Senin, Februari 28, 2011

Affection versus lust

“is affection the same as lust?”

Untuk menjawab pertanyaan di atas, aku bertanya kepada (hanya) dua orang perempuan – both are in their mid thirties and both failed in their first marriage – yang kebetulan tidak keberatan untuk share pengalamannya kepadaku.

Affection merupakan bagian dari ‘love’ alias cinta dimana mereka berdua memiliki pandangan yang begitu sakral terhadap cinta; cinta adalah segala hal yang indah, selalu saling mengerti antara mereka yang terlibat di dalamnya – between spouses, between parents and children and vice versa. Jika terjadi kesalahpahaman, maka cinta akan menjadi jembatan untuk kembali menjalin pengertian.

Komunikasi merupakan salah satu media yang dianggap paling tepat untuk menunjukkan afeksi ini. Sedangkan untuk body language, mereka menyebut memeluk dan mencium – ciuman yang tanpa dorongan ‘lust’ – untuk mengekspresikan afeksi mereka kepada (eks) pasangan maupun anak-anak.

‘Lust’ merupakan bagian dari seks dimana dalam kultur patriarki ini laki-lakilah pemegang kontrol utama. Meski ada ‘pemeo’ yang mengatakan “perempuan yang menjadi idaman laki-laki adalah perempuan yang membuat laki-laki bangga tatkala masyarakat memandang sang pasangan sebagai seseorang yang cantik jelita di ranah publik, seorang koki paling jempolan di dapur, dan bertindak ala pelacur kala di tempat tidur”, tetap saja yang didengung-dengungkan di kultur patriarki ini seks adalah sesuatu yang lebih mengacu kepada kaum yang memiliki penis. Perempuan harus menunggu isyarat dari kaum laki-laki kalau tidak ingin dianggap murahan. Jika laki-laki boleh berpoligami dan menunjukkan keperkasaannya di tempat tidur untuk ‘memuaskan’ semua istrinya, maka perempuan akan dianggap ‘bitch’ alias ‘slut’ jika melakukan hal yang sama karena sangat ‘tidak natural’.

Stereotype tentang pandangan akan seks ini masih saja sangat kuat di tengah masyarakat – mungkin terutama kepada kaum perempuan yang telah berusia in their mid thirties and above – sehingga mereka pun ‘dipaksa’ untuk memiliki kontrol diri akan seks yang sangat kuat. Barangkali akan berbeda jawaban yang kuterima jika yang kujadikan narasumber adalah mereka yang berusia di bawah mid thirties dan sejak kecil hidup di kota besar dimana mungkin dikotomi ranah publik versus ranah domestik tidak begitu besar, terlebih lagi jika mereka dibesarkan dalam sebuah keluarga dimana orangtua mereka tidak terlalu membedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, juga mereka tidak menggap tabu untuk berbincang tentang seks kepada anak-anak mereka.

Maka bisa dipahami jika kedua perempuan ini beranggapan bahwa pengalaman seks yang mereka miliki dengan eks melulu berhubungan dengan lust – yang merupakan hawa nafsu yang sangat manusiawi untuk dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang konon merupakan ‘gift’ dari Tuhan – dan tidak tersangkut paut dengan affection yang selalu bermakna ‘saling mengerti’. Apalagi jika dihubungkan dengan ‘kenyataan’ bahwa sang eks – salah satu dari kedua perempuan itu – adalah seorang yang hyper. Sang mantan selalu menuntutnya siap untuk ‘bertempur’ di tempat tidur apa pun dan bagaimana pun kondisi sang istri. Maka sangat masuk akal jika lust – yang merupakan cikal bakal dari seks – berkonotasi sangat negatif bagi sang perempuan.

In short, dari uraian pendek dalam postingan ini, maka jawaban dari pertanyaan di atas – “is affection the same as lust?” – adalah TIDAK.
--------- ---------- ----------
P.S.:
1. jawaban bisa jadi akan sangat berbeda jika narasumber pun berbeda
2. I will be very happy if there is any woman who is willing to share her experience with me. Please send me any answer to my inbox. Thank you.
GL7 21.29 280211

P.S. (2):
  • affection : a natural state of mind or body that is often associated with a feeling of love. It is popularly used to denote a feeling or type of love, amounting to more than goodwill or friendship.
  • lust : is an emotional force that arises from the psychological action of thinking or fantasizing about sex.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar