Jumat, November 27, 2020

Brainwashing

 


Di satu grup 'telegram' yang saya ikuti, seorang perempuan curhat bahwa dia memiliki pandangan yang berbeda dari suaminya tentang satu ormas yang tidak perlu saya sebut namanya. Tatkala sang ketua ormas itu minggat ke satu negara di Timur Tengah, 'persengketaan' perempuan ini dengan sang suami menurun drastis, meski dia masih kadang memergoki sang suami membaca buku-buku yang meneguhkan pandangannya pada ormas satu itu sebagai satu kebenaran tunggal.

 

 

Tatkala sang ketua yang berbadan besar itu (akhirnya) kembali ke Indonesia, perseteruan suami istri ini kembali memanas. Si istri berkeyakinan bahwa mudah untuk memilah pemuka agama yang sesungguhnya dengan yang hanya mengaku-ngaku saja, yaitu dari apa yang dia katakan. Jika yang dia katakan merugikan orang lain, bahkan cenderung merusak masyarakat, ya berarti dia hanya mengaku-ngaku saja. "Bahkan anak saya jauh lebih mudah diberi pemahaman ketimbang ayahnya."

 

 

Perseteruan ini akhirnya membuat suami istri ini berpisah rumah. Sang istri yang sudah tidak tahan dengan perilaku sang suami mengajak anaknya untuk pergi meninggalkan sang suami yang kembali 'gila' setelah sang ketua berbadan besar (juga bermulut besar) kembali.

 

 

Hal ini mengingatkan saya pada seorang eks siswa saya, sekitar 12 tahun yang lalu. Saya punya seorang siswa yang nampak ogah-ogahan jika berangkat sekolah. Dia hampir tidak pernah datang ke sekolah on time. Setiap pagi selalu ada drama dimana sang ibu harus merayu sang anak untuk berangkat sekolah. Dia selalu ketinggalan mata pelajaran yang pertama.

 

 

Di sekolah si anak yang biasa duduk di barisan paling depan, di sisi paling kiri selalu sibuk menggambar, nampak tidak peduli sang guru sedang menjelaskan tentang sesuatu, meski sebenarnya telinganya mendengarkan dengan seksama. Lebih sering diam, tidak banyak bicara pada yang lain, dan sama sekali bukan seseorang yang troublesome, hanya ya itu tadi, dia susah diajak berangkat sekolah tepat waktu, dan selalu diam nyaris sepanjang hari.

 

 

Satu kali ketika ada agenda parent-teacher interview, sang ibu curhat. Anaknya itu dulunya ceria, sociable hingga satu kali dia dimasukkan ke satu sekolah yang berbasis agama. Dia yang sejak kecil diajarkan untuk selalu beragama dengan baik, bertutur sapa dengan sopan, berbagai rezeki pada yang kurang dengan ikhlas memiliki pandangan bahwa semua orang yang hidupnya berdasarkan pada agama adalah sebaik-baik manusia, di sekolah itu melihat sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang dia yakini. Dia tidak melihat guru yang sabar ketika melihat ada siswa yang mungkin kedapatan sedang ngobrol: sang guru melempar entah penghapus entah apa ke kawannya. Dia melihat orang-orang yang di matanya seharusnya memberi contoh bagaimana menjadi manusia yang baik karena memahami agama dengan semestinya ternyata jauh dari apa yang dia bayangkan. Dan hal ini membuatnya stress berat.

 

 

Dia tidak mau berangkat sekolah selama nyaris satu tahun. Setelah dipindah ke sekolah dimana saya menjadi salah satu guru dia mau berangkat sekolah, meski tidak pernah datang on time, meski selalu ada hari dimana dia tidak masuk dalam satu minggu. Meskipun begitu, itu sudah termasuk peningkatan bagi orangtuanya karena si bocah (waktu saya jadi wali kelas dia duduk di kelas 10) mau berangkat sekolah setelah mogok sekolah selama hampir satu tahun di sekolah sebelumnya.

 

 

Mungkin dia bukan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Pertanyaan saya hanyalah: jika seorang anak yang masih berusia belasan tahun saja bisa mengerti bahwa orang yang mengerti agama seharusnya orang yang welas asih kepada yang lain, mengapa orang-orang tua itu justru begitu beringas pada yang lain, meski mereka berafiliasi pada ormas berbasis agama?

 

 

PT56 08.47  25/11/2020