Senin, November 16, 2009

Pengkotak-kotakan Feminis(me)

“From several kinds of feminism ideology, how do you classify Gilman?”
(“Dari beberapa jenis ideology feminisme, kamu masukkan ke ideologi yang manakah Gilman?”)

Pertanyaan di atas disampaikan kepadaku setelah aku usai mempresentasikan makalah yang berjudul “Woman Madness in Charlotte Perkins Gilman’s ‘The Yellow Wallpaper’ and Putu Oka Sukanta’s ‘Dewi Bulan Jatuh di Batam’”, dalam sebuah seminar internasional yang diselenggarakan pada tanggal 16 Januari 2008.

Pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena Gilman sendiri justru menolak untuk melabeli dirinya sendiri sebagai seorang feminis. Gilman yang lahir pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1935 mengalami masa dimana banyak perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki – dengan cara mendapatkan hak pilih dalam PEMILU – tidak begitu saja setuju dengan cara tersebut. Dan pada akhir abad 19 itulah istilah ‘feminisme’ mulai digunakan untuk mengacu ke gerakan kesetaraan jender. Pengalaman hidup yang pahit mengajarkan Gilman bahwa untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki, hanya ada satu cara yang bisa dilakukan – bekerja sebagai pencari nafkah.

Meskipun begitu, para kritikus Sastra abad duapuluh menyebut Charlotte Perkins Gilman sebagai seorang feminis radikal. Di zaman dimana di tengah masyarakat Amerika masih banyak yang mengelu-elukan “the cult of true womanhood” dimana salah satu prinsipnya adalah ‘domesticity’ (perempuan didomestikasikan di rumah), kepercayaan Gilman bahwa perempuan harus bekerja sebagai pencari nafkah sangatlah dianggap radikal pada waktu itu.

“How do you classify yourself? A liberal feminist, a radical, Marxist, or any other kind of feminist?” seseorang mengirim email kepadaku, setelah membaca artikel-artikel di blog, juga menanyakan hal yang sama.

Berbeda dengan Gilman yang menolak disebut feminis, dengan bangga aku mengaku sebagai feminis. Tinggal di Indonesia dimana bahkan pada abad sekarang ini masih banyak orang yang tidak mengerti beda makna kata ‘feminis’ dan ‘feminin’, aku merasa perlu menunjukkan kepada khalayak – terutama pengunjung blog yang orang Indonesia – jati diriku sebagai seorang feminis.

(Seperti apakah jati diri seorang feminis itu? Well, baca aja blogku. LOL.)

Namun, aku sendiri juga menolak mengklasifikasikan diri sebagai seorang feminis liberal, radikal, atau jenis-jenis feminis yang lain. Sebagai sesama feminis – pada lingkup kecil, dan sebagai sesama perempuan – pada lingkup umum, semua perempuan seyogyanya berdiri pada lajur yang sama. Seperti yang selalu kutulis secara random di beberapa postingan, aku memberikan definisi ‘kesetaraan jender’ sebagai perempuan berhak untuk memilih apa yang ingin dia lakukan dalam hidupnya, untuk mengambil keputusannya sendiri, tanpa campur tangan pihak lain.

(Artikel yang berbahasa Inggris kutulis pada tanggal 23 Maret 2008, bisa diakses di
http://afeministblog.blogspot.com/2008/03/feminism-ideology.html )

N.B.:
Aku kembali membuka file-file lama untuk menemukan tulisan ini karena di sebuah milis yang kuikuti – JURNAL PEREMPUAN – akhir-akhir ini sedang ramai mendiskusikan pengkotak-kotakan feminis ini. ‘Kebijakan’ yang tidak bijaksana sama sekali telah difatwakan oleh pemerintah di suatu daerah Indonesia bahwa perempuan di wilayah tersebut tidak diperkenankan mengenakan jeans atau celana ketat. Alasan yang dikemukakan sangatlah menggelikan (biasa!!!) untuk melindungi perempuan dari hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Mengacu ke definisi kesetaraan jender yang kutulis di atas jelaslah bahwa hal ini merupakan pelecehan kepada kaum perempuan – perempuan tidak dipercaya bahwa mereka memiliki hak untuk memilih mengenakan pakaian yang seperti apa, sehingga pemerintah setempat pun mengatur cara perempuan berpakaian.

Dan pengkotak-kotakan feminis terjadi karena seorang miliser mengatakan bahwa ‘feminis Jakarta’ kurang kerjaan mengurusi ‘feminis Aceh’.

Jikalau kita merunut ke beberapa tahun yang lalu, saat gencar-gencarnya digulirkannya RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi), para feminis (alias pejuang kesetaraan jender) menolak hal ini mentah-mentah tentu dengan alasan yang sama – perempuan tidak diberi hak untuk memilih pakaian yang akan dikenakan, bahkan sampai ke hal-hal yang super menggelikan dan membodohi masyarakat (pasal perempuan tidak boleh menyusui bayinya di tempat umum, karena hal tersebut bisa dianggap sebagai mempertontonkan bagian sensitif perempuan, dan akan membuat laki-laki yang melihatnya blingsatan karena tak mampu menahan nafsu.) Namun pada waktu itu tidak ada debat pengkotak-kotakan feminis di milis, mungkin karena RUU APP dikeluarkan untuk semua wilayah di Indonesia. (Jadi berpikir bagaimana aplikasinya ya di Papua sana?)

Mungkin politik ‘divide et impera’ dianggap sangat manjur untuk menghentikan perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan?
PT56 18.40 151109