Selasa, April 21, 2009

Fun Fearless Female Award

Untuk menghormati sang pemberi award, Elly Suryani, yang blognya bisa dikunjungi di
http://newsoul-sayangidirimu.blogspot.com/
maka kubuatlah postingan ini. :)

Kriteria sang penerima award yaitu perempuan yang berusaha mencari dan membagi kebahagiaan kepada dunia sekitarnya, perempuan yang menyukai tantangan.

Lah tanyaku pada diri sendiri, am I really like that?
Well, berhubung aku 'dinilai' seperti itu (at least dari postingan-postingan di blogku) ya mungkin saja aku memenuhi kriteria itu ya? LOL.

Apa hubungan antara istilah FUN FEARLESS FEMALE dengan Maria Antoinette? Klik aja blog Elly yah? Daripada aku harus menulis lagi di sini, kan namanya mubazir? (yang males ngeles nih. LOL.)
Anyway buat Elly, thanks yah?

C-net 21.17 210409

(Btw, award yang diberikan oleh JengSri dan viruscinta18.blogspot.com belum kuambil dan kupost di blog ini. Sabar yah Jeng?)

Apakah anda sudah menikah?

Pada pertemuan kedua di kelas CONVERSATION level 3, kita membahas ‘small talk’ alias bincang-bincang santai. Topik bincang-bincang santai ini tentu sangat bervariasi, tergantung dimana, kesempatan apa, dan kapan kita bertemu dengan orang lain, terutama seseorang yang baru kita jumpai untuk pertama kali.
Ketika aku memancing pertanyaan, “Dimana kita bisa bertemu orang untuk pertama kali?” seorang mahasiswa menjawab, “Pesta perkawinan ...”
Kemudian kutulis frasa ‘pesta perkawinan’ di papan tulis.
Aku melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, “Di pesta perkawinan, topik apa yang biasa orang bicarakan? Terutama dengan seorang asing, a stranger, yang baru kita temui pertama kali?”
Mahasiswa yang sama menyebut, “Status perkawinan ...”
Aku agak bengong mendengar ide tersebut. Maklum, seumur hidupku aku belum pernah menanyakan hal tersebut, ataupun ditanyai seseorang (seingatku sih ...) di sebuah pesta perkawinan yang kudatangi. “Apakah kamu (anda) sudah menikah?”

(NOTE: perbedaan ‘tenses’ dalam Bahasa Indonesia dan English. Dalam English, pertanyaan tentang status perkawinan adalah, “Are you married?” atau “Are you single?” menggunakan SIMPLE PRESENT TENSE yang mengacu ke sesuatu yang ‘routine’ atau ‘habitual’ yang ‘present’ alias saat ini. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, biasanya kita menggunakan kata ‘sudah’ yang dalam English berarti kita menggunakan PRESENT PERFECT TENSE: “Have you got married?”, satu hal yang sangat tidak lazim dalam kultur English speaking countries. Dalam keadaan maupun kultur tertentu perbedaan ‘tenses’ ini bisa menyebabkan hal-hal yang tidak mengenakkan.)

Setelah memandang sejenak mahasiswa yang memberiku ide ‘marital status’, dan bertanya kepadanya untuk meyakinkan jawabannya, (dan ternyata dia sangat yakin dengan jawaban itu. FYI, she is from Sumatra, yang mungkin saja kulturnya sedikit berbeda dengan kultur orang Jawa.) akhirnya aku menulis juga ide itu di papan tulis, di samping tulisan ‘marital status’.

Akan tetapi tiba-tiba aku teringat seorang tokoh dalam film PS I LOVE YOU yang bagiku sangat menarik perhatian, Denise, yang diperankan oleh Lisa Kudrow. Denise yang masih single ini mempunyai cara yang unik dan pede dalam mencari boyfriend, maupun a husband-to-be. Di pesta-pesta yang dia datangi, dia biasa melihat-lihat laki-laki yang ada di sana. Jika dia tertarik kepada seorang laki-laki, dia akan mendekati orang tersebut dan bertanya,
“Are you married?”
Jika jawabannya adalah, “No” dia akan melanjutkan dengan pertanyaan yang kedua,
“Are you gay?”
(Tahu kan lelucon para single girls yang telah berusia tigapuluh tahunan? “All good men around our age are already married. If not, they are gay.”)
Jika jawabannya adalah, “No”, pertanyaan selanjutnya adalah,
“Are you working?”
Jika jawabannya adalah, “Yes”, (berarti Denise telah menemukan ‘calon pacar’ yang dia kehendaki; jika jawaban dari ketiga pertanyaan ini tidak sesuai dengan yang dia inginkan, Denise akan mencari ‘calon-calon’ yang lain, bertanya hal-hal yang sama), maka Denise akan serta merta mencium bibir sang calon. Berhubung Denise adalah perempuan yang sangat menarik, dan kultur Barat yang melingkupinya, tentu tak ada laki-laki yang menolak dia cium.  Contoh pertama, ternyata sang laki-laki merupakan a bad kisser. LOL. (Kalau meminjam istilah Meg Cabot dalam teen-lit novelnya PRINCESS DIARIES, laki-laki itu tidak berhasil membuat Denise mengangkat satu kakinya ke atas.)

Tentu Denise tidak mau menikahi seorang bad kisser. Dan, ‘petualangan’ Denise pun akan berlanjut.
Adakah pembaca blog ku yang tahu peristiwa serupa di Indonesia? Menanyakan ‘marital status’ di sebuah pesta pernikahan pada seseorang yang baru ditemui untuk yang pertama kali?
Setelah frasa ‘marital status’ kutulis di papan tulis, aku melanjutkan pertanyaan berikutnya,
“Topik apalagi?”
“Sang pengantin...” jawab seseorang.
Sangat masuk akal.
“Misalnya?” aku memancing pertanyaan lagi.
Karena tidak ada yang menjawab, akhirnya aku bercerita pengalamanku menghadiri pesta perkawinan seorang teman. Temanku yang perempuan berusia 35 tahun pada waktu menikah, sedangkan suaminya 26 tahun, 9 tahun lebih muda. Tentu aku tidak heran melihat sang pengantin, sehingga aku merasa ‘tidak perlu’ berkomentar, karena aku tahu kisah cinta mereka. Komentar yang kudengar dari para tamu undangan adalah, “Wah ... kok sang pengantin pria masih ‘kinyis’kinyis’ begitu ya dibandingkan sang pengantin perempuan?”
Maklum, ‘konsensus’ yang kita kenal selama ini adalah sang suami ‘harus’ lebih tua dari sang istri. Konsensus ini diikuti dengan ‘sang suami harus lebih tinggi dari sang istri sehingga kalau berjalan bersama akan terlihat manis’; ‘sang suami harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari sang istri, atau paling tidak sederajat’ sehingga bisa menjadi panutan di keluarga (atau dengan istilah vulgarnya, tidak akan dipinteri sang istri). Dan lain-lain.
Bincang-bincang santai ini pun bisa berlanjut ke gossipping ...  People apparently cannot survive without gossipping. LOL.
PT56 19.39 190409

Senin, April 20, 2009

Islam dan Feminisme

Bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW telah membebaskan kaum perempuan dari kultur jahiliyyah di negara dimana agama Islam ‘diturunkan’ telah diketahui. Misalnya, sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, banyak bayi perempuan yang langsung dibunuh oleh keluarganya setelah lahir karena mereka merasa malu memiliki anak perempuan. Kelahiran anak perempuan justru dianggap beban karena anak perempuan tidak bisa pergi berperang, tidak bisa melindungi diri sendiri, tidak bisa menjadi pencari nafkah, tidak bisa menjadi pemilik harta yang sah, (propietor), dll. Contoh lain: sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, laki-laki bisa memiliki istri sebanyak yang mereka mau, kemudian menceraikan mereka sekehendak hati.

Setelah Muhammad diangkat menjadi nabi, tak ada lagi bayi perempuan yang dibunuh setelah lahir. Setelah kekalahan kaum Islam dalam perang Uhud, Allah membolehkan seorang laki-laki Muslim untuk menikahi dua, tiga, atau empat perempuan demi menyelamatkan perempuan-perempuan tersebut bersama anak-anak mereka. (Lihat tulisanku yang berjudul ‘POLIGAMI’.) Hal ini sering dijadikan ‘senjata’ kaum pro poligami bahwa memiliki HANYA empat istri itu jauh lebih bagus dan manusiawi daripada kultur Arab sebelum itu: laki-laki boleh memiliki istri sebanyak yang mereka mau.

Ketika membaca artikel yang berjudul “Women in Islam versus women in Judaeo-Christian tradition, the myth, and the reality” tulisan Dr. Sharif Abdel Azeem (klik di
http://www.usc.edu/dept/MSA/humanrelations/womeninislam/womeninjud_chr.html#_Toc335566653 I accessed on May 18, 2003) dan buku yang berjudul “Abrahamic Faiths: Judaism, Christianity, and Islam Similarities and Contrasts” aku menemukan bahwa tidak ada ayat yang bias jender dalam Alquran dibandingkan ayat-ayat dalam tradisi Judaeo-Christian.
Kejatuhan Adam sering kali dianggap sebagai cikal bakal kultur patriarki, bagi para rohaniwan. Misal: dalam menyikapi kejatuhan Adam, tradisi Judaeo-Christina menyalahkan Eva alias Hawa. Oleh karena itu, Tuhan berfirman kepada Hawa:

“Aku akan membuatmu kesakitan saat mengandung, juga saat melahirkan. Nafsumu hanya akan berlaku kepada suamimu, dan dia akan memiliki hak kontrol penuh atasmu.”

Sedangkan kepada Adam, Tuhan berfirman:
“Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrimu dan mematuhinya sehingga kamu makan buah itu, ... kutukan atasmu akan ditelan bumi, dan kepada bumilah kamu harus terus menerus bekerja keras untuk menghasilkan sesuatu yang akan engkau makan dalam hidupmu.”
(Genesis 2:4-3:24)

Sedangkan dalam Alquran, Tuhan menyalahkan Adam dan Hawa:
“Adam, tinggallah engkau bersama istrimu di taman ini, makanlah apapun yang kau mau. Namun jangan dekati pohon yang satu ini atau engkau akan mengalami celaka. Kemudian setan berbisik-bisik kepada keduanya, ‘Tuhanmu melarangmu makan buah ini karena dengan memakan buah ini kamu akan menjadi malaikat dan hidup selamanya di taman ini.’ Setan pun bersumpah kepada keduanya bahwa dia adalah penasihat yang tulus. Dengan tipu muslihatnya setan telah mempedaya Adam dan Hawa, dan membuat keduanya jatuh ke bumi. Setelah mereka makan buah dari pohon tersebut, mereka menyadari bahwa mereka telanjang dan merasa malu, sehingga mereka membuat pakaian dari daun-daun yang mereka temukan di taman tersebut dan menutupi tubuh mereka yang telanjang. Kemudian Tuhan pun menegur, ‘Bukankah telah kuperingatkan kalian berdua untuk tidak mendekati pohon ini, dan mengatakan bahwa setan adalah musuh kalian.’ Mereka berkata, “Tuhan kami, kami telah mengotori jiwa kami, dan jika Engkau tidak berkenan memaafkan kami, dan tidak melimpahi kami kemurahan-Mu, niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi.” (7:19-23)

Masih ada banyak contoh ayat-ayat lain lagi yang menunjukkan betapa dalam Alquran, kaum perempuan memiliki derajat yang tinggi.

Pertanyaannya adalah: mengapa justru agama Islam lah yang dituduh sebagai agama yang misoginis dan tidak ramah kepada perempuan, dibandingkan agama samawi yang lain? Salah satu contoh yang paling banyak diperdebatkan adalah kasus poligami. Di Indonesia (aku hanya fokus kepada praktek poligami dalam agama Islam di Indonesia, dan bukan di belahan bumi lain, misal, komunitas Mormon di Utah, Amerika) Islam dianggap sebagai agama yang tidak ramah perempuan karena poligami. Agama samawi lain konon tidak memperbolehkan umatnya berpoligami.

Satu komentar yang pernah masuk ke blogku menyertakan artikel yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif, menulis bahwa Fatima Mernissi (dari Maroko), Riffat Hassan (dari Pakistan), Amina Wadud (yang secara kontroversial beberapa tahun lalu pernah menyatakan bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat di New York), Siti Musdah Mulia (dari Indonesia) telah menafsirkan (ulang) Alquran secara dangkal. Empat tokoh feminis Muslim ini juga disebut sebagai ‘faminis radikal’, setara dengan Mary Daly dan Germaine Greer.

Sangatlah sempit cara berpikir yang mengatakan bahwa Fatima Mernissi dkk telah menafsirkan Alquran secara dangkal. Apalagi jika dikatakan bahwa mereka dianggap telah menafikan Alquran. Dengan teori-teori baru yang ditemukan oleh para ‘scholar’ kontemporer, tidaklah salah jika menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran yang menghasilkan tafsir yang bebas dari bias jender (bandingkan dengan tafsir fiqih klasik yang dilakukan oleh para mufasir yang pengalaman hidup serta isi batok kepalanya penuh dengan hal-hal yang misoginis).

Fatima Mernissi menyatakan, “jika hak-hak perempuan Muslim menjadi masalah bagi sekelompok pria Muslim, hal ini bukanlah disebabkan oleh Al-Quran maupun Islam itu sendiri, melainkan karena interpretasi yang berbeda menghasilkan interpretasi yang bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.”

Satu hal yang sangat salah dari cara berpikir (atau tuduhan) orang tentang gerakan feminisme adalah kaum feminis ingin mengusai dunia dan mengubahnya menjadi female-dominated world (instead of male-dominated world). Memang ada kaum feminis radikal yang menyatakan bahwa dunia ini akan jauh lebih nyaman dan tentram jika tidak ada laki-laki. Akan tetapi jumlah mereka tidak banyak. Jauh lebih banyak jumlah feminis yang menginginkan kesetaraan untuk laki-laki dan perempuan. Bahkan di dalam kultur ‘male-dominated world’ alias dunia yang didominasi oleh kaum laki-laki pun banyak ditemukan laki-laki yang menjadi korban karena kultur patriarki.
Nana Podungge
PT56 17.17 190409

Terjemahan artikel yang berjudul "Islam and Feminism (again)" d
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/islam-and-feminism-again.html

Senin, April 06, 2009

Family Name

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) 16: 1g menyatakan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memilih ‘family name’ (nama marga atau nama ‘fam’). Dalam hal ini seorang perempuan boleh memilih menggunakan nama marga dari orang tua—baik sang ayah maupun sang ibu—atau dari suami.

Di Indonesia, tidak semua suku memiliki budaya menggunakan nama marga di belakang namanya. Hal ini membuat jarang ‘kekerasan’ terjadi dalam hal memiliki anak laki-laki, kecuali di kalangan suku tertentu, misal Batak. Karena tidak menginginkan nama keluarga berhenti di satu keturunan, maka seorang perempuan pada zaman tertentu (semoga sekarang sudah tidak terjadi lagi) dipaksa untuk melahirkan anak laki-laki, karena hanya laki-lakilah yang bisa meneruskan menggunakan nama marga keluarga. Seorang perempuan tidak bisa melakukannya karena dia harus menggunakan nama marga suaminya, setelah dia menikah. Maka memiliki anak laki-laki ‘hukumnya’ wajib sedangkan memiliki anak perempuan tidak diwajibkan.

Di suku Jawa, budaya menggunakan nama marga tidak dikenal, sehingga kekerasan memaksa seorang perempuan memiliki anak laki-laki tidak sesering yang terjadi di suku lain. Orang-orang Jawa sendiri tidak memiliki ‘preference’. Namun ada kecenderungan mereka ingin memiliki anak ‘lengkap’ yakni laki-laki dan perempuan.

*****

CEDAW dikeluarkan tentu saja untuk mengurangi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, baik yang dilakukan oleh laki-laki, maupun oleh perempuan lain, berdasarkan stereotipe yang ada. Demikian juga halnya dalam menggunakan nama marga. Perempuan boleh menggunakan nama marga yang mereka sukai—dari orang tua maupun dari suami. Atau tanpa nama marga mana pun.

Contoh dalam novel SAMAN. Ayu Utami memberikan ‘jalan keluar’ bagi Shakuntala yang sangat enggan menggunakan nama ayahnya tatkala mengisi aplikasi formulir untuk keluar negeri. Shakuntala tidak ingin sang ayah yang identik dengan tokoh otoriter ‘mengikutinya’ kemana pun dia pergi, meskipun hanya dalam bentuk ‘nama marga. Di formulir yang dia isi. ‘Shakun’ merupakan ‘first name’ sedangkan ‘Tala’ merupakan ‘last’ atau ‘family name’.

Apakah kemudian seorang perempuan yang menggunakan nama marga suaminya di belakang namanya menunjukkan bahwa perempuan tersebut merelakan dirinya berada di bawah bayang-bayang suami? Sehingga dia tetap menjadi ‘nonsignificant other’? Invisible? Nonexistent? I don’t think so. Ini berarti kita telah menihilkan hak perempuan lain untuk exist dengan caranya sendiri.

Bagaimana dengan seorang perempuan yang memilih menggunakan nama marga dari orang tuanya, dan tidak menggunakan nama marga sang suami? Ya biar sajalah.

Nana Podungge
(‘Podungge’ adalah nama marga dari orang tuaku yang kebetulan adalah sepupu, dan memiliki nama marga yang sama.)
PT56 20.20 050409