Bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW telah membebaskan kaum perempuan dari kultur jahiliyyah di negara dimana agama Islam ‘diturunkan’ telah diketahui. Misalnya, sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, banyak bayi perempuan yang langsung dibunuh oleh keluarganya setelah lahir karena mereka merasa malu memiliki anak perempuan. Kelahiran anak perempuan justru dianggap beban karena anak perempuan tidak bisa pergi berperang, tidak bisa melindungi diri sendiri, tidak bisa menjadi pencari nafkah, tidak bisa menjadi pemilik harta yang sah, (propietor), dll. Contoh lain: sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, laki-laki bisa memiliki istri sebanyak yang mereka mau, kemudian menceraikan mereka sekehendak hati.
Setelah Muhammad diangkat menjadi nabi, tak ada lagi bayi perempuan yang dibunuh setelah lahir. Setelah kekalahan kaum Islam dalam perang Uhud, Allah membolehkan seorang laki-laki Muslim untuk menikahi dua, tiga, atau empat perempuan demi menyelamatkan perempuan-perempuan tersebut bersama anak-anak mereka. (Lihat tulisanku yang berjudul ‘POLIGAMI’.) Hal ini sering dijadikan ‘senjata’ kaum pro poligami bahwa memiliki HANYA empat istri itu jauh lebih bagus dan manusiawi daripada kultur Arab sebelum itu: laki-laki boleh memiliki istri sebanyak yang mereka mau.
Ketika membaca artikel yang berjudul “Women in Islam versus women in Judaeo-Christian tradition, the myth, and the reality” tulisan Dr. Sharif Abdel Azeem (klik di
http://www.usc.edu/dept/MSA/humanrelations/womeninislam/womeninjud_chr.html#_Toc335566653 I accessed on May 18, 2003) dan buku yang berjudul “Abrahamic Faiths: Judaism, Christianity, and Islam Similarities and Contrasts” aku menemukan bahwa tidak ada ayat yang bias jender dalam Alquran dibandingkan ayat-ayat dalam tradisi Judaeo-Christian.
Kejatuhan Adam sering kali dianggap sebagai cikal bakal kultur patriarki, bagi para rohaniwan. Misal: dalam menyikapi kejatuhan Adam, tradisi Judaeo-Christina menyalahkan Eva alias Hawa. Oleh karena itu, Tuhan berfirman kepada Hawa:
“Aku akan membuatmu kesakitan saat mengandung, juga saat melahirkan. Nafsumu hanya akan berlaku kepada suamimu, dan dia akan memiliki hak kontrol penuh atasmu.”
Sedangkan kepada Adam, Tuhan berfirman:
“Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrimu dan mematuhinya sehingga kamu makan buah itu, ... kutukan atasmu akan ditelan bumi, dan kepada bumilah kamu harus terus menerus bekerja keras untuk menghasilkan sesuatu yang akan engkau makan dalam hidupmu.”
(Genesis 2:4-3:24)
Sedangkan dalam Alquran, Tuhan menyalahkan Adam dan Hawa:
“Adam, tinggallah engkau bersama istrimu di taman ini, makanlah apapun yang kau mau. Namun jangan dekati pohon yang satu ini atau engkau akan mengalami celaka. Kemudian setan berbisik-bisik kepada keduanya, ‘Tuhanmu melarangmu makan buah ini karena dengan memakan buah ini kamu akan menjadi malaikat dan hidup selamanya di taman ini.’ Setan pun bersumpah kepada keduanya bahwa dia adalah penasihat yang tulus. Dengan tipu muslihatnya setan telah mempedaya Adam dan Hawa, dan membuat keduanya jatuh ke bumi. Setelah mereka makan buah dari pohon tersebut, mereka menyadari bahwa mereka telanjang dan merasa malu, sehingga mereka membuat pakaian dari daun-daun yang mereka temukan di taman tersebut dan menutupi tubuh mereka yang telanjang. Kemudian Tuhan pun menegur, ‘Bukankah telah kuperingatkan kalian berdua untuk tidak mendekati pohon ini, dan mengatakan bahwa setan adalah musuh kalian.’ Mereka berkata, “Tuhan kami, kami telah mengotori jiwa kami, dan jika Engkau tidak berkenan memaafkan kami, dan tidak melimpahi kami kemurahan-Mu, niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi.” (7:19-23)
Masih ada banyak contoh ayat-ayat lain lagi yang menunjukkan betapa dalam Alquran, kaum perempuan memiliki derajat yang tinggi.
Pertanyaannya adalah: mengapa justru agama Islam lah yang dituduh sebagai agama yang misoginis dan tidak ramah kepada perempuan, dibandingkan agama samawi yang lain? Salah satu contoh yang paling banyak diperdebatkan adalah kasus poligami. Di Indonesia (aku hanya fokus kepada praktek poligami dalam agama Islam di Indonesia, dan bukan di belahan bumi lain, misal, komunitas Mormon di Utah, Amerika) Islam dianggap sebagai agama yang tidak ramah perempuan karena poligami. Agama samawi lain konon tidak memperbolehkan umatnya berpoligami.
Satu komentar yang pernah masuk ke blogku menyertakan artikel yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif, menulis bahwa Fatima Mernissi (dari Maroko), Riffat Hassan (dari Pakistan), Amina Wadud (yang secara kontroversial beberapa tahun lalu pernah menyatakan bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat di New York), Siti Musdah Mulia (dari Indonesia) telah menafsirkan (ulang) Alquran secara dangkal. Empat tokoh feminis Muslim ini juga disebut sebagai ‘faminis radikal’, setara dengan Mary Daly dan Germaine Greer.
Sangatlah sempit cara berpikir yang mengatakan bahwa Fatima Mernissi dkk telah menafsirkan Alquran secara dangkal. Apalagi jika dikatakan bahwa mereka dianggap telah menafikan Alquran. Dengan teori-teori baru yang ditemukan oleh para ‘scholar’ kontemporer, tidaklah salah jika menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran yang menghasilkan tafsir yang bebas dari bias jender (bandingkan dengan tafsir fiqih klasik yang dilakukan oleh para mufasir yang pengalaman hidup serta isi batok kepalanya penuh dengan hal-hal yang misoginis).
Fatima Mernissi menyatakan, “jika hak-hak perempuan Muslim menjadi masalah bagi sekelompok pria Muslim, hal ini bukanlah disebabkan oleh Al-Quran maupun Islam itu sendiri, melainkan karena interpretasi yang berbeda menghasilkan interpretasi yang bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.”
Satu hal yang sangat salah dari cara berpikir (atau tuduhan) orang tentang gerakan feminisme adalah kaum feminis ingin mengusai dunia dan mengubahnya menjadi female-dominated world (instead of male-dominated world). Memang ada kaum feminis radikal yang menyatakan bahwa dunia ini akan jauh lebih nyaman dan tentram jika tidak ada laki-laki. Akan tetapi jumlah mereka tidak banyak. Jauh lebih banyak jumlah feminis yang menginginkan kesetaraan untuk laki-laki dan perempuan. Bahkan di dalam kultur ‘male-dominated world’ alias dunia yang didominasi oleh kaum laki-laki pun banyak ditemukan laki-laki yang menjadi korban karena kultur patriarki.
Nana Podungge
PT56 17.17 190409
Terjemahan artikel yang berjudul "Islam and Feminism (again)" d
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/islam-and-feminism-again.html
Tak tunggu loh Jeng. :)
BalasHapusTopik yang menarik ini. Boleh dong kasih komentar yang menarik juga? Ok.
BalasHapusPertama-tama, perbandingan komparatif head-to-head antar agama (entah samawi atau bukan) bukanlah metode yang pas untuk mencapai kesimpulan. Agama-agama itu pada awalnya sudah sangat self-proclaim mengenai posisinya sebagai sumber kebenaran sehingga tidak ada/sedikit sekali menyisakan ruang untuk kebenaran yang lain. Kesimpulan yang diambil pun jadi sama subyektifnya.
Kedua. Mengenai fungsi agama. Pada awalnya ini memang untuk keselamatan dunia akhirat, tapi lama-lama, sebagaimana hasil suatu kultur yang lain (saya males membahasnya dari segi divine-ship)manusia menemukan juga fungsinya yang lain. Sumber kekuatan, power. Nggak sekali dua kali agama dipakek untuk kejahatan/diselewengkan untuk mencapai suatu maksud, kan? Banyak contohnya. Jadi, tolong (buat mereka yang ngerasa aja) stop behaving like you are the holiest being in this world just because you think your religion is the best! Yang barusan ini anda pasti setuju.
Trus mengenai feminisme, well, kebetulan saya punya segelintir teman feminis yang range-nya mulai dari ultra-feminis sampai moderate-feminis. Dari yang lesbi sampai yg masih butuh laki-laki secara seksual. Dari yang anarkis-punk-rock sampai yang berjilbab. Dalam diskusi saya dengan mereka saya bisa simpulkan bahwa kesetaraan gender yang mereka inginkan berbeda-beda pula, tergantung tingkat keradikalan mereka. Tapi dari semuanya itu, yang asal Indonesia,SEMUANYA menolak poligami. Yang mereka keluhkan bukan sekedar apakah itu adil atw tidak dari sisi perempuannya, melainkan lebih ke "cara tertentu" yang dipakai pihak pria untuk "menjerat" wanita sebagai istri kesekiannya. Entah harta, entah apa, jadi sekarang ini mereka lebih berfokus ke gimana mensosialisasikannya ke kaum perempuan sebanyak mungkin bahwa it's ok untuk menolak ajakan poligami. Masalahnya, alasan klise para pria poligami dalam mencari "mangsa", adalah menyitir riwayat Nabi Muhammad SAW. Jika para wanita yang berpendidikan saja bisa jatuh ke dalam perangkap itu, bagaimana dengan mereka yang sejak kecil hanya dididik secara agama saja? Kalok ada pollingnya, rekan2 saya tadi yakin 100 persen bahwa 90% wanita yang dipoligami mau dipoligami karena alasan tadi. Selebihnya ya terbagi antara harta dan masa depan, yang jelas bukan kebahagiaan. Ok. sekian dulu. Capek nulisnya. Sekian komentar dari seorang agnostik ini. Thx.
Wow ... wow ... I am very impressed by your long comment. Thanks a million.
BalasHapusIn general, I think we share similar ideas. :)
You call yourself as agnostic? I call myself like that too. That makes the two of us. :)