Selasa, Oktober 27, 2020

Wali Nikah

 


Di satu grup alumni yang saya ikuti, ada dua tulisan yang berhubungan dengan 'wali nikah'.

 

 

Yang pertama ditulis oleh seorang perempuan. Sebut saja namanya N. N dan ibunya ditinggal oleh ayahnya sejak dia masih berada dalam kandungan ibunya, satu hal yang meninggalkan luka yang begitu dalam pada sang ibu. 2 tahun setelah resmi bercerai, sang ibu menikah lagi. Kali ini, ibu dan anak 'beruntung' karena laki-laki yang menjadi 'bapak sambung' menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Meski bisa dikatakan cukup berbahagia di pernikahan yang kedua, sang ibu tidak mengizinkan anaknya untuk menemui ayahnya karena luka masa lalu yang terlalu dalam.

 

 

Saat N akan menikah, mau tidak mau akhirnya sang ibu membiarkan N menemui ayahnya. Dengan ditemani bapak 'sambung' N menemui ayah biologisnya untuk memintanya menjadi wali nikah. Adalah satu keberkahan karena kedua laki-laki ini bisa berkomunikasi dengan baik. Sang bapak sambung yang telah merawat dan membesarkan N dengan hati besar melihat laki-laki lain yang telah menyakiti hati istrinya begitu dalam di waktu yang dulu menikahkan anak perempuan yang pastinya dia sayangi sepenuh hati.

 

 

Setelah pernikahan ini, N menjaga silaturahmi dengan ayah biologisnya dengan baik. Dia tidak menyebut apakah sang ibu membiarkannya melakukan ini karena toh N sudah dewasa -- sudah menikah -- atau akhirnya sang ibu menyadari bahwa no matter what, N berhak bertemu dengan ayahnya. Konon, 'time heals all wounds'. Mungkin setelah pernikahan N, luka hati sang ibu pun luruh.

 

 

Tulisan yang pertama ini memicu seseorang lain menulis kisah yang mirip. Kisah pertama ditulis oleh si anak perempuan, kisah kedua ditulis oleh sang 'ayah sambung'. Dia mengasuh seorang bayi perempuan yang semula diasuh oleh mertuanya. Ibu si bayi meninggal saat si bayi berumur 1,5 tahun. Sang ayah yang seorang pelaut, semula menyempatkan diri menengok tiap 3 bulan. Namun, 2 tahun kemudian setelah menikah lagi, ga pernah muncul lagi.

 

 

Y -- sang ayah sambung -- menyayangi dan membesarkan bayi perempuan itu dengan sepenuh hati. Saat si bayi perempuan menjelma dewasa dan akan menikah, Y sangat berharap bisa menikahkan si anak ini. Namun, ternyata harapannya tidak mudah menjadi kenyataan. KUA memintanya untuk mencari sang ayah biologis anak angkatnya setelah tahu bahwa masih ada kemungkinan ayah kandung si anak masih hidup dan bisa dihubungi.

 

 

Dalam perjalanan menjadi dewasa, si anak angkat ternyata pernah berusaha untuk menemui ayah biologisnya. Satu kali dia berangkat ke Surabaya setelah janjian untuk bertemu ayahnya. Namun ternyata, sang ayah tidak menepati janji. Rindu sang anak terhadap sang ayah biologis hanya bertepuk sebelah tangan.

 

 

******

 

 

Sekian tahun lalu, saya membaca beberapa artikel di JURNAL PEREMPUAN membahas hal ini. Mengapa seorang anak perempuan butuh ayahnya untuk menjadi wali nikah? Di zaman dahulu kala, kita semua tahu hanya laki-laki yang diperbolehkan keluar rumah untuk bersekolah, perempuan hanya tinggal di rumah. Karena dianggap lebih 'berpendidikan' (dibanding perempuan) seorang laki-laki (dalam hal ini sang ayah) dianggap lebih mampu untuk menganalisis apakah seorang laki-laki dipandang cukup mumpuni untuk menikahi seorang anak perempuan (dibandingkan sang ibu).

 

 

Hal inilah yang menjadi salah satu pijakan interpretasi ayat Alquran mengapa seorang perempuan membutuhkan ayahnya untuk menjadi wali. Bagaimana dengan ayah sambung/tiri/angkat? Mungkin seorang ayah non biologis dianggap tidak begitu memiliki ikatan emosional sebagus ayah biologis karena darah yang mengalir di tubuh anak + ayah tidak sama. Padahal kita tahu bahwa tidak semua laki-laki memiliki rasa tanggung jawab yang sama. Ada laki-laki yang hanya hobi melepas sperma tanpa perlu merasa tanggung jawab; ada laki-laki yang seperti Y atau ayah sambung N (dua kisah di atas) yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi meski sang anak bukan anak biologis.

 

 

Di zaman sekarang, telah banyak perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, yang mampu menggunakan nalar untuk menilai hal-hal yang layak dan tidak layak dia lakukan. Dalam mazhab Hanafi, ada interpretasi bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi pun layak menjadi wali dirinya sendiri. Maka, seorang perempuan pun berhak menikah tanpa perlu menghadirkan sang ayah biologis, apalagi jika sang ayah telah terlalu lama menelantarkan sang anak.

 

 

Akankah ada re-interpretasi 'rukun nikah menurut agama Islam' di Indonesia?

 

 

PT56 13.51 27 Oktober 2020