Jumat, Juni 25, 2010

Menikah


(Catatan tercecer dari berlibur ke Jogja. #1)

Teman yang kukunjungi – dan rumahnya kuinapi selama dua hari dua malam – waktu ke Jogja memiliki seorang PRT yang dia boyong dari Bandung. Memang sebelum bertempat tinggal di Jogja, temanku ini tinggal di Bandung selama beberapa tahun, menemani sang suami kuliah. Tidak jelas (bagiku) asal-usul si ’teteh’ ini – demikianlah temanku membiasakan kedua anaknya untuk memanggl sang PRT, sama dengan para ‘Javanese’ yang membiasakan anak-anaknya memanggil sang PRT ‘si mbak’, tapi aku yakin sang teteh tidak berasal dari kawasan ‘kota’ Bandung, melainkan sebuah desa yang mungkin agak terpencil.

Di salah satu acara ‘rutin’ kita berdua – ngerumpi – temanku bercerita tentang sang PRT yang sedang gelisah karena tak kunjung juga menikah, padahal usianya sudah menjelang 26 tahun. Di desanya tentu dia telah mendapatkan predikat yang menyebalkan itu, “perawan tua”. Dia memiliki dua orang saudara perempuan yang telah menikah sebelum usia mereka mencapai bilangan duapuluh. Konon orang tuanya lah yang memilihkan sang suami. Namun, karena ‘alasan utama’ memilih (calon) suami ini adalah khawatir jika sang anak keburu dicap ‘ga laku’, maka mereka pun ‘just grab any guy’ to marry off their daughters. Selain itu juga karena orangtua ini tidak memiliki pendidikan yang layak, sehingga ‘asal menikah’ pun terjadi. Walhasil, suami dari kedua saudara perempuan itu bukanlah tipe laki-laki yang mengayomi istri-istri mereka. Yang pertama, sering memukuli sang istri. Yang kedua, pergi minggat setelah anak pertama lahir, tanpa kabar yang jelas.

PRT temanku ini sebenarnya bisa dikatakan ‘agak beruntung’ karena tatkala dia akan dinikahkan oleh orangtuanya, dia sedang senang-senangnya bekerja di rumah temanku itu, sehingga dia memilih bekerja ketimbang menikah. (NOTE: ‘calon suami’nya adalah suami adik perempuannya yang kemudian minggat setelah anak pertama lahir.) Namun toh sekarang dia dilanda kegelisahan karena dia belum juga menikah di usia yang mungkin dianggap sangat ‘krusial’ bagi perempuan desa.

Beberapa tahun lalu, ketika memulai hobi blogging, ‘menikah’ merupakan salah satu topik yang cukup menarik bagiku. (You can check this link http://afeministblog.blogspot.com/search/label/marriage ) Namun semua tulisan lamaku itu menyoroti pernikahan di kota besar, yang terjadi di kalangan kaum yang lumayan terdidik. Kasus yang kutulis kali ini menimpa mereka yang tinggal di daerah yang kurang tersentuh pendidikan. Betapa orangtua yang kurang tersentuh pendidikan plus wawasan akan menjerumuskan anak-anaknya ke kehidupan yang menyedihkan disebabkan oleh ‘marriage-oriented society’ culture
.

PT56 16.36 250610

Tidak ada komentar:

Posting Komentar