila perbuatan-perbuatan mengakomodir secara baik "ruang-ruang" kebenaran yang dijumpai sebagai suatu nilai pertimbangan yang bermanfaat bagi hidup dan kemungkinan2 hidup untuk menghasilkan perbuatan yang "baru".

    Tingkat keberhasilan akan mengarahkan pada suatu penilaian objektifitas kebenaran apabila pengetahuan-pengetahuan mengakomodir secara tepat "relasi-relasi" kebenaran yang dijumpai sebagai satu nilai perimbangan yang berguna bagi hidup dan kemungkinan2 hidup untuk menghasilkan pengetahuan "baru"

    BalasHapus
  30. Untuk membedakan distingsi kebenaran objektif -yang relatif dengan objektifitas kebenaran -yang absolut itu hanyalah dengan mengembalikan pada struktur-struktur yang membentuk akibat-akibat dan sebab-sebab untuk mengukur tingkat keberhasilan yang dipersiapkan dari "nilai Pertimbangan" suatu perbuatan ataupun dari "nilai Perimbangan" suatu pengetahuan.

    Tingkat keberhasilan tersebut akan mengarahkan pada suatu penilaian kebenaran yang objektif apabila perbuatan-perbuatannya mengakomodir secara baik "ruang-ruang" kebenaran yang dijumpai sebagai suatu nilai pertimbangan yang bermanfaat bagi hidup dan kemungkinan2 hidup untuk menghasilkan perbuatan yang "baru".

    Tingkat keberhasilan akan mengarahkan pada suatu penilaian objektifitas kebenaran apabila pengetahuan-pengetahuannya mengakomodir secara tepat "relasi-relasi" kebenaran yang dijumpai sebagai satu nilai perimbangan yang berguna bagi hidup dan kemungkinan2 hidup untuk menghasilkan pengetahuan "baru".*ralat

    BalasHapus
  31. Implikasi filosofis dalam status pengetahuan segera dipertimbanngkan oleh penelitian untuk mengetahui bahwa ilmu pengetahuan diperoleh “bermuatan-nilai” . oleh karena itu sepenuhnya dapat diakui bahwa objektifitas tidak mampu dijelaskan dan sebaliknya sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif bermuatan-nilai maka seluruh ilmu pengetahuan adalah sementara atau relatif (kebenaran objektif). Sementara fenomenologi mengembalikan peran subjek dapat cenderung subjektif tapi setidaknya sekaligus dapat memadai terhadap pengetahuan yang murni objektif disebabkan relasi-relasi yang “memungkinkan“ antara subjek dan objek dibalik realitasnya. Fenomenolog memandangnya sebagai relaitas-relaitas yang objektif ,tapi juga bermuatan-nilai ketika relasi yang ada antara objek dan subjek itu tampak sebagai realitasnya.
    “Reduksi “ fenomenologi akan mencoba mewujudkan hasil-hasil bagaimana kesadaran menerima atau menangkap fenomen-fenomen apa adanya dari realitas fenomena. “intensionalitas” fenomenologi mencobanya mewujudkan hasil-hasil bagaimana fenomena menampakkan diri didepan kesadaran relasi-relasi subjek dan objek.
    Jadi kemampuan menghasilkan “objektifitas” didalam ilmu pengetahuan hanya dapat tergantung dari kuantitas realitas fenomena “didepan” yang tidak terbatas (ada). Dan tergantung pula kualitas relasi objek dan subjek “didepan” yang terbatas (pengada). Dengan demikian fenomenologi juga tidak mampu menjangkau gambaran semua fenomena dalam alam “yang tidak terbatas” maupun semua relasi objek dan subjek dalam dunia “yang terbatas” itu. Oleh karena itu Al-Qur’an menjangkau realitas fenomena didepan yang tidak terbatas tersebut dan “bisa” .Dan menyingkap pula relasi objek dan subjek didepan yang terbatas itu dan “benar”. Segala yang terbukti dari Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan maupun filsafat adalah sebagai “objektifitas” kebenarannya dan mencakup juga ilmu pengetahuan “yang bebas-nilai”( absolut) maupun “bermuatan-nilai”(relatif).

    BalasHapus
  32. Implikasi filosofis dalam status pengetahuan segera dipertimbanngkan oleh penelitian untuk mengetahui bahwa ilmu pengetahuan diperoleh “bermuatan-nilai” . oleh karena itu sepenuhnya dapat diakui bahwa objektifitas (yang bebas-nilai) tidak mampu dijelaskan dan sebaliknya sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif bermuatan-nilai maka seluruh ilmu pengetahuan adalah sementara atau relatif (kebenaran objektif). Sementara fenomenologi mengembalikan peran subjek dapat cenderung subjektif tapi setidaknya sekaligus dapat memadai terhadap pengetahuan yang murni objektif disebabkan relasi-relasi yang “memungkinkan“ antara subjek dan objek dibalik realitasnya. Fenomenolog memandangnya sebagai relaitas-relaitas yang objektif ,tapi juga bermuatan-nilai ketika relasi yang ada antara objek dan subjek itu tampak sebagai realitasnya.
    “Reduksi “ fenomenologi akan mencoba mewujudkan hasil-hasil bagaimana kesadaran menerima atau menangkap fenomen-fenomen apa adanya dari realitas fenomena. “intensionalitas” fenomenologi mencobanya mewujudkan hasil-hasil bagaimana fenomena menampakkan diri didepan kesadaran relasi-relasi subjek dan objek.
    Jadi kemampuan menghasilkan “objektifitas” didalam ilmu pengetahuan hanya dapat tergantung dari kuantitas realitas fenomena “didepan” yang tidak terbatas (ada). Dan tergantung pula kualitas relasi objek dan subjek “didepan” yang terbatas (pengada). Dengan demikian fenomenologi juga tidak mampu menjangkau gambaran semua fenomena dalam alam “yang tidak terbatas” maupun semua relasi objek dan subjek dalam dunia “yang terbatas” itu. Oleh karena itu Al-Qur’an menjangkau realitas fenomena didepan yang tidak terbatas tersebut dan “bisa” .Dan menyingkap pula relasi objek dan subjek didepan yang terbatas itu dan “benar”. Segala yang terbukti dari Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan maupun filsafat adalah sebagai “objektifitas” kebenarannya dan mencakup juga ilmu pengetahuan “yang bebas-nilai”( absolut) maupun “bermuatan-nilai”(relatif).*ralat

    BalasHapus
  33. Implikasi filosofis dalam status pengetahuan segera dipertimbanngkan oleh penelitian untuk mengetahui bahwa ilmu pengetahuan diperoleh “bermuatan-nilai” . oleh karena itu sepenuhnya dapat diakui bahwa objektifitas (yang bebas-nilai) tidak mampu dijelaskan dan sebaliknya sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif bermuatan-nilai maka seluruh ilmu pengetahuan adalah sementara atau relatif (kebenaran objektif). Sementara fenomenologi mengembalikan peran subjek dapat cenderung subjektif tapi setidaknya sekaligus dapat memadai terhadap pengetahuan yang murni objektif disebabkan relasi-relasi yang “memungkinkan“ antara subjek dan objek dibalik realitasnya. Fenomenolog memandangnya sebagai realitas-realitas yang objektif ,tapi juga bermuatan-nilai ketika relasi yang ada antara objek dan subjek itu tampak sebagai realitasnya.
    “Reduksi “ fenomenologi akan mencoba mewujudkan hasil-hasil bagaimana kesadaran menerima atau menangkap fenomen-fenomen apa adanya dari realitas fenomena. “intensionalitas” fenomenologi mencobanya mewujudkan hasil-hasil bagaimana fenomena menampakkan diri didepan kesadaran relasi-relasi subjek dan objek.
    Jadi kemampuan menghasilkan “objektifitas” didalam ilmu pengetahuan hanya tergantung dari kuantitas realitas fenomena “didepan” yang tidak terbatas (ada). Dan tergantung pula kualitas relasi objek dan subjek “didepan” yang terbatas (pengada). Dengan demikian fenomenologi juga akhirnya tidak mampu menjangkau gambaran SEMUA atau SEBAGIAN fenomena dalam “yang tidak terbatas” maupun semua relasi objek dan subjek dalam dunia “yang terbatas” itu (namun hanya sebagiannya). Oleh karena itu Al-Qur’an menjangkau realitas fenomena didepan yang tidak terbatas tersebut dan “bisa” .Dan menyingkap pula relasi objek dan subjek didepan yang terbatas itu dan “benar”. Segala yang terbukti dari Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan maupun filsafat adalah sebagai “objektifitas” kebenarannya dan satu-satunya sebagai yang mencakup juga ilmu pengetahuan “yang bebas-nilai”( absolut) maupun “bermuatan-nilai”(relatif).*ralat-ralat

    BalasHapus
  34. Implikasi filosofis dalam status pengetahuan segera dipertimbanngkan oleh penelitian untuk mengetahui bahwa ilmu pengetahuan diperoleh “bermuatan-nilai” . oleh karena itu sepenuhnya dapat diakui bahwa objektifitas (yang bebas-nilai) tidak mampu dijelaskan dan sebaliknya sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif bermuatan-nilai maka seluruh ilmu pengetahuan adalah sementara atau relatif (kebenaran objektif). Sementara fenomenologi mengembalikan peran subjek dapat cenderung subjektif tapi setidaknya sekaligus dapat memadai terhadap pengetahuan yang murni objektif disebabkan relasi-relasi yang “memungkinkan“ antara subjek dan objek dibalik realitasnya. Fenomenolog memandangnya sebagai realitas-realitas yang objektif ,tapi juga bermuatan-nilai ketika relasi yang ada antara objek dan subjek itu tampak sebagai realitasnya.
    “Reduksi “ fenomenologi akan mencoba mewujudkan hasil-hasil bagaimana kesadaran menerima atau menangkap fenomen-fenomen apa adanya dari realitas fenomena. “intensionalitas” fenomenologi mencobanya mewujudkan hasil-hasil bagaimana fenomena menampakkan diri didepan kesadaran relasi-relasi subjek dan objek.
    Jadi kemampuan menghasilkan “objektifitas” didalam ilmu pengetahuan hanya tergantung dari kuantitas realitas fenomena “didepan” yang tidak terbatas (ada). Dan tergantung pula kualitas relasi objek dan subjek “didepan” yang terbatas (pengada). Dengan demikian fenomenologi juga akhirnya tidak mampu menjangkau gambaran SEMUA atau SEBAGIAN fenomena dalam “yang tidak terbatas” ,maupun semua relasi objek dan subjek dalam dunia “yang terbatas” itu (ini hanya sebagiannya). Oleh karena itu Al-Qur’an menjangkau realitas fenomena didepan yang tidak terbatas tersebut dan “bisa” .Dan menyingkap pula relasi objek dan subjek didepan yang terbatas itu dan “benar”. Segala yang terbukti dari Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan maupun filsafat adalah sebagai “objektifitas” kebenarannya dan satu-satunya yang sebagai mencakup juga ilmu pengetahuan “yang bebas-nilai”( absolut) maupun “bermuatan-nilai”(relatif).*ke ralat-ralat

    BalasHapus
    Balasan
    1. nampaknya, apakah anda setuju atau tidak, sebenarnya pada titik tertentu anda setuju dengan pendapat saya bahwa no matter what, kita tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa satu interpretasi bersifat objektif. :)

      saya lebih 'easygoing' mengatakan bahwa selalu ada kemungkinan interpretasi, re-interpretasi, re-interpretasi, begitu terus, hingga kita mencapai satu hal yang objektif. sedangkan anda jauh lebih 'keras kepala' mengatakan bahwa interpretasi hanya mungkin dihasilkan satu kali saja dengan berpedoman banyak hal. :)

      Hapus
    2. Realitas fenomena adalah modus status kesadaran yang “mengaktifkan” subjek (pengalaman langung) dalam dunia intersubjektif (dunia kehidupan) yang kaya dan bermakna untuk menampakkan objek di dalam relasi-relasi subjek dan objek yang berfungsi dalam pengalaman secara aktual. Pengalaman menjadi bagian kesadaran karena perangkat intuisi yang memaknainya (feedback kesadaran). Sedangkan status kesadarannya adalah relasi dengan objek yang telah “dikonstitusikan” sejauh dapat dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman intensional subjek intersubjektif. Pengalaman intensional merupakan objek pengalaman kesadaran yang tertentu dengan cara kemampuan orang tertentu pula (memori ,persepsi,emosi dll) berada didalam dunia intersubjektif.
      Dengan demikian fenomenologi adalah suatu wujud dari pemahaman yang dihasilkan oleh pengalaman kesadaran (bukan kesadaran pengalaman). Untuk menerangkan hasil-hasilnya hanya ditempuh dengan cara reduksi dan intensionalitas. Reduksi akan mewujudkan bagaimana kesadaran menerima atau menangkap fenomen-fenomen seperti apa adanya -realitas fenomena. Intensionalitas akan mewujudkan bagaimana fenomena menampakkan diri apa adanya didepan kesadaran relasi-relasi subjek dan objek. Kemampuan yang dimiliki fenomenologi untuk menghasilkan ilmu pengatahuan yang absolut (objektifitas kebenaran) dapat dikatakan “tidaklah mampu”. Karena dalam hal ini objektifitas ilmu pengetahuan akan tergantung dari Kuantitas realitas fenomena dan dari Kualitas relasi objek dan subjek maka menjadi “impian” bagi fenomenologi untuk mencapainya.
      Sedangkan fenomenologi tidak akan pernah dapat menggambarkan realitas fenomena dan relasi objek dan subjek didepan yang “tak-terbatas” –ilmu pengetahuan yang bebas-nilai (absolut) , dan hanya sebagian saja dapat menjelaskan relasi objek dan subjek serta realitas fenomena didepan yang “terbatas” –ilmu pengetahuan yang “bermuatan-nilai” (relatif). Sehingga dengan demikian bukanlah tidak ada peluang bagi suatu interpretasi untuk bersifat lebih objektif melainkan “ada peluang” dalam ilmu pengetahuan yang bermuatan-nilai .

      Hapus
  35. Jadi dari sini kami memandang “kebenaran objektif” saja dapat dimungkinkan pada ilmu pengetahuan bukan yang “objektifitas kebenaran” ,hasilnya seperti sebuah objek interpretatif yang bermakna objektif. yaah sejauh ini mereka menafsirkannya tanpa memandang hal objektifnya terhadap interpretasi “mereka” itu. Semisal inilah kami akan mengungkapkan satu interpretasi yang objektif dengan melihat fenomena Surah Al-Qur’an sebagai pengetahuan –yang mana memang “menampakkan-diri” sebagaimana apa adanya .Tujuannya bagaimana menafsirkan tindakan “kehidupan” ayat itu sehingga menghasilkan objek interpretaif yang objektif.

    toooh Kalau manusia tidak memadai dengan kebenaran objektif suatu interpretasi ini dan bahkan QS.39-23 akan membuktikan bahwa "kehidupan" ayat itu memang Ada dan menjadi objek kajian ilmu pengetahuan (fenomenologi) melihat fenomena sebagaimana nampak apa-adanya itu ,lalu kenapa Al-Qur'an sendiri justru telah banyak dibuktikan memuat ilmu pengatehuan yang bebas-nilai (mencakup alam semesta ,para mahluk lain "diluar" manusia dan kehidupannya) sekaligus yang bermuatan-nilai (melingkupi manusia ,mahluk disekitar dan kehidupannya)...Jadi kami memandang "objektifitas kebenaran" adalah impian ilmu-ilmu pengetahuan -namun Al-Qur'an dalam sejarah yang pernah ada justru telah dipercaya dapat membuktikannya kepada manusia walau tidak semuanya kehidupan "diluar sana" itu Tuhan jelaskan kepada manusia di dalamnya. Sebagai tolak ukur "objektifitas kebenaran" adalah dapat melihat secara menyeluruh sisi kehidupan yang ada -sebagai di depan yang "tidak terbatas".

    BalasHapus
  36. Kebenaran objektif Semisal inilah yang kami akan mengungkapkan sebagai satu interpretasi yang objektif dengan melihat fenomena Surah Al-Qur’an sebagai pengetahuan yang objektif –yang mana memang “menampakkan-diri” sebagaimana apa adanya .Tujuannya bagaimana menafsirkan tindakan “kehidupan” ayat-ayat itu sehingga menghasilkan interpretasi yang objektif.

    "Objektifitas kebenaran" -sebagai kebenaran yang absolut -hanya dapat kita ketahui sejauh "variabel" di dalam positivism mewakili seluruh objek kehidupan yang ada dan mungkin ada serta "lebenswelt di dalam fenomenologi dapat mewakili seluruh subjek kehidupan yang ada dan mungkin ada.

    Al-Qur'an menerangkan dengan hati-hati di dalam ayat-ayatnya tentang objektifitas ini dan terbukti "Bisa".

    BalasHapus
  37. Adapun variabel yang dapat dipakai akan terus mengalammi penyempurnaan pemahaman dan objek variabelnya tidak kekal tapi selamanya akan berubah atau berganti-ganti terbatas pada empiric sensual-logic .
    Adapun lebenswelt yang dapat digunakan akan terus mengalami penyerupaan kesadaran dan subjek lebensweltnya tak abadi tapi seterusnya akan berganti-ganti atau berubah tergantung pada empiric refleksi-logic .
    Oleh karena itu “kebenaran” ilmu pengetahuan dan filsafat disebut kebenaran-objektif (relatif)-bermuatan nilai.
    “objektifitas kebenaran” absolut yang diimpikan mereka adalah sejauh apabila “suatu” objek variable mewakili semua empiric-sensual logic yang ada dan mungkin ada ,serta sejauh apabila “suatu” subjek lebenswelt mengatas-namakan seluruh empiric-refleksi logic yang ada dan mungkin ada. Dengan demikian disana telah mengimpikannya sementara Al-Qur’an telah mampu membuktikannya tentang variabel alam semesta maupun lebenswelt dunia.
    Kebenaran-absolut direfleksikan oleh ilmu “filosofis-praksis” dan bukan “teknis-praktis”.

    BalasHapus
  38. Hermeneutika tidaklah tepat digunakan terhadap Al-Qur’an ataupun teks terjemah Al-Qur’an. Hermeneutika lebih cocok pada interpretasi terhadap hadist-hadist Nabi yang mana Nabi membahasakan hadistnyadan bahasa mencerminkan realitas yang dialami Nabi sekaligus apa yang dipikirkan oleh Nabi. Hermeneutika hanya mempersoalkan bahasa yang presentatif pada manusia. Bagi hermeneutika bahasa merupakan objektifiasi daripada kesadaran manusia akan kenyataan sensual hingga untuk memahami manusia itu dapat dimulai dari bahasanya. Al-Qur’an bukan bahasa seperti di dalam hermeneutika. Al-Qur’an adalah “Bacaan” bagi manusia dalam wahyu yang Diturunkan kepada seorang manusia. Dengan demikian realitas Muhammad adalah representatif terhadap “bahasa” Al-Qur’an –sesuatu yang telah Dibacakan oleh Tuhan kepadanya. Maka taraf hermeneutika boleh berada pada interpretasi dimana pada manusia terjadi komunikasi dengan kreasi sosial. Dengan relevansi yang digunakan hermeneutika terhadap ilmu komunikasi tersebut maka hermeneutika sangat tidak tepat membayangkan bagaimana Tuhan telah berkomunikasi dengan manusia sebagai satu-satunya cara Tuhan yang memiliki kebenaran yang absolut itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Hermeneutika tidaklah tepat digunakan terhadap Al-Qur’an ataupun teks terjemah Al-Qur’an."

      Saya heran mengapa tidak tepat, atau pun tidak bisa. Namun sekaligus saya juga tidak heran mengapa anda menulis demikian. :)

      Kalau memang benar alquran adalah wahyu tuhan yang disampaikan oleh seorang muhammad, apa yang ditakuti dari hasil penggunaan teori hermenetika dalam membaca alquran?

      takut ketahuan bahwa alquran tak lebih dari hanya buku-buku lain? termasuk kitab-kitab suci lain, sebangsa injil dan taurat?

      agama seharusnya bersifat dialektis, tanya jawab, tidak hanya karena kata alquran begini begitu, maka harus begitu begini. padahal, again, toh semua hukum yang konon bersumber ke alquran merupakan interpretasi manusia saja.

      :)

      Hapus
    2. Interpetasi terhadap Al-Qur’an tetaplah dimungkinkan sejauh terhadap “fenomena” Qs.Az-Zumar :23 ini hanya menjadi pedoman menentukan sikap yang benar memaknai ataupun menafsirkan ayat Al-Qur’an. Jadi teks Terjemah atau ayat Al-Qur’an sendiri tidaklah tepat diinterpretasikan dari suatu metode yang memaknai beragam bahan teks seperti yang terjadi di dalam hermeneutika. Persoalannya dalam menghasilkan interpretasi, bahwa hermeneutika secara radikal mengajukan metode pemahaman terhadap dunia intersubjektif yang sosial-kreatif sedangkan fenomenologi secara netral memperbincangkan pengalaman dan pertimbangan objek kesadaran dunia intersubjektif yang aktual-kreatif. Kemudian Objek fenomena yang “riil” itu akan mengendapkan “kesadaran-kesadaran” tertentu untuk dapat digunakan memulai suatu interpretasi sebagai sikap pemaknaan atau penghayatan atau penafsiran di dalam kesadaran-kesadaran yang mencair di dalam dunia intersubyektif.
      Dengan demikian cara untuk menjawab semua permasalahan yang dilingkupinya adalah Al-Qur’an yang dapat dipertimbangkan sebagai obyek kesadaran. Yang secara terus menerus memiliki endapan-endapan kesadaran tertentu dimana manusia telah tunduk akan “kebenarannya” itu. Dengan catatan obyek kesadaran dunia intersubyektifnya di pakai dari suatu “Cara” yang khas dimana Al-Qur’an akan menjawab persoalan-persoalan yang umum maupun khusus tentang “Kebenaran” dari Tuhan.

      Hapus
  39. Yang dapat dipertimbangkan dari pemikiran dalam persoalan hidup adalah manusia otentik dan identik. Komunitas otentik adalah terdiri dari orang-orang yang otentik .Ternyata Adam adalah “manusia” otentik yang Diturunkan oleh Tuhan dari Surga (ciptaan) sebagai bukti dari “Cara” yang khas bahwa tentang penyampaian “kebenaran” dari Tuhan yang akan mencair dalam “dunia intersubyektif “ semisal manusia adam ini. Sehingga persoalan-hidup yang dengan keotentikan Adam ini apa yang dihadapi akan di lingkupi oleh esensi kehidupan dunia intersubyektif Adam dan akan terus memperbarui ataupun menghadapi persoalan yang mungkin ada di depannya. Ternyata pada manusia yang identik “kala itu” (sebelum adam) telah tidak memadai menerima “kebenaran” yang akan DISAMPAIKAN secara menyeluruh. Di dalam “ajaran” tentang kebenaran itu kemudian lahir suatu komuntas otentik yang terdiri dari orang-orang yang telah meng-Esa-kan Tuhan yang dikenal dengan “Tauhid”. Inilah keotentikan yang dalam ajaran itu semisal pada adanya seorang Utusan dan pengikut ajaran ketauhidan yang kedua-duanya tetap berpegang pada satu kepercayaan otentik kepada Tuhan Yang esa.

    BalasHapus
  40. "agama seharusnya bersifat dialektis, tanya jawab, tidak hanya karena kata alquran begini begitu, maka harus begitu begini. padahal, again, toh semua hukum yang konon bersumber ke alquran merupakan interpretasi manusia saja"

    MANUSIA otentik inilah dapat memperbarui dan terus mempertanyakan setiap perubahan apakah esensi yang sebenarnya harus ditanggapi dalam persoalan hidup ,dan apakah substansi yang mesti disikapi dalam permasalah hidup.

    BalasHapus
  41. MANUSIA otentik inilah dapat memperbarui dan terus mempertanyakan setiap perubahan apakah esensi yang sebenarnya harus ditanggapi dalam persoalan hidup ,dan apakah substansi yang mesti disikapi dalam permasalah hidup. Komunitasnya sebagai agama yang terdiri dari orang-orang otentik adalah tanggap terhadap esensi persoalan yang sebenarnya dan cenderung tidak identik tetapi selalu berusaha mempertanyakan. Dan dialektika yang terjadi dalam pemecahan-pemecahannya dapat terjadi dalam beragam sikap secara substansial yaitu bahwa masalah-masalah yang disikapi telah tidak menyeleweng atau berseberangan dengan substansi yang ada. Maka terjadilah “kesepakatan-kesepakatan” dan “mahzab-mahzab” yang lebih sesuai dengan keadaan dialektis itu. Jadi apa yang ada dalam Al-Qur’an terhadap manusia yang otentik adalah dimungkinkan dan dibina.

    BalasHapus
  42. Kemunculan "hermeneutika" menciptakan dikotomi bagi fenomenologi yang memaksanya harus "berjuang" dengan pembuktian secara terus menerus perihal fenomena serta dunia intersubyektif itu. maka dari itu fenomenologi lebih netral memperbincangkan pengalaman dan pertimbangan objek kesadaran dunia intersubjektif yang aktual-kreatif. Tetapi hermeneutika secara radikal mengajukan metode pemahaman terhadap dunia intersubjektif yang sosial-kreatif.

    Terhadap "tanya jawab" maupun "dialektika" yang dipersoalkan maka ternyata apa yang ada dalam Al-Qur'an terhadap pembentukan manusia otentik itu adalah mungkin dan dibina.

    BalasHapus
  43. Al-Qur’an bukan kreasi kehidupan sosial manusia terhadap kenyataan yang Diturunkan berangsur-angsur tetapi Al-Qur’an merupakan kreasi aktual dirinya “sendiri” (fenomenal) terhadap yang wahyu Diturunkan yaitu : Perkataan “yang” Baik dan Ayat yang serupa lagi berulang-ulang (Qs.Az-Zumar :23).

    Dengan demikian terhadap pembentukan manusia yang otentik itu di bina pula dengan pemaknaan menyikapi-diri kita terhadap fenomena ini. Yang akhirnya berakhir pada sikap-aikap yang benar dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an.

    Melihat fenomena ini sangat dimungkinkan suatu interpretasi ataupun penghayatan terhadap Al-Qur'an yang pada mulanya mencari sebagai obyek kesadaran secara obyektif dari apa yang menampakkan-diri di dalamnya itu.

    Terhadap sikap hidup yang dialektis dan "tanya-jawab" pun dapat dipahami sebagai "jalan-keluar" menggunakan sikap ini yang dapat dikatakan sebagai sebuah "kesepakatan atau mahzab baru" secara substansial dalam menjawab persoalan yang ada.

    BalasHapus
  44. yang secara esensial ialah dapat dipahami dengan mengenal karakteristik "Perkataan atau ayat" itu dalam menyampaikan sesuatu baik hukum ataupun aturan-aturan di dalamnya. Sehingga dari pertimbangan-pertimbangan yang ada menjadi satu nilai perimbangan yang berguna bagi hidup dan kemungkinan2 hidup untuk menghasilkan pengetahuan "baru" dalam berbagai persoalan. Terbuktilah akhirnya suatu yang dapat menjadi referensi yang absah tentang sesuatu yang "benar" dari penemuan-penemuan di dalam cakrawala ilmu pengetahun dan filsafat saat ini yaitu dari apa yang sebagiannya telah tersebut dalam Al-Qur'an.

    BalasHapus
  45. Terhadap kehidupan yang dialektis dan "tanya-jawab" itupun dapat dipahami sebagai mencari "jalan-keluar" yang tepat menggunakan suatu sikap pendekatan (aksi) secara esensial maupun substansial yang dapat diungkapkan dari persoalan hidup yang ada. Dari latarbelakang pertimbangan yang ada akan jelas menghasilkan “Tanya-jawab” yang dapat ditentukan menjadi sebuah nilai perimbangan yang berguna yang dengan mempertimbangkan secara esensial apakah yang sebenarnya harus ditanggapi dalam persoalan hidup ; dan secara substansial apakah yang mesti disikapi dalam permasalah-hidup adalah “tolak ukur” pertanyaan-pertanyaannya secara dialektis sebagai aksi terhadap apa yang dipertimbangkan.

    Tidak sebaliknya bahwa jika pertimbangan dinilai sebagai reaksi terhadap apa yang ada di dalam aksi-aksi atau tindakan maka arti ini dikatakan sebagai latar-belakang yang tidak menimbulkan manusia otentik dan justru menimbulkan suatu keidentikan kembali yang dapat melatarbelakangi kemunduran peradaban “manusia”-Adam. Tolak ukur yang digunakan dalam Tanya jawab hanya memastikan bahwa ada aksi terhadap persoalan dan permasalahan hidup dari satu latarbelakang pertimbangan, dalam arti bukan reaksi terhadap aksi-aksi dari persoalan ataupun permasalahan hidup yang ada sebagai pertimbangan.
    Menilai berbagai persoalan itu apakah dapat dipertanyakan atau apakah dapat dijawab maka penentu terhadap hal ini adalah obyek pertimbangannya. Bisa saja bahwa pertimbangan yang ada secara esensial berbenturan terhadap yang substansial lebih disebabkan obyek pertimbangannya daripada persoalannya. Oleh karena itu munculnya pertimbangan baik secara esensial ataupun substansial adalah obyek pertimbangan yang ada dari suatu pemikiran tertentu yang dapat menghasilkan aksi yang akan digunakan dalam Tanya jawab. Dalam hal bahwa jika obyek adalah pertimbangan (reaksi) terhadap apa yang ada di dalam aksi-aksi (tindakan) maka tidak ada pertanyaan yang perlu dijawab dan pertanyaan dapat dipikirkan kembali sebagai obyek yang perlu dipertimbangkan.

    “Apa” sesuatu yang dapat dipertimbangkan ?
    Suatu contoh terhadap pembentukan manusia yang otentik ini telah dibina ialah adanya pemaknaan dalam menyikapi-diri terhadap fenomena yang ada ini secara substansial. Yang akhirnya berakhir pada sikap-aikap yang benar dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an bahwa melihat fenomena ini sangat dimungkinkan suatu interpretasi ataupun penghayatan terhadap Al-Qur'an yang pada akhirnya dapat menemukan sebagai obyek kesadaran yang secara obyektif dari apa yang “menampakkan-diri” itu.
    Secara esensial dapat dipahami pula dengan mengenal karakteristik dari "Perkataan atau ayat" itu bahwa dalam sesuatu baik dari hukum ataupun aturan-aturan yang ada di dalamnya terhadap kita adalah sebagai pertimbangan-pertimbangan yang akan menjadi satu nilai “perimbangan” bagi hidup dan kemungkinan-kemungkinan hidup untuk menghasilkan pengetahuan maupun tindakan-tindakan "baru" jika dalam berbagai persoalan ternyata memang dapat digunakan dan berguna . Terbuktilah akhirnya bahwa dapat menjadi referensi yang absah tentang sesuatu yang "benar" dari penemuan-penemuan di dalam cakrawala ilmu pengetahun dan filsafat saat ini ialah dari apa yang sebagiannya telah tersebut dalam Al-Qur'an.

    BalasHapus
  46. Fenomenolgi tidak bisa benar selama tidak ada interpretasi atau penghayatan (pemaknaan) ,maka dengan interpretasi tersebut fenomenologi baru akan menghasilkan sebuah kebenaran obyektifnya sebagaimana terjadi pada hermeneutika interpretasi tersebut kemudian dijadikan dari suatu latarbelakang pemahaman mereka terhadap dunia intersubyektif.
    Bagaimana akan dapat dipahami dari persepsi hermeneutika terhadap Al-Qur’an yang mana ayat-ayat di dalamnya itu semata-mata berasal dari Tuhan sebagai Wahyu. Meskipun kemudian teks dari ayat-ayat itu secara fenomenal menyatakan keberadaannya sendiri sebagai “perkataan yang Baik yang serupa ayat-ayatnya lagi Berulang-ulang” tidaklah dapat dianggap sebagai satu makna diturunkan yang terhadap maksud “si pengarangnya”, namun untuk menjadi obyek kesadaran yang secara obyektif melibatkan-diri terhadap kemungkinan sikap-sikap penafsiran yang digunakan sejauh kita hendak menghayati Al-Qur’an dari konteks ayat-ayat.

    BalasHapus
  47. Tindakan adalah bukan paradoks terhadap adanya pertimbangan dan persoalan ,tetapi sebuah tindakan justru telah menciptakan satu dikotomi pada alasan-alasan atau atribut yang kini harus memaksanya untuk pembuktian baru secara terus menerus perihal persoalan dan pertimbangan.

    Menilai berbagai persoalan itu apakah dapat dipertanyakan atau apakah akan dijawab maka penentu terhadap hal ini adalah tujuan pertimbangannya. Bisa saja bahwa pertimbangan yang ada secara esensial berbenturan terhadap yang substansial lebih disebabkan tujuan pertimbangannya daripada persoalannya. Oleh karena itu munculnya obyek pertimbangan baik secara esensial ataupun substansial adalah tujuan pertimbangan yang ada dari suatu pemikiran tertentu yang dapat menghasilkan aksi-motif yang akan digunakan dari Tanya jawab. Dalam hal bahwa jika pertimbangan adalah reaksi-efektif terhadap apa yang ada di dalam aksi-aksi (tindakan) maka tidaklah ada pertanyaan yang perlu dijawab dan pertanyaan dapat dipikirkan kembali dari suatu yang perlu direspon.

    BalasHapus
  48. Menggunakan teks dari ayat-ayat Al-Qur'an tersebut dapat dimungkinkan bagi suatu interpretasi yang hanya akan berperan sebagai sikap pemaknaan atau sikap penghayatan terhadap ayat Al-Qur'an dalam bidang yang dapat ditangkap sebagai "fenomena" terhadap fenomenologi ,dan dalam arti bukan "fenomen" terhadap hermeneutika.
    Tentu saja hal ini menghasilkan suatu obyek interpretasi yang berbeda dari sumber yang telah digunakan oleh fenomenologi. Perbedaannya hanya terletak pada metode pemahaman yang diajukan terhadap obyek-obyek kesadaran yang ditemukan -yang mana hermeneutika secara radikal lebih mengedepankan metode pemahaman terhadap dunia intersubyektifnya (dalam kehidupan yang sosial kreatif)daripada obyek fenomenalnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semenjak kami membedakan hasil interpretasinya fenomenologi secara netral telah mampu dengan metode reduksinya menjelaskan makna dibalik fenomena. Sebuah hasil interpretasi atau pemaknaan yang harus obyektif menjadi tujuannya dalam menyikapi terhadap fenomena yang "menampakkan-diri" itu. Namun hermeneutika dalam hal ini akan menghasilkan interpretasinya yang harus obyektif dengan mengajukan metode pemahaman pada bahasa -yang direduksi sebagai fenomena khas manusia dalam interaksi sosial kreatif. Hermeneutika hanya mengkaji berbagai macam bahan teks yang memadai persoalan ini tetapi tidaklah akan mampu seandainya dibanding dengan fenomenologi. Fenomenologi pun hanya terbatas menghasilkan sikap-sikap pemaknaan terhadap fenomena yang ada itu -dalam hal ini Qs.Az-Zumar :23 adalah fenomena ayat-ayat Al-Qur'an yang dapat didekatinya untuk mendapatkan sikap pemaknaan.

      Hapus
  49. cara interpretasi untuk sastra gimana ya??
    ada tugas nih..
    temen-temenku gak ada yang ngerti..
    #Please Help Us

    BalasHapus