Jumat, Februari 19, 2010

Sekuler Fundamentalis

Artikel ini bermula dari tulisan lamaku yang berjudul "My Spiritual Journey" yang ku repost di FB beberapa hari lalu. Seorang sahabat menulis komentar, "what a spiritual snob you are ..."
Aku menjawab, "I am absolutely not a spiritual snob. An intellectual snob, well, yes you can say that again!"
Dia menjawab, "Iyalah, bermula dari ranah cognitive kemudian menjalar ke ranah affective ..."
Dengan bercanda aku bertanya kepadanya, "Spiritual snob beda kan dengan religious snob? Di Indonesia banyak kan religious snob yang percaya bahwa mereka itu calon masuk surga, sedangkan yang lain masuk neraka ..."
Diskusi ini kita lanjutkan lewat INBOX, karena khawatir bakal kena UU -- you know what you it is. Dan, dia pun mengenalkanku pada istilah "fundamentalist secular".
Istilah yang langsung membuatku penasaran, "apaan tuh fundamentalist secular? emang ada ya?"

Istilah 'fundamentalist secularism' berasal dari dua kata 'fundamentalism' dan 'secularism'. Wikipedia mendefinisikan 'fundamentalism' sebagai suatu keyakinan yang sangat kuat pada prinsip-prinsip dasar (paling utama agama), sebagai suatu reaksi terhadap kehidupan sosial yang modern. Atau dengan kata lain, fundamentalisme adalah kepercayaan yang kuat terhadap agama dalam menghadapi kritik-kritik yang ditujukan kepada agama tersebut.

Karen Armstrong, penulis buku "History of God" menyatakan gerakan fundamentalisme sebagai jenis spiritualitas yang muncul sebagai jawaban terhadap ketakutan bahwa kehidupan modern akan mematikan keyakinan atau agama mereka. Gerakan ini diikuti oleh para fundamentalis tiga agama samawi, Nasrani, Yahudi, dan Islam.

'Secularism'menurut Wikipedia adalah konsep dimana suatu negara seharusnya berdiri terlepas dari agama. Sekularisme memberi hak kepada warga negara untuk terbebas dari ajaran agama, dan kebebasan dari paksaan dalam memeluk agama -- maupun tidak memeluk agama -- dan tidak memberikan keuntungan khusus bagi satu agama tertentu. Hal ini berarti keputusan maupun undang-udang yang dihasilkan oleh negara haruslah terlepas dari pengaruh agama manapun.


Apakah 'fundamentalist secularism'?

Tobias Jones, pengarang buku "The Dark Heart of Italy" dalam http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2007/jan/06/comment.religion menyatakan "Secular fundamentalists are the new totalitarians*". -> "Fundamentalis sekuler merupakan 'totalitarian' baru." Sebagai contoh fundamentalis sekuler, dia menulis kasus pelarangan mengenakan jilbab bagi siswa-siswi sekolah di Prancis. Hal ini berarti pemerintah tidak memberi kesempatan bagi warga negara untuk mempraktikkan ajaran agamanya secara bebas. Sebagai contoh lain, Jones menulis tatkala pemerintah menganggap pemakaian kalung salib, jilbab, ataupun penutup kepala sebagai suatu hal yang tidak menghargai pemeluk agama lain.

Hal ini mengingatkanku pada sebuah topik klasik pada waktu aku kuliah di American Studies. Pada tahun 1620, sekelompok orang yang disebut 'the Pilgrims" bermigrasi dari Inggris ke Amerika Utara, dengan menaiki kapal "Mayflower". Di 'tanah yang baru' mereka mendirikan koloni Plymouth di Massachussetts. Mereka pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka karena disana mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk mempraktekkan ajaran agama yang mereka peluk. Namun, tatkala mereka berhasil membangun sebuah 'negara' (koloni) baru, mereka ternyata melakukan kekerasan yang sama kepada para pemeluk kepercayaan lain. Sekelompok orang yang kukuh memeluk agama yang lain dari sang penguasa harus pindah ke tempat lain, atau mereka akan dihukum gantung.

Apakah sekulerisme fundamentalis hanya ada di negara-negara barat?


Sekulerisme ini tumbuh pesat dimana-mana, seiring dengan kehidupan modern yang merambah banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia bukanlah negara sekuler. Indonesia juga bukan negara Islam meski memiliki MUI yang jelas-jelas mencampuri kehidupan beragama warga negaranya dengan mengeluarkan banyak fatwa yang sebenarnya tidak perlu. meski ada juga pemerintah propinsi yang telah mengeluarkan undang-undang yang berdasarkan agama Islam.


Aku tengarai banyak orang di Indonesia (yang kukenal lewat dunia maya) yang mengklaim diri sebagai sekuler, mereka meyakini bahwa negara seharusnya memisahkan urusan kenegaraan dengan ajaran agama, pemerintah seharusnya memberikan hak kepada warga negara untuk memeluk agama maupun untuk tidak memeluk agama. Para sekuler ini -- aku termasuk di dalamnya -- tidak mencampuradukkan ajaran agama dengan kehidupan sehari-hari mereka. Mereka juga percaya bahwa manusia seharusnya saling menghormati agama masing-masing, tidak menghakimi bahwa orang lain akan masuk neraka -- misalnya hanya karena mereka tidak shalat lima waktu sehari bagi Muslim atau karena mereka tidak ke gereja bagi Nasrani.
Mengacu ke postinganku "My spiritual Journey", dimana topik utamanya adalah "tidak ada 'orang terpilih' begitu saja untuk masuk surga" akhir-akhir ini aku mulai melihat kecenderungan para sekuler itu -- dimana aku pun termasuk di dalamnya -- pun mulai berpikir bahwa mereka adalah 'orang-orang terpilih'. Mereka menertawakan orang lain yang memeluk agamanya secara teguh, yang melakukan ajaran agamanya secara tekun dan penuh keyakinan, mereka menganggap orang lain yang sangat mempercayai kekuatan doa untuk mengurangi penderitaaan mereka sebagai orang-orang yang menggelikan, Mereka telah kehilangan empati. Mereka tidak lagi menghormati keyakinan orang lain.

Dari contoh-contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa fundamentalis sekuler berarti negara -- atau sekelompok orang -- yang memisahkan kehidupan mereka sehari-hari dari ajaran agama begitu kuatnya, sehingga mereka memiliki kecenderungan menihilkan adanya agama, bahkan dalam tataran yang lebih 'parah' lagi, mereka bisa jadi menganggap orang yang beragama sebagai orang jahat.


Sebagai seorang Muslim yang sekuler, aku ingin mengakhiri artikel ini dengan menyitir satu ayat Alquran "lakum dinukum waliyadin" => bagimu agamamu, bagiku agamaku. Atau yang lebih luas lagi, apa pun keyakinan yang kita miliki -- apakah kita adalah seseorang yang menganut satu agama, atau pun seorang agnostik, atau pun deist, nihilist, atau pun atheis, selalu lah kita menghormati orang lain, karena perbedaan itu indah, menghormati (kepercayaan) orang lain itu perlu, memiliki empati kepada orang lain itu 'awesome'.



Nana Podungge
-- Muslim sekuler --
LL 18.38 190210

• (Totalitarianism = a form of government in which the state controls all phases of the people's lives. Totalitarianism allows only one party, headed by an absolute leader. He maintains his power over the party and the rest of the people by force and violence. Freedom of religion does not exist. => "The World Book Encyclopedia)

Kamis, Februari 18, 2010

Sexual Education

Tanggal 7 Februari 2010 kemarin aku menghadiri seminar yang bertajuk "Metode mendidik anak di era globalisasi" (well, judul tepatnya aku lupa. maaf. LOL.) Salah satu pembicara utamanya adalah Kak Seto.

Dalam postingan ini aku tidak akan menulis apa yang disampaikan oleh Kak Seto pada sesi utama, melainkan jawaban kak Seto atas pertanyaan salah satu peserta.
FYI, hampir sekitar 80% partisipan adalah guru PAUD, playgroup, maupun TK. Sisanya guru SD, SMP, SMA. Salah satu guru PG bercerita pengalamannya yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan.:

"Beberapa minggu yang lalu saya menemani anak-anak pergi ke suatu tempat. Ketika kita pulang, kita melewati dua ekor bebek yang sedang 'saling tumpuk'. Anak-anak melihat itu sebagai suatu kekerasan. Maka mereka bilang, "Bu guru, kasihan itu bebek yang satu dinaiki bebek yang satunya lagi. Ayo, Bu Guru kita bantu!" Saya bingung bagaimana menjelaskan kepada anak-anak, sehingga saya diam saja. Ternyata sampai sekolah, anak-anak bertanya lagi, "Kata Bu Guru kita tidak boleh melakukan kekerasan kepada orang lain. Mengapa Bu Guru diam saja tatkala melihat seekor bebek yang sedang disiksa bebek lain? Tadi yang kita lihat dalam perjalanan?"
"Kak Seto, mohon penjelasannya, apa yang sebaiknya saya katakan kepada anak-anak? Masak saya harus bilang bahwa bebek-bebek itu sedang melakukan hubungan seks? Anak-anak kan belum selayaknya tahu? Mereka masih terlalu muda untuk tahu masalah seks."

Kak Seto menjawab:

"Katakan saja sesungguhnya apa yang sedang terjadi. Tidak ada yang tabu dalam memberikan pelajaran seksual kepada anak-anak, tentu saja dalam tataran yang masih simple, disesuaikan dengan usianya. Misal dalam kasus tadi, kita bisa katakan bahwa proses dimana seekor bebek melakukan kekerasan pada bebek yang lain itulah terjadi proses pembuahan yang akan membuat bebek betina hamil. Memang sekilas nampaknya itu adalah kekerasan. Namun, sekali lagi bisa kita katakan kepada anak-anak memang begitulah proses yang akan menghasilkan telur."
Kemudian kak Seto menambahkan bahwa penting juga membekali anak-anak -- terutama anak-anak perempuan -- tentang pelecehan seksual. Misal, jika ada orang asing yang menyentuh bagian-bagian tertentu tubuh mereka, misal pantat, dan mereka merasa tidak nyaman karenanya, itu namanya pelecehan seksual. Anak-anak berhak melaporkannya pada orang yang lebih tua, misal guru di sekolah, atau orang tua di rumah. Tidak ada salahnya mengajarkan pendidikan seksual kepada anak-anak di usia mereka yang masih dini."

Beberapa minggu kemudian aku sempat bercerita tentang hal ini kepada siswa-siswiku. Seorang anak laki-laki kontan berteriak, "Miss ... he has often done sexual assault to me! He likes slapping my butt!"
FYI, di kelas yang hanya berisi lima siswa itu, ada dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Dua anak laki-laki itu ternyata telah sering melakukan pelecehan seksual kepada sesamanya. LOL.
Pada kesempatan yang sama, seorang siswa laki-laki bertanya, "Miss, what is wet dream?"
"Have you ever asked your parents?" tanyaku.
"No, they are very busy with their jobs," jawabnya.
"Have you asked your sister?" tanyaku lagi. Dia punya kakak perempuan yang duduk di kelas 12.
"She didn't want to answer my question until I get one," jawabnya. LOL.
"Well, you'll dream of something that will make you wet," jawabku. LOL.
"You mean I pee in my sleep?" tanya siswa laki-laki yang satunya. LOL.
"It is not pee," jawabku. LOL.
"So what is it, Miss?" tanyanya.
"I heard it is something white, Miss?" tanya yang satu lagi.
"Yup, sort of white. And this comes out of your genital organ," jawabku. (Gosh!!! untung kita ngobrol pakai bahasa Inggris, so ga terasa terlalu vulgar. hahaha ...)
"YUCK!!!" teriak keduanya. LOL. LOL. Satu-satunya siswi yang masuk hari itu terlihat bengong. LOL. (Yang dua ga masuk sekolah karena sakit.)
"But what kind of dream is it like, Miss?" tanya satu siswa laki-laki.
"Well, it is a kind of dream where you are doing something intimate with girls ..."jawabku berusaha hati-hati.
Lagi kedua siswaku berteriak bareng-bareng, "YUCK!!! SO DISGUSTING!!!"
Satu-satunya siswi berbicara, "Well, guys, at least, now you have known what it is and you'll get prepared when having wet dreams."

Pelajaran usai. LOL.

PBIS 12.22 180210

Selasa, Februari 16, 2010

Transgender

“God never made mistakes in creating human beings!”
("Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan tatkala menciptakan manusia!")

Beberapa tahun yang lalu pernyataan ini diucapkan oleh salah satu siswaku tatkala aku meminta kelas itu untuk berdiskusi tentang homoseksualitas / transgender / transseksualisme. Aku sempat menyitir apa yang ditulis oleh seorang transseksual dalam buku yang berjudul "Transseksualisme" "Saya terlahir terjebak dalam tubuh yang salah." Kelas itu berisi beberapa mahasiswa salah satu universitas negeri di Semarang. Aku membagi siswa-siswa itu dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang hal tersebut. Latar belakang diskusi ini adalah 'gosip' tentang salah satu celebrity Indonesia yang konon adalah seorang gay. KM -- inisial sang celebrity -- ini sendiri selalu mengelak tentang orientasi seksualnya secara terbuka.

Dan sebagai salah satu yang berada pada jajaran 'acclaimed feminist' harus aku katakan bahwa gerakan feminisme tidak bisa dipisahkan dari gerakan LGBT -- Lesbian/Gay/Biseksual/Transgender -- karena sama-sama termasuk kelompok minoritas. Ini sebab aku pun tertarik pada issue LGBT.

Menyadari bahwa aku menghadapi sekelompok mahasiswa yang mungkin akan antipati pada jalan berpikirku yang ngepro kebebasan memilih orientasi seksual, aku harus menjawab pernyataan salah satu mahasiswaku itu dengan hati-hati dan bijaksana.

Tentu saja aku pun haqqul yakin bahwa Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan dalam menciptakan alam semesta ini, termasuk manusia. Lantas siapa yang melakukan kesalahan? Manusia itu sendiri. Dalam kasus ini, misal tatkala manusia membuat kategori jenis kelamin 'hanya' ada dua jenis: laki-laki (manusia yang dilahirkan dengan memiliki penis) dan perempuan (manusia yang dilahirkan dengan memiliki vagina, rahim, dan payudara) dan kemudian membatasi bahwa yang dianggap 'normal' hanyalah tatkala laki-laki tertarik pada perempuan, dan perempuan tertarik pada laki-laki: ketertarikan secara romantis, seksual, dan sensual. Di luar dua kategori ini, pasti salah, alias 'tidak normal'. Berpikir bahwa tidak selayaknya manusia merasa dilahirkan dalam tubuh yang salah tentu sangatlah 'narrow-minded', karena hal ini berarti menafikan adanya perspektif yang lain.

Berdasarkan riset yang telah dilakukan, para anthropologist mengklasifikasikan manusia menjadi empat kategori, berdasarkan orientasi seksualitasnya:

  • Laki-laki (baca: makhluk berpenis) tertarik kepada perempuan (baca: makhluk bervagina)
  • Perempuan tertarik kepada laki-laki
  • Laki-laki tertarik kepada laki-laki
  • Perempuan tertarik kepada perempuan
Pengaruh agama samawi yang sangat kuat (Yahudi, Nasrani, Islam) menyempitkan keempat kategori di atas hanya menjadi dua kategori, yang pertama dan kedua. Ajaran agama membuat kategori ketiga dan keempat dianggap tidak normal, atau bahkan melawan hukum alam.

Pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruh ini ke Indonesia. Hasilnya beberapa komunitas di Indonesia yang dulunya memberikan posisi terhormat kepada para kaum homoseksual terpojokkan, bahkan menghilang perlahan-lahan. Komunitas ini misalnya: komunitas 'bissu' di Makassar, 'warok gemblak' di Jawa Timur, 'dalaq' di Madura, 'shaman' di Dayak Ngaju, dll. Selain itu, pengaruh kuat dua agama samawi yang dibawa ke Indonesia -- Nasrani dan Islam -- membuat komunitas-komunitas tersebut terpinggirkan dan mendekati kepunahan. Padahal, sebelum kedua agama samawi itu diimpor ke Indonesia, dan sebelum pemerintah kolonial Belanda menjajah bumi Nusantara, komunitas-komunitas tersebut sangat dihormati di masyarakat.

Bukankah sudah saatnya kita mau memahami perspektif lain sehingga kita tahu apa yang mereka rasakan dan merasakan empati?

Irshad Manji (seorang feminis Muslim 'scholar' yang mengaku diri sebagai lesbian) mengatakan, "“Bukankah Tuhan sangat bisa dengan keMahaKuasaan-Nya menjadikanku untuk tidak menjadi seorang lesbian?” (Jurnal Perempuan nomor 58) Kenyataan mengatakan seorang Irshad Manji adalah seorang lesbian. Ada campur tangan Tuhan di balik ini.

Nana Podungge
-- sang feminis yang seorang hetero --
PBIS 11.11 160210
(artikel dalam bahasa Inggris bisa dibaca di sini)