Tampilkan postingan dengan label membaca. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label membaca. Tampilkan semua postingan

Selasa, Februari 07, 2012

Perempuan dalam Kultur Patriarki


“Mereka sendiri tidak siap menerima anak-anaknya yang berubah karena pendidikan yang telah mereka pelajari.” ~ “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” oleh Ni Komang Ariani

Kultur patriarki telah bercokol di banyak daerah di belahan bumi ini sejak waktu yang entah. Sebegitu dalam kultur yang mengutamakan kepentingan kaum laki-laki ini dipercayai oleh masyarakat sehingga segala hal yang dianut di dalamnya dipercaya sebagai suatu keniscayaan – taking it as one undeniable truth – dan hal-hal yang tidak mengamininya dianggap sebagai suatu yang di luar ‘kodrat’.  Bahkan oleh kaum perempuan yang ‘seyogyanya’ merasa menjadi korban ketidakadilan ini.

Topik ‘klise’ inilah yang dibidik oleh Ni Komang Ariani dalam cerpennya yang berjudul “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara”, yang kebetulan dibukukan bersama 17 cerpen lain dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2010. Sang tokoh utama – Dinaya – adalah seorang perempuan Bali yang meski berpendidikan tinggi tetap saja menjadi korban dalam kultur patriarki, bahkan sang ‘biyang’ (ibu) adalah salah satu pelaku utama yang menjadikannya sebagai makhluk yang ‘terpenjara’ dalam kungkungan kultur yang mendewakan kaum laki-laki.

Meskipun klise, namun di abad ke 21 ini aku yakin masih banyak perempuan yang menjadi korban; bahkan ketika mereka telah mendapatkan pendidikan formal yang cukup tinggi, jika masyarakat luas masih saja menempatkan perempuan di posisi yang harus memprioritaskan kebutuhan laki-laki – butuh dijadikan panutan dalam keluarga bukan karena apa yang telah dia lakukan untuk keluarga, namun melulu karena dia berjenis kelamin laki-laki; butuh dijadikan satu-satunya yang boleh menentukan apa-apa yang akan dilakukan oleh anggota keluarga, termasuk menuntut sang istri lah yang melakukan segala pekerjaan rumah tangga, dan menjadi pendengar sang suami yang butuh didengarkan karena hanya ketika berada di rumah lah sang suami bisa berkicau sesuka hati.

Yang paling menarik dari cerpen ini bagiku adalah ketika Dinaya memprotes bagaimana orangtuanya tak membolehkannya memiliki cara berpikir yang berbeda padahal cara berpikir ini dia dapatkan dari pendidikan yang telah dia kejar; pendidikan yang dulu dipaksakan oleh orangtuanya. Ternyata setelah dewasa, setelah pendidikan menjadikan Dinaya ‘berkembang’ menjadi sesosok perempuan yang berpikir bebas, di mata orang tuanya, Dinaya tetaplah seperti bocah yang mengenakan seragam sekolah dasarnya, yang sering dimarahi orangtuanya karena belum bisa menulis dan membaca. “Kesarjanaan hanya membuat Dinaya menjadi perempuan yang tinggi hati.” Tulis Ni Komang Ariani.

Protes Dinaya hanya tetap menjelma protes tanpa makna. Keotoriteran kedua orangtuanya telah mengebirinya.

GL7 11.29 060212

Jumat, Januari 30, 2009

Jenggot versus UU APP

Aku baru saja membaca sebuah artikel tulisan Ulil Abshar, yang kudownload dari sebuah website beberapa minggu lalu. Karena kesibukan (NGELES) baru kali ini aku sempat membacanya. Judul artikel Ulil ini merupakan pertanyaan retorika, “Apakah bangsa Arab lebih unggul dibandingkan bangsa-bangsa lain?” Artikel ini ditulis oleh Ulil berdasarkan pemikiran seseorang yang dikenal sebagai Ibn Taymiyah. (You can just do googling using his name and the title of his book “Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim”. Or just search at www.superkoran.info for Ulil’s writing.)
Dalam tulisannya, Ulil menyebutkan salah satu anekdot yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi para Arabian sebagai bukti Arabosentrisme yang kuat yakni pemeliharaan jenggot. Kaum laki-laki Arab memelihara jenggot karena hukumnya wajib, konon diperintahkan oleh Nabi. Selain itu, ternyata jenggot merupakan lambang ‘machoisme’ di Arab sana.
Mengapa tampil macho penting bagi seorang laki-laki?
Tentu karena berupaya untuk menarik kaum perempuan. (Bagi kaum heteroseksual tentunya.) Sesuatu yang bisa dipakai untuk menarik lawan jenis tentu bisa dikategorikan sebagai ‘seksi’. Sesuatu yang seksi tentu akan membangkitkan gairah seksual bagi mereka yang menganggap sesuatu itu seksi.
Nah, di Indonesia, segala sesuatu yang DIANGGAP akan membangkitkan gairah seksual, bisa dikategorikan sebagai porno. Dengan adanya UU APP, tentu hal-hal yang porno begini seharusnya ditutupi.
Seperti kaum perempuan yang harus menutup aurat tubuhnya karena dikhawatirkan akan membangkitkan gairah seksual yang melihatnya (laki-laki, bagi kaum heteroseksual.) UU APP telah menyulap kaum perempuan sebagai makhluk kriminal—jika mengenakan pakaian yang sedikit (apalagi banyak) terbuka, dan kaum laki-laki harus ‘dilindungi’ dari godaan meningkatnya gairah seksual. Itu sebabnya perempuan harus dipenjarakan di balik bajunya. (Lama-lama, bisa jadi seperti negara-negara Arab, dimana kaum perempuan dipenjara di balik tembok-tembok rumahnya, sehingga para perempuan Indonesia tidak berkeliaran di jalanan lagi.) Agar kaum laki-laki ‘selamat’ dari kemungkinan meningkatnya gairah seksual dalam dirinya.
Nah, kalau jenggot milik laki-laki pun bisa memicu gairah seksual kaum perempuan, bukankah seharusnya jenggot pun harus ditutupi? Laki-laki pun seharusnya memakai jilbab yang menutupi jenggotnya. Kalau laki-laki bisa jadi makhluk yang dilindungi (dari tubuh perempuan yang seksi), perempuan seharusnya dilindungi juga kan dari godaan jenggot yang seksi?
Dan kita tahu, gara-gara memelihara jenggot dipercaya sebagai ‘sunnah Nabi’ atau lebih parah lagi, ‘hukumnya wajib’, tidak hanya laki-laki Arab saja yang memelihara jenggot. Banyak laki-laki di Indonesia—juga yang bukan keturunan Arab—memelihara jenggot. Agar membuat pemiliknya nampak macho dan seksi?
Kalau tidak ingin dikatakan bahwa UU APP bersifat bias gender, harusnya kaum perempuan pun dilindungi dari kemungkinan meningkatnya gairah seksualnya dari melihat bagian tubuh laki-laki yang seksi kan?

(I myself never think that beardy men are more macho or sexier than those who don’t have beard.)

PT56 12.12 291208

Ilmiah versus Mistis


 

Bahwa seorang Andrea Hirata adalah seseorang yang menjunjung tinggi sains merupakan sesuatu yang sangat jelas terlihat dalam keempat novelnya yang tergabung dalam tetralogi LASKAR PELANGI. Alasannya tentu sangat jelas: latar belakang pendidikan yang dia terima di Universitas Sorbonne Prancis, dimana dia bergaul dengan para ilmuwan tingkat tinggi dunia. Dalam tulisan ini, aku akan lebih fokus ke MARYAMAH KARPOV, novel keempat, karena buku inilah buku yang terakhir kubaca. (You can conclude that I am just lazy to browse the other three novels to prove my statement, to prepare this post of mine. LOL.)


Seorang anak pantai desa yang terpencil, yang mendapatkan pendidikan master dalam bidang ekonomi di sebuah universitas paling bergengsi di Eropa, bermimpi untuk membuat perahu dengan tangannya sendiri! Mimpi Ikal ini bisa menjadi nyata karena dorongan dan dukungan kuat dari sang super genius, sahabatnya di kala duduk di bangku SD dan SMP. Lintang—sang Isac Newton-nya Ikal—menjadikan impian itu menjadi nyata dengan perhitungan matematika yang njlimet. Ikal—yang mengaku selalu berada di bawah bayang-bayang kegeniusan Lintang di bangku sekolah—menggabungkannya dengan kerja keras yang tanpa ampun, dengan iming-iming akan menemukan BINTANG KEJORA dalam kehidupan cintanya, A LING.


Pertanyaan selanjutnya adalah: cukupkah ilmu membuat kita mampu memahami segala misteri dalam hidup ini?


Jawabannya ada pada mozaik 60 yang berjudul NAI. Mahar—sahabat Ikal yang lain—berada pada kutub yang berseberangan dengan Lintang yang memandang segala hal dari segi ilmiah. Kebalikannya, Mahar mengimani hal-hal mistis yang tidak akan pernah masuk akal para ilmuwan di Universitas bergengsi manapun di dunia ini. Hal-hal mistis yang bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan akan menceburkan seseorang menjadi musyrik, ahli neraka yang berada paling di keraknya. Dalam NAI, Mahar mementalkan keimanan Ikal kepada segala yang berbau ilmiah, sehinga terpaksa mempercayai hal-hal mistis yang tidak masuk akal. Ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dijelaskan hanya dari sisi ilmu. Kebalikannya, ada hal-hal yang dengan mudah terpecahkan jika kita menyandarkan kepercayaan diri kepada ilmu.


Ketika membaca perpaduan dua hal ini—yang ilmiah dan masuk akal, konon ciri khas kehidupan orang-orang modern; berbanding lurus dengan yang mistis, konon ciri khas kehidupan orang-orang zaman dahulu kala—mengingatkanku pada BILANGAN FU, novel ketiga karya Ayu Utami. Ayu Utami menjelaskannya dengan sangat sederhana: POINT OF VIEW, alias cara pandang yang berbeda. Orang-orang modern memandang kemistisan—misal: seseorang bisa memelet orang yang mencuri hatinya hanya dengan menjampi-jampi air ludah yang dikeluarkan oleh orang tersebut; atau bahwa Nyi Roro Kidul tetap hidup dan berkuasa di pantai Selatan dan selalu mempersuami semua raja-raja di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta, ataupun Keraton di Kasunanan Mangkunegaran—dengan keukeuh menggunakan kacamata orang modern yang bersandar pada keilmiahan.


Cara mudahnya bagaimana kita bisa menghasilkan ‘pemandangan’ yang berbeda tatkala kita memandang satu permasalahan yang sama tatkala kita memandang dari sisi yang berbeda: lihatlah Tugumuda—the landmark of Semarang—dari arah Wisma Perdamaian, dan dari lantai atas Lawangsewu. Atau contoh lain: dalam salah satu adegan dalam film DEAD POETS SOCIETY, John Keating, sang guru Bahasa dan Sastra Inggris yang baru, meminta siswanya untuk naik meja dan berdiri di atasnya, memandang suasana kelas dari arah yang berbeda. “You’ll find a very different view, that is very interesting.”


Kalau kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa pentingnya memahami segala sesuatu dari kacamata yang berbeda, untuk menuju kehidupan yang lebih damai di antara kita semua, makhluk penghuni planet Bumi ini. Yang selalu menggunakan kacamata kuda yang bernama “patriarki”, pandanglah—misal, permasalahan poligami—dari kacamata feminis. Contoh lain: para religious snob—from any celestial religion—memandang bahwa Tuhan itu mencintai semua umat-Nya tidak pandang bulu, gunakanlah kacamata para kaum sekuler. Para kaum heteroseksual yang merasa diri ‘normal’, cobalah menggunakan kacamata kaum homoseksual. Dalam hal ini, para religious snob pun bisa mengaplikasikannya, sehingga tidak selalu menyerang kaum homoseksual dari satu kacamata saja, dari satu interpretasi ayat kitab Suci saja.


Jika para pengunjung dan pembaca blogku ‘membalikkannya’ dengan mengatakan, “Na, cobalah kamu pahami kasus poligami bukan dari interpretasi Alquran yang feminis, namun dari interpretasi yang patriarkal...” oh well, aku telah hidup menggunakan kacamata TUNGGAL interpretasi Alquran yang patriarki selama 35 tahun takala aku mendapatkan pencerahan dari ideologi feminisme, so, I do understand it very well.


Kembali ke cara pandang yang ilmiah dan mistis (baik dalam MARYAMAH KARPOV maupun BILANGAN FU), well, hidup ini memang sangatlah kaya dan kompleks. Mari kita menikmatinya dengan cara saling toleran satu sama lain, untuk menciptakan kehidupan yang lebih indah dan damai.


LL Tbl 11.34 100109