Jumat, Juli 10, 2009

Pernikahan Dini



Agar tidak melebar dari tujuan utama penulisan ini, mengingat banyaknya definisi ‘usia dini’ dalam ungkapan ‘pernikahan dini’ maka penulis membatasi definisi ‘pernikahan dini’ sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki.
Lebih lanjut lagi, tulisan ini lebih memfokuskan pada pernikahan dini yang dilakukan oleh seorang perempuan.

Pernikahan dini memang bukanlah sebuah fenomena baru dalam kehidupan, baik di Indonesia, maupun di belahan bumi yang lain. Di zaman dahulu, merupakan sesuatu yang lumrah manakala seorang perempuan menikah di bawah usia 15 tahun. Pro dan kontra tentang pernikahan dini kembali mencuat setelah setahun yang lalu muncul pemberitaan yang kontroversial pernikahan Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Puji yang berusia 43 tahun dan Ulfah Lutfiana yang berusia 12 tahun ketika melangsungkan pernikahan.

Orang yang pro kebanyakan mengacu ke pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah yang konon masih berusia 7 tahun tatkala dipinang oleh Nabi. Mereka mengatakan ‘there is nothing wrong’ untuk hal ini, sambil membeberkan kaidah hukum syara ini dan itu. Selalu dilatarbelakangi oleh agama (Islam). Sedangkan yang kontra memberikan alasan yang lebih kompleks.

Kesehatan

Bagi kebanyakan masyarakat di kultur Indonesia, pernikahan dianggap sebagai suatu ‘tiket’ untuk melakukan hubungan seks. Istilah ‘malam pertama yang ditunggu-tunggu oleh para pengantin baru’ merupakan salah satu ‘bukti’ bahwa pernikahan dianggap sebagai ‘pintu pembuka’ untuk melakukan hubungan seks.

Dalam sebuah talkshow yang bertajuk “pencegahan dan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara”, Dr Nugroho Kampono SpOg dari FKUI mengatakan bahwa hubungan seks yang dilakukan oleh perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun akan beresiko meningkatkan kemungkinan terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Jika leher rahim ini terus menerus terpapar human papiloma virus atau HPV, sel-sel tersebut akan tumbuh menyimpang dan menjadi kanker.

Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.” Kata beliau.

Pernikahan dini memang bukan satu-satunya faktor penyebab kanker leher rahim. Faktor lain misalnya terlalu sering melahirkan, merokok, dan berganti-ganti pasangan seks. Meskipun begitu, hal ini menunjukkan satu hal: sebaiknya pernikahan dini dihindari.
Selain kanker leher rahim, tubuh perempuan remaja juga belum siap untuk mengandung dan kemudian melahirkan. Jika dari seks yang dilakukan sang perempuan hamil, sangat mungkin jika kemudian terjadi kematian terhadap bayi yang dikandung, maupun sang ibu saat melahirkan, yang disebabkan kehamilan di usia muda.

Menstruasi yang selama ini dipandang sebagai penanda kedewasaan secara biologis bagi kaum perempuan dianggap oleh para ahli tidak selayaknya menjadi tolok ukur. Tubuh perempuan tetap mengalami pertumbuhan setelah menstruasi pertama. Organ-organ di dalam tubuh perempuan tetap mengalami perkembangan, sampai usia 20 tahun, seperti yang dikemukakan di atas.

Di masa lalu, saat dunia kedokteran belum maju seperti sekarang, masyarakat belum tahu resiko melakukan hubungan seks di usia remaja. Ditambah lagi belum banyak hiburan yang bisa mudah ditemui, sehingga pernikahan pun dilakukan pada usia yang relatif lebih muda dibandingkan sekarang: seks dipandang sebagai satu-satunya hiburan yang murah meriah.

Psikologis

Permasalahan yang menimpa pasangan yang sudah menikah biasanya jauh lebih kompleks dibandingkan permasalahan yang menimpa pada seseorang yang masing single. Untuk itu dibutuhkan kematangan psikologis yang cukup sebelum menyongsong kehidupan baru. Untuk hidup berdua saja dibutuhkan kematangan psikologis, apalagi jika kemudian hadir anak-anak yang dihasilkan dari seks yang dilakukan.

Keadaan psikis orang tua yang belum matang akan sangat mempengaruhi cara mereka mengasuh anak-anak yang dilahirkan. "Yang namanya mendidik anak itu perlu pendewasaan diri, jadi harus ada kematangan dan pemahaman diri untuk dapat memahami anak. Kalau masih kekanak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena di satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya," kata Rudangta Arianti Sembiring, Psi, staff pengajar di UKSW, seorang psikolog yang sangat concerned di bidang psikologi anak.

Pelanggaran hak anak

UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang disebut anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Orang tua yang menikahkan anak mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun berarti telah melanggar undang undang tersebut. Orang tua seharusnya memberikan perlindungan kepada anak mereka, dan bukannya melakukan hal yang sebaliknya, misal “menjual” sang anak demi menaikkan derajat kehidupan sang orang tua, dengan menikahkannya pada seseorang yang kaya raya (misal kasus Puji – Ulfa).


Tri Lestari Dewi Saraswati, Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak Yogyakarta mengatakan menikahkan seorang anak di bawah usia 18 tahun berarti orang tua telah melanggar lima hak anak. Lima hak tersebut yaitu:

Pertama, hak untuk mendapatkan pendidikan. Banyak kasus menunjukkan setelah menikah, seorang anak berhenti sekolah. Apalagi kultur di Indonesia menunjukkn banyak sekolah menolak anak-anak yang sudah menikah untuk menuntut ilmu di institusi mereka. Zaman sekarang memiliki pendidikan tinggi sangat membantu seseorang untuk mandiri secara finansial. Jika seorang perempuan terpaksa berhenti sekolah karena menikah, hal ini berarti membuat perempuan tersebut bergantung. Jelas akan terlihat ketimpangan antara suami dan istri di kemudian hari.
Pendidikan juga memiliki andil besar untuk membuat seseorang lebih dewasa secara psikologis. Kedewasaan psikologis ini juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh seseorang sebelum memulai kehidupan baru, dan untuk mendidik anak nantinya.

Kedua, hak untuk berpikir dan berekspresi. Seorang anak yang dipaksa untuk menikah di usia dini membuatnya kehilangan hak untuk berpikir dan berekspresi menurut apa yang mereka pikir dan rasakan. Semula mereka harus menuruti apa yang dikehendaki oleh orang tua. Kemudian, jika mereka dinikahkan kepada laki-laki yang jauh lebih tua, mereka harus menuruti apa yang dikatakan oleh suami mereka.

Ketiga, hak untuk menyatakan pendapat dan didengarkan pendapatnya. Hal ini merupakan kelanjutan hak kedua di atas.

Keempat, hak untuk memanfaatkan waktu luang, dan bergaul dengan teman sebaya, bermain, dan berkreasi. Seorang perempuan yang terpaksa menikahi laki-laki yang jauh lebih tua akan langsung ‘terperangkap’ dengan kewajiban-kewajiban sebagai istri, sehingga kehilangan waktu remajanya.

Kelima, hak perlindungan. Dalam hal pernikahan dini, sering orang tua sendiri yang telah menghilangkan hak perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak. Seorang anak sering merasa harus mematuhi apa yang dikatakan oleh orang tuanya, demi untuk mendarmabaktikan diri kepada orang tuanya. Padahal UU nomor 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa mereka yang melakukan pelanggaran perlindungan anak bisa terjerat pidana penjara lima sampai limabelas tahun.

Masa lalu versus masa kini

Banyak pihak mempertanyakan mengapa pernikahan dini harus dipermasalahkan lagi sekarang mengingat masih banyak lapisan masyarakat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan.

Masing-masing zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Jika dulu orang boleh menganggap sesuatu hal yang lumrah jika seorang perempuan menikah di usia di bawah 15 tahun, sekarang kemajuan di bidang kedokteran telah menunjukkan sebaiknya pernikahan dini dihindari demi kemaslahatan bersama.

Jika dulu perempuan tidak perlu memiliki pendidikan tinggi, tuntutan zaman sekarang seorang perempuan pun sebaiknya memiliki pendidikan tinggi. Menggantungkan hidup kepada suami secara finansial—seberapa mapan pun sang suami—bukanlah merupakan sesuatu yang sebaiknya dilakukan pada saat sekarang. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misal sang suami meninggal dan sang perempuan harus berjuang sendiri, maka pendidikan yang diperoleh akan sangat membantu.

Membiarkan seorang perempuan menikmati masa remajanya akan mempengaruhi kematangan psikisnya sehingga dia pun akan tumbuh menjadi pribadi yang matang dan siap menjadi seorang ibu yang akan mengasuh anak-anak dengan sebaik-baiknya.

Pernikahan Puji – Ulfa yang kontroversial menjadi penyulut hebohnya media dan masyarakat umum tentang dampak buruk pernikahan dini karena media sekarang lebih mudah diakses oleh masyarakat, dan Puji dikenal sebagai seseorang yang eksentrik yang menyukai sensasi.

Tulisan ini sengaja tidak mengupas dari segi yang pro pernikahan dini, terutama yang mengacu ke pernikahan Nabi Muhammad dan Aisyah. Untuk mementahkan anggapan (yang sudah meluas selama berabad-abad) bahwa Nabi menikahi Aisyah di usia yang masih sangat dini, kunjungi blog ku di alamat berikut ini:

http://themysteryinlife.blogspot.com/2009/07/berapa-usia-aisyah-ketika-dinikahi-nabi.html

Nana Podungge
PT56 19.44 080709

Referensi:

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/13/16014770/pernikahan.dini.langgar.hak.anak

http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/29/29/158639/ketahui-risiko-pernikahan-dini-yuk

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/13/10014864/bolehkan.pernikahan.dini.uu.perkawinan.perlu.direvisi

http://dinkes-kotasemarang.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=35