Kesetaraan Jender
Bisakah seseorang berbincang tentang ketidakmasukakalan istilah ‘kesetaraan jender’ bila dia belum pernah merasakan ketidaksetaraan jender? Tatkala seseorang menanyakan ‘untuk apakah kaum perempuan memperjuangkan kesetaraan jender’, sebagai seorang feminis karbitan—namun berangkat dari ‘penderita langsung’ ketidaksetaraan jender—aku langsung tahu bahwa si penanya belum mengerti akar permasalahan yang telah diperjuangkan sejak beberapa abad lalu oleh para feminis. (Mary Wollstonecraft menulis buku yang berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” pada tahun 1792 mempertanyakan hal ini. Buku ini dianggap sebagai buku pertama yang bertemakan hak-hak perempuan.) Apa yang bisa kita simpulkan tatkala seseorang mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda, tergantung dimana dan kapan kita berada? Orang yang mengatakan hal ini tidak paham apa arti sebenarnya kata ‘kodrat’ itu. Kodrat adalah segala hal yang diciptakan oleh Tuhan, dan tidak akan pernah bisa berubah, dimana pun dan kapan pun kita berada. Berangkat dari definisi ini, kita bisa menyimpulkan kodrat bagi seorang perempuan meliputi: - Menstruasi pada usia tertentu
- Mengandung, tatkala sel telur yang dia hasilkan dibuahi oleh sperma, ini menurut cara konvensional. Konon di zaman sekarang seorang perempuan bisa hamil tanpa sperma.
- Melahirkan, (setelah mengandung)
- Menyusui, dengan catatan jika tubuhnya mampu menghasilkan air susu yang cukup untuk diberikan kepada bayinya
Untuk poin kedua, kita tahu bahwa tidak semua perempuan ditakdirkan bisa mengandung, hanya Sang Pemberi Hidup lah yang mengetahui rahasia hal ini. Demikian juga dengan poin keempat, kita juga tahu bahwa tidak semua perempuan dikarunia kemampuan menghasilkan air susu yang cukup, bahkan terkadang ada perempuan yang air susunya tidak keluar sama sekali setelah melahirkan. Untuk hal ini mungkin pihak medis bisa merunut sejarah kehamilan untuk mencaritahu hal ini. Penjelasan akan kodrat di atas membuat kita bertanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda berdasarkan dimana dan kapan dia tinggal? Hal apa lagi yang dipaksa untuk dikategorikan sebagai kodrat perempuan? - Memasak? Untuk memasak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim, vagina, atau pun payudara, sehingga kaum laki-laki pun sangat bisa melakukan hal ini. Dan kita pun tentu tahu banyak laki-laki yang menjadi ahli memasak.
- Menjadi pengasuh anak? Perempuan secara eksklusif sangat dibutuhkan untuk ‘menghasilkan’ anak karena hanya perempuan lah yang menghasilkan sel telur, dan yang memiliki rahim tempat janin tumbuh. Untuk mengasuh anak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim maupun payudara, sehingga bisa dikatakan bahwa tanggung jawab menjadi pengasuh anak tidak secara eksklusif milik seorang perempuan.
- Mengurus rumah tangga? Menggunakan alasan pada poin yang tertulis di atas, kita bisa menyimpulkan hal yang sama: baik laki-laki maupun perempuan bisa melakukannya secara bersama-sama.
Undang-undang yang menyatakan bahwa jika perceraian terjadi, maka sang ibu memiliki hak untuk menjadi ‘guardian’ anak-anak, bisa jadi memang sangat memihak kaum perempuan. Namun hal ini pun kemudian disalahgunakan oleh para laki-laki—terutama di etnis-etnis tertentu di Indonesia. Setelah menikahi seorang perempuan, membuatnya hamil, tak lama kemudian dia kabur menghilang. Tinggal lah sang ibu seorang diri membesarkan bayi yang dihasilkan. Bahkan jika terjadi perceraian yang ‘legal’ di pengadilan, dan bukan kasus seorang laki-laki kabur begitu saja setelah menghamili seorang perempuan, pengadilan tetap saja tidak bisa memaksa pihak laki-laki untuk tetap bertanggungjawab, minimal secara finansial, untuk anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Undang-undang di Indonesia belum memihak kaum perempuan dalam hal ini. Jika seorang perempuan memaksa diri datang ke pengadilan untuk melaporkan mantan suami yang tidak memberikan tanggung jawab finansial untuk si anak, belum tentu akan berhasil. Apalagi jika sang mantan suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Belum pernah terjadi kasus seorang laki-laki dijebloskan kedalam penjara karena dia tidak memberikan uang untuk biaya anak-anak yang kebetulan tinggal bersama mantan istri. Yang ada mungkin seorang mantan suami memaksa mantan istri untuk mau kembali kepadanya, misal, “Salah kamu sendiri minta cerai. Kalau kamu tetap jadi istriku ya aku mau bertanggungjawab.” Apakah definisi ‘kesetaraan jender’ yang diperjuangkan oleh para feminis? Tentu tidak agar perempuan bisa tampil seperti laki-laki, dengan tubuh kekar, berjalan gagah, dll. Atau, misal, kalau mau dianggap setara, coba dong perempuan juga bekerja sebagai penyelam di perairan dalam, atau pilot pesawat tempur, atau pun pekerjaan lain yang bersifat ‘maskulin’. Motto utama kesetaraan disini adalah bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menentukan pilihan hidupnya. - Perempuan berhak untuk memilih menikah atau tidak.
- Perempuan berhak memilih apakah dia akan mengandung untuk memiliki anak, atau tidak, setelah menikah, ataupun memiliki anak di luar pernikahan.
- Perempuan berhak memilih untuk memiliki karier di luar rumah, di dalam rumah, atau mungkin menjadi ibu rumah tangga.
- Perempuan berhak memilih karier apa saja yang dia inginkan, tanpa terbatasi fisiknya sebagai perempuan.
Untuk poin dua, tiga, dan empat, bagi perempuan yang menikah, maka seyogyanyalah jika sang suami memberikan dukungan sepenuhnya. Jangan karena kebetulan tinggal di sebuah komunitas yang memiliki konsensus perempuan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, sang suami dengan tanpa pengertian membebani sang istri yang memilih untuk berkarier di luar rumah untuk tetap melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga, tanpa membantunya sama sekali. “Salahmu sendiri dong, ngotot bekerja di luar rumah. Telan sendiri tuh resikonya.” Para pejuang kesetaraan jender percaya bahwa perjalanan ini masih sangatlah panjang. Yang penting adalah kita tetap berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan perempuan, yang kita yakini akan menghasilkan kehidupan bersama bagi laki-laki maupun perempuan yang lebih baik. PT56 21.21 111009
Pernah saya melihata wawancar seseorang wanita yang baru saja masuk agama Islam, dan menanyakan kepada pembawa acara: " Apakah saya selaku muslimah diharuskan untuk menikah, atau bolehkah saya memilih untuk hidup sendiri saja?" Seingat saya tidak ada yang bisa memberikan jawaban waktu itu. Mengingat masalah ini amat menarik, maka sayapun ingin sekali mendengar jawaban dari ahli agama, dari mereka yang mendalami masalah HAM dan dari segi hukum di Republik kita ini.
BalasHapusAnwari Doel Arnowo - 13 Oktober, 2009
Dear Pak Anwari,
Hapusterkadang para 'ahli agama' itu memberikan interpretasi dari 'hukum' yang juga dibuat oleh manusia lain yang tak memiliki pengalaman ketidaksetaraan jender.
:'(
banyak wanita tidak merasakan ketidaksetaraan jender karena mereka yakin kodrat sebagai perempuan tidak hanya mengandung,melahirkan dan menyusui ..tapi juga mengerjakan pekerjaan rumah,mengasuh anak...semakin banyak yang mereka kerjakan mereka percaya derajat sorga mereka semakin tinggi.
BalasHapuswell, I don't blame such women though, they lack of reading and experience, I assume.
HapusSaya setuju dengan kesetaraan gender. Maju terus wanita Indonesiaku.
BalasHapusSalam mesra dan bahagia dari Jakarta Spa
I LOVE THIS POST!!
BalasHapusthank you
Hapus(I am wondering who you are, anyway :) )