Selasa, Juni 07, 2011

Sekolah Nasional Plus versus Sekolah Bertaraf Internasional

SEKOLAH NASIONAL PLUS VERSUS SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL


*tulisan ini terinspirasi dari artikel yang berjudul “Harga untuk Sebuah Status: Ketika Kepentingan Kelas Mengalahkan Kepentingan Pendidikan Nasional” tulisan Fajri Siregar yang dimuat dalam Jurnal Perempuan nomor 66 yang bertajuk PENDIDIKAN UNTUK SEMUA.


Untuk memulai tulisan ini, aku kutipkan (tabel) perbandingan Sekolah Nasional Plus versus Sekolah Bertaraf Internasional yang dikutip Fajri Siregar dari skripsi Anita Dwi Ariyani berjudul “”Budaya Sekolah Bertaraf Internasional” FISIP UI.


Sekolah Nasional Plus
  1. Merupakan sekolah swasta
  2. Terbuka untuk masyarakat umum (tidak seperti sekolah internasional rujukan Departemen Pendidikan Nasional)
  3. Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama
  4. Menggunakan kurikulum selain kurikulum nasional
  5. Terdapat staf pengajar warga negara asing
  6. Memiliki akreditasi internasional (tentatif)

Sekolah bertaraf Internasional

  1. Sekolah negeri
  2. Menggunakan uang pangkal dan tes masuk yang berbeda dari program sekolah reguler negeri yang bersangkutan (atau sekolah negeri yang lain)
  3. Bilingual
  4. Menggunakan kurikulum selain kurikulum nasional
  5. Staf pengajar lokal

Berbeda dengan Fajri Siregar maupun Anita Dwi Ariyani yang menulis artikel/skripsi berdasarkan riset, aku menulis ini berdasarkan pengalaman pribadi. Sejak tahun ajaran 2008/2009 aku bekerja di sebuah sekolah yang nampaknya dalam artikel/skripsi yang kumaksud di atas dimasukkan dalam kategori Sekolah Nasional Plus, atau pihak penyelenggara sekolah sendiri melabelinya “an international school” tatkala di akhir tahun ajaran 2008/2009 kita telah mendapatkan akreditasi internasional, dan bahkan telah mendapatkan izin untuk menyelenggarakan tes IGCSE (International General Certificate of Secondary Education) untuk para siswa-siswinya di sekolah sendiri tanpa perlu mengirim siswa-siswinya ke Jakarta. Sertifikat yang dikeluarkan oleh University of Cambridge International Examinations ini memungkinkan mereka yang memilikinya untuk langsung melanjutkan kuliah di universitas di seluruh dunia. Di Semarang ada sebuah Sekolah Nasional Plus lain yang konon juga telah mendapatkan izin mengajarkan materi-materi ujian IGCSE namun belum bisa menyelenggarakan ujian sendiri. Siswa-siswnya masih harus berangkat ke Jakarta untuk itu.


SMA N 3 Semarang

 
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL


Kebetulan ketika Angie diterima di SMA N 3 Semarang tahun ajaran 2006/2007, sekolah yang bersangkutan dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pilot project sekolah bertaraf internasional. Istilah lainnya angkatan Angie dijadikan kelinci percobaan. Satu hal yang dikomplain secara berulang-ulang hingga angkatan Angie lulus tahun 2009 adalah bahwa angkatan Angie masih berlaku ‘rayonisasi’ sehingga jumlah NEM berapa pun waktu itu jika seorang siswa tinggal di dalam satu rayon dengan SMA N 3 akan tetap diterima.


Hal-hal lain yang kusoroti tentu adalah kesiapan human resources yang dimiliki. Tidak semua guru yang mata pelajarannya seyogyanya disampaikan 80% menggunakan Bahasa Inggris bisa berkomunikasi dalam bahasa ini dengan fasih. Sehingga mereka hanya sekedar mengucap salam dalam Bahasa Inggris, kemudian mengatakan, “Ok students, now you open your book on page so and so.” Setelah itu langsung switch dalam bahasa Indonesia. Ada juga seorang guru yang saking bingungnya materi apa yang akan diberikan, hanya memberikan materi-materi ajar dalam bentuk power point, tanpa menjelaskan apa pun, (the material was written in English for sure) kemudian membebani anak-anak untuk belajar sendiri.
 

FYI, angkatan Angie hanya menggunakan NEM untuk menentukan seorang siswa diterima atau tidak. Baru angkatan di bawah Angie pada waktu seleksi masuk ada tes khusus untuk menguji kemampuan Bahasa Inggris calon siswa, selain prioritas rayonisasi dihapuskan.


Setelah SMA N 3 Semarang, di tahun akademik berikutnya sekolah-sekolah ‘favorit’ lain pun kemudian mengikuti ‘fenomena’ mengadakan ‘program’ sekolah bertaraf internasional ini. Namun berbeda dengan SMA N 3 Semarang, sekolah-sekolah lain membatasi jumlah kelas yang direncanakan akan dikelola sebagai sekolah bertaraf internasional. Maka hal ini pun menyebabkan ‘gap’ antara kelas-kelas reguler dengan kelas-kelas ‘bertaraf internasional’; hal yang tidak ditemukan di SMA N 3 Semarang, karena seluruh kelas yang ada mengikuti program kelas bertaraf internasional.  Yang mungkin menimbulkan kesenjangan di SMA N 3 Semarang adalah perbedaan kelas akselerasi dan kelas reguler. Untuk kelas akselerasi para siswa hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan SMA-nya, sehingga dibutuhkan kecerdasan dan kedisiplinan di atas rata-rata. Memang SPP kelas akselerasi lebih mahal dibandingkan kelas reguler namun hal ini tidak sangat menimbulkan kesenjangan di bidang kelas sosial.


Dengan semakin maraknya kelas-kelas ‘bertaraf internasional’ yang menggunakan bilingual dalam interaksi sehari-hari (atau bisa juga dikatakan 75% berbahasa Indonesia dan 25% berbahasa Inggris, hal ini lagi-lagi berhubungan dengan kekurangsiapan human resources yang ada), maka semakin banyak buku yang ditulis dan dipublikasikan yang menggunakan bilingual. Tentu saja buku-buku ini menggunakan kurikulum nasional yang penyajiannya satu halaman berbahasa Indonesia, di halaman sebelahnya berbahasa Inggris. Maka, jika dalam tabel yang ditulis oleh Anita DA sekolah bertaraf internasional menggunakan kurikulum selain kurikulum nasional, sekolah-sekolah sejenis yang ada di Semarang pelaksanaannya tidak seperti itu.
 

SEKOLAH NASIONAL PLUS


Fajri Siregar menyoroti beberapa mata pelajaran yang menyebabkan seorang anak yang belajar di Sekolah Nasional Plus siap menjadi warga negara dunia (bukan warga negara lokal Indonesia) seperti Sejarah, Geografi dan Civics (PPKn). Terutama untuk Civics, nilai yang ditanamkan pihak sekolah adalah suatu bentuk kewarganegaraan dunia (global citizenship). Pelajaran dan nilai yang disampaikan mendorong siswa untuk bisa memahami perbedaan kultural, dan bersikap toleran dalam menghargai perbedaan antar bangsa. Di sekolah tempat Fajri melakukan riset, ada mata pelajaran Indonesian Studies yang merangkum pelajaran Sejarah, Geografi (tentang Indonesia?) dan Bahasa Indonesia.

Fajri menyampaikan kritik bahwa dengan memberikan mata pelajaran dengan bahan ajar seperti yang dikemukakan di atas – terutama Civics – sekolah akan menghasilkan siswa-siswi yang tidak begitu mencintai bangsa sendiri, kurang memahami sejarah bangsa, dan kurang memiliki rasa nasionalisme yang bisa dipertanggungjawabkan.


Di sekolah tempat aku ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, memang pelajaran Sejarah dan Geografi tidak membahas segala sesuatu yang langsung berkenaan dengan Indonesia. (Dan kita tidak memiliki mata pelajaran Indonesian Studies.) Karena hasil akhir yang akan dicapai adalah seorang siswa lulus IGCSE test, bahan ajar yang disampaikan adalah materi-materi yang diterbitkan oleh Cambridge University. Materi-materi Sejarah dan Geografi dari Cambridge University ini merangkum Sejarah dunia juga Geografi dunia.
 

Hasilnya memang mengecewakan. Selain mereka ‘hanya’ mengetahui bahwa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, di luar itu, nol. Jangan tanya tentang perang kemerdekaan yang terjadi setelah 1945, pemberontakan Kartosuwiryo tahun 1948, ‘masuknya’ Irian Barat tahun 1963, G30S PKI tahun 1965 dan lain-lain.


Setelah selama dua tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010 tidak ada mata pelajaran Civics di kelas high school (7-12) mulai tahun ajaran 2010/2011, Civics diadakan, menggunakan buku terbitan lokal yang bilingual. You can guess response yang muncul dari para siswa => big disinterest.  But at least, memang dengan diadakannya mata pelajaran satu ini, para siswa mendapatkan eksposure apa-apa yang terjadi di dalam negeri sendiri. Tidak nol sama sekali.


Dari beberapa topik yang kubahas di kelas 9, apa yang dikhawatirkan oleh Fajri memang terlihat. Contoh: ketika membahas tentang klaim Malaysia atas batik dan beberapa cultural items yang lain, anak-anak kelas 9 lebih cenderung menyalahkan pemerintah yang tidak memberi perhatian yang cukup pada kekayaan-kekayaan budaya lokal yang kita miliki. Ketika kuingatkan tentang penjajahan secara kultural di bidang makanan (mereka lebih mengenal salad ketimbang lotek, spaghetti ketimbang bakmi, burger ketimbang serabi, dll), musik (lebih mengenal Justin Bieber ketimbang Sheila on Seven, lebih mengenal K-music ketimbang campursari, dll), tentu saja mereka tidak merasa dijajah sama sekali.


BAHASA INDONESIA


Kebetulan kita memiliki pelajaran Bahasa Indonesia yang tentu saja menggunakan buku terbitan lokal; empat sesi seminggu untuk kelas 1-9, dan dua sesi seminggu untuk kelas 10-12. Jika dibandingkan dengan English yang anak-anak dapatkan 10 sesi seminggu (dari kelas 1 sampai kelas 12) memang tidaklah seimbang.  Namun hal ini lebih bagus dibandingkan dengan sekolah dimana Fajri melakukan riset yang menggabungkan mata pelajaran Bahasa Indonesia ke dalam Indonesian Studies bersama dengan Sejarah dan Geografi.


Dikarenakan eksposure yang kurang, maka satu ‘kekurangan’ yang paling terlihat menonjol adalah penguasaan kosa kata, idiom, dan peribahasa dalam Bahasa Indonesia. Anak-anak terlihat lebih lihai dalam menulis maupun memberikan presentasi dalam English dibandingkan dalam Bahasa Indonesia, walaupun dalam percakapan sehari-hari mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia dengan lancar. Jika boleh memilih, mereka lebih mudah menuangkan pikiran dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan (ketika harus memberikan presentasi) in English.


RELIGIOUS STUDIES


Selama dua tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010 tidak ada ‘Religious Studies’ dalam kurikulum high school. Untuk primary school, anak-anak masih mendapatkannya dengan menggunakan bahan ajar yang menanamkan budi pekerti dan menghormati hak hidup orang lain.
 

Mulai tahun ajaran 2010/2011 kelas high school mulai mendapatkan mata pelajaran Religious Studies dengan bahan ajar yang diambil dari sini. Kelas 7-9 mendapatkan materi dari sini yang berbeda dengan kelas 10-12diambil dari sini. Khusus untuk kelas 10-12 bahannya berupa bahan ajar yang mempersiapkan anak-anak siap mengikuti IGCSE test. Namun intinya sama.

Seperti yang telah kutulis di beberapa post sebelum ini, anak-anak mempelajari lima jenis agama sekaligus, Hindu (kelas 10-12)/Buddha (kelas 7-9), Islam, Christianity, Judaism, dan Sikhism. Dalam hal ini, menurutku pribadi, bahan ajar di mata pelajaran Religious Studies memiliki poin positif lebih tinggi dalam hal nilai-nilai kehidupan (values in life) dibandingkan anak-anak yang bersekolah di sekolah yang memberikan bahan ajar sesuai dengan agama yang dianut seorang siswa saja. Anak-anak di sekolahku memiliki rasa toleransi yang lebih kepada anak-anak yang beragama lain. Jika yang diharapkan oleh para orang tua lebih menitikberatkan pada relijiusitas dari mata pelajaran Religious Studies, tentu saja bahan ajar yang diambil dari website di atas tidak sesuai. Untuk mengenal ritual-ritual lebih di masing-masing agama tentu saja menjadi tanggung jawab orang tua masing-masing.


KESIMPULAN
 

Masing-masing jenis sekolah memiliki keunggulan dan kekurangan yang berbeda. Tentu saja kita tidak bisa mengharapkan hasil yang 100% bagus di segala lini, terutama apakah akan mendidik anak-anak sebagai warga negara dunia atau warga negara lokal; apakah akan menjadikan anak-anak benar-benar bilingual sejati (atau bisa juga ditambahkan dengan bahasa asing lain) dengan kemampuan menulis dan berpidato yang setara di kedua bahasa. Pihak orangtua tentu saja tidak bisa begitu saja lepas tangan dan menyerahkan segalanya kepada pihak sekolah.

GL7 14.00 070611