Minggu, April 24, 2022

Change Your Perspective: Join Student Exchange

 Versi terjemahan dari tulisan saya di link ini.




Satu tulisan lama saya, 14 tahun lalu, tentang seorang siswa SMA yang mendapatkan pencerahan setelah ikut 'student exchange', tinggal di Norway, satu negara yang penduduknya konon 85% atheist. Sementara Erik, nama siswa itu, berasal dari sebuah keluarga Muslim yang sangat relijius. Menurut saya, tulisan ini layak saya share mengikuti topik radikalisme versus fundamentalisme. Erik ini berubah cukup radikal, dari seseorang yang menganggap atheism adalah satu isme yang orang-orangnya pasti hidup tanpa keteraturan karena mereka tidak memiliki pegangan hidup -- baca agama/Tuhan. Setelah tinggal selama satu tahun di Norway, cara pandangnya berubah 180%. Harapan saya, dia mampu mengajak orang-orang yang hidup di sekitarnya turut mengubah cara pandangnya.
 

*********************

 
Hari Sabtu 19 Juli 2008 saya diajak Yayasan Bina Antar Budaya Chapter Semarang untuk ikut menghadiri acara ‘farewell and welcoming’. ‘Farewell’ berarti melepas siswa-siswa terpilih untuk berangkat keluar negeri, sedangkan ‘welcoming’ berarti menyambut para siswa yang telah menghabiskan sekian waktu (bervariasi dari 2 bulan hingga satu tahun) di luar negeri. Acara ini diselenggarakan di Bandungan, tidak jauh dari kota Semarang. Dalam perjalanan menuju Bandungan, saya bersama Erik, satu siswa yang baru pulang dari Norwegia; Leo, seorang volunteer, menyetir mobilnya, sementara mendengarkan saya ngobrol dengan Erik, sambil kadang ikut mengajukan pertanyaan ke Erik atau memberi respons.
 
Dari sekian banyak pertanyaan, saya bertanya satu hal yang cukup krusial: agama.
 
“Bagaimana kehidupan relijiusitas di Norwegia, Erik?”
 
Ternyata Erik sangat antusias menjawab pertanyaan saya itu. “Kalau tidak salah, 85% penduduk Norwegia itu atheist, Miss.” Jawabnya. 
 
Kemudian dia berkisah …
 
Ayahnya yang bekerja di Departemen Agama semula keberatan dia berangkat ke Norwegia. Sebenarnya Erik sendiri sedikit menyesal karena dia berharap dikirim ke Amerika, namun ternyata dia ‘mendapatkan’ Norwegia. Mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Norwegia atheist, orangtuanya khawatir jika sepulang dari sana, Erik pun ketularan. Maka, mereka mengajak Erik berkunjung ke satu saudara jauh yang kebetulan adalah seorang ulama, yang bisa meramal apa yang akan terjadi di masa datang. Untungnya, si ulama ini memberi lampu hijau untuk Erik berangkat.
 
“Jujur saja, saya seperti ditampar ketika orangtua angkat saya di Norwegia bilang, ‘Erik, kamu Muslim karena kamu lahir di Indonesia. Kami disini ‘non-believers’ karena kami lahir di Norwegia. Kami yakin jika kamu lahir dan besar di Norwegia, kamu pun akan menjadi seperti kami: non-believer. Demikian juga jika kami lahir dan besar di Indonesia, kemungkinan besar kami pun akan menjadi Muslim karena di Indonesia, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh rakyatnya.”
 
“Pengalaman saya yang seorang Muslim relijius di tengah-tengah orang ‘non believer’ mengajari saya sesuatu yang berkebalikan dari apa yang dulu saya percaya: “Orang atheist bukan criminal. Apa yang dikatakan oleh orang-orang bahwa para atheist memiliki kehidupan yang kacau karena kehidupan mereka tidak ditata ajaran agama – missal shalat lima kali sehari – jelas bukan gambaran yang benar. Kehidupan mereka baik-baik saja, dan mereka orang-orang yang baik. Orangtua angkat saya tidak mengenal saya sama sekali sebelum saya sampai disana, namun mereka merawat saya dengan sangat baik, seolah-olah saya adalah anak mereka sendiri. Tidak mengenal Tuhan dalam kehidupan mereka tidak berarti bahwa mereka adalah orang yang tidak punya hati. Saya telah belajar tentang satu hal yang benar-benar berbeda dari apa yang dulu diajarkan guru-guru agama saya.”
 
Saya berharap bahwa siswa-siwa lain lagi yang dikirim keluar negeri bersama Erik (semuanya dari satu pondok pesantren di Sukoharjo) mengalami hal yang mirip dengan Erik dan kemudian mendapatkan perspektif baru tentang relijiusitas.
 
 
Semarang, July 2008
(saya terjemahkan hari Senin 25 April 2022