Tanggal 7 Februari 2010 kemarin aku menghadiri seminar yang bertajuk "Metode mendidik anak di era globalisasi" (well, judul tepatnya aku lupa. maaf. LOL.) Salah satu pembicara utamanya adalah Kak Seto.
Dalam postingan ini aku tidak akan menulis apa yang disampaikan oleh Kak Seto pada sesi utama, melainkan jawaban kak Seto atas pertanyaan salah satu peserta.
FYI, hampir sekitar 80% partisipan adalah guru PAUD, playgroup, maupun TK. Sisanya guru SD, SMP, SMA. Salah satu guru PG bercerita pengalamannya yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan.:
"Beberapa minggu yang lalu saya menemani anak-anak pergi ke suatu tempat. Ketika kita pulang, kita melewati dua ekor bebek yang sedang 'saling tumpuk'. Anak-anak melihat itu sebagai suatu kekerasan. Maka mereka bilang, "Bu guru, kasihan itu bebek yang satu dinaiki bebek yang satunya lagi. Ayo, Bu Guru kita bantu!" Saya bingung bagaimana menjelaskan kepada anak-anak, sehingga saya diam saja. Ternyata sampai sekolah, anak-anak bertanya lagi, "Kata Bu Guru kita tidak boleh melakukan kekerasan kepada orang lain. Mengapa Bu Guru diam saja tatkala melihat seekor bebek yang sedang disiksa bebek lain? Tadi yang kita lihat dalam perjalanan?"
"Kak Seto, mohon penjelasannya, apa yang sebaiknya saya katakan kepada anak-anak? Masak saya harus bilang bahwa bebek-bebek itu sedang melakukan hubungan seks? Anak-anak kan belum selayaknya tahu? Mereka masih terlalu muda untuk tahu masalah seks."
Kak Seto menjawab:
"Katakan saja sesungguhnya apa yang sedang terjadi. Tidak ada yang tabu dalam memberikan pelajaran seksual kepada anak-anak, tentu saja dalam tataran yang masih simple, disesuaikan dengan usianya. Misal dalam kasus tadi, kita bisa katakan bahwa proses dimana seekor bebek melakukan kekerasan pada bebek yang lain itulah terjadi proses pembuahan yang akan membuat bebek betina hamil. Memang sekilas nampaknya itu adalah kekerasan. Namun, sekali lagi bisa kita katakan kepada anak-anak memang begitulah proses yang akan menghasilkan telur."
Kemudian kak Seto menambahkan bahwa penting juga membekali anak-anak -- terutama anak-anak perempuan -- tentang pelecehan seksual. Misal, jika ada orang asing yang menyentuh bagian-bagian tertentu tubuh mereka, misal pantat, dan mereka merasa tidak nyaman karenanya, itu namanya pelecehan seksual. Anak-anak berhak melaporkannya pada orang yang lebih tua, misal guru di sekolah, atau orang tua di rumah. Tidak ada salahnya mengajarkan pendidikan seksual kepada anak-anak di usia mereka yang masih dini."
Beberapa minggu kemudian aku sempat bercerita tentang hal ini kepada siswa-siswiku. Seorang anak laki-laki kontan berteriak, "Miss ... he has often done sexual assault to me! He likes slapping my butt!"
FYI, di kelas yang hanya berisi lima siswa itu, ada dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Dua anak laki-laki itu ternyata telah sering melakukan pelecehan seksual kepada sesamanya. LOL.
Pada kesempatan yang sama, seorang siswa laki-laki bertanya, "Miss, what is wet dream?"
"Have you ever asked your parents?" tanyaku.
"No, they are very busy with their jobs," jawabnya.
"Have you asked your sister?" tanyaku lagi. Dia punya kakak perempuan yang duduk di kelas 12.
"She didn't want to answer my question until I get one," jawabnya. LOL.
"Well, you'll dream of something that will make you wet," jawabku. LOL.
"You mean I pee in my sleep?" tanya siswa laki-laki yang satunya. LOL.
"It is not pee," jawabku. LOL.
"So what is it, Miss?" tanyanya.
"I heard it is something white, Miss?" tanya yang satu lagi.
"Yup, sort of white. And this comes out of your genital organ," jawabku. (Gosh!!! untung kita ngobrol pakai bahasa Inggris, so ga terasa terlalu vulgar. hahaha ...)
"YUCK!!!" teriak keduanya. LOL. LOL. Satu-satunya siswi yang masuk hari itu terlihat bengong. LOL. (Yang dua ga masuk sekolah karena sakit.)
"But what kind of dream is it like, Miss?" tanya satu siswa laki-laki.
"Well, it is a kind of dream where you are doing something intimate with girls ..."jawabku berusaha hati-hati.
Lagi kedua siswaku berteriak bareng-bareng, "YUCK!!! SO DISGUSTING!!!"
Satu-satunya siswi berbicara, "Well, guys, at least, now you have known what it is and you'll get prepared when having wet dreams."
Pelajaran usai. LOL.
PBIS 12.22 180210
Tampilkan postingan dengan label my experience. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label my experience. Tampilkan semua postingan
Kamis, Februari 18, 2010
Jumat, Januari 30, 2009
Mandi dll
Tatkala mandi di shower room (tentu saja khusus untuk perempuan) setelah berenang tadi pagi, ada seorang perempuan masuk bersama anak laki-lakinya, mungkin berusia tiga tahun. Sang ibu memandikan anaknya, yang mungkin belum dia percayai bisa membersihkan diri sendiri. Terjadi percakapan ‘khas’ orang tua kepada anak kecilnya.
“Ayo, cuci rambutnya sampai bersih. Nah, begitu, rambut digosok-gosok di bawah pancuran air. Kalau tidak bersih, nanti tokeknya datang loh ke adik. Tapi kalau mandinya bersih, tokek tidak akan datang.” Kata sang ibu.
“Jadi adik harus menggosok rambut yang bersih ya Ma?” komentar si anak.
“Iya ...” sahut sang ibu, sambil ikut menggosok rambut sang anak menggunakan shampoo. Setelah itu, dia pun menyabuni tubuh anaknya.
Aku bayangkan si anak laki-laki kecil ini kelak akan tumbuh menjadi seseorang yang takut pada tokek. Dia akan belajar membersihkan diri bukan demi kesehatan kulit maupun tubuh, melainkan karena merasa takut dikunjungi seekor tokek yang menurutku berwajah menyeramkan.
*****
Ketika aku sedang ganti baju di dalam sebuah bilik, aku dengar suara seorang anak kecil laki-laki lain,
“Ini bukan tempatku mandi Ma! Tempatku di kamar sebelah. Kan aku laki-laki? Masak aku mandi di kamar bilas perempuan?”
“Lho, kamu kan belum bisa mandi sendiri? Dan Mama ga boleh masuk ke kamar bilas laki-laki. Dan karena kamu masih kecil, ga papalah kamu mandi di sini, bersama perempuan.”
---------------------------------------------------------------------------
Aku ingat sebuah artikel yang pernah kubaca mengatakan bahwa salah satu bentuk sexual education yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang masih kecil adalah tatkala berada di tempat umum ajaklah anak laki-laki ke kamar mandi laki-laki, sehingga dia tahu bahwa dia berjenis kelamin laki-laki. Demikian juga anak perempuan harus diajak ke kamar mandi perempuan.
Dalam kasus di atas, si anak sudah benar, dan bersifat kritis yang cerdas. Sang ibu yang kurang paham pentingnya pendidikan seks yang harus diberikan kepada sang anak sejak kecil. Batasan “kamu masih kecil, jadi boleh saja masuk ke kamar mandi perempuan meskipun kamu laki-laki” tidak jelas sampai usia berapa. Bisa jadi ini akan terus berlaku sampai si anak sudah besar. Atau, tatkala dia masih merasa belum mampu melepaskan diri dari bayang-bayang sang ibu, dia akan mengalami masa sulit tatkala harus masuk ke kamar mandi laki-laki (once again: di tempat umum), dia akan merasa tidak nyaman dengan ‘pemaksaan’ itu.
Kebetulan aku memiliki dua kenalan laki-laki yang memiliki pengalaman masa kecil yang membekas pada psyche mereka. Yang satu, sangat terobsesi dengan kaki perempuan. Dia akan sangat merasa ‘aroused’ tatkala melihat kaki perempuan. Sepanjang yang dia ingat, waktu kecil kalau dia menangis, dia akan memeluk kaki ibunya dan menangis tersedu-sedu di situ. Hal ini ternyata memberinya perasaan nyaman. Sekarang, dengan mudah dia tertarik melihat kaki perempuan, dan ada hasrat untuk memeluk kaki itu, terutama kalau dia tertarik kepada sang perempuan itu secara keseluruhan, tidak hanya fisik, namun juga sifat dan intelektualitasnya.
Yang satu lagi, terobsesi dengan diikat stagen, tatkala melakukan hubungan seks. Dia akan mendapatkan orgasme yang sempurna tatkala pasangan seksnya mengikat tubuhnya dengan stagen—termasuk tangannya, kecuali penisnya—kemudian ‘memperkosanya’ dengan lembut. Atau sebaliknya, dia mengikat tubuh pasangannya, kecuali bagian payudara dan vagina, kemudian berhubungan seks dengannya. Namun tanpa kekerasan, misal: pukulan atau sejenis kekerasan yang lain. Latar belakang obsesi ini adalah tatkala dia kecil, dia selalu keluyuran bermain, yang membuat ibunya marah. Ketika dia kembali, sang ibu akan mengikat tubuhnya dengan stagen, di salah satu kaki meja.
Nampaknya, kedua laki-laki ini serasa kembali ke hangatnya rahim sang bunda dengan cara yang berbeda: memeluk kaki, atau diikat/mengikat dengan stagen.
Kembali ke dua kejadian di kamar bilas perempuan di kolam renang Paradise Club Semarang. Aku berpendapat alangkah baiknya kalau sang bapak yang memandikan kedua anak laki-laki itu, di kamar bilas laki-laki. Mengurusi anak bukan hanya pekerjaan istri kan? Dan, tanpa embel-embel ancaman: ‘kalau ga bersih, nanti tokek datang untuk menggigitmu!’
PT56 20.45 110109
“Ayo, cuci rambutnya sampai bersih. Nah, begitu, rambut digosok-gosok di bawah pancuran air. Kalau tidak bersih, nanti tokeknya datang loh ke adik. Tapi kalau mandinya bersih, tokek tidak akan datang.” Kata sang ibu.
“Jadi adik harus menggosok rambut yang bersih ya Ma?” komentar si anak.
“Iya ...” sahut sang ibu, sambil ikut menggosok rambut sang anak menggunakan shampoo. Setelah itu, dia pun menyabuni tubuh anaknya.
Aku bayangkan si anak laki-laki kecil ini kelak akan tumbuh menjadi seseorang yang takut pada tokek. Dia akan belajar membersihkan diri bukan demi kesehatan kulit maupun tubuh, melainkan karena merasa takut dikunjungi seekor tokek yang menurutku berwajah menyeramkan.
*****
Ketika aku sedang ganti baju di dalam sebuah bilik, aku dengar suara seorang anak kecil laki-laki lain,
“Ini bukan tempatku mandi Ma! Tempatku di kamar sebelah. Kan aku laki-laki? Masak aku mandi di kamar bilas perempuan?”
“Lho, kamu kan belum bisa mandi sendiri? Dan Mama ga boleh masuk ke kamar bilas laki-laki. Dan karena kamu masih kecil, ga papalah kamu mandi di sini, bersama perempuan.”
---------------------------------------------------------------------------
Aku ingat sebuah artikel yang pernah kubaca mengatakan bahwa salah satu bentuk sexual education yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang masih kecil adalah tatkala berada di tempat umum ajaklah anak laki-laki ke kamar mandi laki-laki, sehingga dia tahu bahwa dia berjenis kelamin laki-laki. Demikian juga anak perempuan harus diajak ke kamar mandi perempuan.
Dalam kasus di atas, si anak sudah benar, dan bersifat kritis yang cerdas. Sang ibu yang kurang paham pentingnya pendidikan seks yang harus diberikan kepada sang anak sejak kecil. Batasan “kamu masih kecil, jadi boleh saja masuk ke kamar mandi perempuan meskipun kamu laki-laki” tidak jelas sampai usia berapa. Bisa jadi ini akan terus berlaku sampai si anak sudah besar. Atau, tatkala dia masih merasa belum mampu melepaskan diri dari bayang-bayang sang ibu, dia akan mengalami masa sulit tatkala harus masuk ke kamar mandi laki-laki (once again: di tempat umum), dia akan merasa tidak nyaman dengan ‘pemaksaan’ itu.
Kebetulan aku memiliki dua kenalan laki-laki yang memiliki pengalaman masa kecil yang membekas pada psyche mereka. Yang satu, sangat terobsesi dengan kaki perempuan. Dia akan sangat merasa ‘aroused’ tatkala melihat kaki perempuan. Sepanjang yang dia ingat, waktu kecil kalau dia menangis, dia akan memeluk kaki ibunya dan menangis tersedu-sedu di situ. Hal ini ternyata memberinya perasaan nyaman. Sekarang, dengan mudah dia tertarik melihat kaki perempuan, dan ada hasrat untuk memeluk kaki itu, terutama kalau dia tertarik kepada sang perempuan itu secara keseluruhan, tidak hanya fisik, namun juga sifat dan intelektualitasnya.
Yang satu lagi, terobsesi dengan diikat stagen, tatkala melakukan hubungan seks. Dia akan mendapatkan orgasme yang sempurna tatkala pasangan seksnya mengikat tubuhnya dengan stagen—termasuk tangannya, kecuali penisnya—kemudian ‘memperkosanya’ dengan lembut. Atau sebaliknya, dia mengikat tubuh pasangannya, kecuali bagian payudara dan vagina, kemudian berhubungan seks dengannya. Namun tanpa kekerasan, misal: pukulan atau sejenis kekerasan yang lain. Latar belakang obsesi ini adalah tatkala dia kecil, dia selalu keluyuran bermain, yang membuat ibunya marah. Ketika dia kembali, sang ibu akan mengikat tubuhnya dengan stagen, di salah satu kaki meja.
Nampaknya, kedua laki-laki ini serasa kembali ke hangatnya rahim sang bunda dengan cara yang berbeda: memeluk kaki, atau diikat/mengikat dengan stagen.
Kembali ke dua kejadian di kamar bilas perempuan di kolam renang Paradise Club Semarang. Aku berpendapat alangkah baiknya kalau sang bapak yang memandikan kedua anak laki-laki itu, di kamar bilas laki-laki. Mengurusi anak bukan hanya pekerjaan istri kan? Dan, tanpa embel-embel ancaman: ‘kalau ga bersih, nanti tokek datang untuk menggigitmu!’
PT56 20.45 110109
Langganan:
Postingan (Atom)