Jumat, Agustus 15, 2014
Pilpres 2014
Aku termasuk orang yang apatis dalam kehidupan politik, sejak dulu. Jika dalam blognya Dee Lestari menulis bahkan sejak pertama kali dia ikut pemilu, dimana waktu itu hanya ada 3 kontestan, dan dia tahu cara curang Golkar memenangkan pemilu, dia telah menjadi golput semenjak usianya mencukupi untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Aku tidak. Aku adalah tipe warga negara yang penurut, (duluuuuu). Sudah tahu Golkar selalu curang, ya aku tetap ikut mencoblos, sejak pertama kali aku berhak ikut.
Aku menjadi golput di pemilu 2004, ketika melihat bahwa reformasi yang didengung-dengungkan sejak tumbangnya orde baru tahun 1998, tidak menunjukkan perkembangan apa-apa dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. (Nampaknya begitu.) Okelah yang menang tidak lagi Golkar -- pemilu tahun 1999 dimenangkan PDIP, tahun 2004 dimenangkan Partai Demokrat -- namun korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap marak. Bahkan mungkin kian marak, jumlah kasus korupsi kian meningkat. Entah kian meningkat atau karena sekarang sudah zaman internet, segala hal kian transparan. Atau karena pemimpin Indonesia tidak sediktator presiden Indonesia kedua yang berkuasa selama 32 tahun ya? Hukum tetaplah menajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Aku menjadi golput lagi di tahun 2009. SBY terpilih lagi. Sialnya di periode kedua SBY segala hal justru memburuk. Kekerasan terhadap minoritas atas nama agama; kasus huk sum yang terkatung-katung; kian merajalelanya front-front yang menyalahgunakan nama agama. Capek banget rasanya membaca berita setiap hari.
JOKO WIDODO
Istilah satrio piningit mulai muncul setelah tumbangnya Orde Baru. Aku pun ikut berharap-harap cemas akan ada seorang satrio piningit yang ditunggu-tunggu. Sekian nama disebut, sekian orang diberi harapan besar. Sekian kekecewaan ternyata tetaplah menyertai.
Hal ini membuatku berpikir bahwa kekuasaan ternyata berdampak sangat buruk. Orang yang dulunya baik pun akan berubah menjadi tamak -- bisa jadi jahat -- jika memegang tampuk kekuasaan. Mungkin aku pun -- yang mengaku pada diri sendiri adalah orang baik -- akan berubah menjadi tamak jika berada di posisi yang sama.
Aku lupa kapan pertama kali aku mendengar nama JOKO WIDODO. Mungkin sekitar tahun 2010 ketika aku sedang menjadi salah satu 'jury' dalam satu event AFS (exchange students). Seorang calon siswa yang akan dikirim keluar negeri kebetulan berasal dari Solo. Ketika diminta berpidato tentang salah satu tokoh Indonesia yang menginspirasi, dia memilih walikota Solo yang lebih dikenal dengan nama Jokowi. That name absolutely didn't ring a bell at all to me. :)
Dan aku tetaplah apatis. Masak ada pejabat di Indonesia yang sama sekali tidak terlibat kasus korupsi, kolusi dan nepotisme? Barangkali belum ketahuan aja lah. :)
Tahun 2011 pertama kali aku berkunjung ke Solo dan menginap disana dua malam. Oh, kota ini berbeda ternyata. Aku terkesan dengan trotoarnya yang sangat friendly terhadap pejalan kaki, pesepeda, dan para penjual kaki lima. (Yang ada di sepanjang Jalan Slamet Riyadi.) Aku juga terkesan dengan Taman Balekambang dan bus wisata tingkat duanya. Pelaksanaan CFD (Car Free Day) juga jauh lebih terkesan rapi dibanding dengan pelaksanaan CFD di Semarang.
Karena kiprah Jokowi ya? Wow.
Di luar dugaan kemudian Jokowi 'dibawa' hijrah ke ibukota! Meski tidak secara langsung mengikuti perkembangan politik di tanah air, waktu pilgub di Jakarta tahun 2012, aku yakin Jokowi bakal menang. Aku tidak peduli apakah waktu itu yang membawa ke Jakarta adalah Jusuf Kalla, Megawati, atau bahkan Prabowo Subianto. Aku tidak peduli. Jokowi seemed an honest and hardworking person. And trustworthy too!
Waktu itu pun diam-diam aku mulai berharap jika memang Jokowi adalah orang yang jujur, pekerja keras dan memiliki kredibilitas tinggi terhadap pekerjaannya, mengapa dia tidak dicalonkan jadi presiden ya dalam pilpres tahun 2014? Tapi kan dia baru menjelang dua tahun menjadi gubernur Jakarta. Bakal diprotes banyak orang ga ya?
Harapanku yang sifatnya diam-diam itu ternyata disambut oleh beberapa orang yang kukenal lewat FB, salah satunya Muhammad Amin yang banyak dikritik juga dipuja para facebooker Indonesia karena status-status spiritualnya yang kontroversial. Awal tahun 2013, dia bahkan sudah mulai menyebar 'harapan' atau 'kampanye' di FB untuk membawa Jokowi ke kursi nomor satu di Indonesia.
Aku senang. Honestly. Ada harapan baru untuk masa depan Indonesia!
Namun aku belum 'tergerak' untuk ikutan mengkampanyekan Jokowi di media sosial.
Usai pileg bulan April 2014 dan melihat perolehan suara PDIP yang kurang dari 20% membuatku miris. Namun satu hal yang membuatku akhirnya ikutan 'berkampanye' (semampuku) lewat media sosial adalah ketika seorang facebooker yang ada di list pertemananku, yang di tahun 2010 lalu pernah lumayan dekat dan sok curhat, membaptis diri sebagai 'srikandi gerindra'. Entah mengapa aku tidak terima. LOL.
Maka mulailah aku ngeshare link-link berita positif tentang Jokowi, dan ... link-link berita negatif terhadap PS. LOL. Tidak hanya lewat FB namun juga twitter. Mendadak kehidupan media sosial-ku begitu menggairahkan! Tak ketinggalan juga tentu aku pun memasang foto "I stand on the right side" untuk foto profile.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk -- semoga bisa -- mendongkrak jumlah para voter untuk mencoblos Jokowi. Selain juga menulis status agar tidak menjadi golput. Jika di pilpres sebelumnya golput adalah satu cara protes kepada negara, tahun ini golput berarti membiarkan capres yang tidak layak dipilih mendapat keuntungan dari kecuekan warga negara.
Well, pilpres sudah selesai. Jokowi sudah dinyatakan menang oleh KPU, meski saat ini kubu capres yang kalah masih berupaya menjegal Jokowi di MK. Bahkan mungkin ga akan berhenti di MK. Kubu mereka mungkin akan meneror pemerintahan Jokowi dengan cara-cara kasar seperti yang selama ini mereka lakukan. Semoga barisan relawan Jokowi akan terus diberi kekuatan untuk mendampingi Jokowi, hingga akhirnya kubu capres sebelah mengakui bahwa Jokowi-lah pilihan tepat untuk membawa perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik. (minimal bagiku hukum tak lagi tajam ke bawah namun tumpul ke atas; tak ada lagi diskriminasi terhadap kaum minoritas; semoga dilanjutkan dengan dibubarkannya front-front yang tidak jelas, hanya menyalahgunakan nama agama; KPK bekerja jauh lebih tegas dan tajam, tak ada perlindungan terhadap koruptor, meski pejabat tinggi sekalipun sehingga kasus korupsi berkurang atau menghilang sama sekali.)
Semoga pemerintahan Jokowi adalah titik tolak Indonesia baru, dipimpin oleh para pejabat yang memang hanya mengabdi untuk rakyat. Semoga!
PT56 21.40 15/08/2014
Kamis, Juni 14, 2012
S U N A T
The English version can be viewed here
Beberapa komen yang muncul di lapak sebelah, yang bakal digusur tanggal 1 Desember 2012.
rengganiez wrote on Jun 15
Lucunya
di Indonesia Kementerian Kesehatan pernah melarang sunat perempuan pada
2006, tapi dianulir pada 2010. Aturan yang plin plan yang menjadi
penegas legalisasi sunat perempuan di Indonesia. Pemerintah mengklaim
aturan itu dibuat agar perempuan lebih “nyaman” dan higenis. Namun ada
yang diabaikan, yakni hak perempuan atas otoritas tubuhnya.
|
afemaleguest wrote on Jun 15
rengganiez said
![]() ![]()
Jeng Niez,
ya betul. menyedihkan ya? :'( |
rengganiez wrote on Jun 15
ak pernah nulis lama soal ini, tapi untuk urusan kantor...pas nulis itu membayangkan sunatnya udah nyeriiii
|
afemaleguest wrote on Jun 15
aku juga ... perut langsung melilit perih, jantung mendadak berdetak lebih kencang ...
|
bambangpriantono wrote on Jun 15
Gajiku disunat bulan ini gara2 kebanyakan ijin..:(
*nyambung ora ki?* |
afemaleguest wrote on Jun 15
salahmu dewe yen iki :-)
|
dinantonia wrote on Jun 15
ih ngeri dan merinding bacanya :(
|
afemaleguest wrote on Jun 15
sama Din :-(
|
afemaleguest wrote on Jun 15
Agam,
lha kalau yg nyaranin sesama perempuan enaknya diapain ya? |
rembulanku wrote on Jun 15
sunat perempuan aku ga bisa membayangkan....
btw, sunat ki bhs inggris opo mbak hehhee *ga nemu ning kamus jew* |
afemaleguest wrote on Jun 15
sunat boso Enggrese 'circumcision' La :-)
|
di
koria jg ada sunat, mbak. tapi trend modern, bawaan dari amrik waktu
habis perang sama jepang. sunatnya utk cowo dan dilakukan waktu bayi.
apparently it's a christian influence?
http://www.circumstitions.com/Korea.html |
afemaleguest wrote on Jun 19
martoart said
![]() ![]() |
Rabu, Februari 16, 2011
Kronika Kronis Anakronisme Anarkis
Jumat, November 05, 2010
Some pictures of Merapi's eruption
seorang anak sekolah segera lari setelah Merapi meletus Tim pencari korban ... ![]() |
Tim SAR sedang menyisiri daerah letusan untuk mencari korban yang barangkali tertimbun lahar dingin. |
![]() |
Tim relawan |
![]() |
Awan panas yang konon panasnya mencapai 500 derajat Celcius, yang dikenal oleh orang-orang sekitar sebagai 'wedus gembel' |
![]() |
Di Jalan P. DIponegoro Jogja, hari Jumat 5 November 2010 |
![]() |
Banyak pohon tumbang di Muntilan karena tebalnya abu vulkanik yang menempel. |
![]() |
Keindahan yang berakibat korban yang terkenal semburan awan panasnya ... |
![]() |
Merapi |
Merapi Meletus ...

hai manusia
tak sadarkah kau aku murka
karena perlakuanmu pada alam?
jangan salahkan aku untuk terus semburkan...
semua yang penuhsesaki perut bumi
kerna salahmu sendiri
maka
diamlah kau sekarang!
*merapi bersuara mewakili diri sendiri*
nana......mari kita flashback.
manusia diciptakan menjadi apa?
dan mahluk diciptakan menjadi apa?
...bahkan malaikat pun pernah bersujud.
merapi itu ladang syaitan kesesatan. karenanya, banyak timbul kemusyrikan
MERAPI. diam kau!
Rabu, Mei 06, 2009
Ujian Nasional
Kita semua tahu betapa Ujian Nasional (yang dulu lebih dikenal sebagai EBTANAS) telah menjadi polemik yang hangat di tahun-tahun terakhir ini; kontroversi pro dan kontra dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah menginginkan agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh negeri memenuhi standard tertentu yang dimiliki oleh pemerintah. Lulusan sebuah SMA di pedalaman Kalimantan yang mungkin sekolahnya tidak memiliki fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah di kota besar di pulau Jawa diharapkan memiliku mutu yang sama dengan lulusan SMA N 3 Semarang (sebagai pengemban Sekolah Berstandar Internasional pertama di Semarang). Alasan yang dimiliki oleh mereka yang kontra adalah “keberhasilan seorang siswa hanya ditentukan pada empat hari diselenggarakannya Ujian Nasional” yang seolah-olah menghapus kerja keras para siswa sejak kelas X.
Seorang teman yang kebetulan memiliki jabatan sebagai kepala sekolah mengaku sangat stress menjelang penyelenggaraan Ujian Nasional. Stress ini lebih meningkat lagi tatkala hasil Ujian Nasional diumumkan. Kekhawatiran dicap sebagai kepala sekolah yang tidak becus sangatlah menggayuti pikirannya.
Berawal dari cara berpikir inilah akhirnya dia memaklumi tatkala ada kabar ataupun gosip-gosip yang bisa jadi menghancurkan reputasi kepala sekolah tertentu.
Berikut akan kutulis sedikit pengalamanku menjadi pengawas Ujian Nasional di sebuah sekolah di Semarang. (FYI, pengawas Ujian Nasional selalu berasal dari sekolah lain.)
Hari pertama, kita semua pengawas dikumpulkan di ruang sekretariat untuk menerima pengarahan dari kepala sekolah SMP tersebut pada pukul 06.30. Pukul 07.40 bel berbunyi, pengawas dan siswa yang mengikuti ujian menuju ke ruangan yang masih digembok, untuk sterilisasi. Pengawas ujian membuka gembok tersebut dan mempersilakan peserta ujian memasuki ruangan. Ujian sendiri dimulai pukul 08.00.
Tiga puluh menit kemudian, seorang guru dari SMP tersebut datang ke ruangan, menyodorkan ‘attendance list’ untuk pengawas. Orang ini, dengan sok akrab memelukku dari belakang, sembari berbisik, “Bu, jangan galak-galak ya? Kasihan murid-muridku kalau sampai tidak lulus.”
Aku tersenyum, berusaha memaklumi.
Tak lama kemudian, penjaga yang berada di ruangan yang sama denganku mulai mengajakku ngobrol dengan suara yang cukup keras. (Dia mengaku akan pensiun tahun depan, so you can imagine how old she is now. She is absolutely one senior teacher.) Hal ini membuat para peserta ujian merasa ‘diberi kesempatan’ untuk saling mencontek. Langsung kulihat beberapa anak menoleh kesana kemari mencari contekan. Ketika aku akan mengingatkan anak-anak itu, the senior teacher bilang, dengan nada sangat bersahabat, “Ayo cah, ojo rame-rame! Wes bar po? Yen durung bar, yo dilanjutke wae.” Kulihat hal ini tidak membuat anak-anak takut. Tetap dengan berani mereka menoleh kesana kemari.
I learned my lesson very quickly. This senior teacher memang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk saling mencontek.
Hatiku tidak terima. Tapi apa boleh buat? I am just a new kid on the block.
Hari kedua, aku mendapatkan partner, seorang laki-laki, yang nampaknya lebih muda dariku, namun telah memiliki pengalaman untuk menjadi pengawas Ujian Nasional. Dia sempat bercerita kepadaku—dengan berbisik-bisik, berbeda dengan partnerku satu hari sebelumnya—tentang rekan kerjanya yang setahun sebelumnya ‘caught in the act’ (alias ‘ngonangi’ boso Jowone, mboh aku lali Bahasa Indonesiane LOL) sang kepala sekolah membantu siswa-siswinya dengan memberi kunci jawaban soal-soal ujian. Dari orang yang sama pula aku mendengar cara-cara sekolah lain ‘membantu’ para siswanya mengerjakan soal-soal Ujian Nasional.
Dia juga komplain tentang ketumpulan ‘Tim independen’ yang nampak jelas bisa ‘disetir’ oleh Kepala Sekolah. Aku sendiri heran setelah mengetahui bahwa ‘tim independen’ yang dimaksud HANYALAH seorang mahasiswa semester 6, yang tentu sangat bisa ‘disetir’ oleh KepSek. Sebelum berangkat ke lapangan, aku membayangkan ‘tim independen’ pengawas penyelenggaraan Ujian Nasiolan ini terdiri dari beberapa orang, yang berwibawa, sehingga ‘disegani’ atau ‘ditakuti’ oleh pihak sekolah.
Partner di hari kedua ini tidak melulu bercerita, seperti partnerku di hari pertama. Bahkan dia lumayan ‘galak’ dengan terus menerus memperhatikan para peserta ujian, tanpa terserang kantuk sedikit pun. Aku sendiri sempat terkena ngantuk. LOL.
Hari ketiga, sebelum mulai menjaga, kepala sekolah komplain tentang seorang penjaga yang memelototi para peserta ujian, sehingga dia merasa perlu melaporkan sang ‘oknum’ penjaga yang melotot ini kepada atasannya. Kepala sekolah meminta para penjaga agar tidak membuat para peserta nervous sehingga justru tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan maksimal.
Partnerku seorang perempuan yang nampaknya juga baru tahun ini menjadi penjaga ujian. Dia membuatku tidak sempat mengantuk sama sekali, karena she was very talkative. Bisa disimpulkan hari ketiga ini ‘penjagaanku’ sama tidak maksimalnya dengan di hari pertama.
Hari keempat, dari penampilannya aku bisa mengira bahwa she is one senior teacher, only not as old as my partner di hari pertama. Aku suka padanya karena dia anteng, tidak banyak berbicara, tidak nampak mengantuk (aku ngantuk!!! LOL untuk mengantisipasinya, aku duduk di belakang, aku yakin bakal membuat anak-anak tidak berani bergerak karena mengira aku memelototi mereka dari belakang. LOL.) dan terlihat ‘serius’ menjaga anak-anak. Namun tentu saja she was not as bloody strict as my workmates di English course tempatku bekerja. Ada seorang anak yang duduk paling depan, terlihat sangat mencurigakan. Aku juga tahu dia berulang kali menoleh ke seorang temannya, berusaha mencontek. Partnerku ini HANYA menegurnya dengan, “Kamu ga belajar ya tadi malam?”
Kesimpulanku atas penyelenggaraan Ujian Nasional: pemerintah telah gagal membuat agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh Indonesia memiliki mutu yang sama. Tentu banyak sekolah-sekolah lain di penjuru negeri yang melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya dilakukan untuk membantu anak didiknya agar lulus Ujian Nasional.
Kalau gagal, kenapa harus dipaksakan menyelenggarakan Ujian Nasional?
PT56 21.16 050509
Minggu, Februari 08, 2009
Perkawinan Beda Agama

Di salah satu milis yang kuikuti ada diskusi sangat menarik, yakni tentang perkawinan beda agama. Diskusi ini berasal dari laporan pandang mata dari seorang member tatkala menghadiri bedah buku ‘Perkawinan Beda Agama’ tulisan Muhammad Munif dan Ahmad Nurkholis, yang diterbitkan oleh GM Pustaka. Tiga pembicara utama bedah buku yakni Prof Musdah Mulia (Muslim), Pendeta Saut Sirait (Kristen), dan Bapak Herman (pemuka agama Buddha).
Sebagai seorang Muslim, dalam postingan ini aku hanya ingin menuliskan tentang pandangan yang disampaikan oleh Prof Musdah, dan bukan diskusi dalam milis secara keseluruhan. FYI, milis ini diikuti oleh orang-orang dari berbagai macam agama, dan kebanyakan dari mereka memiliki sifat broad-minded dan open-minded, selain juga pluralis dan well-educated.
Prof Musdah mengatakan dalam Islam ada tiga pandangan dalam hal ini:
Pertama, haram. Karena banyaknya ulama mengatakan haram, MUI pun dengan serta merta mengeluarkan fatwa haram dalam hal ini. (Jika mengacu ke postingan sebelum ini, tentang fatwa haram merokok, bisa jadi tatkala MUI mengeluarkan fatwa haram untuk perkawinan beda agama pun cuma iseng belaka ya? karena kurang kerjaan. Atau seperti my ex boss bilang, “MUI members get paid to make fatwa.”
Kedua, boleh, asal yang laki-laki Muslim yang perempuan boleh non Muslim. BIAS JENDER banget kan? Alasan utama (menurutku) karena dalam kultur patriarki perempuan menjadi the second sex, selalu pihak yang kalah, maka dalam perkawinan beda agama dimana si perempuan yang Muslim dan laki-laki non Muslim, dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan dari pihak laki-laki agar sang istri mengikuti agama suami. Atau pemaksaan dalam hal anak-anak harus mengikuti agama sang ayah, sang pemimpin keluarga. Kalau begini jadinya dikhawatirkan pengikut agama Islam akan berkurang. LOL.
Ketiga, boleh tanpa ada syarat apapun. Yang penting dalam suatu perkawinan kedua belah pihak setuju untuk menikah, tanpa ada pemaksaan dari satu pihak, bukan karena kasus trafficking, bukan merupakan nikah siri, bukan kasus poligami, maupun pedofil, seperti kasus Puji dan Ulfa. Untuk kasus ketiga ini, menurutku masih sangat jarang di Indonesia yang berpandangan seperti ini. Para anggota MUI apalagi, tentu kebanyakan tidak setuju. Atau mungkin ada baiknya mereka dibayar untuk membuat fatwa baru dalam hal perkawinan beda agama ini? LOL. Selama ada uang, fatwa baru boleh dibuat kali ya?
Lebih lanjut Prof Musdah mengemukakan dalam ajaran Islam ada tiga hal yang harus diketahui:
Aqidah, berhubungan langsung dengan ketuhanan dan kenabian.
Ibadah, hubungan manusia dengan Tuhan, misal shalat dan puasa.
Muamalah, hubungan antara manusia dengan manusia.
Perkawinan termasuk masalah muamalah, hubungan antara satu manusia dengan manusia lain, tidak berhubungan dengan ketuhanan maupun kenabian.
Masalahnya adalah, dalam agama Islam, banyak ulama mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan salah satu ibadah. Lah, kan jadi rancu ya? Tapi memang di Indonesia banyak terjadi kerancuan dalam ketiga masalah di atas, aqidah, ibadah, maupun muamalah. Misal: Orang-orang lupa bahwa masalah ibadah—misal shalat dan puasa—adalah hubungan langsung antara Tuhan dan makhluk-Nya. Banyak orang merancukannya dengan masalah muamalah, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka memiliki hak untuk campur tangan urusan ibadah orang lain.
Masih ada hal-hal lain lagi yang ingin kutulis tentang perkawinan beda agama ini. But karena sesuatu dan lain hal, aku harus mengakhiri tulisan ini. Lain waktu kusambung lagi. Sebagai seorang feminis yang percaya bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk tubuh dan cara berpikirnya, aku setuju bahwa perempuan Muslim pun berhak untuk menikah dengan laki-laki non Muslim.
PT 19.03 080209
Fatwa: Merokok Haram

Lama-lama MUI seperti kurang kerjaan aja yah, sampai masalah merokok pun dibuatkan fatwa. Selain fatwa dalam urusan merokok, MUI pun mengharamkan golput. (Correct me if I am wrong, aku super jarang baca surat kabar hari-hari terakhir ini, selain karena sibuk, tapi juga ‘fed-up’ dengan berita-berita yang menghiasi lembar-lembar koran, plus malas membaca ulasan yang kurang cerdas di surat kabar langganan Nyokap.)
Aku bukan perokok. Aku juga tidak pernah kepikiran untuk mencoba bagaimana rasa rokok itu maupun ‘rasa merokok’, apakah aku akan merasa menjadi ‘cool’ atau maskulin (orang-orang sering salah interpretasi bahwa yang feminis itu non feminin sehingga bisa jadi beranalogi dengan maskulin). Bahkan waktu di usia remaja—konon usia dimana seseorang merasa tertantang untuk melakukan segala sesuatu—aku juga tidak tergoda untuk mencobanya. Waktu mulai kuliah di Sastra Inggris UGM semester 1, aku kulihat beberapa teman sekelas (cewe) mencoba merokok, mumpung tinggal jauh dari orang tua, mungkin begitu jalan pikiran mereka. Dan aku tetap tidak bergeming.
Aku juga tidak begitu peduli apakah orang lain merokok atau tidak. Mungkin karena aku pun sadar bahwa pabrik-pabrik rokok memberi kontribusi paling besar sebagai pembayar pajak di Indonesia. Namun ada satu syarat penting: JANGAN PERNAH MEROKOK DI DEKATKU. My ex hubby used to be a ‘train smoker’, namun dia selalu keluar dari ruangan untuk merokok. Kalau dia mau mati karena kanker, jangan ngajak-ngajak orang lain. Itu intinya. LOL.
Nah, bagaimana dengan fatwa haram untuk merokok?
Aku paling tidak suka tatkala ada paksaan untuk melakukan sesuatu, apalagi ada embel-embel hukuman, untuk sesuatu yang menurutku hanya merupakan ‘little misdemeanor’. Para perokok itu sebaiknya, atau SEHARUSNYA, sadar diri bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain yang berada di dekat mereka. Kalau tidak tahan untuk tidak merokok, ya hormatilah hak para non-smoker (orang lain yang tidak merokok) untuk menghirup udara yang bersih, bebas dari asap rokok.
Namun mengingat banyak orang bilang bahwa kebanyakan orang Indonesia kurang dewasa cara berpikirnya (misal: “Terserah gue dong mau merokok, kenapa elo yang repot? Emang dunia ini milik nenek moyang elo saja?” Mereka lupa bahwa para non-smoker pun bisa mengajukan protes yang sama, “Kalo elo mau bunuh diri pelan-pelan dengan ngisep nikotin, jangan ajak-ajak gue dong. Emang udara ini milik elo doang?”) mungkin ada baiknya juga MUI mengeluarkan fatwa ini. Kebanyakan orang Indonesia harus dipaksa untuk melakukan sesuatu atau harus diancam agar meninggalkan suatu kebiasaan buruk.
Yang pasti I am not included. LOL.
PT56 18.29 080209
Sabtu, Februari 07, 2009
Andrea Hirata
I swear I am not really a fan of Andrea Hirata meski harus kuakui aku mengangkat topi tinggi-tinggi buatnya, seorang Ikal kecil dekil, berasal dari sebuah desa terpencil dan miskin, yang mampu mewujudkan impiannya untuk menembus bangku perkuliahan, bahkan setelah lulus dari Universitas Indonesia dia melanjutkan ke universitas bergengsi dunia, Universitas Sorbonne. Dan berhubung membaca adalah salah satu hobbyku, maka tak heran bukan kalau aku pun membaca keempat novel tetralogi LASKAR PELANGI itu.
Aku tidak begitu banyak mengikuti berita-berita tentang Andrea karena bagiku kehidupan pribadinya tidak menarik kuikuti, yang aku sukai adalah keempat bukunya, dari LASKAR PELANGI, SANG PEMIMPI, EDENSOR, dan MARYAMAH KARPOV.
Dengan sekedar iseng, aku menulis komentar atas pertanyaan retorik yang kutulis di atas, "Apakah Andrea Hirata terkenal karena dia lulusan Universitas Sorbonne?" Dari beberapa kritik sastra yang kubaca tentang LASKAR PELANGI, novel ini terkenal karena para pembaca sedang terkena penyakit BOSAN dengan tema-tema novel yang ada. (Contoh: Keterkenalan novel 'Ayat-ayat Cinta' membuat orang-orang pun menulis novel-novel dengan tema yang mirip-mirip. Senada dengan saat terkenalnya seorang Ayu Utami karena dwilogi SAMAN dan LARUNG nya. Karena banyak orang menuding seksualitas yang diusung oleh Ayu sebagai pendongkrak popularitas kedua novel ini, banyak orang kemudian beramai-ramai menulis novel yang banyak dibumbui oleh seks, tanpa tema yang khusus mengapa seks diilustrasikan dalam novel-novel mereka. Ayu Utami berbeda karena dalam kedua novel itu dia ingin mendobrak ketabuan bahwa perempuan dilarang berbicara tentang seks, dan kritik tentang virginitas yang wajib dimiliki semua perempuan tatkala memasuki
gerbang perkawinan.)
Aku menulis bahwa Andrea terkenal bukan karena dia lulusan Sorbonne, melainkan karena cerita yang ditulis oleh Andrea dalam LASKAR PELANGI benar-benar memikat pembaca, tema yang berusaha untuk membangkitkan semangat para pelajar untuk rajin berangkat ke sekolah, karena para anggota 'laskar pelangi' yang berasal dari desa terpencil dan miskin itu selalu penuh semangat untuk berangkat sekolah, untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan. Andy F Noya mengangkat LASKAR PELANGI dan Andrea Hirata dalam salah satu acara KICK ANDY karena cerita yang membumi dan mengharukan tersebut, bukan karena sang penulis adalah lulusan Sorbonne.
Seandainya Andrea menulis EDENSOR sebagai novel perdananya, aku tidak yakin bahwa dia akan seterkenal sekarang, meksipun EDENSOR ditulis dengan teknik penulisan yang jauh lebih menarik dibandingkan tatkala Andrea menulis LASKAR PELANGI. Karena dia adalah seorang prodigy dan pekerja keraslah maka dia pun mampu meningkatkan kemampuan menulisnya dalam waktu yang singkat. Apakah karena dia lulusan Sorbonne? Dalam hal ini, mungkin iya. Namun hal ini bukanlah penyebab utama seorang Andrea terkenal di Indonesia, dan kemudian sampai ke manca negara. Lulusan Sorbonne membuat dia seorang prodigy yang semakin terasah.
Salah satu bukti bahwa LASKAR PELANGI lah yang menyebabkan seorang Andrea terkenal adalah buku yang dia tulis sebelum LASKAR PELANGI, buku ilmiah berdasarkan riset tesisnya, SAMA SEKALI TIDAK TERKENAL, sebelum LASKAR PELANGI terkenal.
Any comment, please dear friends?
Friends net 14.24 070209
Rabu, Februari 04, 2009
Perempuan Sejati
Artikel yang kupost sebelum ini kutulis karena sebuah artikel yang dimuat di sebuah surat kabar lokal yang menurutku menyesatkan. Artikel yang dipublikasikan pada tanggal 21 Desember 2008 ini mengelu-elukan kaum perempuan yang memilih menjadi seorang ibu rumah tangga dan melabelinya sebagai feminis modern. Seorang feminis modern adalah seorang perempuan yang dengan sepenuh hati memilih meninggalkan karir di luar rumah (yang telah mencapai posisi tinggi),untuk menghabiskan waktu dengan anak-anak, dan mengurusi suami yang sibuk bekerja di luar rumah. Karena biar bagaimana pun, peran seorang perempuan sebagai seorang ibu—mengandung, melahirkan, menyusui, kemudian mengasuhnya sehingga besar, tanpa melibatkan pihak lain—tak kan pernah tergantikan Untuk ketidakegoisan mereka inilah, perempuan yang dengan sadar memilih peran sebagai ibu rumah tangga dielu-elukan sebagai ‘pahlawan’ perempuan sejati.
Sementara itu kaum perempuan yang memilih berkarir di luar rumah dianggap feminis ketinggalan zaman karena mengacu kepada ‘ajaran’ ideologi feminisme tahun 1960-an. Zaman telah berubah.
Di Indonesia dimana orang dengan mudah terbuai dengan segala label yang berbau ‘sejati’, artikel tersebut akan membentuk opini yang seragam pada pembacanya: di zaman sekarang, jika seorang perempuan ingin dilabeli gelar perempuan sejati, juga sebagai feminis modern, dia harus meninggalkan karirnya di luar rumah, kembali ke rumah, menjadi istri dan ibu yang baik.
Artikel tersebut juga menuliskan beberapa alasan mengapa seorang perempuan bekerja (di luar rumah): harga-harga kebutuhan sehari-hari yang senantiasa merangkak naik membuat pasangan suami istri harus bersama-sama menjadi pencari nafkah. Selain alasan ekonomi ini, dua alasan lain yang disebut dalam artikel tersebut yaitu: memanfaatkan ijazah yang telah diperoleh dengan penuh perjuangan, dan agar diterima secara sosial oleh masyarakat.
Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, ada lima tingkat kebutuhan yang ingin dicapai oleh seorang individual: safety (keamanan), security (keselamatan), social acceptance (penerimaan secara sosial), self-esteem (harga diri) dan self-actualization (aktualisasi diri). Alasan ekonomi mengacu ke kebutuhan pada tingkat pertama safety dan kedua security. Seseorang membutuhkan pangan, sandang, dan papan. Selain itu, orang juga butuh jaminan bahwa di bulan-bulan berikutnya mereka bisa mencukupi kebutuhan pokok mereka dengan memiliki pekerjaan yang mapan. Alasan ‘agar diterima secara sosial oleh masyarakat’ mengacu ke teori Maslow tingkat ketiga, social acceptance. Untuk memanfaat ijazah yang telah diperoleh mengacu ke tingkat keempat, self-esteem. Seorang perempuan akan merasa harga dirinya meningkat jika mereka memanfaatkan ijazah yang telah mereka peroleh dengan semestinya, dengan mengaplikasikan ilmu yang mereka kejar di bangku kuliah. Kebutuhan pada strata tertinggi dari teori Maslow, self-actualization nampaknya dilupakan oleh jurnalis penulis artikel tersebut. Tidak semua perempuan ditakdirkan menjadi makhluk domestik, yang merasa dapat mengaktualisasikan diri dengan ‘hanya’ menjadi koki di rumah untuk keluarga, melahirkan dan menyusui anak, kemudian menjadi pengasuh. Banyak perempuan yang merasa mereka mendapatkan kepuasan jika mengaktualisasikan dirinya di ranah publik. Semua tergantung pada panggilan jiwa masing-masing.
Sebagai seseorang yang menyukai bidang tulis menulis, aku sendiri merasa bisa mengaktualisasikan diri dengan cara menulis dan blogging.
Sebagai seseorang yang suka memasak, seorang perempuan tentu akan merasa mampu mengaktualisasikan diri di bidang masak memasak.
Sebagai seseorang yang suka berkebun, seorang perempuan akan mencapai aktualisasi diri yang tinggi jika dia berhasil memiliki kebun yang indah, penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran.
Sebagai seseorang yang suka bekerja di balik meja, mungkin seorang perempuan akan mencapai aktualisasi diri dengan bekerja di sebuah perusahaan.
Sebagai seseorang yang suka bekerja di lapangan, mungkin seorang perempuan akan mengejar aktualisasi diri dengan bekerja sebagai penambang, kontraktor, arsitek, arkeolog, dll yang memungkinkan dia untuk selalu berada di lapangan.
Sebagai seseorang yang menyukai pekerjaan yang lebih menantang lagi, mungkin seorang perempuan akan mampu mengaktualisasikan diri dengan bekerja sebagai pilot, astronot, insinyur perkapalan, dll.
Dan lain sebagainya.
Perempuan memiliki hak penuh atas diri, tubuh, dan pikirannya. Perempuan sangat berhak untuk memilih apa yang ingin dia ingin lakukan, tanpa perlu ada batasan bahwa dia akan menjadi perempuan modern atau feminis kuno jika memilih satu profesi tertentu.
Semua perempuan adalah perempuan sejati tanpa ada batasan hanya merekalah yang mampu mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak yang berhak menyandang predikat predikat perempuan sejati. Bukankah urusan seorang perempuan bisa mengandung atau tidak adalah rahasia Ilahi? Seorang perempuan berhak untuk memilih mengadopsi anak, ataupun tidak mengadopsi anak, dan dia tetaplah seorang perempuan sejati.
Seorang perempuan yang mengandung, kemudian melahirkan, tetaplah seorang perempuan sejati jika dia memilih untuk tidak menyusui bayinya dengan alasan yang dia sendiri yang tahu. Bukankah banyak pula perempuan yang tidak mampu menghasilkan air susu, meskipun baru saja melahirkan, karena ini pun merupakan rahasia Ilahi.
Seorang perempuan tetaplah menjadi perempuan sejati meskipun dia memilih untuk terus berkarir di ranah publik karena itulah cara dia mencapai aktualisasi diri, tanpa perlu dibebani rasa bersalah karena dia memerlukan seorang pengasuh untuk mengasuh anaknya.
Kesimpulan: berhentilah melabeli seorang perempuan sebagai perempuan yang sejati atau tidak sejati. Biarkan perempuan memilih dengan kesadaran yang tinggi dalam hidupnya.
Nana Podungge
PT56 17.17 010209
(terjemahan postingan “True woman = modern feminist?” bisa diakses di
http://afeministblog.blogspot.com/2008/12/true-woman-modern-feminist.html)