Pada pertemuan kedua di kelas CONVERSATION level 3, kita membahas ‘small talk’ alias bincang-bincang santai. Topik bincang-bincang santai ini tentu sangat bervariasi, tergantung dimana, kesempatan apa, dan kapan kita bertemu dengan orang lain, terutama seseorang yang baru kita jumpai untuk pertama kali.
Ketika aku memancing pertanyaan, “Dimana kita bisa bertemu orang untuk pertama kali?” seorang mahasiswa menjawab, “Pesta perkawinan ...”
Kemudian kutulis frasa ‘pesta perkawinan’ di papan tulis.
Aku melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, “Di pesta perkawinan, topik apa yang biasa orang bicarakan? Terutama dengan seorang asing, a stranger, yang baru kita temui pertama kali?”
Mahasiswa yang sama menyebut, “Status perkawinan ...”
Aku agak bengong mendengar ide tersebut. Maklum, seumur hidupku aku belum pernah menanyakan hal tersebut, ataupun ditanyai seseorang (seingatku sih ...) di sebuah pesta perkawinan yang kudatangi. “Apakah kamu (anda) sudah menikah?”
(NOTE: perbedaan ‘tenses’ dalam Bahasa Indonesia dan English. Dalam English, pertanyaan tentang status perkawinan adalah, “Are you married?” atau “Are you single?” menggunakan SIMPLE PRESENT TENSE yang mengacu ke sesuatu yang ‘routine’ atau ‘habitual’ yang ‘present’ alias saat ini. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, biasanya kita menggunakan kata ‘sudah’ yang dalam English berarti kita menggunakan PRESENT PERFECT TENSE: “Have you got married?”, satu hal yang sangat tidak lazim dalam kultur English speaking countries. Dalam keadaan maupun kultur tertentu perbedaan ‘tenses’ ini bisa menyebabkan hal-hal yang tidak mengenakkan.)
Setelah memandang sejenak mahasiswa yang memberiku ide ‘marital status’, dan bertanya kepadanya untuk meyakinkan jawabannya, (dan ternyata dia sangat yakin dengan jawaban itu. FYI, she is from Sumatra, yang mungkin saja kulturnya sedikit berbeda dengan kultur orang Jawa.) akhirnya aku menulis juga ide itu di papan tulis, di samping tulisan ‘marital status’.
Akan tetapi tiba-tiba aku teringat seorang tokoh dalam film PS I LOVE YOU yang bagiku sangat menarik perhatian, Denise, yang diperankan oleh Lisa Kudrow. Denise yang masih single ini mempunyai cara yang unik dan pede dalam mencari boyfriend, maupun a husband-to-be. Di pesta-pesta yang dia datangi, dia biasa melihat-lihat laki-laki yang ada di sana. Jika dia tertarik kepada seorang laki-laki, dia akan mendekati orang tersebut dan bertanya,
“Are you married?”
Jika jawabannya adalah, “No” dia akan melanjutkan dengan pertanyaan yang kedua,
“Are you gay?”
(Tahu kan lelucon para single girls yang telah berusia tigapuluh tahunan? “All good men around our age are already married. If not, they are gay.”)
Jika jawabannya adalah, “No”, pertanyaan selanjutnya adalah,
“Are you working?”
Jika jawabannya adalah, “Yes”, (berarti Denise telah menemukan ‘calon pacar’ yang dia kehendaki; jika jawaban dari ketiga pertanyaan ini tidak sesuai dengan yang dia inginkan, Denise akan mencari ‘calon-calon’ yang lain, bertanya hal-hal yang sama), maka Denise akan serta merta mencium bibir sang calon. Berhubung Denise adalah perempuan yang sangat menarik, dan kultur Barat yang melingkupinya, tentu tak ada laki-laki yang menolak dia cium. Contoh pertama, ternyata sang laki-laki merupakan a bad kisser. LOL. (Kalau meminjam istilah Meg Cabot dalam teen-lit novelnya PRINCESS DIARIES, laki-laki itu tidak berhasil membuat Denise mengangkat satu kakinya ke atas.)
Tentu Denise tidak mau menikahi seorang bad kisser. Dan, ‘petualangan’ Denise pun akan berlanjut.
Adakah pembaca blog ku yang tahu peristiwa serupa di Indonesia? Menanyakan ‘marital status’ di sebuah pesta pernikahan pada seseorang yang baru ditemui untuk yang pertama kali?
Setelah frasa ‘marital status’ kutulis di papan tulis, aku melanjutkan pertanyaan berikutnya,
“Topik apalagi?”
“Sang pengantin...” jawab seseorang.
Sangat masuk akal.
“Misalnya?” aku memancing pertanyaan lagi.
Karena tidak ada yang menjawab, akhirnya aku bercerita pengalamanku menghadiri pesta perkawinan seorang teman. Temanku yang perempuan berusia 35 tahun pada waktu menikah, sedangkan suaminya 26 tahun, 9 tahun lebih muda. Tentu aku tidak heran melihat sang pengantin, sehingga aku merasa ‘tidak perlu’ berkomentar, karena aku tahu kisah cinta mereka. Komentar yang kudengar dari para tamu undangan adalah, “Wah ... kok sang pengantin pria masih ‘kinyis’kinyis’ begitu ya dibandingkan sang pengantin perempuan?”
Maklum, ‘konsensus’ yang kita kenal selama ini adalah sang suami ‘harus’ lebih tua dari sang istri. Konsensus ini diikuti dengan ‘sang suami harus lebih tinggi dari sang istri sehingga kalau berjalan bersama akan terlihat manis’; ‘sang suami harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari sang istri, atau paling tidak sederajat’ sehingga bisa menjadi panutan di keluarga (atau dengan istilah vulgarnya, tidak akan dipinteri sang istri). Dan lain-lain.
Bincang-bincang santai ini pun bisa berlanjut ke gossipping ... People apparently cannot survive without gossipping. LOL.
PT56 19.39 190409
posting menarik bu dosen.. are u lecturer?
BalasHapusdosen saya, sampai sekarang adalah sahabat saya... saya kangen banget sama beliau...
kalo saya sih belum merit... jokesnya bole juga hihi..
I am a teacher, sweetie ... :)
BalasHapusThanks for visiting my blog back and leaving comment. :)
Jeng Sri:
BalasHapusBilang aja 'gay dong' is Indoglish, alias Indonesian English. LOL.