Rabu, Juni 30, 2010

CERPEN KOLOSAL : KALA DARA BERKUBANG DUKA (Sayap Luka Manyar Mungil)

Bermula dari prakarsa dan ide cemerlang seorang sobat FB terkasih, Mas Wilu, jadilah cerpen yang ditulis ramai-ramai oleh 12 orang perempuan yang semula belum saling kenal satu sama lain. Sebenarnya Mas Wilu sendiri belum puas dengan hasil akhir ini, namun apa daya para perempuannya sudah 'cepat puas' (ini bahasa beliau sendiri lho???), jadi yah ... inilah.

Buat teman-teman yang ku-tag, maupun yang tidak namun sempat mampir, aku harapkan saran, komentar, kritik, masukan, whateva you name it. Salam sayang untuk semuanya.

KALA DARA BERKUBANG DUKA
(Sayap Luka Manyar Mungil)


*** C E R P E N *** K O L O S A L ***
:
Risma Widianti;
Bening Hati;
Nella Wulandari;
Leliana Lesmana;
Afrilia Kelana Utami;
Sue Munggaran;
Nana Podungge;
Nie Niezma Rosida;
Rachel Permana;
Uly Giznawati;
Wahyu Handayani Iswandi;
Arganita Widawati.



1.
SEKERUMUNAN burung manyar bergerombol di dahan-dahan pohon turi, bercengkerama, mematuk-matuk bunga-bunga teronggong, mengoyak-ngoyak kelopak-kelopaknya hingga putihnya luka lebam kecoklatan oleh paruh burung itu, serpihan kelopak kembang teronggong melayang-layang jatuh.
Dari bawah, pada sebuah kejauhan, seorang dara perhatikan polah laku mereka, hatinya pongah mengingat bahwa dia juga pernah atau malah sering berlaku seperti
burung-burung manyar itu, bersama anak-anak dan bahkan laki-lakinya, berebut riuh lauk urab-keluban yang dia sendiri acap memasaknya dengan porsi tak pernah berlebih.
Dara bermaksud menggoda cengkerama mereka, diambilnya sepipih batu pecahan genting, dilemparkannya ke rerimbun daun turi dan tak sedikitpun kena memang, tapi getar
daun-daun akibat lemparan batunya membuat sekawanan burung manyar tergelagap dan terbang tunggang-langgang ke berbagai arah.
Dara pun tersenyum seolah-olah hatinya ikut terbang, mengawang bersama burung, melepaskan segala gundah kepiluan yang selama ini dirasakannya.
Manyar-manyar terbang ke penjuru langit, saling berkabar, saling mencari. Mereka pergi dan suatu waktu kembali dengan hati yang lebih tertata.
Dara lepaskan gairah matanya, memandang daun helai demi helai rontok, tapi bukan itu yang dia kehendak, mematuk-matuk batu sampai pecah, dara memecah cintan yang hinggap di sayap manis kupu-kupu demi menitip selembar daun turi yang lantas lenyap di rerimbun daun seiring pecahnya cinta dan dia ingin sayap kupu-kupu itu patah biar dia masak saja rontokkan daun itu menjadi lalapan makan malam seperti biasanya.
Bayang langit hinggap meramu di kelopak bunga teronggong, menyibak kerumunan manyar dari mata langit. Dara melepas senyum pada katub paruh yang menebing, kerling indah menjemput bahagia bermakna saat tepian yang teraba hinggap bersemi rindang dalam peka rasa.
Dara suntuk memperhatikan polah burung-burung manyar itu, merona binar di antara serpihan poros bianglala yang merajam layar, hingga manyar itu merasuk di antara teratai mata terurai.
Manyar-manyar pun pergi menjauh dengan keriuhan yang membuat dara tergugu, termanggu lalu dalam pasung kebisuan, menekuri, merenungi, meratapi, sepi.
Mata dara berkaca-kaca, dia membayang, duh seandainya lengkung pinggangku bak perhiasan, pusarku bak cawan bulat, perutku berpagar kembang bakung, leherku serupa menara gading.
Manyar-manyar kembali berterbangan, menarikan lenggang sayap-sayap. Meski mereka bukan elang yang gagah menaklukan udara, tapi mereka kepik bintang yang cantik meruang angkasa selaksa senyum hias hati dara, alirkan ketenangan nan halus lembut, jernih.
Manyar di hatimu sungguh setenang sejuk pagi, damai. Peluh menggenang seiring
manyar-manyar terbang, gairahpun bertukar rupa jadi gelisah.
Kemana manyar-manyar itu menghilang?
Kemana?
Oh itu! Itu!
Mereka mengibas sayap menembus arsy. Mereka khusyu bincangkan ceroboh dara. Angin kabari hal itu ke hati dara dan sekonyong-konyong dara linglung, limbung.
Pada benak dara terlayar kekhawatiran sangat jika manyar-manyar itu berubah rupa jadi ababil-ababil perang.
Duh!
Duhai dara, cemburu kah kau kepada kami yang bercengkrama sepuas hati karena engkau seorang diri? Seekor manyar mendadak menukik, hinggap di tangkai telinga dara dan lantas berbisik lembut.
“Mengapa tak kau pinjam saja sayap Icarus dan lalu terbang bergabung bersama kami?”
“Apa yang ada pada benakmu, wahai dara?”
“Kami tak terusik, kami hanya terkejut, tersentak kemudian kan kembali ke dahan yang sama,” gumam seekor manyar sembari terbang rendah pada kumpulannya dan mulai mematuk-matuk teronggong.
“Ah kau manyar-manyar, kepolosanmu, kejujuranmu, kesahajaanmu, membuatku dengki, pinjami aku sayapmu, kuingin seperti kalian,” bisik hati dara yang kerap merasa sepi meski pada keramaian.

2.
SEEKOR manyar mungil menukik, kepaknya lemah, mencari tambat, ia terluka dan jatuh terkulai lemas. Segera dara menghampiri dan meniup angin mulutnya.
"Apa yang terluka hei mungil, maafkan aku …" bisik dara dan dia pun membawa manyar itu di pangkuan telapaknya. Darah perlahan menetes dari sayap manyar mungil, dalam satu helaan nafas telapak dara menyemburat merah. Merah serupa warna senja, merah serupa dara, merah mencabik kepedihan. Luka sayap manyar mungil adalah sayat luka hati dara.
Dan dara teringat akan dua belas masa yang telah dilaluinya, akan saja tetap seperti ini, hanya bisa menjadi pecundang yang cuma pintar melihat kegelisahan hati. Sementara darah manyar itu perlahan namun pasti mulai mengering.
Luka memang pasti tersembuhkan tetapi kenangan tidak pernah hilang, dan dara tidak ingin menambah kenangan buruk melihat manyar kecil itu mati sia-sia.
"Duhai manyarku tak hendak aku melukaimu," bisik dara.
"Ah tanganmu terlalu lembut untuk bisa melukai," lemah manyar kecil menjawab.
"Katakan padaku apa rupa kesakitanmu?" kembali dara membisik.
"Saat aku menikmati cakrawala biru itu dan …" tukas manyar sesenggukaan sembari menuding dengan cakar kering kakinya.
“Ya katakan saja mungilku?" sang dara tak sabar memotong kalimat manyar.
"Sebentar, sebentar... peluk aku dulu ... " tersengal manyar berkata.
"Baiklah ... begini kau nyaman?" senyum dara sembari menelangkupkan dua tapak tangannnya seakan selimut tebal bagi manyar mungil itu dan lantas kecupkan bibir ranumnya persis di paruh manyara itu.
"Auhhh ya,sepertinya sudah agak lebih baik ... " pekik manyar mungil kegirangan.
"Demi langit yang cerah, sembuhlah lukamu manyar mungilku dan berita apa yang kau bawa dari langit?"
"Ups ..." manyar menarik nafas selaksa beban yang demikian perkasa, "Takala aku bersama saudaraku menari-nari, bercanda bersama awan-awan itu, tiba tiba nun jauh di sana seorang lelaki tampan terlihat murung di tepian danau ..."
"Lantas ... " potong dara tak sabar.
"Ah sabarlah kau jelitaku …"
Sang dara tersipu disebut jelitaku oleh manyar mungil yang padahal tengah luka.
"Lelaki tampan itu terlihat murung dengan menggenggam mawar di tanganya ..... Aduuuhhhh, sayapku, sayapku jangan kau peluk terlalu erat …" tiba-tiba manyar
menjerit.
"Oh maafkan ... maafkan aku … ia maafkan aku, mungil ..." tergopoh sang dara mohon maaf.
"Ya, tak apa, maafkan pula aku membuatmu gugup …"
Hening. Seketika setelah maaf berbalas maaf.
"Hmmm … lalu beberapa dari kami mendekati sang lelaki itu ... Ah taukah kau apa yang terselip di punggungnya?"
"Apakah itu manyar kecilku? Belatikah, keris atau pedangkah?" tanya dara beruntun.
"Bukan ... bukan itu ..."
"Di punggungnya meyembul panah yang mengeruh … d-a-r-a-h!"
"Ah kenapa lela … "
"Sssttt … pelan kutanya ... wahai sang ksatria gerangan siapa yang memanahmu?"
"Apa jawabnya?!"
"Dia menjawab, ini adalah panah rindu dari sebrang danau yang jauh itu ... ia menusuk
aku hingga merajam setiap detak nadiku dan tiba-tiba segalanya … gelap, nanap, gelegap, lindap … wahai!"
"Kenapa?"
"Duhai jeliata … panah itu juga melukai tubuhku ... kini aku akan membawa kerinduan ini ke tempatnya, agar lukaku bisa mengering, juga sang lelaki itu perlu membawa kerinduanya agar lukanya juga mengering"
"Biar aku obati sini lukamu mungil ...."
"Tidak jelita … engkau takan bisa mengobati lukaku ... kerna engkau akan mengobati luka yang lain ..."
Dara tertegun. Manyar mungil tertatih mengembangkan sayapnya.
"Ah mari ku tolong ..."
"Tak usah, biarkan aku berusaha sendiri menemu peraduan sunyiku dan semuanya akan cepat pulih," sahut manyar pasti.
Manyar itu terbang lemah diantara gerombolan manyar gesit lainnya.
Detik-detik ketiak waktu yang semakin kunjung berdetak.
Lirih dara tak ingin letih membayang manyar semakin terkapar tak berdaya dalam kelananya.
Dara, lelehkan embun bening di kedua bola matanya sambil tak lelah melambaikan kelima jemarinya.
“Setia aku menantimu kembali, dalam peraduan waktu yang kiranya, akan lekas temukan
kita dalam satu tempat demi menjabar arti dan makna pengembaraanmu ...” senyum dara merona pada titik perpisahan senja ini.

3.
MANYAR mungil meski tertatih kembali melanjutkan kembaranya memperindah angkasa, ah meski engkau tengah kesakitan nyatalah tetap cantik kepakmu kala mengarungi awan awan biru. Liihat, seolah gugusan itu menyambut kebahagiaan nyata. Manyar memang terlahir untuk mencerahkan langit, menenangkan gundah hati. Tataplah kedamaian angkasa berhiasankan manyar-manyar mungil, niscaya ketenangan jiwa akan kau dapati. Sang dara tersenyum menemukan arti dalam dialog bersama sahabatnya tadi.
''Iya aku telah menemukan jawaban untuk sejuknya hari. Hening, bening, senyum simpul terbawa ke peraduan mimpi malam ini''.
Dara terlentang di hamparan hijau permadani rerumputan menatap birunya langit bening hening, oh inikah kesendirianku? Terpejam mata dara. Lihatlah, kelopak matanya bergetar, ada butiran bening di sudut-sudut matanya yang tetap pejam. Entahlah, apa yang ada di benaknya dan sebuah sentuhan halus membelai pipi dara,kelopak mata indahnya terbuka perlahan ... sepasang sayap mungil yang memberikan sentuhan hangat. Sayap manyar mungil membelai lembut pipinya, mengusap air matanya
"Hai, mengapa kau kembali?" tanya dara sambil merengkuh manyar ke pelukan.
"Aku ingin bersamamu ..." bisik manyar.
"Sungguhkah?" dara heran tak percaya.
"Ya, karena kita adalah kembaran jiwa. Kita akan selalu bersama membuang rasa sakit
kesendirian kita ..." bisik manyar lagi.
Dara hanya terpana, senyum pun perlahan tersungging di bibir mungilnya, dipeluknya manyar ke arah jantungnya.
"Kita akan saling menjaga ..."
Kini dara dan manyar mungil kembaran jiwanya mencoba menarikan tarian indah, tarian yang bermakna kebersamaan. Mereka akan menari sembari terbang, melayang, menggapai bahagia yang paling bahagia.
Di negeri entah ...

*** REPUBLIK KOLOSAL, 30 JUNI 2010 ***

Selasa, Juni 29, 2010

TALK SHOW JALUR SEPEDA 2




Demi menjaga konsistensi dalam mendesak pemerintah kota Semarang untuk menyediakan jalur sepeda di beberapa ruas jalan kota Semarang, Komunitas b2w Semarang kembali menyelenggarakan TALK SHOW yang memperbincangkan tentang JALUR SEPEDA pada tanggal 6 Juni 2010. Dua pembicara utama yang hadir yaitu Ir. Drs. Djoko Setijowarno MT, sebagai ahli dan peneliti transportasi (beliau juga merupakan salah satu ‘keynote speaker’ pada Talk Show yang pertama), dan Ari Purbono, selaku ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah.

Djoko Setijowarno mengatakan bahwa program transportasi akan mendapatkan prioritas lebih; hal ini merupakan salah satu janji walikota Semarang yang terpilih. Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Gurun Risyadmoko, Kepala Dinas Perhubungan Kominfo sebagai salah satu pembicara pada Talk Show yang pertama, Djoko menyarankan Car Free Day agar diselenggarakan tiap hari Minggu, agar masyarakat lebih cepat memahami dan membiasakan diri dengan ide mengurangi polusi udara dengan cara mengurangi ketergantungan kepada kendaraan bermotor.

Setelah mengadakan studi banding ke beberapa negara di luar negeri, Djoko menyampaikan ide agar menghubungkan penyediaan jalur sepeda dengan peluang bisnis atau pun perputaran ekonomi. Misal, di negara China, pemerintah membangun jalur sepeda ke arah-arah pedesaan, yang akhirnya akan mendorong para penduduk kota lebih bersemangat berkunjung ke desa-desa mengendarai sepeda, atau sebaliknya. Hal ini bisa membuka peluang bisnis berupa membuka usaha persewaan sepeda.

Untuk ide tersebut, Djoko menyarankan jalur sepeda dari Kalibanteng menuju Gunung Pati. Ide ini sangat bagus mengingat banyak pesepeda yang menganggap track Kalibanteng – Gunung Pati sangat menantang.

Pembicara kedua, Ari Purbono mengatakan bahwa pihak pemerintah telah berkomitmen untuk paling lambat mengupayakan tersedianya jalur sepeda pada tahun 2011, dengan pertimbangan bahwa sebagai warga negara kita semua selayaknya peduli terhadap lingkungan, dengan mengurangi polusi udara. Bersepeda sebagai ganti mengendarai kendaraan bermotor adalah salah satu usaha paling mudah dan efektif untuk bersama-sama mengurangi polusi udara. Karena itulah maka pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas kepada komunitas pecinta sepeda.

Ari menyampaikan pertanyaan kepada para audience kira-kira dimanakah jalur sepeda bisa disediakan.

Dalam sesi tanya jawab, Erman Hidayat, sebagai salah satu anggota Senior Bicyle Community menyarankan untuk menyelenggarakan “Car Free Time” di seputaran Simpang Lima pada pukul 04.00-06.00 setiap hari. Selain itu juga melanjutkan terselenggaranya “Car Free Day” pada tiap hari Minggu, minimal di Jalan Pemuda. Dia menyarankan agar even ini merambah areal yang lebih panjang, yakni dari Tugumuda sampai perempatan Hotel Dibyapuri, tidak seperti selama ini yang “hanya” diselenggarakan dari Tugumuda sampai depan Paragon.

Penanya kedua, Darmawan dari komunitas b2w Semarang mengusulkan agar para pejabat pemerintah kota maupun DPRD untuk juga berbike-to-work, atau bersepeda ke tempat kerja, minimal satu kali dalam seminggu, yakni pada hari Jumat. Dari kebiasaan ini maka diharapkan para pegawai negeri pun akan mengikutinya.

Bob Riza dari Semarang Onthel Community menyarankan agar jalur sepeda disediakan di sepanjang jalur utama, dari Kalibanteng menuju Mranggen.

Riu dari komunitas b2w Semarang meminta konsistensi untuk menggunakan jalur sepeda semestinya, dan bukannya malah membiarkannya digunakan untuk parkir mobil, seperti yang selama ini dilakukan di dua jalan Semarang yang masih memiliki jalur lambat, yakni Jalan MT Haryono dan Jalan Indraprasta.

Mari kita menjaga dan melestarikan lingkungan yang sehat dengan mengupayakan pengurangan gas emisi yang kita keluarkan dari kendaraan bermotor kita dengan bersepeda. Bersepeda akan menjadi nyaman dan aman jika pemerintah menyediakan jalur sepeda dan masyarakat mematuhinya.

Nana Podungge
Sekretaris Komunitas b2w Semarang
PT56 10.40 290610

Minggu, Juni 27, 2010

"Topeng Nalar" versus "North Country"



Dalam tulisan kali ini aku ingin membandingkan sebuah cerpen berjudul “
Topeng Nalar” karya Dewi Ria Utari dengan sebuah film yang berjudul “North Country”. (untuk sinopsis cerita film ini, klik saja http://nana-podungge.blogspot.com/2009/03/north-country.html )



Satu hal yang membuatku tiba-tiba tertarik untuk membandingkan kedua cerita ini adalah kedua cerita tersebut memiliki tokoh utama yang sama, yakni seorang single parent yang memiliki dua orang anak, yang pertama laki-laki yang kedua perempuan. Lebih mengerucut lagi, anak pertama dilahirkan tanpa tahu siapa sang ayah, sedangkan anak kedua dari seorang laki-laki yang dengan resmi menikahi sang tokoh perempuan. Perbedaannya adalah, tokoh Josey Aimes dalam “North Country” meninggalkan suaminya karena KDRT yang dilakukan oleh suaminya terus menerus, sedangkan tokoh “aku” dalam “Topeng Nalar” ditinggal pergi oleh suaminya begitu saja dengan alasan ‘melaut’ dan tidak pernah kembali lagi. Kesimpulannya memang akhirnya menjadi sama, kedua perempuan ini menjadi single parent disebabkan KDRT.


Kemiripan lain lagi adalah kedua tokoh tidak memiliki pendidikan yang cukup tinggi yang membuat mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup layak untuk menghidupi kedua anak mereka. Josey semula ‘hanya’ bekerja sebagai seorang hairdresser di sebuah salon dengan gaji yang pas-pasan, sampai akhirnya dia bertemu dengan teman SMAnya, Glory, yang telah bekerja di sebuah perusahaan pertambangan, Pearson Taconite and Steel Inc, dengan gaji yang lumayan. Kebetulan di pertengahan tahun 1980-an itu perusahaan pertambangan tersebut memang mulai membuka lowongan untuk pekerja perempuan. Karena keinginan Josey yang kuat untuk memberi penghidupan yang layak untuk kedua anaknya, ia pun melamar pekerjaan di Pearson Taconite and Steel Inc, walau ia ditentang oleh ayahnya sendiri yang meski sudah puluhan tahun bekerja di perusahaan yang sama, merasa malu jika anak perempuannya bekerja di perusahaan yang “seharusnya” hanya untuk kaum laki-laki saja.

Sang “aku” dalam “Topeng Nalar” bekerja di sebuah perusahaan rokok sebagai buruh ‘nglinthing rokok” setelah tak banyak lagi tanggapan untuk menari Topeng maupun Tayub dia terima lagi. Menyadari bahwa ‘profesi’ sebagai penari tidak memberinya pemasukan yang cukup (budaya tradisional telah tergusur dengan budaya-budaya modern tentu saja), sang “aku” tidak ingin mewariskan kemahirannya menari kepada sang anak kedua, yang bernama “Nalar”. Dia ingin garis keturunan penari topeng berhenti di tubuhnya, tak perlu ia menurunkannya kepada Nalar. Dia yakin meski sedikit namun rutin, penghasilan yang dia terima sebagai buruh pabrik rokok akan mampu membiayai anak-anaknya sekolah sampai paling tidak lulus SMA. Setelah itu, dia akan merasa cukup puas jika anaknya bekerja sebagai buruh pabrik, penjaga toko, maupun sales.

Dalam North Country, hubungan buruk antara Josey dan Sammy, anak pertama, dilandasi oleh ketidakterbukaan antara mereka berdua. Di luaran memang gosip yang terdengar adalah Josey – di usianya yang masih belia, 16 tahun – telah berhubungan seks dengan beberapa laki-laki, sehingga dia sendiri tidak tahu siapakah yang telah menanamkan benih di tubuhnya. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah Josey diperkosa oleh salah satu guru SMA-nya. Josey tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan kepada Sammy apa yang terjadi di masa lalu, tanpa harus melukai perasaan Sammy, karena dia sebenarnya adalah anak hasil perkosaan. Sementara itu, yang didengar oleh Sammy adalah ibunya seorang perempuan murahan yang melakukan hubungan seks dengan banyak laki-laki, karena kecantikan fisik yang kebetulan ia miliki.

“Rahasia” ini akhirnya terbongkar juga dalam sidang pengadilan antara Pearson Taconite and Steel Inc versus Josey Aimes, sebagai penggugat karena pelecehan seksual yang dia terima tatkala bekerja di perusahaan pertambangan tersebut. Pengacara yang disewa oleh perusahaan tersebut berusaha menguatkan opini bahwa Josey adalah perempuan murahan dengan memanggil guru SMA Josey sebagai salah satu “sex partner” nya waktu SMA; satu hal yang ternyata malah justru membuka borok lama, pemerkosaan tersebut.

Mengetahui bahwa dia adalah anak hasil pemerkosaan sangat memukul Sammy. Namun di sisi lain, hal ini malah membuka komunikasi terbuka antara ibu dan anak, yang akhirnya justru memperbaiki hubungan keduanya. Dengan kemenangan kasus pelecehan seksual di pengadilan pada pihak Josey meyakinkan Sammy bahwa ibunya bukanlah perempuan murahan. Sementara itu, menyadari bahwa sang ibu memilih untuk meneruskan kehamilannya – meski kehamilan itu hasil pemerkosaan – Sammy pun tahu bahwa itu benar-benar pilihan sang ibu yang memutuskan untuk tidak ‘menghukum’ jabang bayi dengan menggugurkannya.

Dalam Topeng Nalar hubungan buruk antara sang “aku” sebagai ibu dan Danu, anak pertamanya memang benar-benar didasari oleh ketidaktahuan sang “aku” siapakah yang telah menghamilinya. Senantiasa menganggap Danu sebagai salah satu kesialan dalam hidupnya, sang “aku” pun memperlakukan Danu dengan tidak semestinya seorang ibu meperlakukan seorang anak. Dia sering menyia-nyiakan Danu, memarahinya dengan alasan yang tidak jelas, dll. Hingga akhirnya Danu memilih minggat dari rumah.

Sementara itu, Nalar yang sangat ingin belajar menari Topeng, merasa Danulah satu-satunya orang yang memahaminya. Sang “aku” dengan kukuh tidak mau mengajari Nalar menari karena dia beranggapan menari tidak akan memberi penghasilan yang layak untuk Nalar di kemudian hari. Dia juga tidak tega jika mengharuskan Nalar menjalani berbagai tirakat yang harus dijalankan untuk menjadi seorang penari Topeng. Sementara itu, Danu justru senang membuatkan topeng-topeng untuk Nalar dari bahan kayu yang bisa dia peroleh dari daerah sekitar. Hal inilah yang lebih merekatkan hubungan emosi antara Danu dan Nalar.


Cerita berakhir dengan minggatnya Danu dan Nalar berdua, meninggalkan sang ibu yang kebetulan pada waktu itu mendapatkan tanggapan menari Topeng.

“North Country” berdasarkan kisah nyata sedangkan “Topeng Nalar” aku yakin hanyalah sebuah kisah fiksi belaka, meski bisa jadi juga terinspirasi dari kisah nyata yang pernah didengar/dibaca oleh sang penulis. Di sini aku tidak hanya menggunakan teori Comparative Literature, namun juga intertextual theory yang memungkinkan seorang kritikus, atau siapa pun itu untuk membandingkan dua karya atau lebih, meski memiliki beda genre. Dalam tulisan ini adalah perbandingan antara cerita pendek dan film. Kedua teori ini sangat dimungkinkan untuk mengkaji kedua cerita tersebut karena memiliki satu benang merah yang bisa kita kaitkan sebagai ‘universal theme’, yakni kehidupan seorang single parent yang disebabkan oleh KDRT.

PT56 16.27 270610

Jumat, Juni 25, 2010

Agama


(Catatan tercecer dari berlibur ke Jogja. #2)

Cerita masih berkisar tentang sobatku itu, plus sang PRT.

Tatkala sang PRT curhat kepada temanku tentang kegundahan hatinya karena masih jomblo, temanku bercerita tentang seorang sepupunya. Sang sepupu dulu ketika masih jomblo – usianya menjelang angka tigapuluh – melakukan beberapa ‘usaha’. Pertama, melaksanakan shalat tahajjud dengan rajin. Kedua, puasa sunnah Senin - Kamis. Ketiga, mengurangi jam tidur malam, ditambah dengan tidur hanya di atas lantai beralaskan tikar.
Hasilnya: AJAIB. Dia mendapatkan seorang suami yang sangat ‘sempurna’, financially established, dan sangat sayang plus perhatian.

Sang PRT yang kurang memiliki latar belakang pendidikan yang baik – baik pendidikan formal maupun pendidikan agama – tidak tahu bagaimana cara melakukan shalat tahajjud. Maka dia pun bertanya kepada sang majikan – temanku. Masalah timbul di sini karena sobatku ini beragama Katholik yang tidak tahu menahu tentang ajaran Islam. Namun karena semangat ingin membantu sang PRT, maka temanku ini bertanya kepada salah satu orangtua teman sekolah anaknya yang kebetulan beragama Islam. (FYI, anaknya bersekolah di sebuah sekolah swasta dimana para siswanya jarang beragama Islam.) Si teman yang baik hati meminjaminya buku yang kemudian dia fotocopy dan dia berikan kepada sang PRT.

Kisah merembet ke pengalaman sang PRT ketika pulang kampung. Orang-orang di desanya tidak habis pikir bagaimana sang PRT kerasan bekerja kepada seorang majikan yang beragama beda. Mereka pun ternyata su’udhon tanpa alasan jelas. Misalnya mereka bertanya:

“Teh, majikanmu kan beragama Katholik? Memangnya kamu ga disuruh pindah ke agamanya? Biasanya kan begitu toh? Jika sang majikan beragama non Muslim, dia biasanya akan menyuruh pekerjanya untuk pindah agama.”

Sang teteh pun terkaget-kaget karena dia mengenal sang majikan tidak begitu. Meski beragama berbeda, sang teteh mengenal sang majikan sebagai seseorang yang menghormati kepercayaannya. Bahkan di malam-malam bulan Ramadhan, sang majikan lah yang mendorongnya untuk berangkat ke masjid untuk shalat tarawih bersama umat Islam lain. Temanku pun berkata, “Siapa tahu nanti di masjid teteh bisa bertemu dan berkenalan dengan laki-laki yang naksir teteh.” Ini tentu karena temanku melihat sang teteh tidak begitu banyak bergaul karena hampir sepanjang hari sepanjang minggu dia berada di rumah, mengerjakan tugas-tugasnya sebagai PRT.

Aku tidak akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kesimpulan. Selain satu hal: stereotyping – apalagi dalam hal agama/spiritualitas – tetaplah merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya dilakukan. Pluralisme adalah satu keniscayaan.


PT56 17.33 250610

Menikah


(Catatan tercecer dari berlibur ke Jogja. #1)

Teman yang kukunjungi – dan rumahnya kuinapi selama dua hari dua malam – waktu ke Jogja memiliki seorang PRT yang dia boyong dari Bandung. Memang sebelum bertempat tinggal di Jogja, temanku ini tinggal di Bandung selama beberapa tahun, menemani sang suami kuliah. Tidak jelas (bagiku) asal-usul si ’teteh’ ini – demikianlah temanku membiasakan kedua anaknya untuk memanggl sang PRT, sama dengan para ‘Javanese’ yang membiasakan anak-anaknya memanggil sang PRT ‘si mbak’, tapi aku yakin sang teteh tidak berasal dari kawasan ‘kota’ Bandung, melainkan sebuah desa yang mungkin agak terpencil.

Di salah satu acara ‘rutin’ kita berdua – ngerumpi – temanku bercerita tentang sang PRT yang sedang gelisah karena tak kunjung juga menikah, padahal usianya sudah menjelang 26 tahun. Di desanya tentu dia telah mendapatkan predikat yang menyebalkan itu, “perawan tua”. Dia memiliki dua orang saudara perempuan yang telah menikah sebelum usia mereka mencapai bilangan duapuluh. Konon orang tuanya lah yang memilihkan sang suami. Namun, karena ‘alasan utama’ memilih (calon) suami ini adalah khawatir jika sang anak keburu dicap ‘ga laku’, maka mereka pun ‘just grab any guy’ to marry off their daughters. Selain itu juga karena orangtua ini tidak memiliki pendidikan yang layak, sehingga ‘asal menikah’ pun terjadi. Walhasil, suami dari kedua saudara perempuan itu bukanlah tipe laki-laki yang mengayomi istri-istri mereka. Yang pertama, sering memukuli sang istri. Yang kedua, pergi minggat setelah anak pertama lahir, tanpa kabar yang jelas.

PRT temanku ini sebenarnya bisa dikatakan ‘agak beruntung’ karena tatkala dia akan dinikahkan oleh orangtuanya, dia sedang senang-senangnya bekerja di rumah temanku itu, sehingga dia memilih bekerja ketimbang menikah. (NOTE: ‘calon suami’nya adalah suami adik perempuannya yang kemudian minggat setelah anak pertama lahir.) Namun toh sekarang dia dilanda kegelisahan karena dia belum juga menikah di usia yang mungkin dianggap sangat ‘krusial’ bagi perempuan desa.

Beberapa tahun lalu, ketika memulai hobi blogging, ‘menikah’ merupakan salah satu topik yang cukup menarik bagiku. (You can check this link http://afeministblog.blogspot.com/search/label/marriage ) Namun semua tulisan lamaku itu menyoroti pernikahan di kota besar, yang terjadi di kalangan kaum yang lumayan terdidik. Kasus yang kutulis kali ini menimpa mereka yang tinggal di daerah yang kurang tersentuh pendidikan. Betapa orangtua yang kurang tersentuh pendidikan plus wawasan akan menjerumuskan anak-anaknya ke kehidupan yang menyedihkan disebabkan oleh ‘marriage-oriented society’ culture
.

PT56 16.36 250610

Selasa, Juni 15, 2010

Mimpi Basah


Bermula dari ngobrol tentang LYSISTRATA, drama klasik hasil gubahan Aristophanes, kelasku berbincang tentang mimpi basah. NAH LO? :-)

In brief, Lysistrata adalah drama yang plot utamanya adalah usaha para kaum perempuan Athens menghentikan perang dengan cara SEX STRIKE alias mogok seks dengan para life partner masing-masing. Seks adalah satu hal alamiah yang sangat penting di zaman Yunani kuno, sehingga dipahami oleh Lysistrata, sebagai pencetus ide SEX STRIKE, bisa dipakai untuk 'senjata' agar para kaum lelaki menghentikan perang.

Alkisah, para kaum lelaki setelah lelah dan bosan berperang, mereka akan kembali ke pasangan masing-masing untuk melakukan hubungan seks. (Bisa dibayangkan bahwa seks dianggap sebagai satu aktifitas yang sangat berhasil mengembalikan segala gairah untuk melanjutkan hidup.) Setelah 'mendapatkan' energi dan spirit mereka kembali, para kaum lelaki akan berangkat ke medan perang lagi. Inilah yang dibidik oleh Lysistrata sebagai cara ampuh untuk menghentikan perang. Lysistrata meminta kaum perempuan untuk berdandan seseksi, semenarik, dan sesensual mungkin tatkala suami mereka datang, menggoda mereka, namun kemudian mengacuhkan kebutuhan seksual mereka setelah mereka 'horny'.

Konon, berbeda dengan kaum perempuan sekarang yang dikondisikan untuk menganggap seks sebagai sesuatu yang 'hanya milik lelaki' (baca -> hanya lelaki yang 'berhak' menunjukkan kebutuhan seks secara terbuka) perempuan di zaman dulu pun sangat terbuka berbincang tentang seks dan menunjukkan hasrat mereka terhadap para kaum lelaki.

Perbincangan berikutnya adalah mengapa Lysistrata bisa dikategorikan sebagai low comedy dan bukan high comedy (bukan bermaksud mengkotak-kotakkann karya nih). Dalam banyak scenes kita bisa mendapati body language yang sort of vulgar dan sensual untuk membuat para penonton tertawa.

"Mengapa adegan sensual di sini bisa membuat para penonton tertawa?" tanyaku.

"Because sex is animal instinct, Miss," jawab seorang mahasiswa.


Nah, bermula dari jawaban itulah, akhirnya aku yang suka ngelantur ketika berbincang di kelas, mengeluarkan pertanyaan, "Why do only men have wet dreams? Women don't?"

Ramailah kelas jadinya. LOL. Jawaban ngelantur (menurutku ngelantur LOL) pun mengalir dari sana sini. Contoh: "Because women don't have penis Miss." LOL.

"Do you think without having wet dreams, women still have the so-called 'animal instinct' how to have sex for the first time?" tanyaku lugu. (lucu tur guoblok. LOL.)

Jawaban yang mungkin 'rada' ilmiah adalah, karena laki-laki menghasilkan berjuta-juta sperma setiap hari yang akan memenuhi kantung spermanya, sehingga mereka memerlukan 'media' untuk mengeluarkannya. Bagi mereka yang telah memiliki pasangan tetap tentu seks adalah cara yang 'alami' untuk mengeluarkan sperma tersebut. Bagi mereka yang belum memiliki pasangan tetap, mungkin mimpi basah adalah cara yang mungkin juga alami, selain masturbasi.

Obrolan berlanjut ke 'siapakah perempuan yang kadang datang dalam mimpi basah tersebut'. Seorang mahasiswi mengatakan teman-teman lakinya waktu SMA bercerita mereka dengan enak bisa memilih perempuan yang mereka sukai untuk hadir dalam mimpi basah mereka. Well, aku belum pernah melakukan riset dalam hal ini, namun aku ingat satu artikel dalam buku Ayu Utami "Si Parasit Lajang" yang bercerita bahwa kaum lelaki tidak bisa memilih dengan perempuan mana mereka ingin melakukannya dalam mimpi basah mereka. Dan, memang beberapa mahasiswa (laki-laki) di kelas yang hadir pada waktu itu mengatakan hal yang sama, "tidak bisa memilih perempuan mana yang akan mereka hadirkan dalam mimpi basa mereka".

Obrolan masih berlanjut ke seorang mahasiswa asal Papua yang bercerita tentang satu hal penting dalam mimpi basah mereka. Tapi, aku sudah males nulis nih. Ngeles. LOL. Dilanjut kapan-kapan lagi ah. :-p

PT28 19.53 150610