Minggu, Juli 18, 2010

SMALL TALK


Kurang lebih setahun yang lalu aku telah menulis tentang SMALL TALK ini. You can check it here Apakah Anda sudah Menikah? Kali ini dengan mahasiswa yang berbeda, aku memiliki kisah yang berbeda pula, yang ingin kubagi dengan teman-teman di sini.

Seperti yang kutulis di artikel setahun lalu, ‘small talk’ akan sangat tergantung dengan berada dimana seseorang memulai percakapan dengan seseorang yang baru pertama kali dia temui dalam hidupnya. Hari Sabtu 17 Juli kemarin, di kelas Conversation 3 yang kuampu, ada 6 mahasiswa, yang kebetulan terdiri dari 5 perempuan – semua semester 2 menjelang 3 – dan satu laki-laki – semester 4 menjelang 5. Si satu-satunya laki-laki bercerita sebuah unforgettable experience yang dia miliki. Kisahnya seperti ini.

Dia tinggal di Semarang saat ini, sedangkan orangtuanya tinggal di Kudus. Satu hari dia pulang ke Kudus naik motor, sendirian. Di satu tempat dia berhenti, bukan karena lelah, namun dia hanya ingin berhenti. Di dekat dia memarkirkan motor, dia lihat ada seorang laki-laki memakai sarung dan kemeja – menunjukkan dia baru pulang dari masjid. Kebetulan tak jauh dari tempat itu memang ada sebuah masjid. Si laki-laki bersarung ini terlihat sedang asyik berbincang dengan seorang laki-laki lain berpakaian seragam satpam. Setelah meminta izin kepada kedua orang ini, mahasiswaku ikut nongkrong di dekat situ, sembari mendengarkan perbincangan kedua orang tersebut. Dari perbincangan itu, mahasiswaku berkesimpulan bahwa kedua orang itu belum saling kenal sebelumnya.

Yang mengherankan dari bahan obrolan itu – mengingat topik di kelas yang kita bahas adalah SMALL TALK alias basa-basi yang biasa kita perbincangkan di awal perkenalan dengan seseorang – mahasiswaku bercerita bahwa kedua orang itu justru saling curhat tentang broken family yang mereka miliki. Kurang komunikasi antar suami istri yang mengakibatkan kurang harmonisnya hubungan mereka berdua. Hal ini kemudian merembet ke hubungan seks yang menjadi hambar, yang buntutnya lama-lama tak ada lagi hubungan seks antara suami istri tersebut. Akhirnya sang suami pun berkunjung ke lokalisasi.

Kedua laki-laki itu begitu terbuka kepada satu sama lain, meski mereka belum saling kenal dengan baik. Mahasiswaku yang baru berumur 21 tahun mengaku hanya mendengarkan mereka berdua saling berkisah, dan kedua laki-laki tersebut tidak keberatan. Setelah selesai melampiaskan segala rasa yang menyesak di dada, mereka berdua pun pergi. Mahasiswaku melanjutkan perjalanannya ke Kudus.

Hal ini membuat para mahasiswa berjenis kelamin perempuan terheran-heran – aku juga – mengapa begitu mudah para laki-laki itu bercerita secara terbuka tentang rahasia keluarga mereka? Padahal itu adalah pertemuan mereka yang pertama? Bahkan tanpa saling memperkenalkan nama masing-masing.

Seorang mahasiswi kemudian bercerita tentang sepupunya yang kebetulan berjenis kelamin laki-laki. Dia amati sepupunya ini pun memiliki sifat yang sama mudahnya memulai percakapan dengan orang lain, juga berkisah tentang sesuatu yang menurut para perempuan ini tak selayaknya dikisahkan kepada orang asing.

Ketika tiba waktuku untuk berbagi pengalaman ‘berbicang dengan orang asing’, aku memilih sebuah peristiwa yang terjadi di atas bus patas N*******a dari Jogja ke Semarang, pada satu hari di tahun 2005. Aku duduk di bangku paling belakang, sebelah kanan pojok. Kutaruh backpack yang kubawa di sebelah kiri, karena kebetulan tidak ada orang yang duduk di situ. Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki – kutaksir usianya berkisar 45-48 tahun – datang, duduk di bangku sebelah kiri backpackku.



Setelah bus meninggalkan terminal Jombor, aku mulai membuka-buka JURNAL PEREMPUAN nomor 41 yang bertajuk SEKSUALITAS. Pilihanku jatuh pada artikel yang membahas “Seksualitas Lesbian”. Entah karena tertarik pada kegiatanku membaca di atas bus, atau sempat melirik judul tajuk SEKSUALITAS yang terpampang di cover depan, laki-laki itu menyapaku, “Apa kepalanya ga pusing mbak membaca di atas bus yang sedang berjalan?”

Aku, “Engga. Sudah biasa kok pak.”

Dia, ”Buku apa itu ya mbak? Boleh saya lihat?”

Aku, “Jurnal Perempuan pak.” Sambil menjulurkan buku kepada orang itu.

Setelah menerima buku itu, dan membaca judul tajuk SEKSUALITAS di cover depan, aku langsung mengamati sorot matanya yang berubah! Aku dapati nafsu seksual di mata itu. Kulihat dia menelan ludah, kemudian membolak-balik buku itu sejenak, mengembalikan buku itu kepadaku, sambil berkata, dengan nada (mendadak) sedikit flirt, “Buku bagus!”

(Can you guess what was in his mind???)

Terus terang aku langsung merasa tidak nyaman karena sorot matanya yang tiba-tiba terlihat bernafsu tatkala menatapku. Dan aku sendiri tidak yakin apa yang ada di benaknya tatkala mengatakan, “Buku bagus.” Apa benar dia tahu apa isi jurnal itu, hanya dengan sekilas melihat judul? Kalau iya, mengapa harus ada sorot mata bernafsu itu?

Aku berusaha tenang, sembari melanjutkan bacaan “Seksualitas Lesbian”. Aku sempat berpikir kalau laki-laki itu berani bertingkah kurang ajar kepadaku, akan kulemparkan sepatuku yang berhak 5 cm ke kepalanya!

Untunglah ternyata dia diam saja, dan tidak bertingkah yang berlebihan, selain sedikit bertanya ini itu, khas SMALL TALK, aku dalam perjalanan kemana. Di Jogja aku ngapain, di Semarang aku ngapain, bla bla bla. Sesampai di Secang, mataku mulai lelah, maka aku hentikan membaca. Aku taruh buku di pangkuanku. Mengetahui hal itu, ternyata laki-laki tersebut meminta izin untuk meminjamnya. Aku berikan buku itu kepadanya, sementara aku memejamkan mata, terserang kantuk.

Sekitar 30 menit kemudian tatkala bus memasuki daerah Ambarawa, aku baru menyadari kalau laki-laki itu menghilang. “Waduh, lha bukuku gimana nasibnya?” Ah ... ternyata diam-diam dia taruh buku itu di atas backpackku. Aku menyimpulkan laki-laki itu telah turun di suatu tempat.

Sesampai di terminal Banyumanik, Semarang, di antara kerumunan penumpang lain, aku melihat laki-laki itu! Sebelum turun dari bus, kita sempat beradu pandang, namun kemudian dia buru-buru memalingkan wajahnya.

Ha ha! Again, can you guess what was in his mind?

Kisah ini telah kutulis di blog di What makes people think of pornography? beberapa tahun silam.

Nana Podungge
PT56 17.35 180710

Jumat, Juli 16, 2010

Hermenetik - Teori Interpretasi




‘Hermeneutics’ adalah studi teori interpretasi; bisa jadi seni interpretasi maupun praktek interpretasi. Traditional hermeneutics -- dimana Biblical hermeneutics termasuk di dalamnya – mengacu ke studi interpretasi teks-teks tertulis, terutama di bidang kesusastraan, agama, dan hukum. Modern hermeneutics melingkupi tidak hanya teks-teks tertulis, namun segala sesuatu yang mengalami proses diinterpretasi. Hal ini termasuk komunikasi verbal dan non verbal. Ketika kita membaca sesuatu, kita akan mendapatkan sebuah interpretasi. Ketika membacanya kembali, akan selalu mungkin terjadi bahwa kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam lagi dimana akhirnya akan membawa kita ke sebuah interpretasi yang jauh lebih menyeluruh. Tatkala kita sampai ke interpretasi yang menyeluruh ini, sangatlah mungkin bahwa hasil interpretasi tersebut dipengaruhi oleh apa yang kita simpan dalam otak maupun memori kita: bacaan-bacaan yang telah kita baca, interpretasi-intepretasi yang kita hasilkan sendiri dari kegiatan membaca atau mengamati segala hal yang terjadi di sekitar kita, pengalaman kita sendiri maupun pengalaman orang lain yang kita dengar atau lihat, dll. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian muncullah pertanyaan: adakah suatu interpretasi yang objektif, lepas dari segala yang telah kita simpan dalam otak maupun memori kita, lepas dari segala indoktrinasi yang telah dia terima sepanjang hidupnya, juga lepas dari segala pengalaman hidupnya. Tentu saja jawabannya adalah TIDAK.

Dalam bidang kesusastraan, teori hermeneutics ini tentu sangat mendukung adanya multi-interpretasi dari sebuah karya sastra. Apalagi dengan sangat luwesnya sebuah karya sastra dianalisis, tergantung teori mana yang kita gunakan, mulai dari teori klasik yang diajukan oleh Aristotle – expressive theory: berdasarkan pemikiran pengarang; pragmatic theory: berdasarkan pemikiran pembaca; mimetic theory: pemikiran bahwa karya sastra merupakan tiruan apa yang terjadi di masyarakat; dan objective theory: teori yang berdasarkan semata-mata pada karya sastra itu sendiri – sampai ke teori-teori sastra yang lebih modern, seperti Historical & Biographical Criticism, New Criticism, Russian Formalism, Structuralism, sampai ke Marxism, Feminism, Reader-Response Theory, Deconstruction, Psychoanalytic Criticism, Postcolonialism, etc. Dengan pemaparan yang sangat kuat, berdasarkan teori yang kita pilih, hampir tidak mustahil kita bisa menghasilkan interpretasi apa pun yang kita ingini. Bahkan, dengan teori The Death of the Author milik Roland Barthes, seorang kritikus sastra bisa menafikan keberadaan seorang pengarang di balik karya sastra yang dihasilkannya. ”The essential meaning of a work depends on the impressions of the reader, rather than the “passions” or “tastes” of the writer, “a text’s unity lies not in its origins, or its creator”, but in “its destination” or it audience.”

Dalam ranah spiritualitas, hal ini pun berlaku. ‘Kedewasaan’ spiritualitas seseorang tentu amatlah ditentukan oleh seberapa banyak seseorang membaca, seberapa banyak variasi bahan bacaannya, seberapa banyak seseorang mengalami ‘guncangan-guncangan’ spiritualitas, yang bisa jadi disebabkan oleh pengalaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman spiritualitas yang berbeda, bahkan mungkin kontradiktif, kesediaan diri untuk membuka otak dan mata hati bahwa tidak ada interpretasi tunggal dalam memahami Kitab Suci, (contoh yang paling ‘mudah’ dalam hal ini misalnya pemahaman seseorang atas ayat ‘lakum dinukum waliyadin’ bisa jadi menghasilkan interpretasi yang berbeda dengan orang lain, yang disebabkan oleh pengalaman spiritualitas yang berbeda). Maka, tidaklah mengherankan jika seorang Amina Wadud berani mengutarakan pendapatnya bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat, meski ditentang oleh banyak ulama; seorang Irshad Manji dengan berani mengaku sebagai seorang lesbian padahal dia adalah seorang Islam scholar; seorantg Siti Musdah Mulia membolehkan seorang perempuan Muslim untuk menikah dengan lelaki non Muslim, dlsb. Pengalaman spiritualitas yang berbeda, didukung dengan teori hermeneutics tatkala menafsirkan suatu ayat sangat memungkinkan hal ini terjadi.


Untuk mengakhiri tulisan ini, yang paling penting adalah menghormati pendapat orang lain, tidak serta merta menghakimi pendapat orang lain salah tanpa berusaha memahami mengapa seseorang berpendapat seperti itu terlebih dahulu, juga tanpa bersifat oppressive terhadap sebuah komunitas yang mungkin merupakan sekelompok minoritas. Mari kita ciptakan dunia yang lebih aman, tentram, dan damai.


Nana Podungge


PT56 21.45 160710

Minggu, Juli 04, 2010

Hegemoni Sastra


Hegemony is the political, economic, ideological or cultural power exerted by a dominant group over other groups, regardless of the explicit consent of the latter.


Hegemony adalah satu kekuatan politik, ekonomi, ideologi maupun budaya yang dinyatakan oleh satu kelompok dominan atas kelompok-kelompok lain, meskipun kelompok-kelompok lain tersebut tidak menyetujuinya. Lebih lanjut lagi, memasuki abad ke-20, Antonio Gramsci, seorang ilmuwan politik menyatakan bahwa hegemoni budaya menunjukkan dominasi kekuatan satu kelompok ‘penguasa’ budaya untuk ‘memaksa’ kelas-kelas sosial di bawahnya untuk menerima dan mengadopsi nilai-nilai kelompok para penguasa yang borjuis.

Bagaimana dengan hegemoni dalam sastra? Tentu saja memiliki karakter yang sama. Para ‘penguasa’ bidang sastra yang ‘mungkin’ didominasi oleh mereka yang memiliki gelar doktor maupun profesor sastra pun melemparkan wacana yang sama. Mereka merasa lebih mumpuni untuk menentukan ‘ini puisi bagus’ atau ‘ini puisi kacau’, dlsb. Pertanyaan berikutnya adalah, “apakah the so-called sang penguasa selalu benar? Padahal sastra sendiri bukanlah satu bidang yang bisa dikalkulasi secara kuantitatif. Misal: “penggunaan metafora dalam bait ini jumlahnya hanya sekian ... berarti puisi ini jelek ...” atau “ah, terlalu mudah tertebak ini puisi berkisah tentang apa ... berarti puisi ini super jelek.” Sebaliknya, “wow, metafora bertaburan dalam puisi ini, maka KEREN” atau “puisi ini, ahh ... sulit sekali dipahami karena terlalu indah merangkai kata-kata ...maka SUPER DUPER KEREN!”

Hal ini mengingatkanku pada sebuah kelas ketika masih duduk di bangku kuliah, dosenku yang hanyamendapatkan gelar master American Studies di US bercerita tentang pengalamannya berkunjung ke sebuah galeri lukisan tatkala dia berada di negara Paman Sam tersebut. Banyak orang yang terkagum-kagum dengan lukisan yang dipamerkan, namun tatkala ditanya apa ‘cerita’ lukisan tersebut, mereka tidak paham. “Pokoknya kalau tidak mudah dipahami itu keren! Itu yang disebut SENI.” Kilah mereka. Kisah yang paling konyol adalah ketika seorang pengunjung terkagum-kagum dengan sebuah lukisan, kemudian berkoar-koar tentang lukisan tersebut kepada dosenku, “bla bla bla ...” tak disangka tak dinyana, tak lama kemudian sang pelukis lukisan itu datang, kemudian berkata, “Maaf, lukisan ini tergantung terbalik.”

==========================

Berikut ini adalah terjemahan artikel tulisanku yang kumuat di High Literature versus Popular Literature

Dalam kelas “Popular Literature” yang kuikuti tatkala duduk di bangku kuliah American Studies Universitas Gadjah Mada, dalam sebuah sesi kita berdiskusi tentang dikotomi “popular literature” (sastra populer yang sering dianggap sebagai sastra kelas rendah) versus “high brow literature” atau sastra tingkat tinggi. Bagaimanakah kisahnya hingga dikotomi ini eksis? Siapakah yang merasa memiliki hak untuk menentukan yang manakah sastra ngepop yang mana sastra tinggi. Pula, bagaimanakah kisahnya sehingga orang-orang tersebut merasa memiliki privilege tersebut?

Para kritikus sastra mengatakan bahwa jika sebuah karya dihasilkan hanya untuk menuruti apa yang diinginkan oleh publik – misalnya hanya untuk ‘fun’, tak memiliki makna yang mendalam – maka karya tersebut dikategorikan sebagai sastra ngepop. Selain itu, para kritikus juga mengatakan karya sastra ngepop mengacu ke karya yang ditulis hanya untuk kebutuhan komersial belaka, karena sang pengarang butuh uang.

Menjelang akhir abad 19, tatkala budaya menulis cerpen mulai merebak di seantero Amerika, banyak pengarang yang berpindah haluan, demi menghasilkan uang dengan cepat, daripada harus menulis novel yang butuh waktu lama. Tentu saja hal ini dicibir oleh para kritikus sastra zaman tersebut karena cerpen dianggap sangat dangkal karena ukurannya yang pendek. Salah satu pengarang yang ikut muncul di era awal penulisan cerpen tersebut adalah Jack London, seorang pengarang realis yang karyanya “The Call of the Wild” akhirnya dikategorikan sebagai salah satu hasil sastra KANON. Namun tatkala membaca karya-karya Jack London, siapa yang akan mengatakan bahwa karyanya dangkal? Di awal muncul cerpen-cerpen London di surat kabar, para kritikus mencibirnya. Namun pada beberapa dekade berikutnya, para kritikus sastra pun telah mensejajarkannya dengan para novelis klasik, sebangsa Nathaniel Hawthorne.

Kebalikan dari sastra ngepop, jika sebuah karya ditulis demi idealisme sang pengarang yang ingin dia komunikasikan kepada masyarakat, sehingga memiliki makna yang dalam di balik apa yang tersurat, bukan melulu untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh publik, maka karya tersebut dikategorikan dalam “high-brow literature” atau sastra tingkat tinggi. Selain itu, parameter sastra tingkat tinggi adalah tatkala sebuah karya pantas dimasukkan kedalam kategori sastra kanon. Di Amerika, kanon ini mengacu ke antologi-antologi besar seperti Norton Anthology, Heath Anthology, dll. Pertanyaan berikutnya adalah: siapa yang memiliki ‘privilege’ untuk memilih karya yang mana yang layak masuk ke antologi-antologi tersebut?

Penerbitan THE NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN bisa dianggap sebagai salah satu perjuangan kaum perempuan untuk memasukkan karya-karya perempuan sebagai hasil karya sastra tingkat tinggi. Dalam bagian pengantar dari edisi pertama yang terbit pada tahun 1985, Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar menulis:

“… no single anthology has represented the exuberant variety yet strong continuity of the literature that English speaking women have produced between the fourteenth century and the present. In the NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN, we are attempting to do just that.”

“ ... tak satu pun antologi yang menyajikan hasil karya para pengarang perempuan yang sangat banyak dan variatif yang ditulis sejak abad keempat belas sampai sekarang. Dalam NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN, kita berusaha untuk menyajikannya.”

“Complementing and supplementing the standard Norton anthologies of English and American literature, NALW should help readers for the first time to appreciate fully the female literary tradition which, for several centuries, has coexisted with, revised, and influenced male literary models.”

“Untuk melengkapi standard Anthologi Norton atas karya sastra Inggris dan Amerika, NALW bertujuan membantu para pembaca untuk mengapresiasi tradisi kesusastraan perempuan yang telah hadir bersama dengan kesusastraan hasil karya pengarang laki-lakiselama beberapa abad.”

Lebih lanjut lagi, pada edisi keenam The Norton Anthology of American Literature yang tebit pada tahun 2003, Nina Baym, editor umum menulis pada kata pengantar:

“That the “untraditional” authors listed above have now become part of the American literary canon shows that canons are not fixed, but emerge and change.”

“Bahwa para pengarang yang tidak biasanya termasuk dalam daftar pengarang karya sastra kanon menunjukkan bahwa kanon tidak memiliki standard yang kaku, namun sesuai zaman, dia akan memunculkan standard-standard baru.”

Kesimpulannya, pada akhirnya lama kelamaan dikotomi antara karya sastra ngepop dan yang konon memiliki nilai tinggi akan menghilang. Terserah kepada publik untuk menilai dan memilih karya yang mana yang akan mereka baca. Masyarakat yang dewasa akan menentukan selera mereka sendiri. Sedangkan tulisan-tulisan yang dianggap buruk akan ditinggalkan para pembaca.

PT56 10.42 040710