Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Selasa, Januari 18, 2011

Membesarkan Anak

Membaca artikel di 80.Persen.Anak.Indonesia.Berpikiran.Negatif mengingatkanku pada sebuah kasus yang menurutku tergolong tidak biasa di sekolahku saat ini. Seorang siswa perempuan (sekarang kelas 8) sangat enggan berangkat ke sekolah dengan alasan dia merasa tidak diinginkan, kurang didengarkan oleh teman-temannya maupun oleh gurunya. Sebut saja namanya 'NV'.

Sedikit bbackground, waktu duduk di bangku SD, NV pernah bersekolah di sekolah tempatku bekerja sekarang -- yang nota bene berarti tempat dimana dia bersekolah sekarang -- namun kemudian pindah ke sekolah lain ketika seorang teman dekatnya pindah ke sekolah lain. Dia merasa tidak bersemangat berangkat ke sekolah jika teman dekatnya itu tidak bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Dan ternyata kejadian ini berulang beberapa kali, pindah ke sekolah satu, kemudian pindah ke sekolah lain, hingga akhirnya NV kembali ke sekolah lamanya, dengan alasan teman dekatnya itu pindah keluar kota.


Background lain, NV adalah anak bungsu dari dua bersaudara; kakaknya juga perempuan. 'Kebetulan' si kakak termasuk tipe siswa yang serius, rajin, dan cerdas.

Sering aku dengar 'kasus' anak kedua (atau pun ketiga dst) yang merasa terbebani ketika memiliki kakak yang di mata keluarga maupun lingkungannya cerdas. Anggota keluarga lain (om, tante, kakek, nenek, sepupu, dll) atau pun lingkungan akan dengan mudah bertanya, tanpa memandang kondisi psikologis si anak, "Kok kamu tidak secerdas kakakmu?" Hal ini sering melukai si adik yang merasa tidak secemerlang sang kakak. Dalam tingkatan tertentu, bisa jadi hal ini akan menyebabkan iri hati yang tidak sehat antara adik kakak.

Menurutku di sini peran serta orang tua sangat dibutuhkan agar kecemburuan antar adik kakak tidak berkelanjutan. Bisa diberikan penjelasan bahwa intelligence pun meliputi berbagai jenis; misal linguistic intelligence, technical intelligence, visual intelligence, interpersonal intelligence, intra-personal intelligence, artistic intelligence, dll. Ditambah lagi perlakuan kepada anak yang harus tetap seimbang atau pun sama, tidak play favorite.

Kembali ke kasus NV. Sang kakak bercerita dia sudah harus sering mengalah kepada adiknya. Misal: membantu adiknya mengerjakan pe-er meski dia sendiri memiliki pe-er, namun dia harus lebih menomorsatukan adiknya. Dulu, sebelum NV kembali bersekolah di sekolah yang sekarang, dia selalu meminta sopir mengantarnya ke sekolahnya terlebih dahulu, yang padahal letaknya lebih jauh, sehingga sang kakak sering terlambat datang ke sekolah. Sekarang, mereka berdua bersekolah di sekolah yang sama, sering teman-teman sekelas NV melihat sang kakak membawakan buku-buku maupun bekal makan siang NV, sementara NV berjalan melenggang.

Kesimpulan (sementara) yang bisa kita ambil adalah perlakuan orang tua yang memanjakan NV telah 'makan korban'. Analisis yang kutulis di atas -- sang adik merasa terbebani oleh bayang-bayang sang kakak yang cerdas -- mungkin juga memiliki peran semakin memperburuk suasana.

Sementara itu, mengingat jumlah siswa di kelas NV yang terbatas -- hanya lima anak satu kelas -- alasan NV sering enggan berangkat sekolah karena teman-teman maupun guru-gurunya tidak memperhatikan maupun mendengarkan apa yang dia inginkan terdengar terlalu berlebihan. Hal ini bisa saja terjadi jika di kelasnya terdapat banyak siswa, misal lebih dari 15 anak.

Tadi pagi tiba-tiba NV masuk sekolah setelah membolos sejak masuk semester ini, 10 Januari 2011. Namun ternyata ada beberapa 'perjanjian' yang dibuat oleh sekolah dengan NV; misal, tidak boleh terlalu banyak pe-er, apa pun yang dia inginkan, semua harus mengiyakan, (belum jelas dalam bentuk apa), guru tidak boleh menegurnya di depan teman-temannya jika dia melakukan kesalahan, boleh datang terlambat ke sekolah, dan pulang setelah istirahat makan siang.

Sang wali kelas merasa khawatir jika 'perlakuan khusus' ini akan membuat teman-teman sekelas NV iri. Mengenal karakter teman-teman sekelas NV dengan baik, aku merasa kekhawatiran ini tidak akan terjadi, asal kita bisa berbicara baik-baik kepada mereka. Misal: NV sendiri yang akan rugi jika dia datang terlambat ke sekolah atau pun pulang terlebih dahulu; dia juga akan rugi jika tidak bersedia mengerjakan pe-er yang tentu para guru memiliki tujuan mengapa memberi pe-er. Satu hal yang pasti: sang orang tua telah berhasil 'disetir' oleh NV untuk membuat perjanjian seperti itu dengan pihak sekolah. Pihak orang tua merasa tidak punya pilihan lain selain setuju dengan permintaan NV karena, no matter what, masih lebih lumayan NV mau berangkat sekolah, dibandingkan benar-benar mogok sekolah. Pihak sekolah pun tidak memiliki pilihan lain selain setuju karena tidak mau kehilangan siswa. (?)

PT56 23.23 18.01.11

Kamis, Februari 18, 2010

Sexual Education

Tanggal 7 Februari 2010 kemarin aku menghadiri seminar yang bertajuk "Metode mendidik anak di era globalisasi" (well, judul tepatnya aku lupa. maaf. LOL.) Salah satu pembicara utamanya adalah Kak Seto.

Dalam postingan ini aku tidak akan menulis apa yang disampaikan oleh Kak Seto pada sesi utama, melainkan jawaban kak Seto atas pertanyaan salah satu peserta.
FYI, hampir sekitar 80% partisipan adalah guru PAUD, playgroup, maupun TK. Sisanya guru SD, SMP, SMA. Salah satu guru PG bercerita pengalamannya yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan.:

"Beberapa minggu yang lalu saya menemani anak-anak pergi ke suatu tempat. Ketika kita pulang, kita melewati dua ekor bebek yang sedang 'saling tumpuk'. Anak-anak melihat itu sebagai suatu kekerasan. Maka mereka bilang, "Bu guru, kasihan itu bebek yang satu dinaiki bebek yang satunya lagi. Ayo, Bu Guru kita bantu!" Saya bingung bagaimana menjelaskan kepada anak-anak, sehingga saya diam saja. Ternyata sampai sekolah, anak-anak bertanya lagi, "Kata Bu Guru kita tidak boleh melakukan kekerasan kepada orang lain. Mengapa Bu Guru diam saja tatkala melihat seekor bebek yang sedang disiksa bebek lain? Tadi yang kita lihat dalam perjalanan?"
"Kak Seto, mohon penjelasannya, apa yang sebaiknya saya katakan kepada anak-anak? Masak saya harus bilang bahwa bebek-bebek itu sedang melakukan hubungan seks? Anak-anak kan belum selayaknya tahu? Mereka masih terlalu muda untuk tahu masalah seks."

Kak Seto menjawab:

"Katakan saja sesungguhnya apa yang sedang terjadi. Tidak ada yang tabu dalam memberikan pelajaran seksual kepada anak-anak, tentu saja dalam tataran yang masih simple, disesuaikan dengan usianya. Misal dalam kasus tadi, kita bisa katakan bahwa proses dimana seekor bebek melakukan kekerasan pada bebek yang lain itulah terjadi proses pembuahan yang akan membuat bebek betina hamil. Memang sekilas nampaknya itu adalah kekerasan. Namun, sekali lagi bisa kita katakan kepada anak-anak memang begitulah proses yang akan menghasilkan telur."
Kemudian kak Seto menambahkan bahwa penting juga membekali anak-anak -- terutama anak-anak perempuan -- tentang pelecehan seksual. Misal, jika ada orang asing yang menyentuh bagian-bagian tertentu tubuh mereka, misal pantat, dan mereka merasa tidak nyaman karenanya, itu namanya pelecehan seksual. Anak-anak berhak melaporkannya pada orang yang lebih tua, misal guru di sekolah, atau orang tua di rumah. Tidak ada salahnya mengajarkan pendidikan seksual kepada anak-anak di usia mereka yang masih dini."

Beberapa minggu kemudian aku sempat bercerita tentang hal ini kepada siswa-siswiku. Seorang anak laki-laki kontan berteriak, "Miss ... he has often done sexual assault to me! He likes slapping my butt!"
FYI, di kelas yang hanya berisi lima siswa itu, ada dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Dua anak laki-laki itu ternyata telah sering melakukan pelecehan seksual kepada sesamanya. LOL.
Pada kesempatan yang sama, seorang siswa laki-laki bertanya, "Miss, what is wet dream?"
"Have you ever asked your parents?" tanyaku.
"No, they are very busy with their jobs," jawabnya.
"Have you asked your sister?" tanyaku lagi. Dia punya kakak perempuan yang duduk di kelas 12.
"She didn't want to answer my question until I get one," jawabnya. LOL.
"Well, you'll dream of something that will make you wet," jawabku. LOL.
"You mean I pee in my sleep?" tanya siswa laki-laki yang satunya. LOL.
"It is not pee," jawabku. LOL.
"So what is it, Miss?" tanyanya.
"I heard it is something white, Miss?" tanya yang satu lagi.
"Yup, sort of white. And this comes out of your genital organ," jawabku. (Gosh!!! untung kita ngobrol pakai bahasa Inggris, so ga terasa terlalu vulgar. hahaha ...)
"YUCK!!!" teriak keduanya. LOL. LOL. Satu-satunya siswi yang masuk hari itu terlihat bengong. LOL. (Yang dua ga masuk sekolah karena sakit.)
"But what kind of dream is it like, Miss?" tanya satu siswa laki-laki.
"Well, it is a kind of dream where you are doing something intimate with girls ..."jawabku berusaha hati-hati.
Lagi kedua siswaku berteriak bareng-bareng, "YUCK!!! SO DISGUSTING!!!"
Satu-satunya siswi berbicara, "Well, guys, at least, now you have known what it is and you'll get prepared when having wet dreams."

Pelajaran usai. LOL.

PBIS 12.22 180210

Senin, Mei 18, 2009

Kuliah


Beberapa tahun yang lalu, di salah satu buku yang dipakai untuk bahan belajar di tempat kerjaku ada sebuah kasus yang cukup menarik untuk bahan diskusi: seorang perempuan yang ‘pursue’ pendidikannya di college di usia yang tidak bisa dikatakan masih muda—let’s say middle-aged. Dia tidak malu dengan ‘usianya yang tak lagi muda’ dan statusnya sebagai seorang perempuan yang sudah menikah. Apalagi suami dan anak-anaknya mendukungnya. Latar belakang: dia adalah (‘hanya’) seorang ibu rumah tangga.

Mengingat topik pembahasan utama adalah pendidikan dan jenis ‘learner’ (someone is either a visual learner, an audio learner, or a kinesthetic learner, or a combination of those three kinds of learner), maka diskusi tidak pernah melebar ke pembahasan gender. And I was not a feminist yet at that time. :)

Sampai saat ini yang masih kuingat dari sekian banyak diskusi di kelas adalah kata-kata seorang siswa, a guy, still single, but already an employee, perhaps he was around thirty. “What is the point of this woman to pursue her study if after that she just would stay home and continue being a housewife? I am of opinion that she just wastes her time, energy, as well as her husband’s money.”

Nampaknya ide ‘self-actualization’ bagi seorang perempuan belum bisa dia pahami. Self-actualization bagi seorang perempuan tidak melulu hanya bisa dicapai dari melakukan hal-hal yang ‘feminin’ such as memasak, menjahit, dan mungkin berkebun. Belajar di sekolah—apalagi di perguruan tinggi—tentulah bersifat ‘maskulin’ mengingat pada satu waktu seorang Kartini dan Dewi Sartika merasa perlu mendirikan sekolah khusus untuk perempuan karena sekolah yang ada pada waktu itu tidak bersahabat dengan perempuan.

Dan tentu menurut Abraham Maslow, kebutuhan memenuhi ‘self-actualization’ tidak hanya milik laki-laki saja; perempuan juga perlu menggapainya.

***

Tatkala aku berhadapan dengan beberapa mahasiswa yang ‘usianya sudah tidak muda lagi’ (baca -> above thirty years old), aku tengarai kebanyakan dari mereka adalah employees. Alasannya tentu jelas: kenaikan jenjang karier mereka. Yang aku sedihkan adalah: nampak jelas bahwa whether they grasp the new knowledge they get is not important for them.

Beberapa minggu yang lalu, seorang mahasiswaku bilang, “Ms. Nana, saya kan rajin datang ke kelas. Nanti kalau hasil test saya jelek, kehadiran saya di kelas bisa menaikkan nilai saya ga?”
Aku tengarai she is above fifty years old. Latar belakangnya: dia seorang pegawai sebuah bank swasta. Her English is not really good, sehingga bisa dipastikan dia harus bekerja keras untuk memahami aku yang berbicara menggunakan Bahasa Inggris melulu. Tambah lagi, mata kuliah yang kuajar sering dianggap sulit bagi mahasiswa: ‘Telaah Drama’ dan ‘Telaah Puisi’.

Tentu aku bukan seorang heartless teacher, meskipun aku sedih mendengarnya. I did appreciate her frankness, though. Aku ingin para mahasiswaku mendapatkan nilai bagus karena memang mereka paham, bukan karena belas kasihan. :(

***

Aku masih menunggu hadirnya seorang mahasiswa yang kuliah karena mereka mencintai ilmu pengetahuan.
PT56 22.12 160509

Rabu, Mei 06, 2009

Ujian Nasional

Tahun ini untuk pertama kali aku mengemban ‘tugas negara’ sebagai proctor alias penjaga Ujian Nasional. Maklum baru tahun ajaran ini pula aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru sekolah.

Kita semua tahu betapa Ujian Nasional (yang dulu lebih dikenal sebagai EBTANAS) telah menjadi polemik yang hangat di tahun-tahun terakhir ini; kontroversi pro dan kontra dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah menginginkan agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh negeri memenuhi standard tertentu yang dimiliki oleh pemerintah. Lulusan sebuah SMA di pedalaman Kalimantan yang mungkin sekolahnya tidak memiliki fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah di kota besar di pulau Jawa diharapkan memiliku mutu yang sama dengan lulusan SMA N 3 Semarang (sebagai pengemban Sekolah Berstandar Internasional pertama di Semarang). Alasan yang dimiliki oleh mereka yang kontra adalah “keberhasilan seorang siswa hanya ditentukan pada empat hari diselenggarakannya Ujian Nasional” yang seolah-olah menghapus kerja keras para siswa sejak kelas X.

Seorang teman yang kebetulan memiliki jabatan sebagai kepala sekolah mengaku sangat stress menjelang penyelenggaraan Ujian Nasional. Stress ini lebih meningkat lagi tatkala hasil Ujian Nasional diumumkan. Kekhawatiran dicap sebagai kepala sekolah yang tidak becus sangatlah menggayuti pikirannya.

Berawal dari cara berpikir inilah akhirnya dia memaklumi tatkala ada kabar ataupun gosip-gosip yang bisa jadi menghancurkan reputasi kepala sekolah tertentu.

Berikut akan kutulis sedikit pengalamanku menjadi pengawas Ujian Nasional di sebuah sekolah di Semarang. (FYI, pengawas Ujian Nasional selalu berasal dari sekolah lain.)

Hari pertama, kita semua pengawas dikumpulkan di ruang sekretariat untuk menerima pengarahan dari kepala sekolah SMP tersebut pada pukul 06.30. Pukul 07.40 bel berbunyi, pengawas dan siswa yang mengikuti ujian menuju ke ruangan yang masih digembok, untuk sterilisasi. Pengawas ujian membuka gembok tersebut dan mempersilakan peserta ujian memasuki ruangan. Ujian sendiri dimulai pukul 08.00.

Tiga puluh menit kemudian, seorang guru dari SMP tersebut datang ke ruangan, menyodorkan ‘attendance list’ untuk pengawas. Orang ini, dengan sok akrab memelukku dari belakang, sembari berbisik, “Bu, jangan galak-galak ya? Kasihan murid-muridku kalau sampai tidak lulus.”

Aku tersenyum, berusaha memaklumi.

Tak lama kemudian, penjaga yang berada di ruangan yang sama denganku mulai mengajakku ngobrol dengan suara yang cukup keras. (Dia mengaku akan pensiun tahun depan, so you can imagine how old she is now. She is absolutely one senior teacher.) Hal ini membuat para peserta ujian merasa ‘diberi kesempatan’ untuk saling mencontek. Langsung kulihat beberapa anak menoleh kesana kemari mencari contekan. Ketika aku akan mengingatkan anak-anak itu, the senior teacher bilang, dengan nada sangat bersahabat, “Ayo cah, ojo rame-rame! Wes bar po? Yen durung bar, yo dilanjutke wae.” Kulihat hal ini tidak membuat anak-anak takut. Tetap dengan berani mereka menoleh kesana kemari.

I learned my lesson very quickly. This senior teacher memang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk saling mencontek.

Hatiku tidak terima. Tapi apa boleh buat? I am just a new kid on the block.

Hari kedua, aku mendapatkan partner, seorang laki-laki, yang nampaknya lebih muda dariku, namun telah memiliki pengalaman untuk menjadi pengawas Ujian Nasional. Dia sempat bercerita kepadaku—dengan berbisik-bisik, berbeda dengan partnerku satu hari sebelumnya—tentang rekan kerjanya yang setahun sebelumnya ‘caught in the act’ (alias ‘ngonangi’ boso Jowone, mboh aku lali Bahasa Indonesiane LOL) sang kepala sekolah membantu siswa-siswinya dengan memberi kunci jawaban soal-soal ujian. Dari orang yang sama pula aku mendengar cara-cara sekolah lain ‘membantu’ para siswanya mengerjakan soal-soal Ujian Nasional.

Dia juga komplain tentang ketumpulan ‘Tim independen’ yang nampak jelas bisa ‘disetir’ oleh Kepala Sekolah. Aku sendiri heran setelah mengetahui bahwa ‘tim independen’ yang dimaksud HANYALAH seorang mahasiswa semester 6, yang tentu sangat bisa ‘disetir’ oleh KepSek. Sebelum berangkat ke lapangan, aku membayangkan ‘tim independen’ pengawas penyelenggaraan Ujian Nasiolan ini terdiri dari beberapa orang, yang berwibawa, sehingga ‘disegani’ atau ‘ditakuti’ oleh pihak sekolah.

Partner di hari kedua ini tidak melulu bercerita, seperti partnerku di hari pertama. Bahkan dia lumayan ‘galak’ dengan terus menerus memperhatikan para peserta ujian, tanpa terserang kantuk sedikit pun. Aku sendiri sempat terkena ngantuk. LOL.

Hari ketiga, sebelum mulai menjaga, kepala sekolah komplain tentang seorang penjaga yang memelototi para peserta ujian, sehingga dia merasa perlu melaporkan sang ‘oknum’ penjaga yang melotot ini kepada atasannya. Kepala sekolah meminta para penjaga agar tidak membuat para peserta nervous sehingga justru tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan maksimal.

Partnerku seorang perempuan yang nampaknya juga baru tahun ini menjadi penjaga ujian. Dia membuatku tidak sempat mengantuk sama sekali, karena she was very talkative. Bisa disimpulkan hari ketiga ini ‘penjagaanku’ sama tidak maksimalnya dengan di hari pertama.

Hari keempat, dari penampilannya aku bisa mengira bahwa she is one senior teacher, only not as old as my partner di hari pertama. Aku suka padanya karena dia anteng, tidak banyak berbicara, tidak nampak mengantuk (aku ngantuk!!! LOL untuk mengantisipasinya, aku duduk di belakang, aku yakin bakal membuat anak-anak tidak berani bergerak karena mengira aku memelototi mereka dari belakang. LOL.) dan terlihat ‘serius’ menjaga anak-anak. Namun tentu saja she was not as bloody strict as my workmates di English course tempatku bekerja. Ada seorang anak yang duduk paling depan, terlihat sangat mencurigakan. Aku juga tahu dia berulang kali menoleh ke seorang temannya, berusaha mencontek. Partnerku ini HANYA menegurnya dengan, “Kamu ga belajar ya tadi malam?”

Kesimpulanku atas penyelenggaraan Ujian Nasional: pemerintah telah gagal membuat agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh Indonesia memiliki mutu yang sama. Tentu banyak sekolah-sekolah lain di penjuru negeri yang melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya dilakukan untuk membantu anak didiknya agar lulus Ujian Nasional.

Kalau gagal, kenapa harus dipaksakan menyelenggarakan Ujian Nasional?
PT56 21.16 050509