Jumat, April 29, 2011

Horror Movies

Watching horror movies is never my cup of tea. My reason is simple: I watch movies to get entertainment and not to get frightened. Besides, my kind of favorite movies is those based on true story; such as Freedom Writers, North Country, Beautiful Mind, Changeling, etc. Well, in fact, not only to get entertainment do I (sometimes) watch movies, but also to learn some historical background of some events (e.g. Iron Jawed Angels), and get some moral values. I believe that there is a mutual relationship between 'life' in movies and 'life' in our real lives.

The first horror movie that I was willing to watch was THE HAUNTING IN CONNECTICUT because my students said that this movie was based on a true story. I watched it together with my students at school since we had topic 'Alive with Horror' in our English class. Well, the movie's plot was quite logical to me: a family moved to a house which was formerly a mortuary. The family soon becomes haunted by violent and traumatic events from supernatural forces occupying the house.
Well, since this was supposedly based on a true story, one can conclude that perhaps this 'event' was transferred into a movie to make people realize that it was always possible to happen where people were haunted by 'spirits' of people who did not die 'properly' or whose bodies did not get proper treatment. The spirits of these people wanted to 'take revenge' to the ones who made their souls 'rejected' to enter 'the sky' (or heaven?).

Emily Jenkins
This morning, in my English class -- with the same topic, 'Alive with Horror', I watched another horror movie: Case 39. The name chosen as the main character who had 'evil character' in her really attracted me: LILITH. It must have been taken from Jewish mythology about the first woman God created after creating Adam. Since Lilith was also created from 'soil' like Adam, she felt equal' to him. She did not easily submit herself to Adam. Even when having sex for the first time, Adam asked Lilith to be under him, she complained.
Getting a 'helpmate' who was rebellious like Lilith, Adam complained to God. God then banished Lilith and created another female creature who was exactly like what Adam wanted: submissive, weak, feminine. There came Eve. On the contrary of Lilith that had demonic and evil character, Eve was angelic.
The story of Case 39 was somewhat a twist. At the beginning, Lilith's parents were narrated to be insane people because they wanted to kill Lilith. Emily Jenkins -- a social worker whose job dealt with 'troubled children' -- saved Lilith from the murder trial done by her parents. Emily even officially asked to have the custody to take care of Lilith because she saw that Lilith felt secure with her.
Some cases of murder that happened next in fact involved Lilith. Lilith that at the beginning seemed so sweet and weak little girl changed to be someone evil when she did not get what she wanted: love from someone she needed.

Lilith
My very own question since the beginning watching this movie was simple: what made the producer make such a demonic character in a little girl? Had there been any real cases of a new born baby having evil spirit in him/her? A baby who then (indirectly) killed other members of the family after growing up? A baby who had the sixth sense -- just like indigo -- but was 'occupied' by evil spirit.
Realizing that Lilith herself had evil spirit in her, Emily visited Lilith's parents in the mental hospital to investigate. Lilith's father suggested Emily to kill Lilith.
Until the end, I didn't get any clue what made Lilith evil. So, honestly, I don't recommend this movie to be watched. .
PT56 23.17 290411

Rabu, April 27, 2011

Dugderan


"Jadilah orang Cina!" adalah judul sebuah cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen PETUALANGAN CELANA DALAM karangan Nugroho Suksmanto. Latar tempatnya ada di Semarang, terutama di daerah Pendrikan dan Magersari, dimana di perbatasan antara kedua daerah inilah sang pengarang lahir.
Cerpen diawali dengan paragraf berikut ini:
"Aku ingat betul pesan bapakku. Kalau ingin jadi pengusaha, aku harus jadi orang "Cina". Maksudnya tidak hanya bergaul dan memahami perilakunya, tetapi juga mendalami budayanya agar bisa sukses seperti mereka."
'warak' icon kota Semarang yang konon mewakili tiga etnis yang paling banyak ditemukan di Semarang, Jawa, Cina, dan Arab

Dalam kisah ini, Nugroho menceritakan pengalaman seorang anak laki-laki berusia awal belasan tahun sebelum bulan Ramadhan datang. Beberapa minggu sebelum Ramadhan, para penghuni Magersari sibuk melakukan berbagai macam kegiatan untuk mengumpulkan dalam rangka merayakan hari Lebaran, Hari Raya terbesar kaum Muslim. Telah menjadi tradisi dalam merayakan Lebaran dengan mengenakan baju baru, pergi keliling kota, makan dan minum sesuka hati. Untuk melakukan ini semua tentu orang butuh uang yang tidak sedikit.

Kegiatan apa sajakah yang dilakukan orang-orang Magersari untuk mengumpulkan uang? Mereka membuat mainan seperti warak ngendog, celengan (tabungan yang terbuat dari tanah liat dalam berbagai bentuk), membuat kue-kue, menjahit pakaian dan kemudian menjualnya pada event DUGDER. Sementara itu, bagi sebagian anak-anak nakal, mereka akan mencoba berjudi, misal main 'dadu kopyok', 'udar-bangkol, 'cap-sa'.
gerabah salah satu mainan 'khas' yang dijual di 'dugderan'

ZAMAN 'MODERN'

Sekarang, meski DUGDERAN masih diselenggarakan oleh pemerintah kota Semarang, 'grengseng'nya tak lagi seheboh seperti yang digambarkan oleh Nugroho Suksmanto dalam cerpennya ini. Orang-orang Semarang tak lagi melakukan hal yang sama dalam mengumpulkan uang untuk merayakan Lebaran -- misal membuat mainan, menerima jahitan pakaian -- mungkin karena sekarang para pegawai telah menerima THR dari tempat kerja mereka masing-masing. Mereka yang memang dalam kehidupan sehari-hari mencari uang dengan membuat mainan, menerima jahitan pakaian atau membuat kue-kue akan meneruskan 'pekerjaan' mereka ini meski tentu menjelang Lebaran omzet mereka akan meningkat pesat. Namun semua ini tak lagi langsung dihubungkan dengan tradisi DUGDERAN.
Anak-anak 'kota' dari kalangan menengah ke atas pun tak lagi tertarik untuk mengunjungi DUGDERAN ini. Konon kebanyakan para penjual yang 'mremo' berjualan berasal dari kota-kota lain di daerah Jawa Tengah. Tahun 2007 lalu terakhir kali aku menyambangi DUGDERAN yang waktu itu diselenggarakan di daerah POLDER Tawang, ada seorang penjual mainan mengaku datang dari Wonogiri. Setiap tahun dia memang khusus datang ke Semarang untuk ikutan mremo dalam tradisi DUGDERAN. Pada kesempatan lain mungkin dia akan berkunjung ke kota lain untuk berjualan mainan yang sama.
Btw, DUGDERAN datangnya masih lama yak?

GL7 14.14 270411
P.S.:
Sebagian merupakan terjemahan dari postinganku di Be a Chinaman!
Untuk mengetahui tentang tradisi 'dugderan' lebih dalam lagi, klik link ini.
Tulisanku tentang Jawa, Cina dan Arab klik link ini.

Minggu, April 24, 2011

Sang Pendobrak dan Sang Penurut



 
SANG PENDOBRAK DAN SANG PENURUT
Apresiasi atas film “?”

Tulisan ini akan berkonsentrasi pada dua tokoh perempuan yang ada dalam film “?” yang disutradarai dan diproduseri oleh Hanung Bramantyo, seorang sutradara film Indonesia yang sering menggunakan topik ‘agama’ dalam membuat film untuk menarik perhatian publik untuk menonton

Paling tidak ada dua jenis perempuan yang ada dalam kehidupan ini: sang pemberani/pendobrak yang kritis dan sang pengikut yang patuh.

RIKA:

Rika dikisahkan murtad dari agamanya – Islam – dikarenakan luka yang sangat mendalam dalam perkawinannya. Surat Annisa ayat 3 yang biasa dijadikan rujukan para pemuja syahwat sebagai ‘lampu hijau’ bagi mereka untuk berpoligami tentulah menjadi salah satu pemicu suami Rika untuk menikah lagi. Tiga syarat utama yang semula dianggap oleh pemerintah Indonesia menjadi ‘peredam’ agar para pemuja syahwat – namun bersembunyi di balik kedok agama – tidak mudah begitu saja berpoligami tidaklah menjadi penghalang. Tiga syarat utama itu yang tertulis dalam surat nikah orang Islam yaitu:
1.    Istri pertama tidak mampu memberikan keturunan
2.    Istri pertama tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri
3.    Istri pertama tidak lagi mampu ‘melayani’ kebutuhan sang suami, entah karena sakit-sakitan atau sudah tua

Dalam kasus Rika yang di satu ‘scene’ ditunjukkan betapa hatinya terluka ketika suaminya meminta ijin Rika untuk menikah lagi, kita bisa menyimpulkan bahwa suaminya tidak berhak berpoligami karena jelas terlihat bahwa Rika telah memberinya keturunan – Rika dikisahkan memiliki seorang anak bernama Abi yang kemudian tinggal bersamanya setelah sang ayah pergi dari rumah; Rika pun tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri, dan masih terlihat segar bugar yang tentu bisa kita simpulkan pula bahwa dia tidak memiliki masalah dalam hal ‘pelayanan’.

Luka hati Rika pada sang suami yang menggunakan kedok agama untuk berdua hati dalam pernikahannya membuat Rika mengambil jalan yang sangat ekstrim: pindah agama ke agama lain yang konon mengharamkan poligami. Kepada Surya – lelaki yang dekat dengannya setelah bercerai dengan suaminya – Rika mengatakan bahwa keputusannya pindah agama bukanlah dia mengkhianati Tuhan. Pernyataan Rika ini berarti bahwa dia sangat percaya dan yakin bahwa hanya ada satu Tuhan di alam semesta ini, untuk semua jenis agama, baik agama Ibrahimi maupun agama-agama jenis lain. Terbukti ketika dia diminta menulis apa yang dia pikirkan tentang Tuhan dalam kelas agama yang dia ambil sebelum dia dibaptis, dia menulis kesembilanpuluh sembilan sifat Tuhan yang termaktub dalam asmaul husna.
Luka hati seorang perempuan akan memberinya kekuatan untuk melakukan sesuatu yang terkadang tak pernah terpikirkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam drama satu babak yang berjudul “Trifles” Susan Glaspell mengisahkan seorang istri yang akhirnya membunuh suaminya setelah hidup dalam pernikahan yang memaksanya hidup menjadi seseorang yang lain. (Check this link out.) Dalam drama “A Doll’s House” besutan Henrik Ibsen, Nora, sang tokoh perempuan, akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan suami dan anak-anaknya dikarenakan kekecewaan yang beruntun hadir dalam hidupnya; suami yang tidak pernah mengapresiasi apa pun yang telah ia lakukan demi keluarga. Nora memutuskan melakukan satu hal yang waktu itu masih sangat tabu dilakukan oleh seorang perempuan.
Dalam kehidupan nyata, Charlotte Perkins Gilman – sang penggubah cerpen “The Yellow Wallpaper” – memutuskan untuk bercerai – pada abad ke 19 tersebut perceraian masih sangatlah dianggap menyalahi kodrat seorang perempuan di Amerika – ketika dia menyadari bahwa hidup dalam pernikahan dengan seorang suami yang tidak mendukungnya melakukan hal-hal yang membuatnya merasa lebih hidup telah membuatnya keluar masuk rumah sakit jiwa. Salah satu hal yang membuatnya merasa lebih hidup ini adalah Charlotte ingin dikenal sebagai dirinya sendiri, Charlotte Perkins, dibandingkan sebagai Mrs. Charles Walter Stetson.
Rika dalam film “?” mewakili para perempuan pemberani yang bersikap kritis.

MENUK

Menuk dikisahkan sebagai seorang istri yang taat dan saliha, tetap setia kepada suami yang menganggur dan tidak mengeluh. Justru dialah yang menghidupi keluarga dengan cara bekerja di sebuah restoran milik seseorang yang beretnis Cina. Meski Menuk berjilbab dia tetap merasa nyaman bekerja di sana karena sang pemilik restoran – Tan Kat Sun – memberinya kebebasan untuk tetap menjalankan perintah agama – dalam hal ini shalat – di lingkungan kerja. Restoran ini pun menyediakan dua jenis makanan – yang halal dan non halal. Tan Kat Sun dengan jeli mengajari para pegawainya untuk juga memisahkan peralatan-peralatan yang dipakai untuk memasak makanan yang halal dan non halal.

Seiring cerita berjalan, penonton akhirnya tahu bahwa ternyata sebelum menikah dengan Soleh, Menuk pernah menjalin kisah asmara dengan Hendra – anak sang pemilik restoran dan pewaris satu-satunya. Jika kemudian Menuk memilih menikahi Soleh dan bukan Hendra lebih disebabkan oleh agama yang sama. Menuk yang wanita saliha memilih menikahi Soleh yang Islam meski dia miskin dan pengangguran.

Pilihan Menuk ini membuat hati luka kedua laki-laki tersebut. Hendra menyesali mengapa hanya karena berbeda agama Menuk meninggalkannya. Di sisi lain, Menuk yang bekerja di restoran Tan Kat Sun pun kadang dicurigai oleh Soleh bahwa Menuk tetap bekerja di situ dikarenakan Hendra. Egonya sebagai laki-laki sering terluka tatkala melihat kenyataan bahwa dia tak mampu memberi nafkah lahir kepada istrinya, sementara di depan matanya dia melihat istrinya bekerja di restoran milik mantan kekasihnya, yang kaya raya.

Keteguhan Menuk untuk bergeming dalam menentukan pilihan ini menunjukkan tipe seorang perempuan yang patuh dan penurut pada ajaran (agama) yang dia terima.

PENDOBRAK versus PENURUT

Every human being is unique. Baik Rika maupun Menuk memiliki alasan-alasan tersendiri mengapa mereka mengambil satu keputusan yang sangat besar dalam hidupnya. No one is better than the other. No one is wrong or guilty. Setiap perempuan adalah perempuan sejati dalam versi masing-masing.

Terlihat dalam film bahwa keduanya kemudian mengambil resiko masing-masing dan bertanggungjawab atas pilihannya. Rika yang menjadi single parent tetap berusaha menjadi seorang ibu yang bertanggungjawab atas Abi anaknya. Abi yang semula khawatir bahwa sang bunda akan berubah setelah pindah agama membuktikan bahwa kasih sayang itu tidak berubah. Menuk yang memilih menikahi Soleh pun bertanggungjawab dengan pilihannya, tetap setia pada Soleh meski Soleh tak memberinya nafkah lahir yang layak. Dia pun tetap keukeuh dengan pendiriannya meski tiap hari dia bertemu dengan mantan kekasihnya di tempat kerja. Bahkan dia pernah meminta pada Hendra untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada kegagalan kisah mereka dengan cara memusuhi Soleh.

Nana Podungge
PT56 20.31 240411

Minggu, April 17, 2011

Mengenakan Jilbab 2

Mengenakan Jilbab*

(*Jilbab => baca busana yang menutup tubuh perempuan termasuk penutup kepala)

Dari postingan tentang hal yang sama di lapak sebelah, aku mendapatkan pertanyaan dari seorang online buddy mengapa akhir-akhir ini semakin banyak perempuan yang mengenakan jilbab. Apakah hal ini karena:

1. Modis? Jadi karena lagi trend ga asik kalau ga pakai jibab
2. Tuntutan (alias hukum agama?)
3. Ingin merubah image? Supaya kalau pakai jilbab terkesan lebih “bersih”?

Dari wawancara dengan orang-orang yang ada di sekitarku (rekan kerja dan rekan-rekannya yang mengenakan jilbab), aku menyimpulkan sbb:

1. Karena tuntutan orang tua – yang bisa dikaitkan dengan alasan nomor dua
2. Karena hukumnya wajib menurut agama
3. Karena ingin mengubah image
4. Karena patah hati
5. Karena merasa nyaman berjilbab

FASHIONABLE

Kebetulan tak satu pun yang menjadi respondenku (baik langsung maupun tak langsung) yang menggunakan alasan ‘trend’ atau agar nampak lebih modis sebagai alasan mengenakan jilbab. 

Jika kita mengingat kembali awal mula munculnya pemakaian jilbab di pertengahan dekade delapan puluhan, orang-orang pada waktu itu belum berpikir untuk menciptakan busana yang modis sehingga sangat lumrah jika busana ‘Muslim’ ini belum begitu menarik dipandang mata. Namun dengan semakin banyaknya perempuan yang mengenakan jilbab, berlomba-lombalah para disainer menciptakan busana yang trendy dan modis. Mereka menggunakan motto: “kata siapa berbusana Muslim tidak bisa trendy dan modis?” 

Bisa dilihat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kreatifitas para disainer dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan yang berjilbab. Jika dulu mungkin mereka yang ingin mengenakan jilbab namun termasuk tipe pemakai busana yang selalu ‘bergaya’ dan ‘trendy’ plus ‘fashionable’ (tidak hanya melulu rok panjang dan kerudung lebar tanpa model) harus pikir-pikir dulu jika ingin beralih ke jilbab karena harus meninggalkan ‘cita rasa’ mereka dalam hal busana; dengan ‘bantuan’ para disainer yang kreatif menciptakan busana-busana Muslim yang trendy maka tak lagi ada alasan mengapa tidak berjilbab.

Bagaimana dengan mereka yang berjilbab namun masih terkesan setengah-setengah? Maksudku mengenakan kerudung namun masih terlihat mengenakan pakaian yang tetap menonjolkan lekak-lekuk tubuh? Kebetulan tak satu pun respondenku yang termasuk tipe ini. :-p Seperti yang kutulis di lapak sebelah, yang salah ada pada mata laki-laki yang tak mampu menahan tatapan matanya. Bukankah ada hadits yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjaga pandangannya? :-p Jika mereka tak mampu menahan nafsu maka sebaiknya mereka berpuasa. :-D

MENGUBAH IMAGE

Tidak banyak jumlah respondenku yang memilih alasan ini untuk berjilbab dan karena keterbatasan media yang kugunakan tatkala melakukan wawancara, aku tidak bisa menggali lebih dalam lagi alasan di balik mengapa seseorang harus mengubah image mereka. Mungkin mereka merasa terkesan terlalu ‘liar’ di masa lalu dan ingin mengubur dalam-dalam masa lalunya dan berpikir bahwa dengan mengenakan jilbab mereka akan lebih terkesan berubah menjadi perempuan baik-baik.

Yang jauh lebih ekstrim, kita bisa mengacu ke tulisan Ayu Arman di SINI. Para pekerja seks komersial di beberapa wilayah Indonesia yang menerapkan syariah Islam mengenakan jilbab untuk mengaburkan pandangan masyarakat akan ‘profesi’ mereka (jika ‘PSK’ bisa dikategorikan sebagai profesi). Selain itu, untuk urusan komersial, para selebritis pun ramai-ramai mengenakan jilbab di bulan Ramadhan, dan melepasnya seusai Ramadhan.

Aku ingat ada seorang selebriti terkenal tahun tujuhpuluhan dan awal lapanpuluhan yang mengenakan jilbab dan kemudian beralih profesi menjadi businesswoman dan disainer jilbab di akhir lapanpuluhan. Mereka yang tidak mengenal selebriti satu ini beberapa dekade sebelumnya, tentu sangat kaget tatkala menonton film-film yang dia bintangi pada saat dia sedang naik daun karena dia sering mengenakan baju terbuka.

Tatkala menimba ilmu di American Studies UGM Jogja beberapa tahun silam, aku pun menemukan fenomena mahasiswi yang ‘berprofesi’ sebagai ‘ayam kampus’ (holy shit, I myself hate using this term, but istilah apa ya yang bisa kupakai agar lebih bebas dari ‘bias’?) namun dalam kehidupan sehari-hari mereka mengenakan jilbab.

NYAMAN

Ada beberapa responden yang menyebut ini sebagai alasan berjilbab. Sayangnya mereka tidak bersedia – atau tidak bisa – menjelaskan lebih gamblang mengapa mereka merasa nyaman tatkala berjilbab. “Nyaman sajalah mbak ...” kata salah satu dari mereka. 

PATAH HATI

Untuk alasan yang satu ini, sangat erat hubungannya dengan alasan yang akan kuuraikan di bawah ini, yakni ‘perintah agama’. Tatkala salah satu respondenku mengatakan ‘patah hati’ sebagai alasan, dia lebih lanjut menjelaskan gara-gara patah hati ditinggal menikah sang kekasih, dia mendalami ilmu agama. Ternyata dengan melakukan hal ini, dia menemukan ketenangan. Konsekuensi mendalami ilmu agama ini (bagi perempuan satu ini, tapi bisa jadi juga dialami oleh banyak perempuan lain) adalah mengenakan jilbab sebagai perintah agama kepada perempuan untuk menutupi aurat.

HUKUM AGAMA

Q.S. An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 biasanya menjadi rujukan bagi mereka yang percaya bahwa jilbab hukumnya wajib bagi kaum perempuan. 

Q.S. An Nur ayat 31: “Katakanlah kepada perempuan yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka ...”

Q.S. Al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak terganggu. ...”

Meskipun begitu, tidak banyak mufasir yang menyertakan mengapa ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad. Beberapa mufasir mengatakan bahwa surat An-Nur ayat 31 turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan ini akhirnya berakhir setelah ayat ini turun untuk membersihkan nama Aisyah. Sedangkan surat Al-Ahzab ayat 59 turun untuk membatasi ruang gerak keluarga Nabi. (Check HERE)

Mufasir lain lagi menitikberatkan pada frasa “illa ma dhahara minha” (kecuali apa-apa yang biasa nampak dari padanya). Dalam bukunya yang berjudul “The Quran, Women and Modern Society”, (diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul “Matinya Perempuan; Transformasi Alquran, Perempuan dan Masyarakat Modern), Asghar Ali Engineer mengutip Muhammad Asad sebagai berikut:

“ Interpretasi saya mengenai kata ‘secara pantas’ merefleksikan interpretasi frase illa ma dhahara minha oleh beberapa sarjana Islam awal, dan khususnya oleh Al-Qiffal (dikutip oleh Razi), sebagai ‘yang seorang manusia bisa secara terbuka pertunjukkan sesuai dengan tradisi yang berlaku. Walaupun contoh tradisional hukum Islam selama beberapa abad cenderung membatasi definisi “apa yang biasa nampak dari padanya” terhadap muka, tangan dan kaki perempuan, kita dengan aman bisa mengasumsikan bahwa makna illa madhahara minha lebih luas, dan bahwa ketidakjelasan yang disengaja dari frase ini dimaksudkan untuk membiarkan selama waktu mengikat perubahan-perubahan yang diperlukan untuk perkembangan moral dan sosial laki-laki. Klausul penting dalam perintah di atas merupakan tuntutan, ditujukan dalam pengertian-pengertian yang identik bagi laki-laki dan juga perempuan, untuk menundukkan pandangannya dan sadar akan kesuciannya.” (2003:111)

Engineer juga mengutip pendapat Maulana Muhammad Ali yang menginterpretasikan ‘illa ma dhahara minha’ sebagai perhiasan yang melekat pada tubuh perempuan (atau bisa jadi mengacu ke keindahan tubuh) yang harus ditutupi.  Lebih lanjut Engineer mengatakan bahwa Alquran sengaja menggunakan ketidakjelasan dengan menggunakan frase ‘illa ma dhahara minha’ (apa yang (biasa) nampak dari padanya). Pemahaman frase ini akan selalu bersifat budaya tertentu di tempat tertentu dan zaman tertentu pula. 

Mengenai perintah menutupi dada dan kepala, Muhamad Asad menjelaskan:
“Kata benda khimar (jamaknya khumur) menunjukkan tutup kepala yang berdasarkan kebiasaan dipakai perempuan Arab sebelum dan sesudah datangnya Islam. Menurut penafsir yang paling klasik, pakaian seperti ini dipakai pada masa pra-Islam kurang lebihnya sebagai hiasan dan dibiarkan tergerai secara longgar ke punggung pemakainya; dan sejak saat itu sesuai dengan model yang berlaku pada saat itu, bagian atas jubah perempuan mempnyai lubang terbuka di bagian depan, dadanya dibiarkan tidak tertutup. Oleh karena itu, perintah untuk menutupi dada dengan khimar (satu istilah yang biasa dipakai semasa hidup Nabi) tidak perlu dikaitkan dengan penggunaan khimar seperti itu, tapiagar dada perempuan tidak tercakup dalam konsep “apa yang (biasa) nampak dari padanya” dari tubuhnya dan dengan demikian tidak boleh dipertontonkan.” (2003: 111-112)

Dari kedua ayat di atas, Engineer menyimpulkan bahwa teks kitab suci seyogyanya dibaca dalam konteks sosio-kultural seseorang. Membiarkan rambut tergerai mungkin diangga[ menarik perhatian seksual namun Alquran tidak dengan tegas menyatakan ini. Masalah ini sengaja tidak dijelaskan. Meskipun begitu, jika seseorang meminta pendapat masyarakat yang dinamis dan berkembang dan juga mencoba meletakkan suatu signifikasi dan makna teks kitab suci dalam spesifikasi sosio-kultural maka mempertontonkan rambut mungkin tidak dianggap menarik perhatian seksua di sebagian konteks sosio-kultural. Namun masalah penutup dada, paling tidak di hampir seluruh masyarakat di seluruh dunia, secara universal dianggap menarik perhatian seksual oleh karena itu Alquran secara khusus meminta perempuan untuk menutup dada dengan yang disebut ‘khimar’, kain yang umumnya digunakan oleh perempuan dan disampirkan di bahunya. 

Asbabun Nuzul

Kembali ke asbabun nuzul bahwa kedua ayat tersebut di atas diturunkan untuk menjaga nama baik Aisyah dan kemudian perempuan-perempuan yang ada dalam keluarga Nabi. 
Pada waktu itu satu hal yang sangat lazim jika dalam peperangan, pihak yang kalah dijadikan budak. Para budak perempuan bahkan sangat diperbolehkan untuk ditiduri oleh tuannya. Akibatnya para perempuan budak ini terkadang memperturutkan kata hati untuk bergelimang dalam prostitusi. Sehingga tidak heran jika mereka kemudian mendapatkan pelecehan seksual dari kaum laki-laki. 

Dan karena perintah untuk menutupi tubuh hanya berlaku pada perempuan-perempuan kalangan atas (baca perempuan ‘merdeka’) banyak perempuan kalangan menengah ke bawah yang tidak mengenakan jilbab. Konon, setelah kekalahan kaum Muslim dalam perang Uhud, banyak janda dan anak yatim perempuan sering kali menjadi objek pelecehan seksual. Untuk melindungi diri mereka sendiri kemudian mereka meniru yang dilakukan perempuan-perempuan keluarga Nabi, yakni mengenakan jilbab agar mereka dikenali sebagai perempuan ‘yang tidak memperturutkan kata hati dalam prostitusi’.

KESIMPULAN

Bahwa agama Islam diturunkan di bumi Arab dan kitab sucinya menggunakan Bahasa Arab – yang sangat multi-interpretable menurut para mufassir – sangat menuntut para pengikutnya untuk dengan cerdas membaca dan memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Alquran. Untuk mengurangi interpretasi yang bias jender, Zuhairi Misrawi dkk dalam buku yang berjudul “Dari Syariat Menuju Naqasid Syariat; Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi” menawarkan penafsiran yang bersifat humanis ketimbang penafsiran normatif. 
Bagi mereka yang percaya bahwa ayat-ayat Alquran akan terjaga keasliannya oleh Tuhan sampai hari kiamat, hendaknya paham bahwa apa yang biasa orang pelajari dalam Alquran adalah interpretasi para mufassir yang sangat amat mungkin bias, baik bias jender, bias sosio-kultural, bias kelas sosial, bias ‘masa’ atau mungkin bias-bias yang lain. Hal ini tentu termasuk ayat Alquran yang sering ditafsirkan sebagai ‘perintah’ agama untuk mengenakan jilbab.

REFERENSI

Ayu Arman, Jilbab: antara Kesucian dan Resistensi di sini
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan; Transformasi Alquran, Perempuan, dan Masyarakat Modern, IRCISoD, 2003
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Pustaka Pelajar, 2000
Jurnal Perempuan no 31, Menimbang Poligami, Yayasan Jurnal Perempuan 2003
Jurnal Perempuan no 32, Perempuan dan Fundamentalisme, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003
Zuhairi Misrawi dkk, Dari Syariat Menuju Naqasid Syariat; Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi, KKIJ, 2003

Nana Podungge
PT56 23.23 170411

Househusband

Dikarenakan postinganku tentang 'househusband' di sini aku memiliki beberapa penggemar yang memang praktisi househusband. :) Semenjak postingan di bulan April 2007 itu, paling tidak ada 3 orang yang menyapaku di YM. Dan dri tiga orang itu, ada satu orang yang terdaftar di contact list di YM-ku. Itu sebab dia rajin menyapa jika dia melihat aku online. Jika aku tidak (kelihatan) online berbulan-bulan, dia akan meninggalkan offline messages; he is indeed very friendly and nice, aku aja yang cuek melulu.

Barusan semalam aku dengan baik hati membalas sapaannya di YM. Seperti biasa kalau sedang chat, dia akan curhat tentang perlakuan orang-orang sekitar yang nampak tidak bisa menerima (atau kalau menggunakan istilah yang lebih sadis: 'melecehkan') pilihannya sebagai househusband. Betapa dia ingin lebih banyak orang yang berpikiran feminis sepertiku, sehingga dia tidak perlu selalu merasa tidak dihargai oleh masyarakat sekitar.

Dia pun berkisah tentang bagaimana ibunya membesarkan anak-anaknya tanpa membedakan jenis kelamin. She was a single parent. That online buddy of mine was the youngest, sedangkan kakak-kakaknya (dua orang) semua perempuan. Dia lebih sering diberi tugas 'rumah tangga' sebangsa masak dan bersih-bersih rumah sedangkan kakak-kakaknya melakukan pekerjaan yang lebih 'maskulin' misal membetulkan mobil yang rusak, listrik yang begini, bla bla bla yang begitu. Walhasil, hingga dewasa dia lebih suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya memerlukan sentuhan feminin dibandingkan maskulin.

Pertama kali dia bertemu dengan istrinya, sang istri telah memiliki kedudukan yang mapan dalam karirnya, dan memutuskan untuk menikahi seorang laki-laki yang tidak keberatan menjadi househusband. Pucuk dicinta ulam tiba. Mereka pun menikah setelah penjajakan selama satu tahun.

Kadang kalau aku sedang chat dengannya, dia minta ijin offline sejenak karena harus menyiapkan sarapan, atau sekedar kopi ataupun kudapan di sore/malam hari untuk istrinya. Kalau (disana) siang hari, dia lebih leluasa untuk online, sambil bersih-bersih rumah dan masak. Btw, dia tinggal di Canada.

Baru semalam aku sempat bertanya tentang apakah dua kakak perempuannya menikah. Dia jawab, iya. Dan salah satunya memiliki suami yang memutuskan menjadi househusband juga.

Kemudian dia pun bertanya apakah aku akhir-akhir ini memiliki lebih banyak kenalan yang seorang househusband. Sayangnya engga. Di Indonesia kebanyakan pasangan suami istri yang suaminya househusband terjadi bukan karena pilihan namun karena accident
  • karena PHK (yang banyak terjadi setelah krisis moneter tahun 1997)
  • karena istri menjadi TKW
Setelah 'terpaksa' menjadi househusband, belum tentu juga mau mengerjakan segala household chores karena masih berpikir bahwa pekerjaan rumah tangga itu identik dengan pekerjaan perempuan. Kalau begini berarti namanya bukan househusband yak, tapi being between jobs alias pengangguran.

I am a single parent now. Meski aku mendukung adanya househusband sebagai satu pilihan untuk lebih memperhatikan tumbuhkembangnya anak-anak (ini alasan utama seorang rekan kuliah dulu ketika sang suami memutuskan untuk 'resigned' dari tempat kerjanya,) kalau sampai menikah lagi, aku tidak menginginkan seorang laki-laki yang memilih menjadi househusband. Secara my pay is only enough to make ends meet.

PT56 12.03 170411

P.S. Check this out too

Minggu, April 03, 2011

Mengenakan Jilbab ...

Di pertengahan dekade lapanpuluhan, mengenakan jilbab bukanlah satu hal yang ngetren. Para pemakainya masih dianggap aneh. Satu kasus yang terjadi pada kakak kelasku waktu aku masih duduk di bangku SMA, tatkala pertama kali dia mengenakan jilbab ke sekolah, dia dipanggil oleh kepala sekolah dan 'diinterogasi'. Dia diberi ultimatum, "Kalau ingin mengenakan jilbab, kamu harus pindah ke sekolah lain. Jika masih ingin tetap bersekolah di sini, lepas jilbabmu!"

Entah dengan alasan apa, akhirnya dia memilih option kedua. Sekolah 'cukup memberinya kelonggaran' dengan memperbolehkannya mengenakan atasan berlengan panjang. Untuk bawahan, dia mengenakan rok sepanjang betis. Untuk sebagian kaki yang masih kelihatan, dia menutupinya dengan mengenakan kaos kaki panjang. Untuk kepala, tentu saja dia tidak diperkenankan mengenakan tutup kepala, maka dia dengan sangat terpaksa harus merelakan kepalanya terlihat telanjang.

Jangan berharap bahwa pada tahun-tahun itu akan menemukan guru-guru sekolah negeri mengenakan jilbab, karena pegawai negeri hukumnya masih 'haram' berjilbab.

Setelah aku lulus SMA tahun 1986, beberapa tahun kemudian, ternyata mengenakan jilbab tiba-tiba menjadi trend baru di dunia fashion. Berbondong-bondong perempuan mengenakan jilbab. Bagi para pemula, mereka akan dielu-elukan oleh orang-orang sekitar, sebagai seseorang yang telah 'tercerahkan'. Jogja, yang mendapatkan label 'kota pelajar', sehingga banyak dikunjungi orang-orang dari seluruh penjuru negeri, tiba-tiba pun memiliki pemandangan yang seragam, dimana-mana kita akan mudah mendapati perempuan berjilbab.

Seorang sobat waktu duduk di SMA pun berjilbab. Namun orang tuanya sempat khawatir jika kemudian hal itu akan membuatnya membatasi pergaulannya hanya dengan mereka yang berjilbab. Memang, pada waktu itu, meski mengenakan jilbab merupakan trend baru, namun keberadaannya belum benar-benar diterima masyarakat, para jilbabers pun terkesan eksklusif. Honestly speaking, aku belum pernah melakukan riset mengapa eksklusifisme ini terjadi, maka aku tidak tahu apakah para jilbabers mengekslusifkan diri karena merasa tidak nyaman berada di lingkungan mereka yang tidak berjilbab, atau apakah mereka yang non jilbab memperlakukan mereka dengan tidak bersahabat? Yang paling parah adalah jika ternyata para jilbabers ini merasa lebih baik dari yang lain karena merasa 'telah dicerahkan', ahlul jannah. :-D dan para non jilbabers adalah mereka yang masih hidup pada zaman kegelapan, ahlun naar. :-P sehingga para jilbabers ini merasa tidak selayaknya bergaul dengan para ahlun naar. LOL.

Memasuki milennium baru, jilbab ternyata mendapatkan tempat yang lebih luas. (Trust me! Agama juga merupakan aset bisnis yang sangat amat menjanjikan bagi para pelaku bisnis.) Pegawai negeri sudah boleh mengenakan jilbab, sehingga berbondong-bondonglah mereka berjilbab, dengan alasan yang hanya masing-masing orang yang tahu. Ketika Angie masuk SMA 3 tahun 2006, guru-guru yang dulu tidak mengenakan jilbab (waktu aku masih duduk di bangku SMA) pun telah banyak yang berjilbab.

Kehebohan UU Pornografi pun berdampak pada seragam yang dikenakan oleh anak-anak sekolah. (NOTE: Perempuan memang tidak akan pernah memiliki tubuhnya sendiri? Dengan memilih jenis pakaian apa yang ingin dia kenakan!) Anak-anak perempuan harus mengenakan rok sepanjang mata kaki dengan alasan agar lebih tertutup sehingga tidak akan membangkitkan hal-hal yang akan bisa bangkit (pada diri laki-laki yang 'straight' tentu saja) jika mereka melihat kaki perempuan yang 'telanjang'. Dan laki-laki pun direndahkan karena dengan ini mereka dianggap hanya melulu berpikir tentang seks tatkala memandang perempuan. Perempuan pun tentu saja juga direndahkan sebagai makhluk yang hanya akan membangkitkan syahwat laki-laki saja.

Ekslusifisme?

Akankah mengenakan jilbab membuat seseorang akhirnya membatasi diri dalam lingkup pergaulan? Para jilbabers seyogyanya bisa menjawab pertanyaan ini sendiri-sendiri; dan tidak selalu harus memiliki jawaban yang seragam. (Bukankah keseragaman itu membosankan? Dan pluralisme merupakan satu keniscayaan?) No matter what, di Indonesia, mengenakan jilbab bukan merupakan satu halangan dalam kehidupan bermasyarakat.

Bagi mereka yang tertarik dengan topik jilbab, tentu akan mendapati link ini sangat menarik untuk disimak dan dijadikan bahan renungan. Penulisnya bisa dihubungi di Facebook di sini

Women ... choose anything you want to do because your heart says that ... not because of society, not because of culture, and not because of your very own parents.

PT56 21.26 030411

Sabtu, April 02, 2011

TRADE


TRADE, film yang disutradai oleh Marco Kreuzpaintner, dirilis pada tahun 2007, meski masuk ke Indonesia -- lebih tepatnya di VCD rental tempat aku berlangganan -- baru beberapa minggu yang lalu. Secara sekilas film ini mengisahkan tentang human trafficking yang terjadi di Mexico City, kemudian para korbannya dijual di Amerika.

SINOPSIS:

Adriana -- adalah seorang gadis remaja berusia 13 tahun. Dia diculik oleh geng penculik,  yang spesialisasinya adalah untuk 'sex trafficking', tatkala dia sedang mengendarai sepeda barunya, hadiah ulang tahun sang kakak, Jorge -- dimainkan oleh Adriana -- dimainkan oleh Cesar Ramos Ceballos, meski sang ibu telah melarangnya mengendarai sepeda itu karena sang ibu curiga bahwa Jorge mendapatkan uang dari cara yang tidak halal. Kebetulan Jorge melihat seorang anak laki-laki yang tidak dia kenal mengendarai sepeda yang dia hadiahkan pada Adriana, sehingga akhirnya dia mengetahui bahwa adiknya itu telah diculik.

-- yang sedang dalam petualangan mencari anaknya yang tak pernah dia ketahui sejarahnya sebelum itu. Meski di awal, mereka sempat bertengkar -- Ray akan melaporkan Jorge ke polisi -- akhirnya mereka berdua justru 'bersahabat': kemiripan kisah yang menyebabkannya. Jorge mengaku bahwa dalam usahanya menyelamatkan sang adik dari para penculik yang akan membuat Adriana menjadi sex slave, tanpa dia sadari dia telah melewati perbatasan Mexico - Amerika Serikat. Ray sendiri sedang dalam usahanya menemukan anak yang dia dapatkan dari pacar gelapnya di masa silam; anak yang sepuluh tahun lalu dijual oleh ibunya -- yang nota bene pacar gelap Ray -- karena kesulitan keuangan, membawanya ke Juarez, kota perbatasan antara dua negara. Dalam usahanya membebaskan adiknya dari penculikan itu, Jorge secara tidak sengaja bertemu dengan Ray Sheridan -- diperankan oleh

Adriana dan Veronica

Sementara itu, dalam perjalanannya, Adriana bertemu dengan beberapa korban penculikan lain; salah satunya adalah Veronica -- diperankan oleh Alicja Bachleda, seorang perempuan Polandia yang terjebak dalam geng penculik yang sama dengan Adriana. Jika Adriana masih sangat belia --- dia akan dimangsakan kepada para pedophilia -- Veronica berusia duapuluh tahunan, memiliki seorang anak yang masih balita, yang justru anak balitanya ini menjadi ancaman agar Veronica mematuhi semua perintah si penculik; padahal anak balitanya dia tinggal di Polandia. Hal ini menunjukkan bahwa geng penculik ini memiliki jaringan internasional yang rapi.

REVIEW:

Seperti yang terlihat dalam banyak scenes dalam film ini, Mexico merupakan negara dimana banyak penduduknya hidup dalam kemiskinan. Jorge dan Adriana hidup dalam kemiskinan; yang menculik Adriana pun taraf hidupnya miskin. Kemiskinan telah membuat orang menjadi kriminal. Jorge 'bekerja' di sebuah agen pariwisata yang 'menjual' gadis-gadis untuk kepuasan para turis. Sedangkan Veronica -- yang juga hidup dalam ketidakkecukupan -- bermimpi untuk bisa hijrah ke Amerika sebagai imigran gelap, mendapatkan pekerjaan disana, demi kehidupan yang lebih baik untuk dia sendiri dan juga anaknya.

Sementara itu, meski Amerika mengklaim diri telah menghentikan praktik perbudakan pada tahun 1863, dalam film ini terlihat bahwa praktik perbudakan 'lain' tumbuh subur di sana, sex slave. Ada sekitar 10000 orang diselundupkan masuk ke Amerika yang kemudian dimasukkan dalam bisnis eksploitasi seks. Mexico yang terletak sangat dekat dengan Amerika menjadi salah satu 'pintu masuk' ke Amerika secara ilegal.

Salah satu scene dalam film, yang menunjukkan para penyelundup masuk ke Amerika

Berhasilkah Jorge membebaskan Adriana sang adik? Bagaimana Veronica menyelamatkan diri? Bagaimana dengan nasib anaknya? Apakah Ray berhasil menemukan anaknya? WATCH THIS MOVIE.

PT56 21.45 020411