Tampilkan postingan dengan label gender. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gender. Tampilkan semua postingan

Selasa, Januari 15, 2019

Bissu, Manusia Setengah Dewa dari Sulawesi Selatan


Tulisan saya ambil dari link ini.


Di Kabupaten Pangkep dan Bone, Sulawesi Selatan, hidup komunitas Bissu: kaum meta-gender yang mengabdi sebagai imam besar pada populasi Bugis setempat. Mereka bukan pria, bukan pula wanita. Namun, mereka memiliki banyak kelebihan, dan dipandang sebagai percampuran manusia dan dewa.
1001indonesia.net – Sebagian budaya Indonesia memiliki pemahaman yang lebih luas dan beragam mengenai gender daripada pandangan yang dominan saat ini yang melihat gender secara biner—pria dan wanita, maskulin dan feminin—dan tanpa mempertimbangkan jenis kelamin dan seksualitas lainnya.
Di Banyumas, misalnya, terdapat seni tari Lengger Lanang yang dimainkan oleh laki-laki yang berpenampilan dan berperilaku sebagai perempuan.
Di Sulawesi, masyarakat Toraja tradisional mengakui adanya gender ketiga, yang disebut to burake tambolang. Mereka percaya bahwa para pemimpin agama yang paling penting dalam budaya Toraja adalah seorang wanita, atau burake tattiku, dan seorang pria berpakaian sebagai seorang wanita, atau burake tambolang.
Hal yang serupa juga terjadi dalam masyarakat Bugis tradisional yang menempatkan kaum Bissu, yang merupakan kaum “meta-gender”, pada kedudukan yang terhormat.
Kepercayaan Tolotang yang dianut oleh masyarakat Bugis tradisional memiliki pandangan yang unik mengenai gender. Dalam kepercayaan tersebut, ada lima gender yang diakui, yakni Makkunrai (perempuan), OroanĂ© (laki-laki), Calabai (laki-laki feminin berpakaian sebagai perempuan), Calalai (perempuan maskulin berpakaian sebagai laki-laki), dan Bissu(pendeta sekaligus imam besar tanpa gender).
Kelima gender tersebut menjadi bagian integral dari struktur agama dan budaya tradisional orang Bugis.
Dari kelima gender itu, Bissu menduduki posisi yang istimewa. Untuk menjadi Bissu yang merupakan “meta-gender”, seseorang harus mengakumulasi keempat ciri gender lainnya. Dengan kata lain, kaum Bissu memiliki gender tersendiri yang merupakan gabungan dari keempat gender lainnya. Dikatakan mereka bukan lelaki maupun perempuan, tapi memiliki kelebihan keduanya. Sementara Calabai dan Calalai setara dengan trans-gender.
Kekhususan gender yang dimiliki Bissu terlihat dari busana yang mereka kenakan. Pada upacara resmi, mereka mengenakan pakaian yang berbeda dengan busana yang dikenakan lelaki dan perempuan pada umumnya; dan sebagai pelengkap, mereka membawa badik sebagai simbol laki-laki serta memakai hiasan bunga di kepala sebagai simbol perempuan.
Bissu yang berarti orang suci, merupakan konsep yang berasal dari La Galigo. Menurut epos kuno Bugis tersebut, kehadiran Bissu sama tuanya dengan sejarah keberadaan umat manusia di muka bumi. Ketika dewa penguasa langit mengutus Batara Guru untuk turun ke bumi, dua Bissu diutus mendampinginya.
Bissu itulah yang kemudian mengatur semua urusan di dunia, mulai dari menciptakan bahasa, adat istiadat, dan hal-hal lainnya yang dibutuhkan manusia. La Galigo juga menggarisbawahi peran penting Bissu untuk menjaga keberlangsungan kerajaan.
Dalam mahakarya yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno tersebut, Bissu juga menjadi tokoh sentral. Konon, saudara perempuan kembar Sawerigading, tokoh penting dalam Sureq Galigo, yakni We Tanriabeng, adalah seorang Bissu.
Sampai kedatangan Islam di Sulawesi pada abad ke-15, Bissu menjadi perwakilan paling agung dari Kerajaan Bugis dan Luwu. Mereka dipandang sebagai percampuran manusia dan dewa. Posisi mereka berada di tengah-tengah, untuk menjaga keseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah.
Saat itu, Bissu tinggal di istana kerajaan dan berperan sebagai abdi dalem bagi raja-raja Bugis. Mereka memainkan peran yang penting, seperti menjadi penasihat raja beserta keluarganya, merawat pusaka-pusaka kerajaan, dan memimpin ritual-ritual penting di kerajaan.
Para Bissu juga berperan sebagai mediator antara manusia dan roh-roh gaib. Mereka bahkan memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata, leluhurnya, dan sesamanya. Bahasa itu kadang disebutnya sebagai Basa Ugi Galigo atau Basa torilangi’(Bahasa orang langit).



Foto: boombastis.com

Tidak sembarang orang bisa menjadi Bissu, harus ada panggilan spiritual. Hal ini tidak bisa direkayasa. Orang yang terpanggil menjadi Bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkannya kepada mereka.
Layak tidaknya seseorang menjadi bissu sepenuhnya berdasarkan penilaian puang matoaatau puang lolo, pemimpin komunitas Bissu. Calon yang terpilih kemudian diwajibkan berpuasa (appuasa) selama sepekan hingga empat puluh hari. Setelah itu, ia bernazar (mattinja’) untuk menjalani prosesi irebba (dibaringkan) yang dilakukan di loteng bagian depan Bola Arajang (Rumah Pusaka).
Bola Arajang merupakan rumah panggung bercat hijau yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka. Rumah keramat ini juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat pada waktu-waktu tertentu, seperti Mappalili, yaitu upacara turun ke sawah saat memasuki musim hujan.
Prosesi irebba bisa berlangsung 3–7 hari. Setelah itu, calon dimandikan, dikafani, dan dibaringkan berdasarkan hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung sebuah guci berisi air. Selama disemayamkan, calon Bissu dianggap dan diperlakukan layaknya orang mati.
Pada hari yang dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami calon yang sedang menjalani prosesi irebba. Setelah melewati upacara sakral ini, ia resmi menjadi Bissu. Sejak itu, ia harus menjaga sikap, perilaku, dan tutur katanya, di antaranya dengan selalu tampil anggun dan menjaga kharisma serta senantiasa berlaku sopan.

Terpinggirkan

Pandangan positif terhadap Bissu mulai berubah beberapa dekade lalu. Seiring hancurnya kerajaan-kerajaan Bugis kuno dan masuknya Islam, peran kelompok ini perlahan terkikis. Mereka tidak lagi tinggal di istana dan memberi nasihat raja.
Mereka bahkan pernah dikejar-kejar untuk ditumpas oleh kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakar. Mereka dianggap sebagai penyembah berhala.
Puang Matoa Saidi merupakan pemimpin komunitas Bissu. Semasa hidupnya, ia kerap diundang ke luar negeri untuk membacakan naskah kuno La Galigo. (Foto: Irmawati)



Kini, Bissu masih dapat dijumpai di beberapa daerah yang dahulunya merupakan bagian dari kerajaan Bugis, seperti di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan.
Namun, kaum yang memiliki posisi terhormat sebagai pemimpin spiritual di era Bugis kuno ini, kini kian terpinggirkan. Saat ini, komunitas Bissu yang mendiami tanah Segeri, Pangkep tinggal enam orang saja. Itu pun hanya lima orang yang menjalankan aktivitas kebissuandan mengikuti upacara-upacara adat.
Karena tak lagi hidup dari kerajaan, kini mereka harus menghidupi diri mereka sendiri. Sebab itu, para Bissu biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan lain di luar kebissuansebagai mata pencaharian mereka.
Komunitas yang tetap teguh memegang adat, tradisi, dan kearifan lokal ini sempat mendunia dengan ikut sertanya Puang Matoa Saidi, pemimpin komunitas Bissu di Segeri, ke berbagai negara dalam pementasan I La Galigo.
Pertunjukan itu disutradarai oleh Robert Wilson, seorang sutradara asal Amerika. Puang Matoa Saidi yang meninggal pada Selasa, 28 Juni 2011, menjadi narator utama dalam pementasan tersebut.

Pementasan I La Galigo (Foto: Robert Wilson)

Sabtu, Februari 13, 2016

LGBTQ

Beberapa minggu terakhir di sosial media -- utamanya facebook, mengingat aku 'aktif' hanya di satu sosmed ini -- telah terjadi perbincangan yang super hangat tentang topik satu ini: LGBTQ. Terakhir aku menulis di blog (yang sudah lama sekali :D) aku belum menambahkan huruf Q. Ternyata perkembangannya lumayan pesat, hingga para pemerhati -- selain mereka yang terlibat di dalamnya -- telah menambahkan huruf Q yang bisa dijabarkan sebagai "queer", namun ada juga yang membacanya sebagai "questioning". Kata "queer" mengacu ke "cross dressing" people, kalau di Indonesia kata ini diterjemahkan sebagai "waria". Sedangkan kata "questioning" lebih luas maknanya, mengacu ke seseorang yang belum memutuskan -- masih bertanya-tanya -- apa jenis kelamin plus orientasi seksualnya.

Jika di tulisan ini, aku mengutip para antropolog bahwa manusia dibagi menjadi empat kategori, di link ini, voilaaa ... ternyata kategorinya bisa banyak sekali :) Isn't it very INTERESTING?

As you can guess, orang-orang yang menuliskan opininya maupun hanya sekedar share link tentang hal-hal yang berkenaan dengan LGBTQ terbagi dalam beberapa kelompok, minimal 3 kelompok (1) setuju alias mendukung (2) kontra sekaligus mengutuk (3) tidak jelas. LOL. Yang kumasukkan dalam kelompok ketiga ini adalah mereka yang tidak mengutuk namun juga tidak mendukung. Lebih detilnya lagi, mereka tidak mendukung pernyataan bahwa ada sekian persen manusia yang terlahir di dunia dengan membawa gen tertentu yang akan "membawa" mereka menjelma LGBTQ, namun juga tidak mengutuk dengan alasan para LGBTQ itu harus dirangkul, dibimbing untuk "dikembalikan" ke the so-called 'kodrat': bahwa yang terlahir dengan alat kelamin penis berarti mereka laki-laki hingga WAJIB hanya tertarik kepada perempuan, dan sebaliknya, yang terlahir dengan memiliki alat kelamin vagina otomatis mereka adalah perempuan dengan konsekuensi WAJIB bahwa mereka hanya boleh dan bisa tertarik kepada laki-laki.


Perbincangan tentang LGBTQ ini kian menarik ketika seorang AA Gym ikut bersuara untuk memboikot LINE hanya karena LINE menyediakan stiker yang mendukung LGBTQ. Lucunya, konon, dia menyuarakan pemboikotan ini lewat akun facebooknya, padahal jelas-jelas Mark Zuckerberg adalah pendukung LGBTQ. Mengapa dia tidak memboikot facebook sekalian? :) Dan orang-orang yang masuk dalam friendlist-ku di facebook ada yang memamerkan momen ketika mereka uninstall LINE dari hape mereka gegara adanya stiker yang mendukung LGBTQ.

Manusia memang lucu :) Atau mereka naif dan tidak mau tahu mereka telah memamerkan ketidaktahuan mereka? :D

IB180 16.48 13/02/2016

Pic was taken from this site :)

Kamis, Juni 14, 2012

S U N A T



SUNAT

Beberapa saat lalu saya membahas tentang ‘sunat’ di kelas Religious Studies. Untuk materi diskusi, saya mendownload dari http://www.bbc.co.uk/ethics/ Dengan sengaja saya memilih topik ini untuk memperkenalkan ide ‘sunat perempuan’ atau mutilasi genital perempuan kepada para siswa. Dan seperti yang saya perkirakan, anak-anak belum pernah tahu bahwa sunat perempuan, praktek yang mengerikan ini, telah menjadi suatu tradisi di beberapa suku bangsa di dunia.

SUNAT LAKI-LAKI

Memulai diskusi, kita berbincang tentang sunat laki-laki. Salah satu siswa laki-laki yang satu tahun lalu kembali pindah ke Indonesia – setelah tinggal di Amerika selama tujuh tahun – bercerita bahwa dia dan kakak laki-lakinya disunat setelah mereka kembali ke Indonesia. dia berusia sekitar 18 tahun, dengan alasan orangtuanya meyakinkannya bahwa sunat itu untuk kesehatannya sendiri. Dia percaya omongan orangtuanya bahwa penis yang disunat lebih higienis. Setelah disunat, dia sendiri merasa bahwa lebih mudah baginya untuk membersihkan penisnya daripada sebelumnya.

Seorang siswa laki-laki yang lain mengatakan bahwa dia tidak disunat karena ibunya tidak pernah berbincang tentang hal ini dengannya. Dia yakin jika memang sunat ini bagus untuk kesehatannya, ibunya tente telah mengajaknya berbincang tentang hal ini dan menawarinya apakah dia ingin disunat atau tidak. Statistik yang diberikan dalam artikel yang kita bahas di kelas – hanya sekitar 30% laki-laki di seluruh dunia disunat – menunjukkan bahwa memang sebenarnya sunat tidak begitu diperlukan, karena 70% laki-laki yang tidak disunat hidup baik-baik saja.

Dua siswa perempuan berbagi kisah tentang pengalaman kakak laki-laki mereka ketika disunat. Mereka bercerita bahwa sebelum disunat kakak laki-laki mereka telah membahas hal tersebut terlebih dahulu dengan orangtua, terutama ayah: sunat itu penting untuk kesehatan. Selain itu juga karena mereka percaya sunat itu wajib karena merupakan keharusan dalam agama.
Akan tetapi, ketika tahu bahwa hanya Genesis – atau kitab Kejadian Lama – yang memuat keharusan sunat dan bukan di kitab Kejadian Baru juga tidak di Alquran, anak-anak mulai berpikir bahwa sunat dilakukan di banyak daerah di belahan bumi ini dikarenakan alasan tradisi kebudayaan dan bukan karena instruksi agama.

SUNAT PEREMPUAN

Seperti yang tertulis di atas, benarlah bahwa para siswa di kelas saya belum pernah mendengar kisah tentang sunat perempuan sehingga mereka belum pernah menyadari keberadaan praktik berdarah yang tidak manusiawi ini. Orangtua mereka tidak pernah bercerita tentang hal ini. Mereka juga belum pernah mendengar hal ini dari orang lain. Karena dalam kitab Genesis /Kejadian Lama hanya berkisah tentang sunat untuk laki-laki – dan tak satu pun ayat dalam Kejeadian Baru maupun Alquran menyebut tentang sunat perempuan – kita menyimpulkan bahwa sunat perempuan --- atau mutilasi genital perempuan – dikarenakan oleh tradisi budaya tempat-tempat tertentu. Bukan merupakan tradisi keagamaan. (Paling tidak jika kita melihatnya dari sudut pandang ketiga agama Ibrahimi.)

“Mengapa disebutkan bahwa sunat perempuan itu sangat menyakitkan sedangkan sunat laki-laki tidak? Atau paling tidak tidak disebut begitu menyakitkan?” tanya seorang siswa ketika artikel yang kita bahas bersama menyebutkan bahwa sunat perempuan merupakan prosedur yang menyakitkan.

Sunat perempuan menyakitkan mungkin karena sebenarnya pada alat kelamin perempuan tak ada satu titik pun yang perlu dipotong, untuk alasan apa pun – misal untuk alasan higienis. Maka, jika tak ada alasan higienis atau pun keagamaan, mengapa masih banyak orang melakukannya?

Pemotongan alat kelamin ini dikenal secara meluas di budaya dan suku-suku bangsa Afrika. Pemotongan ini dianggap sebagai klimaks inisiasi, suatu proses penting yang harus dijalani baik oleh anak laki-laki maupun perempuan sebelum mereka dianggap dewasa di dalam komunitas mereka. Menurut mereka yang mendukung praktik ini, proses pemotongan alat kelamin perempuan memiliki keuntungan praktis dalam masyarakat yang harus hidup secara keras. Keberanian menghadapi pemotongan alat kelamin ini menunjukkan bahwa seorang perempuan terbukti kuat secara mental dan akan sanggup menghadapi segala tanggungjawab yang harus ditanggung oleh seorang perempuan dewasa. Meskipun begitu, wakil dari banyak negara di Afrika setiap tahun berkumpul setiap tahun untuk berdiskusi dan mencari jalan untuk menghentikan praktik yang tidak manusiawi ini karena mutilasi alat kelamin perempuan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dewasa maupun anak-anak. “Mutilasi ini merupakan prosedur yang sangat berbahaya dan tak mungkin bisa ditarik kembali dimana prosesnya berdampak negatif terhadap kesehatan, kemampuan mengandung, dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi perempuan,” kata Carol Bellamy, direktur eksekutif UNICEF pada tanggal 7 Februari 2005, hari tanpa toleransi terhadap mutilasi alat kelamin perempuan yang diperingati secara internasional.
Perempuan-perempuan di negara Afrika menjalani mutilasi alat kelamin biasanya pada usia yang masih sangat muda – sekitar enam tahun – sehingga hal ini berarti keputusan untuk menjalaninya ada pada orangtua mereka, dan bukan keputusan mereka sendiri. Para orangtua tersebut mungkin saja mengambil keputusan itu dikarena tekanan sosial dan anak-anak perempuan mereka tak bisa mengatakan “JANGAN’ terhadap orangtua meski di kemudian hari anak-anak itulah yang akan mendapatkan dampak negatif yang disebabkan oleh pemotongan alat kelamin mereka tersebut.

SUNAT PEREMPUAN DI INDONESIA

Meskipun praktik sunat perempuan di Indonesia tidak segencar di Afrika, kita tetap bisa mendapatkan praktik ini di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil walau sebenarnya pemerintah Indonesia telah melarang praktik sunat perempuan ini pada tahun 2006. Jika di Afrika, sunat perempuan dianggap sebagai klimaks inisiasi sebelum anak-anak perempuan itu memasuki masa dewasa, bagaimana dengan di Indonesia? artikel dalam link ini  menyatakan ada tiga alasan mengapa beberapa yayasan yang menyelenggarakan acara sunatan massal juga menyertakan sunat perempuan:

·         Sunat perempuan akan menstabilkan libido seorang perempuan
·         Sunat akan membuat seorang perempuan nampak lebih cantik di mata suaminya
·         Sunat akan menyeimbangkan psikologinya

Alasan pertama menguatkan apa yang dikatakan oleh para aktifis perempuan bahwa praktik ini sangat misoginis (membenci perempuan). Laki-laki yang tidak percaya diri dan lemah perlu melakukan sesuatu untuk menaklukkan nafsu seks perempuan. Maka, untuk membuat mereka terkesan digdaya dalam urusan ranjang, mereka harus menjinakkan perempuan terlebih dahulu. Selain melakukan hal yang berhubungan dengan fisik perempuan ini, mereka juga menciptakan prasyarat bagi seorang perempuan agar dianggap sebagai perempuan sejati: dia haruslah tak memiliki nafsu seksual yang liar.

Alasan kedua jelas merupakan alasan yang tidak masuk akal karena kriteria cantik itu berbeda dari satu orang ke orang lain. Sedangkan alasan ketiga sangat salah karena bahkan mutilasi alat kelamin pada diri perempuan ini memberikan dampak negatif secara fisik. Secara psikis, hal ini bisa menyebabkan seorang perempuan trauma seumur hidup, apalagi jika dilakukan oleh seseorang yang tidak ahli dan tidak menggunakan alat yang higienis.

Artikel yang sama melaporkan bahwa sunat perempuan di Indonesia dilakukan tidak seekstrim yang dilakukan di belahan bumi yang lain – terutama Afrika. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan di Indonesia dilakukan hanya dengan menggosok atau menjepit ujung klitoris sampai setitik darah menetes, penelitian yang dilakukan oleh Dewan Populasi pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 82% ibu-ibu yang menjadi saksi sunat anak-anak perempuan mereka  mengatakan bahwa sunat itu dilakukan dengan ada ‘pemotongan’. Artikel lain di link ini  menyatakan bahwa “meski prosedur di Indonesia tidaklah sekasar di negara-negara Afrika dan memotong lebih sedikit daging, prosedur ini tetaplah memberikan akibat kesehatan yang serius.”

Lebih lanjut lagi Laura Guarenti, seorang dokter kandungan dari WHO mengatakan, “Kenyataannya adalah bahwa jelas tidak ada nilai kesehatan dalam praktik sunat perempuan. Maka melakukan hal ini jelas salah 100%.”

Jelaslah. Dalam sunat perempuan tidak ada nilai medis, tak ada tradisi budaya dan juga tak ada kandungan keagamaan. Selain itu, pemerintah Indonesia pun telah ikut meratifikasi pelarangan praktik sunat perempuan pada tahun 2006. Lalu mengapa justru dalam tahun-tahun terakhir ini bahkan lebih banyak ditemukan praktik sunat perempuan di tengah masyarakat? Ketidakmelekan sosial! Ketidakpedulian! Kebencian kepada perempuan! Langkah kemunduran yang diambil oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan adalah usaha untuk melegalkan praktik sunat perempuan dengan cara mengeluarkan himbauan agar praktik ini dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih untuk menghindari efek negatif. Himbauan yang tentu akan membuat orang berpikir bahwa sunat perempuan itu perlu dan penting dilaksanakan.

Maria Ulfah Anshor – seorang penggiat kesetaraan jender – dengan tegas mengatakan, “Saya tidak akan pernah menyarankan untuk melakukan sunat perempuan. Jika semua perempuan disunat, orang percaya bahwa mereka akan menjadi lebih cantik dan tidak liar di tempat tidur sehingga suami mereka akan merasa lebih excited. Namun untuk kaum perempuan sendiri, mereka tidak akan mendapatkan kesenangan sama sekali.”

KESIMPULAN

Bila sunat laki-laki mungkin memiliki keuntungan medis dan disarankan (atau diwajibkan) dari hukum agama – karena tertulis di kitab Kejadian Lama – sunat perempuan tidak memiliki keuntungan medis apa pun untuk perempuan itu sendiri, serta juga tidak disarankan di kitab suci mana pun. Sehingga jelas lah bahwa akar sunat perempuan ini berasal dari kebencian terhadap perempuan yang bermula dari ribuan tahun yang lalu.

GL7 07.34 120612

The English version can be viewed here  

Beberapa komen yang muncul di lapak sebelah, yang bakal digusur tanggal 1 Desember 2012.


rengganiez wrote on Jun 15
Lucunya di Indonesia Kementerian Kesehatan pernah melarang sunat perempuan pada 2006, tapi dianulir pada 2010. Aturan yang plin plan yang menjadi penegas legalisasi sunat perempuan di Indonesia. Pemerintah mengklaim aturan itu dibuat agar perempuan lebih “nyaman” dan higenis. Namun ada yang diabaikan, yakni hak perempuan atas otoritas tubuhnya.
afemaleguest wrote on Jun 15
Lucunya di Indonesia Kementerian Kesehatan pernah melarang sunat perempuan pada 2006, tapi dianulir pada 2010. Aturan yang plin plan yang menjadi penegas legalisasi sunat perempuan di Indonesia. Pemerintah mengklaim aturan itu dibuat agar perempuan lebih “nyaman” dan higenis. Namun ada yang diabaikan, yakni hak perempuan atas otoritas tubuhnya.
Jeng Niez,
ya betul. menyedihkan ya? :'(
rengganiez wrote on Jun 15
Jeng Niez,
ya betul. menyedihkan ya? :'(
ak pernah nulis lama soal ini, tapi untuk urusan kantor...pas nulis itu membayangkan sunatnya udah nyeriiii
afemaleguest wrote on Jun 15
pas nulis itu membayangkan sunatnya udah nyeriiii
aku juga ... perut langsung melilit perih, jantung mendadak berdetak lebih kencang ...
bambangpriantono wrote on Jun 15
Gajiku disunat bulan ini gara2 kebanyakan ijin..:(

*nyambung ora ki?*
afemaleguest wrote on Jun 15
Gajiku disunat bulan ini gara2 kebanyakan ijin..:(

*nyambung ora ki?*
salahmu dewe yen iki :-)
dinantonia wrote on Jun 15
ih ngeri dan merinding bacanya :(
afemaleguest wrote on Jun 15
ih ngeri dan merinding bacanya :(
sama Din :-(
agamfat wrote on Jun 15
laki2 yg menganjurkan sunat perempuan, disunat saja seluruh penisnya
afemaleguest wrote on Jun 15
Agam,
lha kalau yg nyaranin sesama perempuan enaknya diapain ya?
rembulanku wrote on Jun 15
sunat perempuan aku ga bisa membayangkan....

btw, sunat ki bhs inggris opo mbak hehhee
*ga nemu ning kamus jew*
afemaleguest wrote on Jun 15
sunat boso Enggrese 'circumcision' La :-)
onit wrote on Jun 15, edited on Jun 15
di koria jg ada sunat, mbak. tapi trend modern, bawaan dari amrik waktu habis perang sama jepang. sunatnya utk cowo dan dilakukan waktu bayi. apparently it's a christian influence?

http://www.circumstitions.com/Korea.html
agamfat wrote on Jun 16
Jew influence
martoart wrote on Jun 17
Di Afrika sunat perempuan tidak dilakukan dengan memotong klitoris, tapi menjahit hampir sebagian besr labium mayora. Juga tidak untuk menyimbolkan perempuan yang kuat menghadapi alam Afrika, tapi untuk menjaga keperawanan si bocah sampai kelk dinikahkan. Hanya disediakan jalan untuk menstruasi dan kencing, sampai kelak jahitan diuka kembali menjelang malam pertama untuk langsung 'dipakai'. Praktik ini masih berlangsung hingga sekarang. Di Afrika tradisi ini bawaan adat lama, namun pada bbrp wilayah mendapat angin berdasar versi Islam tertentu.

Di Indonesia ada berbagai jenis sunat perempuan. Yang cukup popular adalah yang disebut 'Toreh', yaitu sekadar menorehkan lengkuas, kunyit, atau kencur pada klitoris sebagai satu ritual kedewasaan (sudah tahu sekarang kenapa untuk bocah yg belum dewasa disebut dengan masih bau kencur?). Aku rasa ini cukup aman dan tidak cukup disebut mutilasi. Pada sunat yang cenderung mutilatif ada sedikit pengaruh versi Islam yang kental versi patriarkalnya.
afemaleguest wrote on Jun 19
martoart said
Di Indonesia ada berbagai jenis sunat perempuan. Yang cukup popular adalah yang disebut 'Toreh', yaitu sekadar menorehkan lengkuas, kunyit, atau kencur pada klitoris sebagai satu ritual kedewasaan (sudah tahu sekarang kenapa untuk bocah yg belum dewasa disebut dengan masih bau kencur?). Aku rasa ini cukup aman dan tidak cukup disebut mutilasi. Pada sunat yang cenderung mutilatif ada sedikit pengaruh versi Islam yang kental versi patriarkalnya.
sudah baca file yang bisa diunduh di sini Kang?

http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACU138.pdf
agamfat wrote on Jun 17
Oooo jadi pedofili yg bikin istilah itu bau kencur ya
martoart wrote on Jun 17
agamfat said
Oooo jadi pedofili yg bikin istilah itu bau kencur ya
nah.. kalo ketemu bau kencur Gam? jangan lanjutkan..

Sabtu, April 03, 2010

Perempuan versus Perempuan


Beberapa saat yang lalu, di status FB seorang teman menulis, “terkadang musuh seorang perempuan itu perempuan juga ...” Seorang teman lain mengangkat gosip infotainment sebagai status, yang akhirnya kulihat dari komen-komen yang masuk kebanyakan ditulis oleh kaum perempuan yang menjelek-jelekkan seleb perempuan juga. Beberapa bulan lalu, di status online buddy yang sama, dengan status tanpa menyertakan seleb perempuan, kulihat di komen yang masuk juga ada judgment yang ditulis oleh seorang perempuan, atas kaum perempuan yang lain.

Sebagai seorang ‘self-acclaimed feminist’, aku pun menulis komen, “this patriarchal culture caused this. ...”

Kultur patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi dari pada perempuan telah menciptakan ‘marriage-oriented society’ yang sangat kental. (Betapa para kaum feminis radikal menyalahkan perkawinan ini sebagai satu lembaga pengukuhan superioritas laki-laki. To make things worse, karena menganggap laki-laki sebagai sumber kekerasan di dunia ini, maka lesbianisme merupakan jawaban to be in a relationship.)

“Cinderella complex” yang disebarluaskan lewat dongeng-dongeng yang meninabobokkan kaum remaja putri (atau bahkan lebih muda lagi) membuat kaum perempuan berlomba-lomba untuk mencari sang pangeran yang akan membawa mereka ke ‘eternal love and happiness’. Dongeng-dongeng sejenis Cinderella memang hanya berhenti di pelaminan, dengan kalimat “and they live together happily ever after” mengakhiri segala kisah. Tak ada kisah selingkuh, poligami, kekurangan finansial yang menimbulkan pertengkaran dan pemukulan, pertumbuhan intelektual, spiritual dan mental kedua belah pihak yang tidak setara sehingga menimbulkan kesenjangan dan berakhir ke eternal quarrel yang menciptakan hellish life bagi keduanya.

Jargon ‘and they live together happily ever after’ pun benar-benar membuat para penderita Cinderella complex berbuat segalanya demi mendapatkan sang pangeran yang diidam-idamkan, kalau perlu singkirkan perempuan-perempuan yang lain.

Mitos bahwa jumlah perempuan berkali lipat dari jumlah laki-laki pun disebarluaskan oleh kaum patriarki agar para perempuan saling sikut menyikut demi mendapatkan sang lelaki idaman, mitos yang dipakai untuk tetap melegalkan dominasi posisi laki-laki di atas perempuan.

Kultur patriarki dengan hegemoni ‘marriage-oriented principle’ nya pun menghasilkan label ‘perawan tua’ yang telah membuat banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri mana kala mereka mencapai usia di atas tigapuluh tahun dan tetap menjomblo. Hal ini pun bisa jadi telah ‘makan korban’, mulai dari grabbing any guy to marry, menjadi pelaku dan korban poligami, dan mungkin yang ‘paling ringan’ adalah menggosip, “Ih, perempuan itu kok begitu ya?” yang kalau kita amati, gosip ini didasari dengan pernyataan, “Aku ga begitu, maka aku lebih baik ...” divide et impera khas kultur patriarki.

Sigmund Freud dengan teori ‘penis envy’ yang menyebalkan kaum feminis itu pun menciptakan ‘penyakit’ yang dia beri nama ‘Oedipus complex’ sehingga membuat laki-laki yang menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih tua dipaksa mengakui something wrong with them; satu hal yang juga menjadi santapan empuk para penggosip di layar kaca. Para ‘korban’ kultur patriarki pun merayakannya dengan bergosip besar-besaran; tetap dengan ‘jalur’ yang sama => sang perempuan yang disalahkan karena menjalin hubungan dengan laki-laki yang berusia lebih muda.

Perempuan versus perempuan. Siapa yang diuntungkan? Tetap saja kaum laki-laki. So pathetic.

~ Nana Podungge, sang feminis, yang heteroseksual, yang tetap saja melankolis dan romantis tatkala jatuh cinta, wkwkwkwk ... ~

PT56 08.08 030410

Adam & Hawa dan Kita


Di bawah ini adalah sebuah tulisan lama, kutulis empat tahun yang lalu, kuimpor dari alamat

http://afemaleguest.blog.friendster.com/

Mengapa laki-laki dianggap NORMAL untuk memiliki nafsu yang tinggi dan berhak mengumbarnya? Kebalikannya mengapa perempuan diyakini seolah-olah tidak memiliki nafsu? Atau kalau pun memiliki, mengapa perempuan harus selalu menahan nafsunya sekuat tenaga?

Semua KONON berasal dari kejatuhan Adam dan Hawa ke dunia fana ini. Adam dan Hawa yang sedang enak-enaknya hidup di surga yang konon dipenuhi dengan segala hal-hal yang enak-enak, sehingga mereka berdua tak perlu kekurangan suatu apa tahu-tahu harus terlempar ke bumi yang fana ini, yang mengharuskan mereka berdua bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Kejatuhan Adam dan Hawa ini konon disebabkan oleh bujuk rayu setan kepada Hawa untuk makan buah khuldi (well, dalam cerita di Al-Quran, begitulah nama buah itu disebut). Setan berhasil membujuk Hawa, dan kemudian Hawa berhasil membujuk Adam.

Konon Tuhan sangat marah yang kemudian melemparkan mereka ke bumi. Sebagai tambahan hukuman kepada Hawa, sang penggoda, Tuhan memberi dua macam hukuman kepada Hawa, yakni, Hawa akan merasakan kesakitan tatkala melalui fase-fase tertentu dalam hidupnya, untuk menunjukkan kekedewasaannya dan perempuan HARUS mampu menahan hawa nafsunya (terbukti Hawa telah gagal menahan hawa nafsunya dan tergoda rayuan setan.)

Begitulah. Hawa kemudian diwakili oleh seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini. Fase pertama seorang perempuan beranjak ke akil balik adalah menstruasi. Pengalaman pertama mengalami menstruasi bagi seorang perempuan adalah pengalaman yang tidak menyenangkan, penuh kebingungan tatkala tiba-tiba darah keluar dari bagian tertentu tubuhnya, disertai dengan sakit perut, yang kadang bagi sebagian perempuan sakitnya tak tertahankan, ketidaknyamanan secara fisik dan psikis pun melanda.

Fase kedua adalah tatkala melakukan hubungan seks yang pertama. Konon semua perempuan akan mengalami kesakitan yang luar biasa ketika ada satu benda tumpul dipaksa untuk memasuki lubang vaginanya. (Bayangin aja, sekian puluh tahun lubang itu tertutup rapi, bahkan mungkin tak bercelah, dan tiba-tiba ada benda asing memasukinya secara paksa. Jelas sakit!)

Fase ketiga adalah tatkala melahirkan. Tak ada satu pun perempuan yang tidak mengeluh kesakitan ketika dia melahirkan secara alami, bukan lewat operasi caesar.

“Hukuman“ yang kedua adalah bahwa perempuan HARUS selalu menahan hawa nafsunya, seberapa pun inginnya dia melakukan hubungan seks. Perempuan yang tidak dapat menahan hawa nafsu, akan diberi “label” perempuan murahan, bitch, bukan perempuan baik-baik dan lain lain yang sama sekali tidak mengenakkan telinga.

Kebalikan dari hukuman yang ditimpakan kepada Hawa, Adam diberi “hadiah”. Tatkala memasuki fase kehidupan akil balik, seorang laki-laki akan bermimpi basah. Dan katanya, sekali lagi, katanya, (karena aku sendiri tidak mengalaminya, LOL) mimpi basah itu uenak. LOL. Demikian juga tatkala melakukan hubungan seks yang pertama; perempuan merasakan kesakitan, laki-laki, enak-enak aja. (Bener nggak yah? LOL. Someone out there, a guy, tell me please??? LOL.)

Hadiah berikutnya, jika perempuan HARUS menahan hawa nafsunya, laki-laki BOLEH mengumbarnya kapan saja mereka menginginkannya. Bahkan jika laki-laki mampu menunjukkan kemampuannya mengumbar hawa nafsunya, dia akan diberi “label” jagoan, perkasa, dll yang memuakkan itu. (well, bagiku, MEMUAKKAN)

MITOS inilah yang melatarbelakangi bahwa laki-laki memang diciptakan dengan memiliki hawa nafsu yang tinggi sedangkan perempuan rendah. Karena hawa nafsu yang tinggi ini, kemudian akan dimaklumi jika mereka selalu memandang perempuan sebagai objek seks dan kemudian mengumbar nafsunya di mana pun mereka berada. Perempuan yang memang sudah terbiasa menahan hawa nafsunya dengan sekuat tenaga, mereka menjadi merasa memang tidak memiliki hawa nafsu setinggi laki-laki, selain juga keengganan untuk dicap sebagai bitch, perempuan murahan.

Tatkala mulai muncul gigolo, PSK laki-laki, di pertengahan abad 20, hal ini menunjukkan bahwa sebenanrnya perempuan pun memiliki nafsu yang tinggi, sama tingginya dengan laki-laki, kalo mereka mau mengakui. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai, jika perempuan yang memiliki hawa nafsu sama tingginya dengan laki-laki bisa menahan nafsunya, dan tidak menganggap laki-laki sebagai objek seks, SEHARUSNYA laki-laki pun mampu menahan nafsunya, sehingga tidak perlu terjadi pelecehan seksual kepada perempuan YANG TIDAK MENYEDIAKAN DIRINYA UNTUK DILECEHKAN. Jika semua laki-laki bisa menahan nafsu, dan menjaga otaknya dari pikiran kotor, tak perlu lagi ada RUU APP yang hanya menempatkan perempuan sebagai kriminal hanya gara-gara berpakaian yang DIANGGAP VULGAR.

Kembali ke dongeng Adam dan Hawa. Konon Hawa diciptakan sebagai manusia yang kedua. Dalam buku yang berjudul “Setara di hadapan Allah”, Riffat Hassan dan Fatima Mernissi mementahkan interpretasi bahwa Hawa adalah manusia yang diambilkan dari rusuk Adam. Bagi yang tertarik untuk mempelajarinya, cari aja bukunya di toko buku. LOL. Atau cari aja di internet versi bahasa Inggrisnya.

Seorang teman yang beragama Kristiani mementahkan mengapa Hawa yang disalahkan dengan kejatuhan nenek moyang kita itu ke bumi dengan mengatakan, bahwa Hawa, sebagai seseorang yang berfungsi sebagai pelengkap, teman, pembantu bagi Adam, tentu memiliki tingkat intelektualitas yang sama tingginya dengan Adam, atau bisa jadi lebih tinggi. Hal ini untuk mementahkan kepercayaan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari pada perempuan (ciptaan yang kedua tentu lebih sempurna dibanding yang pertama, lelucon kanak-kanak mengatakan begitu. LOL.) Adam seharusnya mampu menggunakan intelektualitasnya untuk menolak bujukan Hawa. Kesalahan ada pada Adam yang tidak menggunakan kemampuan berpikirnya, dan kemudian memakan buah terlarang itu.

17.03 09042006

Selasa, Februari 16, 2010

Transgender

“God never made mistakes in creating human beings!”
("Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan tatkala menciptakan manusia!")

Beberapa tahun yang lalu pernyataan ini diucapkan oleh salah satu siswaku tatkala aku meminta kelas itu untuk berdiskusi tentang homoseksualitas / transgender / transseksualisme. Aku sempat menyitir apa yang ditulis oleh seorang transseksual dalam buku yang berjudul "Transseksualisme" "Saya terlahir terjebak dalam tubuh yang salah." Kelas itu berisi beberapa mahasiswa salah satu universitas negeri di Semarang. Aku membagi siswa-siswa itu dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang hal tersebut. Latar belakang diskusi ini adalah 'gosip' tentang salah satu celebrity Indonesia yang konon adalah seorang gay. KM -- inisial sang celebrity -- ini sendiri selalu mengelak tentang orientasi seksualnya secara terbuka.

Dan sebagai salah satu yang berada pada jajaran 'acclaimed feminist' harus aku katakan bahwa gerakan feminisme tidak bisa dipisahkan dari gerakan LGBT -- Lesbian/Gay/Biseksual/Transgender -- karena sama-sama termasuk kelompok minoritas. Ini sebab aku pun tertarik pada issue LGBT.

Menyadari bahwa aku menghadapi sekelompok mahasiswa yang mungkin akan antipati pada jalan berpikirku yang ngepro kebebasan memilih orientasi seksual, aku harus menjawab pernyataan salah satu mahasiswaku itu dengan hati-hati dan bijaksana.

Tentu saja aku pun haqqul yakin bahwa Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan dalam menciptakan alam semesta ini, termasuk manusia. Lantas siapa yang melakukan kesalahan? Manusia itu sendiri. Dalam kasus ini, misal tatkala manusia membuat kategori jenis kelamin 'hanya' ada dua jenis: laki-laki (manusia yang dilahirkan dengan memiliki penis) dan perempuan (manusia yang dilahirkan dengan memiliki vagina, rahim, dan payudara) dan kemudian membatasi bahwa yang dianggap 'normal' hanyalah tatkala laki-laki tertarik pada perempuan, dan perempuan tertarik pada laki-laki: ketertarikan secara romantis, seksual, dan sensual. Di luar dua kategori ini, pasti salah, alias 'tidak normal'. Berpikir bahwa tidak selayaknya manusia merasa dilahirkan dalam tubuh yang salah tentu sangatlah 'narrow-minded', karena hal ini berarti menafikan adanya perspektif yang lain.

Berdasarkan riset yang telah dilakukan, para anthropologist mengklasifikasikan manusia menjadi empat kategori, berdasarkan orientasi seksualitasnya:

  • Laki-laki (baca: makhluk berpenis) tertarik kepada perempuan (baca: makhluk bervagina)
  • Perempuan tertarik kepada laki-laki
  • Laki-laki tertarik kepada laki-laki
  • Perempuan tertarik kepada perempuan
Pengaruh agama samawi yang sangat kuat (Yahudi, Nasrani, Islam) menyempitkan keempat kategori di atas hanya menjadi dua kategori, yang pertama dan kedua. Ajaran agama membuat kategori ketiga dan keempat dianggap tidak normal, atau bahkan melawan hukum alam.

Pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruh ini ke Indonesia. Hasilnya beberapa komunitas di Indonesia yang dulunya memberikan posisi terhormat kepada para kaum homoseksual terpojokkan, bahkan menghilang perlahan-lahan. Komunitas ini misalnya: komunitas 'bissu' di Makassar, 'warok gemblak' di Jawa Timur, 'dalaq' di Madura, 'shaman' di Dayak Ngaju, dll. Selain itu, pengaruh kuat dua agama samawi yang dibawa ke Indonesia -- Nasrani dan Islam -- membuat komunitas-komunitas tersebut terpinggirkan dan mendekati kepunahan. Padahal, sebelum kedua agama samawi itu diimpor ke Indonesia, dan sebelum pemerintah kolonial Belanda menjajah bumi Nusantara, komunitas-komunitas tersebut sangat dihormati di masyarakat.

Bukankah sudah saatnya kita mau memahami perspektif lain sehingga kita tahu apa yang mereka rasakan dan merasakan empati?

Irshad Manji (seorang feminis Muslim 'scholar' yang mengaku diri sebagai lesbian) mengatakan, "“Bukankah Tuhan sangat bisa dengan keMahaKuasaan-Nya menjadikanku untuk tidak menjadi seorang lesbian?” (Jurnal Perempuan nomor 58) Kenyataan mengatakan seorang Irshad Manji adalah seorang lesbian. Ada campur tangan Tuhan di balik ini.

Nana Podungge
-- sang feminis yang seorang hetero --
PBIS 11.11 160210
(artikel dalam bahasa Inggris bisa dibaca di sini)

Senin, November 16, 2009

Pengkotak-kotakan Feminis(me)

“From several kinds of feminism ideology, how do you classify Gilman?”
(“Dari beberapa jenis ideology feminisme, kamu masukkan ke ideologi yang manakah Gilman?”)

Pertanyaan di atas disampaikan kepadaku setelah aku usai mempresentasikan makalah yang berjudul “Woman Madness in Charlotte Perkins Gilman’s ‘The Yellow Wallpaper’ and Putu Oka Sukanta’s ‘Dewi Bulan Jatuh di Batam’”, dalam sebuah seminar internasional yang diselenggarakan pada tanggal 16 Januari 2008.

Pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena Gilman sendiri justru menolak untuk melabeli dirinya sendiri sebagai seorang feminis. Gilman yang lahir pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1935 mengalami masa dimana banyak perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki – dengan cara mendapatkan hak pilih dalam PEMILU – tidak begitu saja setuju dengan cara tersebut. Dan pada akhir abad 19 itulah istilah ‘feminisme’ mulai digunakan untuk mengacu ke gerakan kesetaraan jender. Pengalaman hidup yang pahit mengajarkan Gilman bahwa untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki, hanya ada satu cara yang bisa dilakukan – bekerja sebagai pencari nafkah.

Meskipun begitu, para kritikus Sastra abad duapuluh menyebut Charlotte Perkins Gilman sebagai seorang feminis radikal. Di zaman dimana di tengah masyarakat Amerika masih banyak yang mengelu-elukan “the cult of true womanhood” dimana salah satu prinsipnya adalah ‘domesticity’ (perempuan didomestikasikan di rumah), kepercayaan Gilman bahwa perempuan harus bekerja sebagai pencari nafkah sangatlah dianggap radikal pada waktu itu.

“How do you classify yourself? A liberal feminist, a radical, Marxist, or any other kind of feminist?” seseorang mengirim email kepadaku, setelah membaca artikel-artikel di blog, juga menanyakan hal yang sama.

Berbeda dengan Gilman yang menolak disebut feminis, dengan bangga aku mengaku sebagai feminis. Tinggal di Indonesia dimana bahkan pada abad sekarang ini masih banyak orang yang tidak mengerti beda makna kata ‘feminis’ dan ‘feminin’, aku merasa perlu menunjukkan kepada khalayak – terutama pengunjung blog yang orang Indonesia – jati diriku sebagai seorang feminis.

(Seperti apakah jati diri seorang feminis itu? Well, baca aja blogku. LOL.)

Namun, aku sendiri juga menolak mengklasifikasikan diri sebagai seorang feminis liberal, radikal, atau jenis-jenis feminis yang lain. Sebagai sesama feminis – pada lingkup kecil, dan sebagai sesama perempuan – pada lingkup umum, semua perempuan seyogyanya berdiri pada lajur yang sama. Seperti yang selalu kutulis secara random di beberapa postingan, aku memberikan definisi ‘kesetaraan jender’ sebagai perempuan berhak untuk memilih apa yang ingin dia lakukan dalam hidupnya, untuk mengambil keputusannya sendiri, tanpa campur tangan pihak lain.

(Artikel yang berbahasa Inggris kutulis pada tanggal 23 Maret 2008, bisa diakses di
http://afeministblog.blogspot.com/2008/03/feminism-ideology.html )

N.B.:
Aku kembali membuka file-file lama untuk menemukan tulisan ini karena di sebuah milis yang kuikuti – JURNAL PEREMPUAN – akhir-akhir ini sedang ramai mendiskusikan pengkotak-kotakan feminis ini. ‘Kebijakan’ yang tidak bijaksana sama sekali telah difatwakan oleh pemerintah di suatu daerah Indonesia bahwa perempuan di wilayah tersebut tidak diperkenankan mengenakan jeans atau celana ketat. Alasan yang dikemukakan sangatlah menggelikan (biasa!!!) untuk melindungi perempuan dari hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Mengacu ke definisi kesetaraan jender yang kutulis di atas jelaslah bahwa hal ini merupakan pelecehan kepada kaum perempuan – perempuan tidak dipercaya bahwa mereka memiliki hak untuk memilih mengenakan pakaian yang seperti apa, sehingga pemerintah setempat pun mengatur cara perempuan berpakaian.

Dan pengkotak-kotakan feminis terjadi karena seorang miliser mengatakan bahwa ‘feminis Jakarta’ kurang kerjaan mengurusi ‘feminis Aceh’.

Jikalau kita merunut ke beberapa tahun yang lalu, saat gencar-gencarnya digulirkannya RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi), para feminis (alias pejuang kesetaraan jender) menolak hal ini mentah-mentah tentu dengan alasan yang sama – perempuan tidak diberi hak untuk memilih pakaian yang akan dikenakan, bahkan sampai ke hal-hal yang super menggelikan dan membodohi masyarakat (pasal perempuan tidak boleh menyusui bayinya di tempat umum, karena hal tersebut bisa dianggap sebagai mempertontonkan bagian sensitif perempuan, dan akan membuat laki-laki yang melihatnya blingsatan karena tak mampu menahan nafsu.) Namun pada waktu itu tidak ada debat pengkotak-kotakan feminis di milis, mungkin karena RUU APP dikeluarkan untuk semua wilayah di Indonesia. (Jadi berpikir bagaimana aplikasinya ya di Papua sana?)

Mungkin politik ‘divide et impera’ dianggap sangat manjur untuk menghentikan perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan?
PT56 18.40 151109

Senin, Oktober 12, 2009

Kesetaraan Jender


Bisakah seseorang berbincang tentang ketidakmasukakalan istilah ‘kesetaraan jender’ bila dia belum pernah merasakan ketidaksetaraan jender? Tatkala seseorang menanyakan ‘untuk apakah kaum perempuan memperjuangkan kesetaraan jender’, sebagai seorang feminis karbitan—namun berangkat dari ‘penderita langsung’ ketidaksetaraan jender—aku langsung tahu bahwa si penanya belum mengerti akar permasalahan yang telah diperjuangkan sejak beberapa abad lalu oleh para feminis. (Mary Wollstonecraft menulis buku yang berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” pada tahun 1792 mempertanyakan hal ini. Buku ini dianggap sebagai buku pertama yang bertemakan hak-hak perempuan.) Apa yang bisa kita simpulkan tatkala seseorang mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda, tergantung dimana dan kapan kita berada? Orang yang mengatakan hal ini tidak paham apa arti sebenarnya kata ‘kodrat’ itu. Kodrat adalah segala hal yang diciptakan oleh Tuhan, dan tidak akan pernah bisa berubah, dimana pun dan kapan pun kita berada. Berangkat dari definisi ini, kita bisa menyimpulkan kodrat bagi seorang perempuan meliputi:
  • Menstruasi pada usia tertentu
  • Mengandung, tatkala sel telur yang dia hasilkan dibuahi oleh sperma, ini menurut cara konvensional. Konon di zaman sekarang seorang perempuan bisa hamil tanpa sperma.
  • Melahirkan, (setelah mengandung)
  • Menyusui, dengan catatan jika tubuhnya mampu menghasilkan air susu yang cukup untuk diberikan kepada bayinya
Untuk poin kedua, kita tahu bahwa tidak semua perempuan ditakdirkan bisa mengandung, hanya Sang Pemberi Hidup lah yang mengetahui rahasia hal ini. Demikian juga dengan poin keempat, kita juga tahu bahwa tidak semua perempuan dikarunia kemampuan menghasilkan air susu yang cukup, bahkan terkadang ada perempuan yang air susunya tidak keluar sama sekali setelah melahirkan. Untuk hal ini mungkin pihak medis bisa merunut sejarah kehamilan untuk mencaritahu hal ini. Penjelasan akan kodrat di atas membuat kita bertanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda berdasarkan dimana dan kapan dia tinggal? Hal apa lagi yang dipaksa untuk dikategorikan sebagai kodrat perempuan?
  • Memasak? Untuk memasak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim, vagina, atau pun payudara, sehingga kaum laki-laki pun sangat bisa melakukan hal ini. Dan kita pun tentu tahu banyak laki-laki yang menjadi ahli memasak.
  • Menjadi pengasuh anak? Perempuan secara eksklusif sangat dibutuhkan untuk ‘menghasilkan’ anak karena hanya perempuan lah yang menghasilkan sel telur, dan yang memiliki rahim tempat janin tumbuh. Untuk mengasuh anak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim maupun payudara, sehingga bisa dikatakan bahwa tanggung jawab menjadi pengasuh anak tidak secara eksklusif milik seorang perempuan.
  • Mengurus rumah tangga? Menggunakan alasan pada poin yang tertulis di atas, kita bisa menyimpulkan hal yang sama: baik laki-laki maupun perempuan bisa melakukannya secara bersama-sama.
Undang-undang yang menyatakan bahwa jika perceraian terjadi, maka sang ibu memiliki hak untuk menjadi ‘guardian’ anak-anak, bisa jadi memang sangat memihak kaum perempuan. Namun hal ini pun kemudian disalahgunakan oleh para laki-laki—terutama di etnis-etnis tertentu di Indonesia. Setelah menikahi seorang perempuan, membuatnya hamil, tak lama kemudian dia kabur menghilang. Tinggal lah sang ibu seorang diri membesarkan bayi yang dihasilkan. Bahkan jika terjadi perceraian yang ‘legal’ di pengadilan, dan bukan kasus seorang laki-laki kabur begitu saja setelah menghamili seorang perempuan, pengadilan tetap saja tidak bisa memaksa pihak laki-laki untuk tetap bertanggungjawab, minimal secara finansial, untuk anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Undang-undang di Indonesia belum memihak kaum perempuan dalam hal ini. Jika seorang perempuan memaksa diri datang ke pengadilan untuk melaporkan mantan suami yang tidak memberikan tanggung jawab finansial untuk si anak, belum tentu akan berhasil. Apalagi jika sang mantan suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Belum pernah terjadi kasus seorang laki-laki dijebloskan kedalam penjara karena dia tidak memberikan uang untuk biaya anak-anak yang kebetulan tinggal bersama mantan istri. Yang ada mungkin seorang mantan suami memaksa mantan istri untuk mau kembali kepadanya, misal, “Salah kamu sendiri minta cerai. Kalau kamu tetap jadi istriku ya aku mau bertanggungjawab.” Apakah definisi ‘kesetaraan jender’ yang diperjuangkan oleh para feminis? Tentu tidak agar perempuan bisa tampil seperti laki-laki, dengan tubuh kekar, berjalan gagah, dll. Atau, misal, kalau mau dianggap setara, coba dong perempuan juga bekerja sebagai penyelam di perairan dalam, atau pilot pesawat tempur, atau pun pekerjaan lain yang bersifat ‘maskulin’. Motto utama kesetaraan disini adalah bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menentukan pilihan hidupnya.
  • Perempuan berhak untuk memilih menikah atau tidak.
  • Perempuan berhak memilih apakah dia akan mengandung untuk memiliki anak, atau tidak, setelah menikah, ataupun memiliki anak di luar pernikahan.
  • Perempuan berhak memilih untuk memiliki karier di luar rumah, di dalam rumah, atau mungkin menjadi ibu rumah tangga.
  • Perempuan berhak memilih karier apa saja yang dia inginkan, tanpa terbatasi fisiknya sebagai perempuan.
Untuk poin dua, tiga, dan empat, bagi perempuan yang menikah, maka seyogyanyalah jika sang suami memberikan dukungan sepenuhnya. Jangan karena kebetulan tinggal di sebuah komunitas yang memiliki konsensus perempuan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, sang suami dengan tanpa pengertian membebani sang istri yang memilih untuk berkarier di luar rumah untuk tetap melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga, tanpa membantunya sama sekali. “Salahmu sendiri dong, ngotot bekerja di luar rumah. Telan sendiri tuh resikonya.” Para pejuang kesetaraan jender percaya bahwa perjalanan ini masih sangatlah panjang. Yang penting adalah kita tetap berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan perempuan, yang kita yakini akan menghasilkan kehidupan bersama bagi laki-laki maupun perempuan yang lebih baik. PT56 21.21 111009