Senin, Desember 28, 2009

Bike to Work


Di beberapa tulisanku yang memiliki topik ‘b2w’ telah kutulis beberapa alasan mengapa sebaiknya orang bersepeda ke tempat kerja. Tiga alasan ‘klise’ itu yakni:

a. mengurangi polusi udara
b. mengurangi ketergantungan pada BBM
c. berolahraga di sela-sela kesibukan rutinitas sehari-hari

Sebagai salah satu ‘founding mother’ (karena aku perempuan LOL) Komunitas bike to work Semarang, aku melihat perkembangan jumlah anggota yang cukup membanggakan dari komunitas ini, dibandingkan tatkala kita pertama kali ‘mendeklarasikan’ berdirinya Komunitas bike to work Semarang di akhir Juni 2008. Saat ini ada dua divisi di bawah Komunitas b2w Semarang, yaitu divisi KOMSELIS (Komunitas Sepeda Lipat Semarang) dan divisi b2s (Bike to School).

‘Komselis’ direstui menjadi salah satu divisi b2w Semarang dengan harapan agar para ‘the haves’ melirik gaya hidup sehat ini. Mengapa ‘the haves’? Bahwa harga sepeda lipat di atas rata-rata sepeda ‘biasa’ tentu menjadi alasan utama. Jika para ‘the haves’ tidak lagi merasa gengsi untuk naik sepeda, diharapkan akan lebih banyak lagi mobil-mobil yang diistirahatkan di garasi rumah masing-masing. Tentu hal ini akan mengakibatkan berkurangnya polusi yang dihasilkan knalpot mobil-mobil tersebut.

‘B2s’ diresmikan menjadi salah satu divisi b2w Semarang dengan harapan agar lebih banyak lagi para siswa berangkat ke sekolah naik sepeda. Seperti yang telah jamak kita ketahui bersama sampai saat ini (terutama di kota Semarang), masih banyak siswa-siswi SMP yang berangkat sekolah naik sepeda. Namun, begitu mereka melanjutkan ke bangku SMA, dengan alasan yang tidak jelas siswa-siswi itu mulai meninggalkan sepeda sebagai sarana berangkat ke sekolah. Bisa jadi jarak sekolah mereka lebih jauh dari rumah sehingga mereka khawatir kelelahan tatkala sampai sekolah, atau mungkin mereka memiliki lebih banyak kegiatan ekstra kurikuler setelah duduk di bangku SMA, yang membuat mereka harus lebih ‘mobile’ sehingga mereka lebih memilih naik motor atau kendaraan umum. Namun tidak jarang mereka hanya beralasan ‘jaim’ atau jaga image. “Sudah tambah besar, masak bersepeda melulu?” Untuk alasan yang terakhir inilah diharapkan dengan adanya divisi ‘b2s’, dengan dibuatkan bike tag ‘BIKE TO SCHOOL’ diharapkan para siswa siswi itu merasa bangga bersepeda ke sekolah, karena mereka menjadi ‘pahlawan lingkungan’.

Ide yang sangat indah bukan?
Akan tetapi tahukah kita para ‘pahlawan lingkungan yang bangun kesiangan’ ini tentang apa yang ada di benak para ‘founding fathers’ b2w pusat? Seorang narasumber yang layak dipercaya mengatakan bahwa ide utama mendirikan komunitas b2w ini justru untuk merangkul para kaum ‘cilik’ yang hanya mampu menaiki sepeda dalam kegiatan mereka bekerja sehari-hari: misal para penjual siomay yang menjajakan dagangannya dengan naik sepeda.

Tentu kita telah mahfum bahwa jalan raya sering kali diklaim sebagai milik mereka yang mengendarai kendaraan bermotor, misal mobil dan sepeda motor. Mereka sering tidak menghormati hak para pengguna jalan yang lain, yang naik sepeda, maupun para pejalan kaki. Mereka sering dengan arogan memencet klakson kepada para pengendara sepeda tatkala mereka berpikir betapa para pengendara sepeda itu membuat perjalanan mereka terganggu karena lambatnya sepeda melaju. (Aku ingat curhat seorang teman yang dipepet oleh sebuah bus yang melaju dengan kencang di satu pagi, di sebuah jalan yang cukup padat. Sang kondektur bus dengan semena-mena berteriak kepadanya, “Kalau naik sepeda tuh jangan di tengah jalan!” Boro-boro di tengah jalan, orang dia sudah sangat mepet dengan bahu trotoar! Dasar temanku yang suka bercanda aja, maka dia balas omelan kondektur bus itu dengan berteriak, “Lha mosok pit-pitan kudu ning nduwur kasur?” atau “Lha apa harus naik sepeda di atas tempat tidur?”)

Menurut laporan beberapa praktisi b2w bahwa setelah mereka memasang bike tag ‘b2w’ di bawah sadel sepeda, para pengguna jalan lain lebih menghormati mereka, maka sudah selayaknya lah para ‘kaum cilik’ itu lebih dimanusiakan meski mereka hanya naik sepeda. Apalagi jika dengan semakin banyaknya para pengendara sepeda, sehingga pemerintah pun diharapkan tergerak hatinya untuk menyediakan BIKE LANE – jalur khusus untuk para pengendara sepeda – semua pengguna jalan akan benar-benar saling menghormati.

Komunitas b2w tidak selayaknya menjadi sebuah komunitas yang eksklusif, dimana para anggotanya hanya untuk mereka yang mengendarai sepeda bermerk P*****N, G***T, atau pun jenis-jenis sepeda mahal yang lain, atau pun hanya untuk mereka yang mampu membeli helm sepeda (yang terbukti harganya jauh lebih mahal dibanding helm sepeda motor) dan perlengkapan atau pun aksesoris sepeda yang lain. Komunitas b2w selayaknya menjadi komunitas perekat mereka para the haves dan para ‘kaum cilik’, untuk kemudian sama-sama mewujudkan lingkungan yang lebih bersih.
So??? Apapun sepedamu, MARI KITA BERSEPEDA KE TEMPAT KITA MELAKUKAN AKTIVITAS KITA SEHARI-HARI.

Nana Podungge
PT56 12.32 261209

Senin, November 16, 2009

Pengkotak-kotakan Feminis(me)

“From several kinds of feminism ideology, how do you classify Gilman?”
(“Dari beberapa jenis ideology feminisme, kamu masukkan ke ideologi yang manakah Gilman?”)

Pertanyaan di atas disampaikan kepadaku setelah aku usai mempresentasikan makalah yang berjudul “Woman Madness in Charlotte Perkins Gilman’s ‘The Yellow Wallpaper’ and Putu Oka Sukanta’s ‘Dewi Bulan Jatuh di Batam’”, dalam sebuah seminar internasional yang diselenggarakan pada tanggal 16 Januari 2008.

Pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena Gilman sendiri justru menolak untuk melabeli dirinya sendiri sebagai seorang feminis. Gilman yang lahir pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1935 mengalami masa dimana banyak perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki – dengan cara mendapatkan hak pilih dalam PEMILU – tidak begitu saja setuju dengan cara tersebut. Dan pada akhir abad 19 itulah istilah ‘feminisme’ mulai digunakan untuk mengacu ke gerakan kesetaraan jender. Pengalaman hidup yang pahit mengajarkan Gilman bahwa untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki, hanya ada satu cara yang bisa dilakukan – bekerja sebagai pencari nafkah.

Meskipun begitu, para kritikus Sastra abad duapuluh menyebut Charlotte Perkins Gilman sebagai seorang feminis radikal. Di zaman dimana di tengah masyarakat Amerika masih banyak yang mengelu-elukan “the cult of true womanhood” dimana salah satu prinsipnya adalah ‘domesticity’ (perempuan didomestikasikan di rumah), kepercayaan Gilman bahwa perempuan harus bekerja sebagai pencari nafkah sangatlah dianggap radikal pada waktu itu.

“How do you classify yourself? A liberal feminist, a radical, Marxist, or any other kind of feminist?” seseorang mengirim email kepadaku, setelah membaca artikel-artikel di blog, juga menanyakan hal yang sama.

Berbeda dengan Gilman yang menolak disebut feminis, dengan bangga aku mengaku sebagai feminis. Tinggal di Indonesia dimana bahkan pada abad sekarang ini masih banyak orang yang tidak mengerti beda makna kata ‘feminis’ dan ‘feminin’, aku merasa perlu menunjukkan kepada khalayak – terutama pengunjung blog yang orang Indonesia – jati diriku sebagai seorang feminis.

(Seperti apakah jati diri seorang feminis itu? Well, baca aja blogku. LOL.)

Namun, aku sendiri juga menolak mengklasifikasikan diri sebagai seorang feminis liberal, radikal, atau jenis-jenis feminis yang lain. Sebagai sesama feminis – pada lingkup kecil, dan sebagai sesama perempuan – pada lingkup umum, semua perempuan seyogyanya berdiri pada lajur yang sama. Seperti yang selalu kutulis secara random di beberapa postingan, aku memberikan definisi ‘kesetaraan jender’ sebagai perempuan berhak untuk memilih apa yang ingin dia lakukan dalam hidupnya, untuk mengambil keputusannya sendiri, tanpa campur tangan pihak lain.

(Artikel yang berbahasa Inggris kutulis pada tanggal 23 Maret 2008, bisa diakses di
http://afeministblog.blogspot.com/2008/03/feminism-ideology.html )

N.B.:
Aku kembali membuka file-file lama untuk menemukan tulisan ini karena di sebuah milis yang kuikuti – JURNAL PEREMPUAN – akhir-akhir ini sedang ramai mendiskusikan pengkotak-kotakan feminis ini. ‘Kebijakan’ yang tidak bijaksana sama sekali telah difatwakan oleh pemerintah di suatu daerah Indonesia bahwa perempuan di wilayah tersebut tidak diperkenankan mengenakan jeans atau celana ketat. Alasan yang dikemukakan sangatlah menggelikan (biasa!!!) untuk melindungi perempuan dari hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Mengacu ke definisi kesetaraan jender yang kutulis di atas jelaslah bahwa hal ini merupakan pelecehan kepada kaum perempuan – perempuan tidak dipercaya bahwa mereka memiliki hak untuk memilih mengenakan pakaian yang seperti apa, sehingga pemerintah setempat pun mengatur cara perempuan berpakaian.

Dan pengkotak-kotakan feminis terjadi karena seorang miliser mengatakan bahwa ‘feminis Jakarta’ kurang kerjaan mengurusi ‘feminis Aceh’.

Jikalau kita merunut ke beberapa tahun yang lalu, saat gencar-gencarnya digulirkannya RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi), para feminis (alias pejuang kesetaraan jender) menolak hal ini mentah-mentah tentu dengan alasan yang sama – perempuan tidak diberi hak untuk memilih pakaian yang akan dikenakan, bahkan sampai ke hal-hal yang super menggelikan dan membodohi masyarakat (pasal perempuan tidak boleh menyusui bayinya di tempat umum, karena hal tersebut bisa dianggap sebagai mempertontonkan bagian sensitif perempuan, dan akan membuat laki-laki yang melihatnya blingsatan karena tak mampu menahan nafsu.) Namun pada waktu itu tidak ada debat pengkotak-kotakan feminis di milis, mungkin karena RUU APP dikeluarkan untuk semua wilayah di Indonesia. (Jadi berpikir bagaimana aplikasinya ya di Papua sana?)

Mungkin politik ‘divide et impera’ dianggap sangat manjur untuk menghentikan perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan?
PT56 18.40 151109

Senin, Oktober 12, 2009

Kesetaraan Jender


Bisakah seseorang berbincang tentang ketidakmasukakalan istilah ‘kesetaraan jender’ bila dia belum pernah merasakan ketidaksetaraan jender? Tatkala seseorang menanyakan ‘untuk apakah kaum perempuan memperjuangkan kesetaraan jender’, sebagai seorang feminis karbitan—namun berangkat dari ‘penderita langsung’ ketidaksetaraan jender—aku langsung tahu bahwa si penanya belum mengerti akar permasalahan yang telah diperjuangkan sejak beberapa abad lalu oleh para feminis. (Mary Wollstonecraft menulis buku yang berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” pada tahun 1792 mempertanyakan hal ini. Buku ini dianggap sebagai buku pertama yang bertemakan hak-hak perempuan.) Apa yang bisa kita simpulkan tatkala seseorang mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda, tergantung dimana dan kapan kita berada? Orang yang mengatakan hal ini tidak paham apa arti sebenarnya kata ‘kodrat’ itu. Kodrat adalah segala hal yang diciptakan oleh Tuhan, dan tidak akan pernah bisa berubah, dimana pun dan kapan pun kita berada. Berangkat dari definisi ini, kita bisa menyimpulkan kodrat bagi seorang perempuan meliputi:
  • Menstruasi pada usia tertentu
  • Mengandung, tatkala sel telur yang dia hasilkan dibuahi oleh sperma, ini menurut cara konvensional. Konon di zaman sekarang seorang perempuan bisa hamil tanpa sperma.
  • Melahirkan, (setelah mengandung)
  • Menyusui, dengan catatan jika tubuhnya mampu menghasilkan air susu yang cukup untuk diberikan kepada bayinya
Untuk poin kedua, kita tahu bahwa tidak semua perempuan ditakdirkan bisa mengandung, hanya Sang Pemberi Hidup lah yang mengetahui rahasia hal ini. Demikian juga dengan poin keempat, kita juga tahu bahwa tidak semua perempuan dikarunia kemampuan menghasilkan air susu yang cukup, bahkan terkadang ada perempuan yang air susunya tidak keluar sama sekali setelah melahirkan. Untuk hal ini mungkin pihak medis bisa merunut sejarah kehamilan untuk mencaritahu hal ini. Penjelasan akan kodrat di atas membuat kita bertanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda berdasarkan dimana dan kapan dia tinggal? Hal apa lagi yang dipaksa untuk dikategorikan sebagai kodrat perempuan?
  • Memasak? Untuk memasak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim, vagina, atau pun payudara, sehingga kaum laki-laki pun sangat bisa melakukan hal ini. Dan kita pun tentu tahu banyak laki-laki yang menjadi ahli memasak.
  • Menjadi pengasuh anak? Perempuan secara eksklusif sangat dibutuhkan untuk ‘menghasilkan’ anak karena hanya perempuan lah yang menghasilkan sel telur, dan yang memiliki rahim tempat janin tumbuh. Untuk mengasuh anak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim maupun payudara, sehingga bisa dikatakan bahwa tanggung jawab menjadi pengasuh anak tidak secara eksklusif milik seorang perempuan.
  • Mengurus rumah tangga? Menggunakan alasan pada poin yang tertulis di atas, kita bisa menyimpulkan hal yang sama: baik laki-laki maupun perempuan bisa melakukannya secara bersama-sama.
Undang-undang yang menyatakan bahwa jika perceraian terjadi, maka sang ibu memiliki hak untuk menjadi ‘guardian’ anak-anak, bisa jadi memang sangat memihak kaum perempuan. Namun hal ini pun kemudian disalahgunakan oleh para laki-laki—terutama di etnis-etnis tertentu di Indonesia. Setelah menikahi seorang perempuan, membuatnya hamil, tak lama kemudian dia kabur menghilang. Tinggal lah sang ibu seorang diri membesarkan bayi yang dihasilkan. Bahkan jika terjadi perceraian yang ‘legal’ di pengadilan, dan bukan kasus seorang laki-laki kabur begitu saja setelah menghamili seorang perempuan, pengadilan tetap saja tidak bisa memaksa pihak laki-laki untuk tetap bertanggungjawab, minimal secara finansial, untuk anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Undang-undang di Indonesia belum memihak kaum perempuan dalam hal ini. Jika seorang perempuan memaksa diri datang ke pengadilan untuk melaporkan mantan suami yang tidak memberikan tanggung jawab finansial untuk si anak, belum tentu akan berhasil. Apalagi jika sang mantan suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Belum pernah terjadi kasus seorang laki-laki dijebloskan kedalam penjara karena dia tidak memberikan uang untuk biaya anak-anak yang kebetulan tinggal bersama mantan istri. Yang ada mungkin seorang mantan suami memaksa mantan istri untuk mau kembali kepadanya, misal, “Salah kamu sendiri minta cerai. Kalau kamu tetap jadi istriku ya aku mau bertanggungjawab.” Apakah definisi ‘kesetaraan jender’ yang diperjuangkan oleh para feminis? Tentu tidak agar perempuan bisa tampil seperti laki-laki, dengan tubuh kekar, berjalan gagah, dll. Atau, misal, kalau mau dianggap setara, coba dong perempuan juga bekerja sebagai penyelam di perairan dalam, atau pilot pesawat tempur, atau pun pekerjaan lain yang bersifat ‘maskulin’. Motto utama kesetaraan disini adalah bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menentukan pilihan hidupnya.
  • Perempuan berhak untuk memilih menikah atau tidak.
  • Perempuan berhak memilih apakah dia akan mengandung untuk memiliki anak, atau tidak, setelah menikah, ataupun memiliki anak di luar pernikahan.
  • Perempuan berhak memilih untuk memiliki karier di luar rumah, di dalam rumah, atau mungkin menjadi ibu rumah tangga.
  • Perempuan berhak memilih karier apa saja yang dia inginkan, tanpa terbatasi fisiknya sebagai perempuan.
Untuk poin dua, tiga, dan empat, bagi perempuan yang menikah, maka seyogyanyalah jika sang suami memberikan dukungan sepenuhnya. Jangan karena kebetulan tinggal di sebuah komunitas yang memiliki konsensus perempuan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, sang suami dengan tanpa pengertian membebani sang istri yang memilih untuk berkarier di luar rumah untuk tetap melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga, tanpa membantunya sama sekali. “Salahmu sendiri dong, ngotot bekerja di luar rumah. Telan sendiri tuh resikonya.” Para pejuang kesetaraan jender percaya bahwa perjalanan ini masih sangatlah panjang. Yang penting adalah kita tetap berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan perempuan, yang kita yakini akan menghasilkan kehidupan bersama bagi laki-laki maupun perempuan yang lebih baik. PT56 21.21 111009

Jumat, Juli 10, 2009

Pernikahan Dini



Agar tidak melebar dari tujuan utama penulisan ini, mengingat banyaknya definisi ‘usia dini’ dalam ungkapan ‘pernikahan dini’ maka penulis membatasi definisi ‘pernikahan dini’ sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki.
Lebih lanjut lagi, tulisan ini lebih memfokuskan pada pernikahan dini yang dilakukan oleh seorang perempuan.

Pernikahan dini memang bukanlah sebuah fenomena baru dalam kehidupan, baik di Indonesia, maupun di belahan bumi yang lain. Di zaman dahulu, merupakan sesuatu yang lumrah manakala seorang perempuan menikah di bawah usia 15 tahun. Pro dan kontra tentang pernikahan dini kembali mencuat setelah setahun yang lalu muncul pemberitaan yang kontroversial pernikahan Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Puji yang berusia 43 tahun dan Ulfah Lutfiana yang berusia 12 tahun ketika melangsungkan pernikahan.

Orang yang pro kebanyakan mengacu ke pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah yang konon masih berusia 7 tahun tatkala dipinang oleh Nabi. Mereka mengatakan ‘there is nothing wrong’ untuk hal ini, sambil membeberkan kaidah hukum syara ini dan itu. Selalu dilatarbelakangi oleh agama (Islam). Sedangkan yang kontra memberikan alasan yang lebih kompleks.

Kesehatan

Bagi kebanyakan masyarakat di kultur Indonesia, pernikahan dianggap sebagai suatu ‘tiket’ untuk melakukan hubungan seks. Istilah ‘malam pertama yang ditunggu-tunggu oleh para pengantin baru’ merupakan salah satu ‘bukti’ bahwa pernikahan dianggap sebagai ‘pintu pembuka’ untuk melakukan hubungan seks.

Dalam sebuah talkshow yang bertajuk “pencegahan dan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara”, Dr Nugroho Kampono SpOg dari FKUI mengatakan bahwa hubungan seks yang dilakukan oleh perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun akan beresiko meningkatkan kemungkinan terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Jika leher rahim ini terus menerus terpapar human papiloma virus atau HPV, sel-sel tersebut akan tumbuh menyimpang dan menjadi kanker.

Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.” Kata beliau.

Pernikahan dini memang bukan satu-satunya faktor penyebab kanker leher rahim. Faktor lain misalnya terlalu sering melahirkan, merokok, dan berganti-ganti pasangan seks. Meskipun begitu, hal ini menunjukkan satu hal: sebaiknya pernikahan dini dihindari.
Selain kanker leher rahim, tubuh perempuan remaja juga belum siap untuk mengandung dan kemudian melahirkan. Jika dari seks yang dilakukan sang perempuan hamil, sangat mungkin jika kemudian terjadi kematian terhadap bayi yang dikandung, maupun sang ibu saat melahirkan, yang disebabkan kehamilan di usia muda.

Menstruasi yang selama ini dipandang sebagai penanda kedewasaan secara biologis bagi kaum perempuan dianggap oleh para ahli tidak selayaknya menjadi tolok ukur. Tubuh perempuan tetap mengalami pertumbuhan setelah menstruasi pertama. Organ-organ di dalam tubuh perempuan tetap mengalami perkembangan, sampai usia 20 tahun, seperti yang dikemukakan di atas.

Di masa lalu, saat dunia kedokteran belum maju seperti sekarang, masyarakat belum tahu resiko melakukan hubungan seks di usia remaja. Ditambah lagi belum banyak hiburan yang bisa mudah ditemui, sehingga pernikahan pun dilakukan pada usia yang relatif lebih muda dibandingkan sekarang: seks dipandang sebagai satu-satunya hiburan yang murah meriah.

Psikologis

Permasalahan yang menimpa pasangan yang sudah menikah biasanya jauh lebih kompleks dibandingkan permasalahan yang menimpa pada seseorang yang masing single. Untuk itu dibutuhkan kematangan psikologis yang cukup sebelum menyongsong kehidupan baru. Untuk hidup berdua saja dibutuhkan kematangan psikologis, apalagi jika kemudian hadir anak-anak yang dihasilkan dari seks yang dilakukan.

Keadaan psikis orang tua yang belum matang akan sangat mempengaruhi cara mereka mengasuh anak-anak yang dilahirkan. "Yang namanya mendidik anak itu perlu pendewasaan diri, jadi harus ada kematangan dan pemahaman diri untuk dapat memahami anak. Kalau masih kekanak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena di satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya," kata Rudangta Arianti Sembiring, Psi, staff pengajar di UKSW, seorang psikolog yang sangat concerned di bidang psikologi anak.

Pelanggaran hak anak

UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang disebut anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Orang tua yang menikahkan anak mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun berarti telah melanggar undang undang tersebut. Orang tua seharusnya memberikan perlindungan kepada anak mereka, dan bukannya melakukan hal yang sebaliknya, misal “menjual” sang anak demi menaikkan derajat kehidupan sang orang tua, dengan menikahkannya pada seseorang yang kaya raya (misal kasus Puji – Ulfa).


Tri Lestari Dewi Saraswati, Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak Yogyakarta mengatakan menikahkan seorang anak di bawah usia 18 tahun berarti orang tua telah melanggar lima hak anak. Lima hak tersebut yaitu:

Pertama, hak untuk mendapatkan pendidikan. Banyak kasus menunjukkan setelah menikah, seorang anak berhenti sekolah. Apalagi kultur di Indonesia menunjukkn banyak sekolah menolak anak-anak yang sudah menikah untuk menuntut ilmu di institusi mereka. Zaman sekarang memiliki pendidikan tinggi sangat membantu seseorang untuk mandiri secara finansial. Jika seorang perempuan terpaksa berhenti sekolah karena menikah, hal ini berarti membuat perempuan tersebut bergantung. Jelas akan terlihat ketimpangan antara suami dan istri di kemudian hari.
Pendidikan juga memiliki andil besar untuk membuat seseorang lebih dewasa secara psikologis. Kedewasaan psikologis ini juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh seseorang sebelum memulai kehidupan baru, dan untuk mendidik anak nantinya.

Kedua, hak untuk berpikir dan berekspresi. Seorang anak yang dipaksa untuk menikah di usia dini membuatnya kehilangan hak untuk berpikir dan berekspresi menurut apa yang mereka pikir dan rasakan. Semula mereka harus menuruti apa yang dikehendaki oleh orang tua. Kemudian, jika mereka dinikahkan kepada laki-laki yang jauh lebih tua, mereka harus menuruti apa yang dikatakan oleh suami mereka.

Ketiga, hak untuk menyatakan pendapat dan didengarkan pendapatnya. Hal ini merupakan kelanjutan hak kedua di atas.

Keempat, hak untuk memanfaatkan waktu luang, dan bergaul dengan teman sebaya, bermain, dan berkreasi. Seorang perempuan yang terpaksa menikahi laki-laki yang jauh lebih tua akan langsung ‘terperangkap’ dengan kewajiban-kewajiban sebagai istri, sehingga kehilangan waktu remajanya.

Kelima, hak perlindungan. Dalam hal pernikahan dini, sering orang tua sendiri yang telah menghilangkan hak perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak. Seorang anak sering merasa harus mematuhi apa yang dikatakan oleh orang tuanya, demi untuk mendarmabaktikan diri kepada orang tuanya. Padahal UU nomor 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa mereka yang melakukan pelanggaran perlindungan anak bisa terjerat pidana penjara lima sampai limabelas tahun.

Masa lalu versus masa kini

Banyak pihak mempertanyakan mengapa pernikahan dini harus dipermasalahkan lagi sekarang mengingat masih banyak lapisan masyarakat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan.

Masing-masing zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Jika dulu orang boleh menganggap sesuatu hal yang lumrah jika seorang perempuan menikah di usia di bawah 15 tahun, sekarang kemajuan di bidang kedokteran telah menunjukkan sebaiknya pernikahan dini dihindari demi kemaslahatan bersama.

Jika dulu perempuan tidak perlu memiliki pendidikan tinggi, tuntutan zaman sekarang seorang perempuan pun sebaiknya memiliki pendidikan tinggi. Menggantungkan hidup kepada suami secara finansial—seberapa mapan pun sang suami—bukanlah merupakan sesuatu yang sebaiknya dilakukan pada saat sekarang. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misal sang suami meninggal dan sang perempuan harus berjuang sendiri, maka pendidikan yang diperoleh akan sangat membantu.

Membiarkan seorang perempuan menikmati masa remajanya akan mempengaruhi kematangan psikisnya sehingga dia pun akan tumbuh menjadi pribadi yang matang dan siap menjadi seorang ibu yang akan mengasuh anak-anak dengan sebaik-baiknya.

Pernikahan Puji – Ulfa yang kontroversial menjadi penyulut hebohnya media dan masyarakat umum tentang dampak buruk pernikahan dini karena media sekarang lebih mudah diakses oleh masyarakat, dan Puji dikenal sebagai seseorang yang eksentrik yang menyukai sensasi.

Tulisan ini sengaja tidak mengupas dari segi yang pro pernikahan dini, terutama yang mengacu ke pernikahan Nabi Muhammad dan Aisyah. Untuk mementahkan anggapan (yang sudah meluas selama berabad-abad) bahwa Nabi menikahi Aisyah di usia yang masih sangat dini, kunjungi blog ku di alamat berikut ini:

http://themysteryinlife.blogspot.com/2009/07/berapa-usia-aisyah-ketika-dinikahi-nabi.html

Nana Podungge
PT56 19.44 080709

Referensi:

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/13/16014770/pernikahan.dini.langgar.hak.anak

http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/29/29/158639/ketahui-risiko-pernikahan-dini-yuk

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/13/10014864/bolehkan.pernikahan.dini.uu.perkawinan.perlu.direvisi

http://dinkes-kotasemarang.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=35

Selasa, Juni 23, 2009

Feminsime versus Perkawinan



Apakah ideologi feminisme menolak perkawinan?

Memang sebagian feminis (terutama para penganut feminisme radikal) yang berpendapat bahwa perkawinan adalah sebuah institusi yang sering melakukan penindasan terhadap kaum perempuan. Terlebih undang-undang perkawinan (terutama yang beragama Islam) di Indonesia menyebutkan bahwa

 dalam perkawinan suami memiliki peran sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal ini berarti seorang suami harus menyokong kehidupan keluarga secara finansial dan seorang istri harus mengurusi rumah tangga. Dengan catatan sebatas kemampuan seorang suami. Seorang istri tidak selayaknya memprotes.
 Dalam perkawinan seorang suami memiliki peran sebagai pemimpin dan pembimbing keluarga dan istri menghormati serta mematuhi suami.
 Dalam perkawinan seorang suami melindungi istri dan anak-anak, sedangkan istri mengurusi rumah tangga.
 Dalam perkawinan seorang suami mencari solusi segala permasalahan yang muncul dalam keluarga dan seorang istri mendukung solusi suami serta mematuhinya.
 Dalam perkawinan seorang suami diharapkan untuk membantu pekerjaan istri dalam mengurusi rumah tangga.


Jika dilihat sekilas, apa yang tertera dalam surat kawin di atas nampak baik-baik saja. Namun jika memperhatikan lebih dalam dan membaca ‘between the lines’ atau yang tersirat, kita akan melihat ketidakseimbangan posisi perempuan dan laki-laki dalam perkawinan. Mari kita kupas satu per satu.

Poin pertama, ketentuan bahwa seorang laki-laki berperan sebagai pencari nafkah dan seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan suatu penindasan. Penggunaan kata ‘sebatas kemampuan’ dalam pemberian nafkah kepada seorang istri, bisa menimbulkan kesempatan (dalam kesempitan) bagi kaum laki-laki untuk melakukan kekerasan secara finansial terhadap istri. Apalagi dengan iming-iming yang biasa diberikan oleh para ulama, “Perempuan yang saleha adalah perempuan yang menerima seberapa pun nafkah yang diberikan oleh sang suami. Untuk itu dia akan diberi hadiah surga.” Ditambah lagi kultur patriarki menyebarkan ‘doktrinasi’, “Perempuan yang cerdas dan baik adalah perempuan yang mampu mengelola keuangan keluarga dengan baik.”
Jika seorang laki-laki kebetulan tidak beruntung tidak mendapatkan nafkah yang cukup untuk diberikan kepada keluarga, sang istri harus memahaminya. Seorang istri yang saleha, baik, dan cerdas harus mengupayakan suatu cara bagaimana agar dapur tetap mengebul. Bagi mereka yang familiar dengan karya sastra, bisa mengacu ke drama yang berjudul A DOLL’S HOUSE karangan Henrik Ibsen, dimana Nora (yang pernah menjadi lugu) berusaha sekuat tenaga bagaimana dia harus mengelola keuangan keluarga.

Poin pertama ini sebenarnya bisa juga diinterpretasikan mengandung penindasan kepada kedua belah pihak—laki-laki dan perempuan. Mereka tidak bisa memilih peran yang mana yang lebih cocok. Jika mereka memilih sebaliknya (sang suami menjadi ‘househusband’ dan sang istri sebagai ‘breadwinner’), maka tak pelak masyarakat sekitar akan ‘menghukum’ mereka dengan label ‘tidak lazim’. Untuk tulisan khusus tentang ‘househusband’ bisa klik alamat
http://afeministblog.blogspot.com/search/label/househusband

Di era seperti sekarang dimana banyak perempuan yang memiliki kesempatan untuk memiliki karier yang bagus dan nafkah yang lebih dari cukup, mereka tetap mendapatkan ‘beban’ untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena surat kawin menyatakan begitu. Hal ini membuat beban seorang istri lebih besar.

Poin yang kedua menunjukkan penindasan yang cukup jelas. Kata siapa hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin? Akan lebih baik dan bebas bias gender bila pernyataan itu diganti menjadi “dalam perkawinan suami dan istri memimpin dan membimbing anak-anak bersama-sama, dan saling menghormati. Pernyataan MENGHORMATI SATU SAMA LAIN hendaknya digarisbawahi sehingga tak ada satu pihak pun yang perlu merasa tertindas. Ada banyak kasus penindasan yang disebabkan oleh pernyataan, “seorang suami mencintai istrinya dan istrinya menghormati suaminya.” Salah satu kasus: seorang temanku mendapatkan komplain dari sang suami, “Kamu tidak menganggapku sebagai laki-laki lagi? Sehingga kamu tidak mau mendengarkan kata-kataku?” Sebuah kalimat yang bisa kita interpretasikan sebagai, “Kamu tidak menghormati aku lagi.” Kalimat yang sangat ‘tricky’ yang herannya sangat manjur untuk membuat temanku diam saja dan menyalahkan diri bahwa dia telah menjadi seorang perempuan yang tidak saleha dan tidak baik.

MENGHORMATI SATU SAMA LAIN bisa juga diterapkan pada poin yang ketiga. Jika seorang suami menghormati hak-hak istri—juga anak-anak—secara otomatis perlindungan terhadap istri dan anak-anak pun berlaku. Melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama akan lebih terlihat indah dan romantis, daripada sang suami hanya memandang sang istri sibuk melakukan ini itu sambil berbisik, “Kamu memang diciptakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sayangku. Sedangkan aku terlahir untuk memandang keindahan yang terwujud dalam dirimu tatkala melakukan pekerjaan rumah tangga.” Di Indonesia, dan juga masih berlaku di banyak negara lain, pekerjaan semacam memasak, mencuci pakaian, menyeterika, dan membersihkan rumah masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan di rumah.

Poin keempat sangatlah menindas hak-hak kaum perempuan. Tatkala menghadapi suatu permasalahan, bukankah sebaiknya suami dan istri berdiskusi bersama, menimbang keuntungan dan kekurangan bersama, kemudian mengambil keputusan bersama. Suami dan istri memilik hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat mereka. Mengambil keputusan bersama dan melakukannya bersama untuk kebaikan bersama akan lebih indah dibandingkan jika sang suami yang mengambil keputusan kemudian sang istri mematuhinya. Tak ada pihak yang merasa tertindas.

Poin terakhir bagus. Namun, jika dihubungkan dengan poin yang pertama—bahwa istri memiliki peran sebagai pengurus rumah tangga, mengerjakan pekerjaan rumah tangga—banyak suami akan mengelak melakukan hal ini, dengan alasan, “Itu bukan tugasku sebagai suami.” Selain itu, pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin masih sangat kuat dalam kultur kita. Masih banyak orang yang menganggap seorang suami yang membantu pekerjaan rumah tangga sebagai suami yang mengagumkan.

Berdasarkan pemikiran yang tersebut di atas, sangatlah dimaklumi jika para pejuang perempuan menginginkan perubahan dalam dokumen surat kawin, agar lebih ‘women friendly’; agar lebih tercipta suasana yang kondusif dalam perkawinan.

Kembali pernyataan yang tertulis di awal artikel ini, perkawinan tidaklah selalu merupakan institusi yang melakukan penindasan kepada kaum perempuan, atau kepada kedua belah pihak—suami dan istri. Jika keduanya benar-benar saling menghormati—terlepas dari apa yang tertulis dalam surat kawin—tak akan ada satu pihak pun yang akan merasa tertindas. Bukanlah hal yang tidak mungkin bagi seorang perempuan feminis untuk menikah, apabila dia menemukan laki-laki yang feminis pula (dengan kata lain mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan).

Nana Podungge
Terjemahan dari artikel yang berjudul “Is feminism against marriage?” yang bisa diakses di http://afeministblog.blogspot.com/2007/05/is-feminism-against-marriage.html
PT56 20.02 230609

Quarrel among Couples


Beberapa minggu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang teman. Dia bilang dia sedang kesal kepada suaminya yang membuat mereka bertengkar berlarut-larut. Aku kaget setelah tahu masalahnya sebenarnya (bagiku) sepele saja: apakah mereka perlu membeli korden jendela yang baru. Temanku bilang dia kepengen beli, mumpung ada korden dengan harga murah. Suaminya bilang, mereka tidak membutuhkan korden baru. Toh mereka merencanakan akan pindah ke tempat lain, kalau mereka mendapatkan tempat lain yang lebih representatif untuk tempat tinggal.

Berhubung sudah beberapa tahun aku menjomblo, sehingga tidak pernah terlibat pertengkaran-pertengkaran ‘sepele’ (namun bisa berakibat ‘besar’) antar suami istri, aku tidak melihat ‘keuntungan’ mengapa temanku dan suaminya harus bertengkar.

“Why don’t you just listen to him? Toh nanti kalian akan pindah? What’s the point of your being stubborn to buy that curtain?” tanyaku, heran. LOL.

“Nampaknya karena aku pengen ngeyel aja lah. To get his attention, probably.” Jawabnya, ringan. “Aku tahu dia yang benar. Tapi aku pengen beli korden itu, mumpung murah.” Katanya lagi.

Beberapa tahun lalu, seorang teman lain cerita kepadaku betapa dia kesal pada suaminya, karena sesuatu hal. Rasa kesal ini membuatnya enggan berkomunikasi pada suaminya. Dan hal ini merembet ke masalah tempat tidur. Dia enggan bercinta dengan suaminya, dan sok tidak menginginkannya.

Meskipun sekarang aku jomblo, aku pernah punya pengalaman serupa, sehingga aku beri dia saran untuk segera menyelesaikan permasalahan itu, dan tidak membiarkannya berlarut-larut.
“You two directly talk to each other about it. Be open with each other. Ga usah pakai sok gengsi siapa yang salah siapa yang benar. You had better not challenge yourself, ‘it is okay for me to get divorced.’”
Sok banget toh si Nana ini? LOL.

Waduh ... Nana nggosip. LOL.
Tapi aku yakin masalah yang nampaknya sepele dalam satu hubungan (apalagi dalam pernikahan), jika dibiarkan lama-lama bisa menjadi besar. Tatkala masalah-masalah sepele berakumulasi, suatu saat akan memuncak, dan bisa berakibat sangat fatal.

What’s the point of getting married if not to have a life partner? A soulmate? So, why should get involved in quarrel? Moreover in fight?
PT56 21.35 210609

Senin, Juni 22, 2009

Nana Podungge on the Jakarta Globe

http://thejakartaglobe.com/lifeandtimes/blogging-in-english/313712

by Michelle Udem

Blogging In English

Michael Jubel Hutagalung, a Web designer based in Bandung, West Java, started Jubel and the Unessential, an English-language blog, primarily to improve his written English. The blog offers Hutagalung’s random musings on Indonesia’s politics and culture.

Within a year of Hutagalung starting the blog in October 2007, the traffic to the site was so high that it was exceeding the bandwidth limit on the platform he was using, and he had to move his blog to another host. The traffic explosion, mostly from Indonesians living abroad, gave him an incentive to do more than just improve his English skills.

“I want to tell the world what Indonesia’s really like — how the people really live,” Hutagalung said. But readers may not always get much on how Indonesians are living on an up-to-the-minute basis, or even about the day-to-day concerns of his countrymen.

Hutagalung last posted on Monday, after a two-month hiatus, filling readers in on his university plans and his personal debate in choosing between studying in London or the Netherlands.

The total number of Indonesian bloggers is difficult to quantify due to the constant deletion and activation of blog accounts. A top Indonesian-language blogger and internet publisher, Enda Nasution, says that Indonesia has about one million bloggers, based on blogger.com information, Wordpress information and blogs hosted personally — there are about 20 blogging communities in Indonesia, one in ever major city.

For Indonesians blogging in English, many are simply interested in trying to reach an audience beyond their own country and to give a perspective not available in the foreign media. Out of the 10 bloggers listed here, seven do not have a degree in English, nor have they studied abroad.

Budi Putra, a freelance writer and full-time, self-employed blogger living in Bintaro, South Jakarta, writes in English about new gadgets from an Indonesian perspective. Though many of his topics involve global technology news, he feels he provides a unique perspective as an Indonesian.

“My main demographic is both Indonesians and foreigners, especially those who love technology and digital life issues … Blogging is about conversation, so I want to talk to them through my blog. That’s why my blog’s tagline is ‘Talk With Me.’ ”

Hutagalung and Putra’s blogs focus on specific topics, but the majority of the Indonesians bloggers writing in English are diarists, who post as the mood strikes.

Devi Girsang, a 22-year-old medical student born, raised and living in Jakarta, operates the site “It’s My Life,” last updated May 5. With a tagline, “Love & Tears. Laugh & Cry. Achievements & Regrets. Welcome To My Life!” Girsang’s blog ranges from discussions on everyday topics such as poor customer service to inquiries on why people do bad things.

Such topics written from an Indonesian perspective and in English help readers realize that people worldwide run into the same problems and share the same emotional inquiries.

In another blog, “Republikbabi,” 23-year-old Calvin Sidjaja from Bandung posts updates about growing up with a mixed heritage in Indonesia. On his blog, Sidjaja discusses the role of mixed heritage Indonesians, such as Dutch-Indonesians and Chinese-Indonesians. He delves into the history of mixed heritages in Indonesia and how society views these people today.

“Many international students were helped because of the personal essays [on my blog],” he said.

But the Internet is not always the safest place to express personal and sometimes controversial opinions.

Girsang has “been accused of being an ‘American-wannabe’ from an anonymous commenter,” and Sidjaja notices how any type of neutral post he writes on religion always causes controversy.

Regardless of the hate mail and negative feedback, the bloggers find that voicing their thoughts and opinions in English is beneficial. “Though difficult to write in English, I like challenges. I love the rhythm of English words. It’s more personal and subjective,” Budi Putra explains.

To these bloggers, writing in English is their key to communicating to the outside world as they find freedom in abandoning their own tongue for just a few moments a week or month.

“Bahasa can be so difficult because of the formality of the language. I can express myself more casually in English” Girsang said.
These ten English-language blogs appear in the top 50 Indonesian blogs tracked by Web site www.indonesiamatters.com

Three Popular Blogs Written by Expats Living in Indonesia:

These three blogs written by expatriates living in Indonesia are ranked in the top six on blogs.indonesiamatters.com.

1. Brandon Hoover
thejavajive.com/blog
Consisting of high-resolution photographs, Brandon Hoover’s blog takes a look at Indonesia’s natural beauty and his life here as an American. Aesthetically pleasing, Hoover’s blog illustrates how Indonesia has influenced his thoughts and photography. A fan of Indonesia, Hoover’s blog provides an American’s perspective on the joys of living in the country.

2. Jakartass
jakartass.blogspot.com
Jakartass, written by a Westerner living in Jakarta, consists of witty posts chronicling the life of an expatriate in Jakarta. Posts on the blog discuss local news as well as personal experiences illustrating quirks in Indonesian culture. Most recent posts discuss power cuts in Jakarta and a list of books by bloggers. Information on Indonesian acronyms and slang words are found on the sidebar of the blog.

3. Treespotter
Treespotter.blogspot.com
Treespotter is a personal blog containing posts mostly on daily life in Indonesia and current, local events. Posts include idiosyncrasies in Jakarta culture, such as how there is always a place to smoke. The personal posts are both entertaining and in depth, while the posts pertaining to politics are written from an outsider’s point of view.


Ten Blogs by Indonesians Who Are Writing in English:

These ten English-language blogs appear in the top 50 Indonesian blogs tracked by Web site www.indonesiamatters.com.

1. Michael Hutagalung
michaelhutagalung.com
Web designer Michael Hutagalung maintains a blog that consists of his personal perspectives, his design portfolio and discussions on Wordpress themes and Indonesian social issues. His blog offers readers the opportunity to learn about the Wordpress program as well as read an Indonesian perspective on the upcoming election.

2. Budi Putra
budiputra.com
Blogger Budi Putra of this self-titled blog provides commentary on local news and technology gadgets. Mixing local technological news, such as Indonesia’s launch of digital TV, Putra also updates readers on more esoteric news such as the discovery of Indonesian sea horses. Technologically-savvy Putra comments on how information from the upcoming election will be broadcast via SMS.

3. Devi Girsang
devigirsang.blogspot.com
Attracting both Jakartans and foreigners, Devi Girsang’s personal blog gives insight into the life of a young, Indonesian medical student. Girsang blogs on topics ranging from laptop malfunctions to bus-riding etiquette. Girsang’s blog gives expatriates the opportunity to observe a young Indonesian’s experiences, while peers can relate or rebut Girsang’s critiques of Jakarta culture and society.

4. Merlyna Lim
merlyna.org/blog
Blogging from her home in Arizona, Merlyna Lim’s blog focuses on her craft as an artist and her thoughts on both Indonesian and American issues. In between posts of her personal drawings and collages, Lim touches on local topics such as the construction of urban space in Bandung and internationally relatable topics such as inequalities within society.

5. Martin Manurung
martinmanurung.com
Martin Manurung’s self-titled blog covers topical news issues in Jakarta. Providing his own commentary and critique of social, economic and political topics, Manurung tries to counterbalance foreign media reports that he feels are often “misleading.” Straying away from gossip, Manurung’s blog gives foreigners an inside look from a local’s perspective.

6. Calvin Michel Sidjaja
republikbabi.com
Touching on sensitive topics such as his search for his family tree and being of mixed heritage, Calvin Sidjaja’s blog consists of posts on his personal life and experiences. Sidjaja’s Indonesian heritage is a main theme of his blog, a topic that many young adults can relate to.

7. Ecky
cisayong-girl.blogspot.com
Known on her blog as Ecky, the blogger writes from Australia. Though she mostly posts on personal subjects such as shower rituals and the perks of being a woman, Ecky also writes about the difficulties that come with change and leaving the comfort of her home country, Indonesia. Ecky also posts topical news from Jakarta, such as the upcoming election and President Obama’s effect on Indonesians.

8. Carla Ardrian
socialindividualist.blogspot.com
Blogging on various topics from gardening to photography, Carla Ardrian provides an Indonesian perspective on everyday things. Accommodating her Indonesian readers, Carla posts innovative recipes and political commentary, while foreigners may be more attracted to her travel and cultural tips. One of Carla’s posts comments on her experience of receiving incorrect directions as a tourist in Bali.

9. Nana Podungge
afeministblog.blogspot.com
Nana Podungge’s most recent post on her blog, “A Feminist Blog,” discusses the topic of religion. Podungge considers herself a secular Muslim. Her religious views are mixed with the other main focus of her blog, a woman’s role in society. A unique combination, Podungge’s blog provides insight into controversial topics.

10. Martha
mamahit.net/blog
“Frank and Martha’s Blog,” written by Martha, captures the life of a young family in Jakarta. Martha’s updates illustrate the charms shared by all families worldwide, such as receiving her first written letter from her elementary school-aged son. Chronicling the life of a mother, Martha shares her thoughts on baking experiences, the workplace and raising a young child.

Senin, Mei 18, 2009

Kuliah


Beberapa tahun yang lalu, di salah satu buku yang dipakai untuk bahan belajar di tempat kerjaku ada sebuah kasus yang cukup menarik untuk bahan diskusi: seorang perempuan yang ‘pursue’ pendidikannya di college di usia yang tidak bisa dikatakan masih muda—let’s say middle-aged. Dia tidak malu dengan ‘usianya yang tak lagi muda’ dan statusnya sebagai seorang perempuan yang sudah menikah. Apalagi suami dan anak-anaknya mendukungnya. Latar belakang: dia adalah (‘hanya’) seorang ibu rumah tangga.

Mengingat topik pembahasan utama adalah pendidikan dan jenis ‘learner’ (someone is either a visual learner, an audio learner, or a kinesthetic learner, or a combination of those three kinds of learner), maka diskusi tidak pernah melebar ke pembahasan gender. And I was not a feminist yet at that time. :)

Sampai saat ini yang masih kuingat dari sekian banyak diskusi di kelas adalah kata-kata seorang siswa, a guy, still single, but already an employee, perhaps he was around thirty. “What is the point of this woman to pursue her study if after that she just would stay home and continue being a housewife? I am of opinion that she just wastes her time, energy, as well as her husband’s money.”

Nampaknya ide ‘self-actualization’ bagi seorang perempuan belum bisa dia pahami. Self-actualization bagi seorang perempuan tidak melulu hanya bisa dicapai dari melakukan hal-hal yang ‘feminin’ such as memasak, menjahit, dan mungkin berkebun. Belajar di sekolah—apalagi di perguruan tinggi—tentulah bersifat ‘maskulin’ mengingat pada satu waktu seorang Kartini dan Dewi Sartika merasa perlu mendirikan sekolah khusus untuk perempuan karena sekolah yang ada pada waktu itu tidak bersahabat dengan perempuan.

Dan tentu menurut Abraham Maslow, kebutuhan memenuhi ‘self-actualization’ tidak hanya milik laki-laki saja; perempuan juga perlu menggapainya.

***

Tatkala aku berhadapan dengan beberapa mahasiswa yang ‘usianya sudah tidak muda lagi’ (baca -> above thirty years old), aku tengarai kebanyakan dari mereka adalah employees. Alasannya tentu jelas: kenaikan jenjang karier mereka. Yang aku sedihkan adalah: nampak jelas bahwa whether they grasp the new knowledge they get is not important for them.

Beberapa minggu yang lalu, seorang mahasiswaku bilang, “Ms. Nana, saya kan rajin datang ke kelas. Nanti kalau hasil test saya jelek, kehadiran saya di kelas bisa menaikkan nilai saya ga?”
Aku tengarai she is above fifty years old. Latar belakangnya: dia seorang pegawai sebuah bank swasta. Her English is not really good, sehingga bisa dipastikan dia harus bekerja keras untuk memahami aku yang berbicara menggunakan Bahasa Inggris melulu. Tambah lagi, mata kuliah yang kuajar sering dianggap sulit bagi mahasiswa: ‘Telaah Drama’ dan ‘Telaah Puisi’.

Tentu aku bukan seorang heartless teacher, meskipun aku sedih mendengarnya. I did appreciate her frankness, though. Aku ingin para mahasiswaku mendapatkan nilai bagus karena memang mereka paham, bukan karena belas kasihan. :(

***

Aku masih menunggu hadirnya seorang mahasiswa yang kuliah karena mereka mencintai ilmu pengetahuan.
PT56 22.12 160509

Selasa, Mei 12, 2009

Seandainya Antasari Berpoligami


Judul di atas tentu saja murni bukan ideku, namun aku hanya mencomot dari salah satu message yang kuterima di sebuah milis yang kuikuti. Kontan saja ‘thread’ satu ini menjadi bahan diskusi yang hangat. Tidak mengherankan pula jika pada perkembangannya yang lebih disorot adalah masalah poligami yang selalu kontroversial, bukan kasus Antasari yang konon terlibat cinta segitiga dengan Nasruddin Zulkarnaen dan Rani Juliani yang mengakibatkan kematian Nasruddin.

Artikel yang dikirim ke milis merupakan comotan dari koran ‘Waspada’ yang ditulis oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai wartawan koran yang bersangkutan. Merupakan kebetulan belaka jika si wartawan ini memiliki embel-embel gelar ‘Hj’ di depan namanya. Wartawan ini memiliki nama marga ‘Tarigan’.

Aku selalu percaya betapa dahsyatnya dampak media kepada pembaca maupun konsumennya. (Ini salah satu trigger yang sangat kuat mengapa aku blogging.) Jika si pembaca artikel tersebut menelannya mentah-mentah dan memahaminya secara bulat, tanpa menggunakan ‘critical thinking’ alias berpikir secara kritis, betapa pembodohan terhadap masyarakat tidak akan pernah berhenti.

Seperti yang dikatakan oleh Pastor Gustav Briegleb kepada Christine Collins dalam film ‘Changeling’ (film yang berdasarkan kisah nyata), “Pembaca (koran Times) yang menggunakan akalnya bisa langsung tahu perbedaannya. Sayangnya lebih dari setengah pembaca tersebut tidak menggunakan akalnya.”

Apalagi jika sang wartawan yang menulis artikel tersebut tidak menggunakan akal sehatnya, hanya bermodalkan idiom ‘harta, tahta, wanita’ sebagai godaan terberat bagi laki-laki sukses, kemudian menulis artikel dan diberi judul kontroversial “Andai Antasari Berpoligami”. Seolah-olah jika Antasari berpoligami, maka Nasruddin tidak akan terbunuh. Seolah-olah jika Antasari berpoligami, maka dia tidak akan terjerembab ke dalam bui.

Sebenarnya talking about politics is not my cup of tea. Meskipun sebagai seorang claimed-feminist, aku pun setuju dengan salah satu ‘slogan’ kaum feminis, “the personal is political”. By the way, aku ngeblog juga merupakan salah satu cara untuk menyampaikan sesuatu untuk mereka yang menggunakan ‘critical thinking’ mereka. 
PT56 22.50 120509

Selasa, Mei 05, 2009

Nana b2w



Nana Podungge si empunya blog ini bisa dikategorikan sebagai salah satu pelestari lingkungan, meski hanya di lingkup kecil saja. “Better than nothing at all” kan? 
Bagaimanakah cara seorang Nana ikut melestarikan lingkungan?

BIKE TO WORK!

Aku tidak pernah berhobi naik sepeda sebetulnya. Itu sebabnya aku hanya menganggap sebelah mata tatkala seseorang menyapa di blogku yang beralamat di http://afemaleguest.multiply.com sekitar satu tahun yang lalu; mengajakku gabung di komunitas b2w.

“B2w apaan sih?” tanyaku pada seorang teman. Kebetulan aku bertanya kepada orang salah karena temanku ini pun tidak tahu singkatan apakah b2w itu. :)

Setelah tahu bahwa b2w merupakan singkatan dari BIKE TO WORK, aku pun tetap tidak mempedulikannya. “Aku biking di fitness center aja deh,” demikian aku berkata pada diri sendiri waktu itu.

Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. LOL. Terutama setelah adikku pun bergabung dengan komunitas b2w, kemudian mempraktekkan naik sepeda ke kantor, mengikuti jejak kakak laki-laki kita yang sudah mempraktekkan naik sepeda ke kantor sejak awal tahun 2008.

Semenjak bergabung dengan komunitas b2w di akhir bulan Juni 2008, aku pun ber-bike-to-work sejak Juli 2008. Alasan-alasan yang kumiliki adalah (bisa jadi merupakan alasan klise di kalangan anggota b2w di seluruh dunia):
 Mengurangi polusi udara yang semakin menggila, terutama di Indonesia dimana masyarakatnya sering merasa gengsi untuk naik sepeda. Kebanyakan dari mereka merasa lebih ‘terhormat’ tatkala naik kendaraan bermotor. Orang-orang Jepang yang menciptakan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Namun bukan rahasia bila mereka sendiri lebih memilih naik subway atau pun public transportation yang lain tatkala berangkat bekerja maupun ke sekolah/kampus.

 Mengurangi ketergantungan kepada BBM, yang berarti ikut membantu pemerintah, khususnya, atau seluruh dunia, umumnya, untuk menyimpan this so-called non renewable resources untuk anak cucu di kemudian hari. Mungkinkah bahan bakar sebangsa bensin dan solar hanya akan menjadi dongeng belaka seribu tahun nanti? Kalau ternyata iya, bahan bakar seperti apa yang bakal diciptakan oleh anak cucu kita nanti? (seandainya TIME MACHINE ada, aku mau melongok di masa itu. )

 Dengan alasan yang sama di point kedua, namun untuk kepentingan diri sendiri, yakni mengurangi pengeluaran. Lumayan uang untuk beli bensin bisa dipakai untuk beli buku atau nraktir Angie eating out. 

 Melakukan olah raga sekalian perjalanan menuju ke dan pulang dari kantor. Sebelum sibuk dengan jadual kerja sekarang ini (07.00-15.00 dan 17.00-19.00), aku masih bisa gabung dengan sebuah fitness center untuk berolahraga. Sekarang jelas tidak ada waktu lagi. Maka b2w merupakan solusi yang sangat praktis sebagai pengganti olah raga di fitness center. Teman-teman b2w lain ada yang bilang, “rekreasi yang murah”, karena mereka sekaligus menikmati pemandangan jalan-jalan yang mereka lewati tatkala bersepeda. Aku tidak. Bukan melulu karena mataku belor. Namun lebih aku orang yang suka melamun. LOL.

Selain berbike to work, akhir-akhir ini aku pun mulai menolak pemberian tas plastik tatkala aku membeli sesuatu di toko maupun mini market. Aku tidak menolak pemberian tas plastik hanya tatkala aku belanja bulanan, yang butuh tas plastik besar. Kalau hanya membeli roti-roti yang kadang kubawa untuk bekal (juga untuk Angie) di mini market, aku selalu memasukkan roti-roti maupun botol minuman ke dalam backpack b2wku tersayang, dan mengembalikan tas plastik kepada kasir, yang biasanya menerimanya dengan mimik wajah heran. 

Gardening? Wah, sayangnya gardening is not my cup of tea. 
Bersepeda dan mengurangi penggunaan tas plastik lumayan membantu melestarikan lingkungan kan?
PT56 20.20 050509

Ujian Nasional

Tahun ini untuk pertama kali aku mengemban ‘tugas negara’ sebagai proctor alias penjaga Ujian Nasional. Maklum baru tahun ajaran ini pula aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru sekolah.

Kita semua tahu betapa Ujian Nasional (yang dulu lebih dikenal sebagai EBTANAS) telah menjadi polemik yang hangat di tahun-tahun terakhir ini; kontroversi pro dan kontra dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah menginginkan agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh negeri memenuhi standard tertentu yang dimiliki oleh pemerintah. Lulusan sebuah SMA di pedalaman Kalimantan yang mungkin sekolahnya tidak memiliki fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah di kota besar di pulau Jawa diharapkan memiliku mutu yang sama dengan lulusan SMA N 3 Semarang (sebagai pengemban Sekolah Berstandar Internasional pertama di Semarang). Alasan yang dimiliki oleh mereka yang kontra adalah “keberhasilan seorang siswa hanya ditentukan pada empat hari diselenggarakannya Ujian Nasional” yang seolah-olah menghapus kerja keras para siswa sejak kelas X.

Seorang teman yang kebetulan memiliki jabatan sebagai kepala sekolah mengaku sangat stress menjelang penyelenggaraan Ujian Nasional. Stress ini lebih meningkat lagi tatkala hasil Ujian Nasional diumumkan. Kekhawatiran dicap sebagai kepala sekolah yang tidak becus sangatlah menggayuti pikirannya.

Berawal dari cara berpikir inilah akhirnya dia memaklumi tatkala ada kabar ataupun gosip-gosip yang bisa jadi menghancurkan reputasi kepala sekolah tertentu.

Berikut akan kutulis sedikit pengalamanku menjadi pengawas Ujian Nasional di sebuah sekolah di Semarang. (FYI, pengawas Ujian Nasional selalu berasal dari sekolah lain.)

Hari pertama, kita semua pengawas dikumpulkan di ruang sekretariat untuk menerima pengarahan dari kepala sekolah SMP tersebut pada pukul 06.30. Pukul 07.40 bel berbunyi, pengawas dan siswa yang mengikuti ujian menuju ke ruangan yang masih digembok, untuk sterilisasi. Pengawas ujian membuka gembok tersebut dan mempersilakan peserta ujian memasuki ruangan. Ujian sendiri dimulai pukul 08.00.

Tiga puluh menit kemudian, seorang guru dari SMP tersebut datang ke ruangan, menyodorkan ‘attendance list’ untuk pengawas. Orang ini, dengan sok akrab memelukku dari belakang, sembari berbisik, “Bu, jangan galak-galak ya? Kasihan murid-muridku kalau sampai tidak lulus.”

Aku tersenyum, berusaha memaklumi.

Tak lama kemudian, penjaga yang berada di ruangan yang sama denganku mulai mengajakku ngobrol dengan suara yang cukup keras. (Dia mengaku akan pensiun tahun depan, so you can imagine how old she is now. She is absolutely one senior teacher.) Hal ini membuat para peserta ujian merasa ‘diberi kesempatan’ untuk saling mencontek. Langsung kulihat beberapa anak menoleh kesana kemari mencari contekan. Ketika aku akan mengingatkan anak-anak itu, the senior teacher bilang, dengan nada sangat bersahabat, “Ayo cah, ojo rame-rame! Wes bar po? Yen durung bar, yo dilanjutke wae.” Kulihat hal ini tidak membuat anak-anak takut. Tetap dengan berani mereka menoleh kesana kemari.

I learned my lesson very quickly. This senior teacher memang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk saling mencontek.

Hatiku tidak terima. Tapi apa boleh buat? I am just a new kid on the block.

Hari kedua, aku mendapatkan partner, seorang laki-laki, yang nampaknya lebih muda dariku, namun telah memiliki pengalaman untuk menjadi pengawas Ujian Nasional. Dia sempat bercerita kepadaku—dengan berbisik-bisik, berbeda dengan partnerku satu hari sebelumnya—tentang rekan kerjanya yang setahun sebelumnya ‘caught in the act’ (alias ‘ngonangi’ boso Jowone, mboh aku lali Bahasa Indonesiane LOL) sang kepala sekolah membantu siswa-siswinya dengan memberi kunci jawaban soal-soal ujian. Dari orang yang sama pula aku mendengar cara-cara sekolah lain ‘membantu’ para siswanya mengerjakan soal-soal Ujian Nasional.

Dia juga komplain tentang ketumpulan ‘Tim independen’ yang nampak jelas bisa ‘disetir’ oleh Kepala Sekolah. Aku sendiri heran setelah mengetahui bahwa ‘tim independen’ yang dimaksud HANYALAH seorang mahasiswa semester 6, yang tentu sangat bisa ‘disetir’ oleh KepSek. Sebelum berangkat ke lapangan, aku membayangkan ‘tim independen’ pengawas penyelenggaraan Ujian Nasiolan ini terdiri dari beberapa orang, yang berwibawa, sehingga ‘disegani’ atau ‘ditakuti’ oleh pihak sekolah.

Partner di hari kedua ini tidak melulu bercerita, seperti partnerku di hari pertama. Bahkan dia lumayan ‘galak’ dengan terus menerus memperhatikan para peserta ujian, tanpa terserang kantuk sedikit pun. Aku sendiri sempat terkena ngantuk. LOL.

Hari ketiga, sebelum mulai menjaga, kepala sekolah komplain tentang seorang penjaga yang memelototi para peserta ujian, sehingga dia merasa perlu melaporkan sang ‘oknum’ penjaga yang melotot ini kepada atasannya. Kepala sekolah meminta para penjaga agar tidak membuat para peserta nervous sehingga justru tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan maksimal.

Partnerku seorang perempuan yang nampaknya juga baru tahun ini menjadi penjaga ujian. Dia membuatku tidak sempat mengantuk sama sekali, karena she was very talkative. Bisa disimpulkan hari ketiga ini ‘penjagaanku’ sama tidak maksimalnya dengan di hari pertama.

Hari keempat, dari penampilannya aku bisa mengira bahwa she is one senior teacher, only not as old as my partner di hari pertama. Aku suka padanya karena dia anteng, tidak banyak berbicara, tidak nampak mengantuk (aku ngantuk!!! LOL untuk mengantisipasinya, aku duduk di belakang, aku yakin bakal membuat anak-anak tidak berani bergerak karena mengira aku memelototi mereka dari belakang. LOL.) dan terlihat ‘serius’ menjaga anak-anak. Namun tentu saja she was not as bloody strict as my workmates di English course tempatku bekerja. Ada seorang anak yang duduk paling depan, terlihat sangat mencurigakan. Aku juga tahu dia berulang kali menoleh ke seorang temannya, berusaha mencontek. Partnerku ini HANYA menegurnya dengan, “Kamu ga belajar ya tadi malam?”

Kesimpulanku atas penyelenggaraan Ujian Nasional: pemerintah telah gagal membuat agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh Indonesia memiliki mutu yang sama. Tentu banyak sekolah-sekolah lain di penjuru negeri yang melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya dilakukan untuk membantu anak didiknya agar lulus Ujian Nasional.

Kalau gagal, kenapa harus dipaksakan menyelenggarakan Ujian Nasional?
PT56 21.16 050509

Selasa, April 21, 2009

Fun Fearless Female Award

Untuk menghormati sang pemberi award, Elly Suryani, yang blognya bisa dikunjungi di
http://newsoul-sayangidirimu.blogspot.com/
maka kubuatlah postingan ini. :)

Kriteria sang penerima award yaitu perempuan yang berusaha mencari dan membagi kebahagiaan kepada dunia sekitarnya, perempuan yang menyukai tantangan.

Lah tanyaku pada diri sendiri, am I really like that?
Well, berhubung aku 'dinilai' seperti itu (at least dari postingan-postingan di blogku) ya mungkin saja aku memenuhi kriteria itu ya? LOL.

Apa hubungan antara istilah FUN FEARLESS FEMALE dengan Maria Antoinette? Klik aja blog Elly yah? Daripada aku harus menulis lagi di sini, kan namanya mubazir? (yang males ngeles nih. LOL.)
Anyway buat Elly, thanks yah?

C-net 21.17 210409

(Btw, award yang diberikan oleh JengSri dan viruscinta18.blogspot.com belum kuambil dan kupost di blog ini. Sabar yah Jeng?)

Apakah anda sudah menikah?

Pada pertemuan kedua di kelas CONVERSATION level 3, kita membahas ‘small talk’ alias bincang-bincang santai. Topik bincang-bincang santai ini tentu sangat bervariasi, tergantung dimana, kesempatan apa, dan kapan kita bertemu dengan orang lain, terutama seseorang yang baru kita jumpai untuk pertama kali.
Ketika aku memancing pertanyaan, “Dimana kita bisa bertemu orang untuk pertama kali?” seorang mahasiswa menjawab, “Pesta perkawinan ...”
Kemudian kutulis frasa ‘pesta perkawinan’ di papan tulis.
Aku melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, “Di pesta perkawinan, topik apa yang biasa orang bicarakan? Terutama dengan seorang asing, a stranger, yang baru kita temui pertama kali?”
Mahasiswa yang sama menyebut, “Status perkawinan ...”
Aku agak bengong mendengar ide tersebut. Maklum, seumur hidupku aku belum pernah menanyakan hal tersebut, ataupun ditanyai seseorang (seingatku sih ...) di sebuah pesta perkawinan yang kudatangi. “Apakah kamu (anda) sudah menikah?”

(NOTE: perbedaan ‘tenses’ dalam Bahasa Indonesia dan English. Dalam English, pertanyaan tentang status perkawinan adalah, “Are you married?” atau “Are you single?” menggunakan SIMPLE PRESENT TENSE yang mengacu ke sesuatu yang ‘routine’ atau ‘habitual’ yang ‘present’ alias saat ini. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, biasanya kita menggunakan kata ‘sudah’ yang dalam English berarti kita menggunakan PRESENT PERFECT TENSE: “Have you got married?”, satu hal yang sangat tidak lazim dalam kultur English speaking countries. Dalam keadaan maupun kultur tertentu perbedaan ‘tenses’ ini bisa menyebabkan hal-hal yang tidak mengenakkan.)

Setelah memandang sejenak mahasiswa yang memberiku ide ‘marital status’, dan bertanya kepadanya untuk meyakinkan jawabannya, (dan ternyata dia sangat yakin dengan jawaban itu. FYI, she is from Sumatra, yang mungkin saja kulturnya sedikit berbeda dengan kultur orang Jawa.) akhirnya aku menulis juga ide itu di papan tulis, di samping tulisan ‘marital status’.

Akan tetapi tiba-tiba aku teringat seorang tokoh dalam film PS I LOVE YOU yang bagiku sangat menarik perhatian, Denise, yang diperankan oleh Lisa Kudrow. Denise yang masih single ini mempunyai cara yang unik dan pede dalam mencari boyfriend, maupun a husband-to-be. Di pesta-pesta yang dia datangi, dia biasa melihat-lihat laki-laki yang ada di sana. Jika dia tertarik kepada seorang laki-laki, dia akan mendekati orang tersebut dan bertanya,
“Are you married?”
Jika jawabannya adalah, “No” dia akan melanjutkan dengan pertanyaan yang kedua,
“Are you gay?”
(Tahu kan lelucon para single girls yang telah berusia tigapuluh tahunan? “All good men around our age are already married. If not, they are gay.”)
Jika jawabannya adalah, “No”, pertanyaan selanjutnya adalah,
“Are you working?”
Jika jawabannya adalah, “Yes”, (berarti Denise telah menemukan ‘calon pacar’ yang dia kehendaki; jika jawaban dari ketiga pertanyaan ini tidak sesuai dengan yang dia inginkan, Denise akan mencari ‘calon-calon’ yang lain, bertanya hal-hal yang sama), maka Denise akan serta merta mencium bibir sang calon. Berhubung Denise adalah perempuan yang sangat menarik, dan kultur Barat yang melingkupinya, tentu tak ada laki-laki yang menolak dia cium.  Contoh pertama, ternyata sang laki-laki merupakan a bad kisser. LOL. (Kalau meminjam istilah Meg Cabot dalam teen-lit novelnya PRINCESS DIARIES, laki-laki itu tidak berhasil membuat Denise mengangkat satu kakinya ke atas.)

Tentu Denise tidak mau menikahi seorang bad kisser. Dan, ‘petualangan’ Denise pun akan berlanjut.
Adakah pembaca blog ku yang tahu peristiwa serupa di Indonesia? Menanyakan ‘marital status’ di sebuah pesta pernikahan pada seseorang yang baru ditemui untuk yang pertama kali?
Setelah frasa ‘marital status’ kutulis di papan tulis, aku melanjutkan pertanyaan berikutnya,
“Topik apalagi?”
“Sang pengantin...” jawab seseorang.
Sangat masuk akal.
“Misalnya?” aku memancing pertanyaan lagi.
Karena tidak ada yang menjawab, akhirnya aku bercerita pengalamanku menghadiri pesta perkawinan seorang teman. Temanku yang perempuan berusia 35 tahun pada waktu menikah, sedangkan suaminya 26 tahun, 9 tahun lebih muda. Tentu aku tidak heran melihat sang pengantin, sehingga aku merasa ‘tidak perlu’ berkomentar, karena aku tahu kisah cinta mereka. Komentar yang kudengar dari para tamu undangan adalah, “Wah ... kok sang pengantin pria masih ‘kinyis’kinyis’ begitu ya dibandingkan sang pengantin perempuan?”
Maklum, ‘konsensus’ yang kita kenal selama ini adalah sang suami ‘harus’ lebih tua dari sang istri. Konsensus ini diikuti dengan ‘sang suami harus lebih tinggi dari sang istri sehingga kalau berjalan bersama akan terlihat manis’; ‘sang suami harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari sang istri, atau paling tidak sederajat’ sehingga bisa menjadi panutan di keluarga (atau dengan istilah vulgarnya, tidak akan dipinteri sang istri). Dan lain-lain.
Bincang-bincang santai ini pun bisa berlanjut ke gossipping ...  People apparently cannot survive without gossipping. LOL.
PT56 19.39 190409

Senin, April 20, 2009

Islam dan Feminisme

Bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW telah membebaskan kaum perempuan dari kultur jahiliyyah di negara dimana agama Islam ‘diturunkan’ telah diketahui. Misalnya, sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, banyak bayi perempuan yang langsung dibunuh oleh keluarganya setelah lahir karena mereka merasa malu memiliki anak perempuan. Kelahiran anak perempuan justru dianggap beban karena anak perempuan tidak bisa pergi berperang, tidak bisa melindungi diri sendiri, tidak bisa menjadi pencari nafkah, tidak bisa menjadi pemilik harta yang sah, (propietor), dll. Contoh lain: sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, laki-laki bisa memiliki istri sebanyak yang mereka mau, kemudian menceraikan mereka sekehendak hati.

Setelah Muhammad diangkat menjadi nabi, tak ada lagi bayi perempuan yang dibunuh setelah lahir. Setelah kekalahan kaum Islam dalam perang Uhud, Allah membolehkan seorang laki-laki Muslim untuk menikahi dua, tiga, atau empat perempuan demi menyelamatkan perempuan-perempuan tersebut bersama anak-anak mereka. (Lihat tulisanku yang berjudul ‘POLIGAMI’.) Hal ini sering dijadikan ‘senjata’ kaum pro poligami bahwa memiliki HANYA empat istri itu jauh lebih bagus dan manusiawi daripada kultur Arab sebelum itu: laki-laki boleh memiliki istri sebanyak yang mereka mau.

Ketika membaca artikel yang berjudul “Women in Islam versus women in Judaeo-Christian tradition, the myth, and the reality” tulisan Dr. Sharif Abdel Azeem (klik di
http://www.usc.edu/dept/MSA/humanrelations/womeninislam/womeninjud_chr.html#_Toc335566653 I accessed on May 18, 2003) dan buku yang berjudul “Abrahamic Faiths: Judaism, Christianity, and Islam Similarities and Contrasts” aku menemukan bahwa tidak ada ayat yang bias jender dalam Alquran dibandingkan ayat-ayat dalam tradisi Judaeo-Christian.
Kejatuhan Adam sering kali dianggap sebagai cikal bakal kultur patriarki, bagi para rohaniwan. Misal: dalam menyikapi kejatuhan Adam, tradisi Judaeo-Christina menyalahkan Eva alias Hawa. Oleh karena itu, Tuhan berfirman kepada Hawa:

“Aku akan membuatmu kesakitan saat mengandung, juga saat melahirkan. Nafsumu hanya akan berlaku kepada suamimu, dan dia akan memiliki hak kontrol penuh atasmu.”

Sedangkan kepada Adam, Tuhan berfirman:
“Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrimu dan mematuhinya sehingga kamu makan buah itu, ... kutukan atasmu akan ditelan bumi, dan kepada bumilah kamu harus terus menerus bekerja keras untuk menghasilkan sesuatu yang akan engkau makan dalam hidupmu.”
(Genesis 2:4-3:24)

Sedangkan dalam Alquran, Tuhan menyalahkan Adam dan Hawa:
“Adam, tinggallah engkau bersama istrimu di taman ini, makanlah apapun yang kau mau. Namun jangan dekati pohon yang satu ini atau engkau akan mengalami celaka. Kemudian setan berbisik-bisik kepada keduanya, ‘Tuhanmu melarangmu makan buah ini karena dengan memakan buah ini kamu akan menjadi malaikat dan hidup selamanya di taman ini.’ Setan pun bersumpah kepada keduanya bahwa dia adalah penasihat yang tulus. Dengan tipu muslihatnya setan telah mempedaya Adam dan Hawa, dan membuat keduanya jatuh ke bumi. Setelah mereka makan buah dari pohon tersebut, mereka menyadari bahwa mereka telanjang dan merasa malu, sehingga mereka membuat pakaian dari daun-daun yang mereka temukan di taman tersebut dan menutupi tubuh mereka yang telanjang. Kemudian Tuhan pun menegur, ‘Bukankah telah kuperingatkan kalian berdua untuk tidak mendekati pohon ini, dan mengatakan bahwa setan adalah musuh kalian.’ Mereka berkata, “Tuhan kami, kami telah mengotori jiwa kami, dan jika Engkau tidak berkenan memaafkan kami, dan tidak melimpahi kami kemurahan-Mu, niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi.” (7:19-23)

Masih ada banyak contoh ayat-ayat lain lagi yang menunjukkan betapa dalam Alquran, kaum perempuan memiliki derajat yang tinggi.

Pertanyaannya adalah: mengapa justru agama Islam lah yang dituduh sebagai agama yang misoginis dan tidak ramah kepada perempuan, dibandingkan agama samawi yang lain? Salah satu contoh yang paling banyak diperdebatkan adalah kasus poligami. Di Indonesia (aku hanya fokus kepada praktek poligami dalam agama Islam di Indonesia, dan bukan di belahan bumi lain, misal, komunitas Mormon di Utah, Amerika) Islam dianggap sebagai agama yang tidak ramah perempuan karena poligami. Agama samawi lain konon tidak memperbolehkan umatnya berpoligami.

Satu komentar yang pernah masuk ke blogku menyertakan artikel yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif, menulis bahwa Fatima Mernissi (dari Maroko), Riffat Hassan (dari Pakistan), Amina Wadud (yang secara kontroversial beberapa tahun lalu pernah menyatakan bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat di New York), Siti Musdah Mulia (dari Indonesia) telah menafsirkan (ulang) Alquran secara dangkal. Empat tokoh feminis Muslim ini juga disebut sebagai ‘faminis radikal’, setara dengan Mary Daly dan Germaine Greer.

Sangatlah sempit cara berpikir yang mengatakan bahwa Fatima Mernissi dkk telah menafsirkan Alquran secara dangkal. Apalagi jika dikatakan bahwa mereka dianggap telah menafikan Alquran. Dengan teori-teori baru yang ditemukan oleh para ‘scholar’ kontemporer, tidaklah salah jika menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran yang menghasilkan tafsir yang bebas dari bias jender (bandingkan dengan tafsir fiqih klasik yang dilakukan oleh para mufasir yang pengalaman hidup serta isi batok kepalanya penuh dengan hal-hal yang misoginis).

Fatima Mernissi menyatakan, “jika hak-hak perempuan Muslim menjadi masalah bagi sekelompok pria Muslim, hal ini bukanlah disebabkan oleh Al-Quran maupun Islam itu sendiri, melainkan karena interpretasi yang berbeda menghasilkan interpretasi yang bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.”

Satu hal yang sangat salah dari cara berpikir (atau tuduhan) orang tentang gerakan feminisme adalah kaum feminis ingin mengusai dunia dan mengubahnya menjadi female-dominated world (instead of male-dominated world). Memang ada kaum feminis radikal yang menyatakan bahwa dunia ini akan jauh lebih nyaman dan tentram jika tidak ada laki-laki. Akan tetapi jumlah mereka tidak banyak. Jauh lebih banyak jumlah feminis yang menginginkan kesetaraan untuk laki-laki dan perempuan. Bahkan di dalam kultur ‘male-dominated world’ alias dunia yang didominasi oleh kaum laki-laki pun banyak ditemukan laki-laki yang menjadi korban karena kultur patriarki.
Nana Podungge
PT56 17.17 190409

Terjemahan artikel yang berjudul "Islam and Feminism (again)" d
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/islam-and-feminism-again.html

Senin, April 06, 2009

Family Name

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) 16: 1g menyatakan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memilih ‘family name’ (nama marga atau nama ‘fam’). Dalam hal ini seorang perempuan boleh memilih menggunakan nama marga dari orang tua—baik sang ayah maupun sang ibu—atau dari suami.

Di Indonesia, tidak semua suku memiliki budaya menggunakan nama marga di belakang namanya. Hal ini membuat jarang ‘kekerasan’ terjadi dalam hal memiliki anak laki-laki, kecuali di kalangan suku tertentu, misal Batak. Karena tidak menginginkan nama keluarga berhenti di satu keturunan, maka seorang perempuan pada zaman tertentu (semoga sekarang sudah tidak terjadi lagi) dipaksa untuk melahirkan anak laki-laki, karena hanya laki-lakilah yang bisa meneruskan menggunakan nama marga keluarga. Seorang perempuan tidak bisa melakukannya karena dia harus menggunakan nama marga suaminya, setelah dia menikah. Maka memiliki anak laki-laki ‘hukumnya’ wajib sedangkan memiliki anak perempuan tidak diwajibkan.

Di suku Jawa, budaya menggunakan nama marga tidak dikenal, sehingga kekerasan memaksa seorang perempuan memiliki anak laki-laki tidak sesering yang terjadi di suku lain. Orang-orang Jawa sendiri tidak memiliki ‘preference’. Namun ada kecenderungan mereka ingin memiliki anak ‘lengkap’ yakni laki-laki dan perempuan.

*****

CEDAW dikeluarkan tentu saja untuk mengurangi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, baik yang dilakukan oleh laki-laki, maupun oleh perempuan lain, berdasarkan stereotipe yang ada. Demikian juga halnya dalam menggunakan nama marga. Perempuan boleh menggunakan nama marga yang mereka sukai—dari orang tua maupun dari suami. Atau tanpa nama marga mana pun.

Contoh dalam novel SAMAN. Ayu Utami memberikan ‘jalan keluar’ bagi Shakuntala yang sangat enggan menggunakan nama ayahnya tatkala mengisi aplikasi formulir untuk keluar negeri. Shakuntala tidak ingin sang ayah yang identik dengan tokoh otoriter ‘mengikutinya’ kemana pun dia pergi, meskipun hanya dalam bentuk ‘nama marga. Di formulir yang dia isi. ‘Shakun’ merupakan ‘first name’ sedangkan ‘Tala’ merupakan ‘last’ atau ‘family name’.

Apakah kemudian seorang perempuan yang menggunakan nama marga suaminya di belakang namanya menunjukkan bahwa perempuan tersebut merelakan dirinya berada di bawah bayang-bayang suami? Sehingga dia tetap menjadi ‘nonsignificant other’? Invisible? Nonexistent? I don’t think so. Ini berarti kita telah menihilkan hak perempuan lain untuk exist dengan caranya sendiri.

Bagaimana dengan seorang perempuan yang memilih menggunakan nama marga dari orang tuanya, dan tidak menggunakan nama marga sang suami? Ya biar sajalah.

Nana Podungge
(‘Podungge’ adalah nama marga dari orang tuaku yang kebetulan adalah sepupu, dan memiliki nama marga yang sama.)
PT56 20.20 050409

Selasa, Maret 31, 2009

Penyakit 'modern'

Di zaman ‘modern’ ini orang harus bekerja untuk hidup. Gaji yang mereka terima di akhir bulan merupakan suatu ‘jaminan’ untuk hidup layak di bulan berikutnya. Bekerja dan menerima gaji untuk kelanjutan hidup di bulan-bulan berikutnya merupakan kebutuhan ‘security’ yang merupakan kebutuhan layer kedua menurut teori Abraham Maslow.
Namun, di zaman ‘modern’ ini pula pekerjaan yang seharusnya membantu orang untuk terus bertahan hidup justru bisa merupakan sumber penyakit yang kadang-kadang mematikan. Semua orang tahu beberapa lingkungan kerja yang membahayakan bagi para pekerjanya, misal: tempat-tempat pembangunan gedung/rumah/jembatan, dll; lokasi pertambangan, pabrik-pabrik industri. Tempat-tempat ini penuh dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan tubuh jika terhirup; misal asbes, debu batubara, arsenik, dll. Dalam film NORTH COUNTRY, Glory menderita penyakit yang membuat tubuhnya lumpuh karena bekerja di Pearson Taconite and Steel Inc, sebuah perusahaan pertambangan.
Selain lingkungan bekerja yang kurang higienis, melakukan pekerjaan dengan gerakan yang sama terus menerus bisa mengakibatkan luka. World Book 2005 digital version menyebutnya sebagai RSI’s (repetitive strain injuries). Contoh: melakukan pemotongan daging secara terus menerus, duduk di depan komputer seharian melakukan gerakan yang sama terus menerus, dll.
Beberapa minggu yang lalu tatkala kakakku masuk rumah sakit, hasil SCAN menunjukkan ada pembengkakan di bagian otak. Menurut analisa dokter, pembengkakan ini disebabkan dia harus bekerja keras, mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh empat orang! Kakakku sendiri mengaku dalam tidurnya kadang-kadang dia melakukan gerakan-gerakan yang biasa dia lakukan di kantor, misal menggerak-gerakkan mouse, tanpa sadar. Beban pekerjaan pun selalu menggelayuti pikirannya.
Hal ini mengingatkanku pada komplain sebuah siswa tentang pekerjaannya yang sangat melelahkan. Dia adalah seorang pegawai baru di sebuah BUMN, bank yang sama tempat kakakku bekerja. Posisinya adalah sebagai ‘customer service officer’. Namun dalam praktiknya, dia harus ikut membantu bagian-bagian lain, misal teller.
Kekurangan pegawai merupakan alasan utama mengapa seorang pegawai harus mengerjakan pekerjaan rangkap.
“Mengapa tidak rekrut pegawai baru?”
Pemerintah tidak mengizinkan karena kekurangan dana untuk membayar gaji, memberikan tunjangan, sampai membayar pensiun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Seorang tetangga yang bekerja di sebuah Bank BUMN juga berkisah tentang penurunan jasa yang diberikan oleh pemerintah. Bank tersebut tahun-tahun terakhir ini menggunakan jasa perusahaan ‘outsourcing’ untuk mencari pegawai baru. Status pegawai baru tidak segera ‘dinaikkan’ statusnya untuk menjadi tenaga tetap Bank meskipun pegawai ini telah bekerja selama beberapa tahun dan menunjukkan kinerja yang baik. Bank tidak mau mengeluarkan dana untuk memberikan tunjangan-tunjangan tertentu dan membayar pensiun.
Hal ini tidak jauh beda dari perusahaan-perusahaan swasta yang cara bekerjanya hanya memperhatikan kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kesejahteraan karyawan. Mereka tidak memberlakukan pengangkatan pegawai tetap karena mereka tidak mau menaikkan gaji dan memberikan tunjangan ini itu. Setelah tiba masa seorang karyawan naik menjadi karyawan tetap, itulah masa kontrak berakhir. Perusahaan akan mencari karyawan baru lagi.
Hidup di zaman ‘modern’ ini memang tidak mudah. Semua orang butuh bekerja untuk hidup. Namun pekerjaan ini bisa jadi merupakan sumber penyakit yang membahayakan. Apalagi bila bekerja di perusahaan yang mengabaikan kesejahteraan pegawainya, dengan membebani pekerjaan yang di luar batas kemampuan, baik secara fisik maupun secara mental dan intelektual.
Nana Podungge
PT56 16.16 200309

Poligami

Artikel ini ditulis terutama untuk ‘menjelaskan’ apa yang kutulis dalam postingan yang berjudul ‘LOOK WHO’S TALKING’, terutama yang berhubungan dengan poligami. Poligami seringkali dijadikan ‘kambing hitam’ orang-orang yang beragama non Islam untuk ‘menyerang’ agama Islam sebagai agama yang tidak friendly terhadap perempuan. Tentu ini dikarenakan tafsir surat An-Nisa ayat 3 yang lebih ‘terkenal’ adalah kaum laki-laki Muslim diperbolehkan berpoligami. Bahkan surat kawin yang diterbitkan oleh KUA untuk kaum Muslim pun berisi ‘syarat-syarat’ poligami yang harus dipenuhi oleh laki-laki Muslim. ‘Syarat-syarat’ ini bermakna bahwa negara memperbolehkan praktik poligami. Ini berarti, negara pun ikut campur dalam kehidupan pribadi warga negaranya dan ikut serta mendiskriminasi kaum perempuan Muslim. Bahkan bagi orang-orang Muslim yang sok merasa ilmunya sudah tinggi menutup matanya pada ‘syarat-syarat’ yang dikeluarkan oleh negara karena mereka berpikir bahwa tafsir surat An-Nisa ayat 3 itu sudah cukup kuat memperbolehkan kaum laki-laki berpoligami, tanpa perlu ada ‘harus begini harus begitu’.

 

Di blog Nana Podungge's simple thought aku telah menulis beberapa artikel tentang poligami, yang semuanya ANTI POLIGAMI. Di artikel ini, aku hanya akan menerjemahkan salah satu postinganku. Mengingat latar belakang studiku adalah Sastra, maka aku pun akan memberikan tafsir Surat An-Nisa yang berhubungan dengan poligami dari teori Sastra.

 

(CATATAN: orang-orang Muslim percaya bahwa Alquran tidak akan pernah mengalami perubahan dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai hari kiamat nanti, berdasarkan janji Allah. Akan tetapi tafsir Alquran tidak akan berhenti pada satu tafsir saja. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, meningkatnya akal manusia, tafsir-tafsir baru akan muncul. Perubahan adalah satu hukum alam yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan. Di zaman Nabi, orang-orang pergi berhaji naik onta, hal ini tentu tidak lantas orang-orang zaman sekarang harus pergi berhaji naik onta, bukan?)

 

Teori Strukturalisme. Teori ini berfokus kepada apa yang tertulis dalam suatu karya/tulisan, tanpa melibatkan aspek-aspek lain, misal latar belakang sang penulis (teori ekspresif), latar belakang masyarakat tatkala suatu karya ditulis (teori sosiohistoris), dan para pembaca karya tersebut (teori respons pembaca). Khusus untuk pendekatan ekspresif, hal ini sangat tidak dianjurkan dipakai untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran mengingat orang-orang Muslim percaya Alquran ditulis oleh Allah.

 

Ayat yang menjadi rujukan untuk membolehkan praktik poligami adalah Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya:

 

 

“Jika kamu takut bahwa kamu tidak berlaku adil terhadap anak yatim perempuan, maka kamu boleh menikahi dua, tiga, atau empat perempuan yang kamu pilih.”

 

Biasanya para pendukung poligami berhenti pada kalimat tersebut, dan melupakan kelanjutan ayat yang berbunyi:

 

 

“Namun jika kamu takut kamu tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah hanya satu perempuan saja.”

 

Ayat ini dilanjutkan pada ayat 129, surat yang sama yakni Surat An-Nisa:

 

 

“...meskipun kamu ingin bersifat adil, kamu tidak akan pernah bisa.”

 

Melupakan kelanjutan ayat ini menunjukkan dengan jelas egoisme para pelaku poligami, juga para ulama yang memberikan tafsir pembolehan praktik poligami. Mereka menutup mata untuk menggunakan teori ‘intertekstual’ bahwa ayat 129 ini berhubungan langsung dengan ayat 3. Bukankah Allah telah berfirman dengan jelas “KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA BERSIFAT ADIL”. Menyatukan ayat 3 dan ayat 129 menghasilkan tafsir MANUSIA TIDAK BISA BERSIFAT ADIL UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK POLIGAMI. Hal ini bisa bermakna hukum poligami HARAM.

 

Teori Sosiohistoris. Dalam teori ini kita menghubungkan satu karya saat ditulis (dalam hal Alquran, saat ayat tertentu diturunkan kepada Nabi Muhammad) dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Surat An-Nisa ayat 3 diturunkan kepada Nabi setelah kaum Muslim kalah dalam perang Uhud dimana banyak prajurit tewas. Dengan banyaknya prajurit yang tewas, banyak perempuan yang tiba-tiba menjadi janda. Mengingat pada saat itu kaum perempuan tidak memiliki akses ke ranah publik, tidak memiliki hak untuk menjadi ‘proprietor’ (atau pemilik) barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh suami-suami yang tewas dalam peperangan, ayat ketiga Surat An-Nisa ini diturunkan, untuk ‘menyelamatkan’ kaum perempuan dan anak-anak yatim mereka dari tindak ketidakadilan. Karena perempuan tidak bisa menjadi ‘proprietor’ maka harta benda mereka secara otomatis menjadi milik kakak atau adik laki-laki mereka sebagai pemilik hak waris, terutama jika anak-anak mereka masih kecil, atau tidak memiliki anak laki-laki.

 

Nabi Muhammad dan laki-laki Muslim pada waktu itu boleh menikahi para janda tersebut untuk menyelamatkan barang-barang warisan, untuk kemudian digunakan untuk kepentingan para perempuan dan anak-anak mereka.

 

Menggunakan teori ini, praktik poligami jelas tidak dapat dibenarkan mengingat di zaman sekarang (terutama di Indonesia), kaum perempuan memiliki akses ke ranah publik, dan perempuan pun berhak menjadi ‘proprietor’ harta benda yang ditinggalkan oleh suami yang sudah meninggal. Perempuan bisa melanjutkan hidup mereka dengan mengelola harta benda yang diwariskan oleh suami. Bila tidak ada warisan, perempuan memiliki akses ke ranah publik yang memungkinkan mereka bekerja untuk menafkahi diri sendiri maupun anak-anak mereka.

 

Apalagi jika istri kedua, ketiga, atau keempat bukan merupakan janda, bisakah praktik poligami ini dibenarkan, dengan merujuk ke Surat An-Nisa ayat 3?

 

Lebih baik berpoligami daripada selingkuh atau pergi ke tempat lokalisasi?

 

Pertanyaan retorik ini membenarkan apa yang dikatakan oleh Hilaly Basya dari Al-Azhar Youth Islamic Study (dimuat di Jurnal Perempuan no 31 yang berjudul “Menimbang Poligami” terbit September 2003): “Di zaman sekarang orang berpoligami untuk merayakan libido!”

 

Nana Podungge

PT56 15.55 290309

 

Untuk tulisan-tulisan lain dengan topik poligami, klik alamat berikut ini:



http://afeministblog.blogspot.com/search/label/polygamy