Minggu, Februari 13, 2011

Foot-binding versus Corset Wearing

MISOGYNY


Kebencian kepada perempuan (‘misogyny’ adalah terma yang biasa digunakan dalam Bahasa Inggris) telah berusia sangat tua, hingga tidak akan begitu mudah untuk merunutnya kapan hal ini mulai terjadi. ‘Misogyny’ ini membentuk praktik dalam berbagai hal, seperti anggapan bahwa tubuh perempuan penuh sihir hanya karena setiap bulan – secara misterius – mengeluarkan darah; hal ini terjadi sebelum dunia kedokteran menghasilkan ‘ilmu pengetahuan’ bagaimana organ-organ di dalam tubuh perempuan bekerja, bagaimana “tiba-tiba” perut perempuan membesar, dan dalam hitungan bulan keluar makhluk yang mirip manusia dari lubang yang terletak di antara kedua belah pahanya; tidak heran jika terjadi hal-hal yang belum bisa dinalar oleh otak manusia beberapa abad yang lalu, orang-orang yang berkuasa – dalam hal ini laki-laki – akan dengan mudah menimpakan kesalahan pada perempuan yang dianggap telah menggunakan kekuatan sihirnya. Eksekusi terhadap kaum perempuan karena dianggap ahli sihir ini banyak terjadi di Eropa maupun Amerika di abad-abad ketujuhbelas.  Nathaniel Hawthorne mengisahkannya dengan secara tragis namun sangat apik dalam novelnya yang berjudul “the Scarlet Letter”.

contoh gambar pelaksaan 'suttee'

Contoh lain adalah praktik ‘suttee’ di India, dimana seorang perempuan dianggap tak lagi layak hidup jika suaminya – sang tuannya – telah meninggal dunia, maka dia pun harus ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jasad suaminya. Pelabelan ‘mad woman’ hanya karena seorang perempuan tidak mengikuti konvensi masyarakat tentang perempuan baik-baik. Mutilasi alat genital perempuan yang banyak terjadi di benua Afrika dan beberapa negara Arab, hingga ‘foot-binding’ yang banyak dipraktekkan di China, sampai pemakaian korset di Eropa yang menyebabkan tubuh perempuan bagian dalam ‘tumbuh’ tidak semestinya.

Tulisan ini khusus membahas dua praktik yang disebut di atas, Chinese foot-binding dan European corset wearing.

contoh 'hasil' praktik foot-binding'

CHINESE FOOT-BINDING

‘Tradisi’ mengikat kaki perempuan di China ini terjadi dalam kurun waktu kurang lebih satu milenia, dari abad kesepuluh hingga abad keduapuluh. ‘Praktik ini mulai ditinggalkan sekitar tahun 1940. Praktik berawal dari harapan untuk menyamai kaki-kaki para selir raja yang memang sengaja dibentuk untuk menjadi sangat kecil. (Konon agar tidak bisa melarikan diri?) Para selir tentulah dianggap memiliki kecantikan yang di atas rata-rata, maka hal ini pun ‘mengilhami’ para orang kaya untuk melakukan hal yang sama.

Tatkala praktik ini dilakukan oleh para orang kaya, hal ini ‘digunakan’ untuk memamerkan pada khalayak bahwa sang suami adalah seseorang yang kaya raya hingga sang istri tidak perlu bekerja, pun juga melakukan pekerjaan rumah tangga karena dia hanya cukup memberi perintah kepada sang pelayan. Akan tetapi beberapa abad kemudian, praktik yang semula hanya dilakukan pada kaum elite, akhirnya menjalar juga ke kelas yang ada di bawahnya. Barangkali anggapan bahwa seorang laki-laki termasuk kelas ekonomi mapan telah melahirkan kelompok ‘baru’: laki-laki dari kelas ekonomi bawah pun menginginkan istri yang memiliki kaki yang sangat mungil. Dampaknya pun bisa diperkirakan, stereotyping ‘perempuan cantik dan seksi adalah perempuan yang kakinya berbentuk sangat mungil’ dan bakal dijadikan istri laki-laki kelas mapan pun telah membuat para perempuan tidak keberatan jika kakinya dibentuk sedemikian rupa hingga mereka kesulitan berjalan.

contoh hasil pemakaian korset dalam waktu lama

EUROPEAN CORSET WEARING

Kapan mulainya ‘tradisi’ pemakaian korset ini tidak merunut ke satu masa yang jelas. Meskipun begitu, satu sumber mengatakan bahwa korset pertama kali dikenakan oleh Catherine de Medici, istri raja Henry II di Perancis di tengah abad keenambelas. Pada awalnya korset (yang disebut ‘stays’ sebelum abad kesembilanbelas) dikenakan untuk menopang tubuh agar berbentuk silinder, meratakan perut dan mengangkat payudara. Akan tetapi memasuki era Victorian (awal abad kesembilanbelas) dimana domestikasi perempuan dilakukan dengan sangat rigid, dan mulai ‘disebarkan kepercayaan’ bahwa perempuan adalah ‘the weaker sex’ , pemakaian korset ini dipercaya untuk menopang tubuh perempuan karena perempuan adalah makhluk yang lemah hingga tak mampu menopang tubuh sendiri tanpa alat bantu.

Sama dengan fenomena ‘foot-binding’, pemakaian korset ini pun awalnya hanya ‘berlaku’ pada kaum kelas ekonomi tinggi, dimana seorang perempuan tidak perlu bekerja, di rumah pun dia hanya memberikan perintah kepada para pelayan. Ketika kaum perempuan dari kelas ekonomi bawah ‘ikut-ikutan’ mengenakan korset, mereka akan memilih korset yang tidak terlalu mengganggu gerak tubuh – dan juga pengambilan nafas – dan mengenakan pakaian yang tidak terlalu ribet.

Yang sangat mencengangkan adalah sebuah sumber mengatakan bahwa pemakaian korset memiliki nilai ‘moral’ yang cukup tinggi. Jika tali-tali yang terletak di bagian belakang korset diikat dengan sangat kencang, hal ini menunjukkan bahwa sang pemakai adalah seorang perempuan yang saleh, jika tali-talinya tidak begitu kencang, hal ini menunjukkan sang pemakai adalah seseorang yang tidak mampu menjaga moralnya dengan baik. Perempuan perlu mengenakan korset untuk melindungi diri dari laki-laki mata keranjang – bahkan juga dari godaan moralnya sendiri – karena pemakaian korset yang ketat tidak akan memudahkannya untuk melepas baju dan tergoda melakukan hal-hal yang ‘immorally wrong’.

Tidak jauh beda dengan satu peraturan di satu kota di Indonesia yang mengharuskan perempuan yang bekerja sebagai tukang pijat untuk mengenakan celana dalam yang bergembok. Perempuan selalu dituduh sebagai pihak yang akan menyebabkan hal-hal tidak senonoh sehingga perempuan harus dipenjarakan; entah di balik baju panjang dan jilbab, entah celana dalam bergembok, hingga hanya boleh beraktifitas di rumah saja, jika akan keluar rumah harus dengan muhrim, dll.

KESIMPULAN

Kebencian pada perempuan yang akut, namun terjadi dengan sangat ‘halus’ sehingga kaum perempuan sendiri tidak menyadarinya telah terjadi selama berabad-abad. Dua praktik yang disebutkan di atas memiliki persamaan: semula berlaku hanya pada kalangan ekonomi atas namun kemudian menjalar ke kalangan ekonomi bawah. Dalam praktek ‘foot-binding’ diciptakanlah ‘label’ bahwa perempuan akan dianggap ‘cantik’, dan ‘memiliki sex appeal yang tinggi’ (selain juga agar memiliki daya jual tinggi untuk diperistri) akan membuat kaum perempuan menginginkan memiliki kaki yang sangat kecil. Sedangkan dalam praktek ‘corset wearing’, perempuan ‘disihir’ untuk percaya bahwa tubuhnya akan terbentuk bagus, selain juga tubuh lemahnya butuh sokongan, hingga perlindungan diri dari godaan laki-laki mata keranjang, Perempuan menjadi korban sekaligus sebagai pelaku.

Nana Podungge
PT56 07.24 130211

1 komentar: