Senin, Maret 23, 2009

Househusband

Di Indonesia, atau mungkin juga di banyak negara di belahan dunia lain, istilah ‘bapak rumah tangga’ bisa jadi membuat orang banyak mengerutkan dahi, karena merupakan sesuatu yang belum lazim. Dalam surat kawin yang dikeluarkan oleh KUA—bagi orang Islam—tertulis peran-peran yang mendadak sontak menjadi milik sepasang lelaki yang menikah. Yang laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Yang perempuan menjadi ibu rumah tangga dan pengasuh anak. “Didikan” Orde Baru selama tiga puluh dua tahun ini bisa jadi menyebarkan kekerasan di seluruh lapisan masyarakat, di desa maupun di kota.

Bagi laki-laki, mereka dipaksa untuk menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah, jika ingin dianggap sebagai laki-laki yang bertanggungjawab. Laki-laki yang kebetulan memilih untuk tinggal di rumah—mungkin karena karier istrinya jauh lebih melesat dibandingkan dirinya, sehingga atas kesepakatan bersama sang istri memilih untuk meninggalkan pekerjaan kantorannya, misalnya untuk mengawasi perkembangan anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga—akan dengan serta merta dituduh sebagai lelaki yang mau enak sendiri, tidak bertanggungjawab. Dalam masyarakat bisa jadi mereka pun akan dilabeli sebagai lelaki pemalas.

Bagi laki-laki yang ‘terpaksa’ meninggalkan pekerjaannya—mungkin karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut, seperti banyak terjadi pada saat krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1997-1998—banyak dari mereka tidak siap mental untuk tinggal di rumah, dan menjadi ‘bapak rumah tangga’, mereka akan memiliki beban psikologis yang tinggi dalam menghadapi masyarakat yang ‘judgmental’. Pada tingkat tertentu yang tidak tertahankan, mereka justru bisa menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, untuk melampiaskan beban mental ini, misalnya menjadi laki-laki yang ringan tangan, baik kepada istri maupun kepada anak-anak.

Bagi perempuan, mereka pun dipaksa menjadi makhluk domestik. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu mereka hanya menjadi ‘breeder’ atau mesin penghasil anak, kemudian mengasuhnya. Setelah gerakan feminisme meluas dan membawa perubahan di sana sini, banyak perempuan mulai ingin melepaskan status kedomestikannya—bekerja di luar rumah. Namun, apa yang ditulis dalam surat kawin—bahwa perempuan memiliki peran sebagai ibu rumah tangga—perempuan pun dipaksa untuk memiliki peran ganda: bekerja di luar rumah dan melakukan segala pekerjaan rumah tangga, mulai dari mengasuh anak, memasak, mencuci dan menyeterika pakaian, sampai bersih-bersih rumah. Jika seorang perempuan memiliki suami yang ‘taat’ pada apa yang ditulis dalam surat kawin ini—dan menganggapnya sebagai kodrat yang dibawa seorang perempuan begitu dia lahir di dunia ini—maka sang suami pun akan membebaninya dengan segala pekerjaan rumah tangga itu, tanpa membantu melakukan apa pun, karena yakin bahwa laki-laki diciptakan untuk menjadi ‘raja’ yang harus selalu dilayani oleh sang istri, tak peduli apakah sang istri ‘hanya’ menjadi ibu rumah tangga, ataukah juga berkarier di luar rumah.

Di masa seperti sekarang dimana harga barang-barang begitu mahal, banyak keluarga pun memutuskan bahwa sang suami dan istri akan sama-sama menjadi pencari nafkah. Namun beban untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga tetap dibebankan kepada perempuan.

Sudah tiba saatnya untuk melakukan koreksi peran-peran laki-laki dan perempuan yang ditulis dalam surat kawin. Selain tentu saja untuk menghilangkan ‘privilege’ bagi kaum laki-laki untuk beristri lebih dari satu.

Nana Podungge

PT56 17.17 210309

NOTE:

Untuk tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan topik ini, klik aja

http://afeministblog.blogspot.com/search/label/househusband


Tidak ada komentar:

Posting Komentar