Tampilkan postingan dengan label Seksualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seksualitas. Tampilkan semua postingan

Kamis, September 26, 2019

Marital Rape




Merupakan satu keprihatinanku ketika menonton video pendek yang mempertunjukkan sekelompok anak-anak usia belasan tahun yang ikut-ikutan demo karena mereka mengatakan sesuatu seperti, "masak sudah menikah tidak boleh nge*e dengan istri sendiri."

Jika bahkan sekelas the so-called 'ulama' saja bilang bahwa marital rape itu tidak ada ("kan perempuan tinggal tidur telentang? Atau tinggal ngangkang? Ga sakit kok." katanya) apalagi anak-anak itu.

Bagi para perempuan yang kebetulan mendapatkan suami yang selalu mau mengerti apakah sang istri sedang mood 'bercinta' atau tidak, atau yang kebetulan suaminya selalu bisa membangkitkan gairahnya meski dalam kondisi lelah seperti apa pun, berbahagia lah. Namun ini tidak berarti bahwa semua perempuan seberuntung itu.

Sekian puluh tahun yang lalu seorang kawan (yang pernah) akrab denganku mengeluh tentang perilaku suaminya. Kebetulan sang suami bekerja sebagai pelaut, sehingga dia sering keluar negeri. Biasanya dia bekerja selama 10 bulan, 2 bulan di rumah. Nah, selama 2 bulan ini lah, kawanku tidak pernah berhenti melayani kebutuhan seksual sang suami. Terkadang ada malam-malam yang kawanku ini sama sekali tidak pernah bisa memejamkan mata karena harus terus menerus 'melayani' sang suami. Aku tidak tahu apakah hal ini dibarengi dengan KDRT -- misal dipukul atau apa kek -- tapi dia mengeluh bahwa 2 bulan saat suaminya di rumah adalah saat-saat terburuk baginya. Padahal dia tahu ketika sedang berlayar, sang suami juga punya 'simpanan' di beberapa negara di luar Indonesia.

Karena tidak tahan, akhirnya dia pun mengajukan gugatan cerai. 'untunglah mereka beragama yang membolehkan perceraian sehingga tidak sesulit mereka yang beragama Katolik, misalnya, yang harus mengajukan pembatalan pernikahan sampai ke Vatikan dan prosesnya butuh waktu berbulan-bulan. 

Kawanku ini masih tergolong 'beruntung'; perempuan yang mendapatkan perlakuan jauh lebih sadis dari suaminya tentu lebih banyak lagi. Cari saja contohnya sendiri. Jika kebetulan kalian berkawan dengan Tania Luna di facebook ini, bacalah kisah seorang perempuan yang dia tulis. Sangat menyedihkan.

Marital rape does exist, pals. Korbannya tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada. Googling saja.

Sabtu, Februari 13, 2016

LGBTQ

Beberapa minggu terakhir di sosial media -- utamanya facebook, mengingat aku 'aktif' hanya di satu sosmed ini -- telah terjadi perbincangan yang super hangat tentang topik satu ini: LGBTQ. Terakhir aku menulis di blog (yang sudah lama sekali :D) aku belum menambahkan huruf Q. Ternyata perkembangannya lumayan pesat, hingga para pemerhati -- selain mereka yang terlibat di dalamnya -- telah menambahkan huruf Q yang bisa dijabarkan sebagai "queer", namun ada juga yang membacanya sebagai "questioning". Kata "queer" mengacu ke "cross dressing" people, kalau di Indonesia kata ini diterjemahkan sebagai "waria". Sedangkan kata "questioning" lebih luas maknanya, mengacu ke seseorang yang belum memutuskan -- masih bertanya-tanya -- apa jenis kelamin plus orientasi seksualnya.

Jika di tulisan ini, aku mengutip para antropolog bahwa manusia dibagi menjadi empat kategori, di link ini, voilaaa ... ternyata kategorinya bisa banyak sekali :) Isn't it very INTERESTING?

As you can guess, orang-orang yang menuliskan opininya maupun hanya sekedar share link tentang hal-hal yang berkenaan dengan LGBTQ terbagi dalam beberapa kelompok, minimal 3 kelompok (1) setuju alias mendukung (2) kontra sekaligus mengutuk (3) tidak jelas. LOL. Yang kumasukkan dalam kelompok ketiga ini adalah mereka yang tidak mengutuk namun juga tidak mendukung. Lebih detilnya lagi, mereka tidak mendukung pernyataan bahwa ada sekian persen manusia yang terlahir di dunia dengan membawa gen tertentu yang akan "membawa" mereka menjelma LGBTQ, namun juga tidak mengutuk dengan alasan para LGBTQ itu harus dirangkul, dibimbing untuk "dikembalikan" ke the so-called 'kodrat': bahwa yang terlahir dengan alat kelamin penis berarti mereka laki-laki hingga WAJIB hanya tertarik kepada perempuan, dan sebaliknya, yang terlahir dengan memiliki alat kelamin vagina otomatis mereka adalah perempuan dengan konsekuensi WAJIB bahwa mereka hanya boleh dan bisa tertarik kepada laki-laki.


Perbincangan tentang LGBTQ ini kian menarik ketika seorang AA Gym ikut bersuara untuk memboikot LINE hanya karena LINE menyediakan stiker yang mendukung LGBTQ. Lucunya, konon, dia menyuarakan pemboikotan ini lewat akun facebooknya, padahal jelas-jelas Mark Zuckerberg adalah pendukung LGBTQ. Mengapa dia tidak memboikot facebook sekalian? :) Dan orang-orang yang masuk dalam friendlist-ku di facebook ada yang memamerkan momen ketika mereka uninstall LINE dari hape mereka gegara adanya stiker yang mendukung LGBTQ.

Manusia memang lucu :) Atau mereka naif dan tidak mau tahu mereka telah memamerkan ketidaktahuan mereka? :D

IB180 16.48 13/02/2016

Pic was taken from this site :)

Senin, Agustus 22, 2011

Toilet

Ini kisah tentang seorang online buddy. Dia seorang gay yang sudah ‘coming out’ dan aktif di LSM yang berkecimpung dalam LBGTIQ (lesbian, biseksual, gay, transgender, interseksual, queer). Bisa dimengerti jika dia lumayan ‘dikenali’ orang karena ke-coming-out-annya dan keaktifannya dalam LSM tersebut. Kita beri saja dia initial ‘A’.

Beberapa saat lalu A komplain tentang ‘perlakuan’ orang-orang yang tentu telah tahu bahwa dia seorang gay ketika dia memasuki public toilet. Orang-orang yang belum tahu bahwa dia adalah seorang gay tentu menganggapnya sebagai laki-laki hetero biasa, sehingga mereka tidak bertingkah yang berlebihan ketika A memasuki sebuah public toilet. Sedangkan bagi mereka yang tahu katanya sering memandangnya dengan sorot mata yang jijik ketika mereka melihat A masuk toilet dimana mereka sedang berada di dalamnya. Bahkan beberapa dari mereka akan langsung terbirit-birit lari keluar toilet seolah-olah A akan melakukan tindakan abusive kepada mereka. Padahal katanya – dan juga banyak orang lain – bahwa para gay ini mrmiliki ‘feeling’ yang kuat untuk mengetahui yang mana yang hetero dan yang mana yang bukan. Dan tentu saja mereka bukanlah abuser sehingga setiap kali melihat laki-laki lain yang berada di toilet akan mereka flirt atau lebih jauh lagi ‘abuse’. 

Akhir dari kisah ini, A mengharapkan di tempat-tempat umum hendaknya disediakan toilet yang lebih dari hanya terbagi menjadi dua ‘gents’ dan ‘ladies’ untuk menghindari ketidaknyamanan para gay dari sorot mata maupun tingkah laku yang menuduh mereka sebagai abuser.

Sementara itu aku punya seorang teman lain yang memiliki pengalaman lain lagi. Dia terlahir dengan memiliki fisik tubuh sebagai perempuan. Dalam perkembangannya dia lebih sering merasa sebagai laki-laki, yang bisa dikategorikan sebagai transeksual/transgender yang sering menggunakan ungkapan “terjebak pada tubuh yang salah”. Meski terlahir sebagai perempuan, secara sekilas banyak orang yang terkecoh melihat penampilannya yang lebih maskulin dibandingkan feminin. Ketika berada di sebuah daerah yang baru dia kunjungi, bukanlah hal yang aneh jika orang menyapanya ‘mas’ dan bukannya ‘mbak’. Beri saja dia initial ‘B’.

Nah, berkenaan dengan kisah A dengan toilet yang diskriminatif, B pun mengalami kejadian yang hampir mirip. Ketika berada di toilet umum, dia sering dipandang dengan sorot mata curiga dan jijik jika dia masuk ke ‘ladies’. Bahkan tak jarang, tiba-tiba dia dihampiri oleh mereka yang bertugas membersihkan toilet, “Salah masuk mas. Toilet untuk masnya sebelah sana!” sambil menunjuk ke ‘gents’. Ketika dia bilang dia perempuan, orang langsung menunjukkan sorot pandang yang tidak percaya, memandangnya dari rambut hingga kaki dengan pandangan menyelidik. Terkadang, tiba-tiba dia dihentikan oleh orang, dan diberitahu, “Salah. Toiletnya di sebelah sana.” Tanpa menggunakan ‘kata ganti’ yang jelas, sehingga dia tidak ‘ngeh’ kalau dia dianggap laki-laki oleh orang yang menyuruhnya pindah. Dia baru ‘ngeh’ ketika dia akan memasuki toilet yang satu lagi dimana dia melihat ada banyak laki-laki di dalam, sehingga dia pun buru-buru mundur.

Dan entah mengapa dengan pengalaman temanku ini, aku sering merasa harus bersyukur dikaruniai tubuh dan jiwa yang dianggap mayoritas sebagai ‘normal’. Waduuuhhh ... kalau aku sampai salah masuk ke ‘gents’ tentu ini disebabkan aku meleng tidak memperhatikan petunjuk dengan jelas.

Kesimpulan: perlu disediakan toilet khusus untuk gay dan transeksual female-to-male.

PT56 09.34 210811

Senin, Februari 28, 2011

Affection versus lust

“is affection the same as lust?”

Untuk menjawab pertanyaan di atas, aku bertanya kepada (hanya) dua orang perempuan – both are in their mid thirties and both failed in their first marriage – yang kebetulan tidak keberatan untuk share pengalamannya kepadaku.

Affection merupakan bagian dari ‘love’ alias cinta dimana mereka berdua memiliki pandangan yang begitu sakral terhadap cinta; cinta adalah segala hal yang indah, selalu saling mengerti antara mereka yang terlibat di dalamnya – between spouses, between parents and children and vice versa. Jika terjadi kesalahpahaman, maka cinta akan menjadi jembatan untuk kembali menjalin pengertian.

Komunikasi merupakan salah satu media yang dianggap paling tepat untuk menunjukkan afeksi ini. Sedangkan untuk body language, mereka menyebut memeluk dan mencium – ciuman yang tanpa dorongan ‘lust’ – untuk mengekspresikan afeksi mereka kepada (eks) pasangan maupun anak-anak.

‘Lust’ merupakan bagian dari seks dimana dalam kultur patriarki ini laki-lakilah pemegang kontrol utama. Meski ada ‘pemeo’ yang mengatakan “perempuan yang menjadi idaman laki-laki adalah perempuan yang membuat laki-laki bangga tatkala masyarakat memandang sang pasangan sebagai seseorang yang cantik jelita di ranah publik, seorang koki paling jempolan di dapur, dan bertindak ala pelacur kala di tempat tidur”, tetap saja yang didengung-dengungkan di kultur patriarki ini seks adalah sesuatu yang lebih mengacu kepada kaum yang memiliki penis. Perempuan harus menunggu isyarat dari kaum laki-laki kalau tidak ingin dianggap murahan. Jika laki-laki boleh berpoligami dan menunjukkan keperkasaannya di tempat tidur untuk ‘memuaskan’ semua istrinya, maka perempuan akan dianggap ‘bitch’ alias ‘slut’ jika melakukan hal yang sama karena sangat ‘tidak natural’.

Stereotype tentang pandangan akan seks ini masih saja sangat kuat di tengah masyarakat – mungkin terutama kepada kaum perempuan yang telah berusia in their mid thirties and above – sehingga mereka pun ‘dipaksa’ untuk memiliki kontrol diri akan seks yang sangat kuat. Barangkali akan berbeda jawaban yang kuterima jika yang kujadikan narasumber adalah mereka yang berusia di bawah mid thirties dan sejak kecil hidup di kota besar dimana mungkin dikotomi ranah publik versus ranah domestik tidak begitu besar, terlebih lagi jika mereka dibesarkan dalam sebuah keluarga dimana orangtua mereka tidak terlalu membedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, juga mereka tidak menggap tabu untuk berbincang tentang seks kepada anak-anak mereka.

Maka bisa dipahami jika kedua perempuan ini beranggapan bahwa pengalaman seks yang mereka miliki dengan eks melulu berhubungan dengan lust – yang merupakan hawa nafsu yang sangat manusiawi untuk dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang konon merupakan ‘gift’ dari Tuhan – dan tidak tersangkut paut dengan affection yang selalu bermakna ‘saling mengerti’. Apalagi jika dihubungkan dengan ‘kenyataan’ bahwa sang eks – salah satu dari kedua perempuan itu – adalah seorang yang hyper. Sang mantan selalu menuntutnya siap untuk ‘bertempur’ di tempat tidur apa pun dan bagaimana pun kondisi sang istri. Maka sangat masuk akal jika lust – yang merupakan cikal bakal dari seks – berkonotasi sangat negatif bagi sang perempuan.

In short, dari uraian pendek dalam postingan ini, maka jawaban dari pertanyaan di atas – “is affection the same as lust?” – adalah TIDAK.
--------- ---------- ----------
P.S.:
1. jawaban bisa jadi akan sangat berbeda jika narasumber pun berbeda
2. I will be very happy if there is any woman who is willing to share her experience with me. Please send me any answer to my inbox. Thank you.
GL7 21.29 280211

P.S. (2):
  • affection : a natural state of mind or body that is often associated with a feeling of love. It is popularly used to denote a feeling or type of love, amounting to more than goodwill or friendship.
  • lust : is an emotional force that arises from the psychological action of thinking or fantasizing about sex.

Minggu, Oktober 10, 2010

Sex outside wedlock, anyone?

Obrolan tentang TES KEPERAWANAN di milis yang kuikuti (Jurnal Perempuan) melebar menjadi semacam ajang curhat bagi beberapa anggota yang merasa tidak keberatan untuk berbagi pengalaman. Hal ini mengingatkanku pada tulisanku di blog tiga tahun yang lalu, yang kuberi judul FREE SEX: CO-CULTURE IN INDONESIA (ALREADY)? (Berdasarkan keberatan beberapa pihak, alamat postingan ini tidak kusertakan disini, namun teman-teman biisa browsing sendiri di beberapa alamat blogku.)

Hasil diskusi postingan tiga tahun lalu memang telah memberi jawaban bahwa free sex bukanlah hal yang 'baru' dilakukan oleh para remaja di Indonesia. (Betapa aku sampai terhenyak-henyak kaget manakala membaca diskusi ini di milis RUMAH KITA BERSAMA tiga tahun lalu.) Seorang rekan menuliskan pengalaman temannya yang melakukan itu di era tahun tujuhpuluhan! Hanya karena -- menurut pendapatku pribadi -- orang-orang di Indonesia ini hipokrit, 'kenyataan' bahwa para remaja -- maupun yang sudah dewasa -- melakukan hubungan seks pra nikah pun tentu tidak diakui. Maka jangan heran jika konon operasi agar selaput dara utuh kembali pun diminati banyak orang karena khawatir mendapatkan suami yang hanya menilai calon istrinya dari utuh tidaknya selaput dara. Atau paling tidak beberapa perempuan melakukan tindakan 'tricky' agar tatkala di malam pertama mereka melakukan hubungan seks dengan suami sah mereka mengeluarkan percikan darah. how pathetic. (dan nampaknya kaum laki-laki pun suka dibohongi seperti ini.)

Seperti hasil diskusi topik FREE SEX ini di milis RKB yang membuatku ternganga-nganga, hasil diskusi TES KEPERAWANAN di milis JP pun membuatku bengong. Benar-benar nampaknya remaja di Indonesia tak mau kalah dibandingkan negara-negara tetangga, misal Jepang. (Aku masih ingat film serial Jepang yang berjudul TOKYO LOVE STORY membuatku terhenyak karena betapa remaja Jepang dengan lihai telah 'meniru' kebiasaan remaja-remaja di belahan bumi Barat sana. Poor those western countries for being judged as immoral due to this free sex thing!)

Dalam postingan ini aku hanya ingin memaparkan 'sedikit' hasil diskusi di kedua milis yang kuikuti, tanpa merasa perlu membuat summarynya. Dan aku pun tidak membahas pro kontra wacana TES KEPERAWANAN.

Nana Podungge
PT56 19.00 101010

P.S.
Check out this cool site: CORONA