Artikel ini ditulis terutama untuk ‘menjelaskan’ apa yang kutulis dalam postingan yang berjudul ‘LOOK WHO’S TALKING’, terutama yang berhubungan dengan poligami. Poligami seringkali dijadikan ‘kambing hitam’ orang-orang yang beragama non Islam untuk ‘menyerang’ agama Islam sebagai agama yang tidak friendly terhadap perempuan. Tentu ini dikarenakan tafsir surat An-Nisa ayat 3 yang lebih ‘terkenal’ adalah kaum laki-laki Muslim diperbolehkan berpoligami. Bahkan surat kawin yang diterbitkan oleh KUA untuk kaum Muslim pun berisi ‘syarat-syarat’ poligami yang harus dipenuhi oleh laki-laki Muslim. ‘Syarat-syarat’ ini bermakna bahwa negara memperbolehkan praktik poligami. Ini berarti, negara pun ikut campur dalam kehidupan pribadi warga negaranya dan ikut serta mendiskriminasi kaum perempuan Muslim. Bahkan bagi orang-orang Muslim yang sok merasa ilmunya sudah tinggi menutup matanya pada ‘syarat-syarat’ yang dikeluarkan oleh negara karena mereka berpikir bahwa tafsir surat An-Nisa ayat 3 itu sudah cukup kuat memperbolehkan kaum laki-laki berpoligami, tanpa perlu ada ‘harus begini harus begitu’.
Di blog Nana Podungge's simple thought aku telah menulis beberapa artikel tentang poligami, yang semuanya ANTI POLIGAMI. Di artikel ini, aku hanya akan menerjemahkan salah satu postinganku. Mengingat latar belakang studiku adalah Sastra, maka aku pun akan memberikan tafsir Surat An-Nisa yang berhubungan dengan poligami dari teori Sastra.
(CATATAN: orang-orang Muslim percaya bahwa Alquran tidak akan pernah mengalami perubahan dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai hari kiamat nanti, berdasarkan janji Allah. Akan tetapi tafsir Alquran tidak akan berhenti pada satu tafsir saja. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, meningkatnya akal manusia, tafsir-tafsir baru akan muncul. Perubahan adalah satu hukum alam yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan. Di zaman Nabi, orang-orang pergi berhaji naik onta, hal ini tentu tidak lantas orang-orang zaman sekarang harus pergi berhaji naik onta, bukan?)
Teori Strukturalisme. Teori ini berfokus kepada apa yang tertulis dalam suatu karya/tulisan, tanpa melibatkan aspek-aspek lain, misal latar belakang sang penulis (teori ekspresif), latar belakang masyarakat tatkala suatu karya ditulis (teori sosiohistoris), dan para pembaca karya tersebut (teori respons pembaca). Khusus untuk pendekatan ekspresif, hal ini sangat tidak dianjurkan dipakai untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran mengingat orang-orang Muslim percaya Alquran ditulis oleh Allah.
Ayat yang menjadi rujukan untuk membolehkan praktik poligami adalah Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya:
“Jika kamu takut bahwa kamu tidak berlaku adil terhadap anak yatim perempuan, maka kamu boleh menikahi dua, tiga, atau empat perempuan yang kamu pilih.”
Biasanya para pendukung poligami berhenti pada kalimat tersebut, dan melupakan kelanjutan ayat yang berbunyi:
“Namun jika kamu takut kamu tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah hanya satu perempuan saja.”
Ayat ini dilanjutkan pada ayat 129, surat yang sama yakni Surat An-Nisa:
“...meskipun kamu ingin bersifat adil, kamu tidak akan pernah bisa.”
Melupakan kelanjutan ayat ini menunjukkan dengan jelas egoisme para pelaku poligami, juga para ulama yang memberikan tafsir pembolehan praktik poligami. Mereka menutup mata untuk menggunakan teori ‘intertekstual’ bahwa ayat 129 ini berhubungan langsung dengan ayat 3. Bukankah Allah telah berfirman dengan jelas “KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA BERSIFAT ADIL”. Menyatukan ayat 3 dan ayat 129 menghasilkan tafsir MANUSIA TIDAK BISA BERSIFAT ADIL UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK POLIGAMI. Hal ini bisa bermakna hukum poligami HARAM.
Teori Sosiohistoris. Dalam teori ini kita menghubungkan satu karya saat ditulis (dalam hal Alquran, saat ayat tertentu diturunkan kepada Nabi Muhammad) dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Surat An-Nisa ayat 3 diturunkan kepada Nabi setelah kaum Muslim kalah dalam perang Uhud dimana banyak prajurit tewas. Dengan banyaknya prajurit yang tewas, banyak perempuan yang tiba-tiba menjadi janda. Mengingat pada saat itu kaum perempuan tidak memiliki akses ke ranah publik, tidak memiliki hak untuk menjadi ‘proprietor’ (atau pemilik) barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh suami-suami yang tewas dalam peperangan, ayat ketiga Surat An-Nisa ini diturunkan, untuk ‘menyelamatkan’ kaum perempuan dan anak-anak yatim mereka dari tindak ketidakadilan. Karena perempuan tidak bisa menjadi ‘proprietor’ maka harta benda mereka secara otomatis menjadi milik kakak atau adik laki-laki mereka sebagai pemilik hak waris, terutama jika anak-anak mereka masih kecil, atau tidak memiliki anak laki-laki.
Nabi Muhammad dan laki-laki Muslim pada waktu itu boleh menikahi para janda tersebut untuk menyelamatkan barang-barang warisan, untuk kemudian digunakan untuk kepentingan para perempuan dan anak-anak mereka.
Menggunakan teori ini, praktik poligami jelas tidak dapat dibenarkan mengingat di zaman sekarang (terutama di Indonesia), kaum perempuan memiliki akses ke ranah publik, dan perempuan pun berhak menjadi ‘proprietor’ harta benda yang ditinggalkan oleh suami yang sudah meninggal. Perempuan bisa melanjutkan hidup mereka dengan mengelola harta benda yang diwariskan oleh suami. Bila tidak ada warisan, perempuan memiliki akses ke ranah publik yang memungkinkan mereka bekerja untuk menafkahi diri sendiri maupun anak-anak mereka.
Apalagi jika istri kedua, ketiga, atau keempat bukan merupakan janda, bisakah praktik poligami ini dibenarkan, dengan merujuk ke Surat An-Nisa ayat 3?
Lebih baik berpoligami daripada selingkuh atau pergi ke tempat lokalisasi?
Pertanyaan retorik ini membenarkan apa yang dikatakan oleh Hilaly Basya dari Al-Azhar Youth Islamic Study (dimuat di Jurnal Perempuan no 31 yang berjudul “Menimbang Poligami” terbit September 2003): “Di zaman sekarang orang berpoligami untuk merayakan libido!”
Nana Podungge
PT56 15.55 290309
Untuk tulisan-tulisan lain dengan topik poligami, klik alamat berikut ini:
http://afeministblog.blogspot.com/search/label/polygamy
Loh non? kalo di sini kok terlihat yah alinea nya? :(
BalasHapusSetuju, Pasti Lelaki gak bisa adil. Tapi kalau wanitanya menerima ( Nrimo ) gimana?
BalasHapusAri,
BalasHapusthere must be hidden motives on the women to accept it. :) Not good motives, I suppose. Or easily cheated by the so-called holy verse. LOL.
bu,thanks postingan ini adalah rujukan/referensi atau semacam pengetahuan...
BalasHapusnah kalo di saya hehe, saya cuma diskusi siang dengan temen2 saya. kalo menurut saya sendiri, poligami sendiri buat nabi Allah saja. saya lupa apa, tapi di An Nisa juga, di situ jelas sekali ayatnya, tertulis wahyu itu hanya untuk nabi bukan kita...
all, thanks ya bu... saya suprise diundang untuk menambah wawasan lebih luas lagi...
You are most welcome, duCkY :)
BalasHapus