Rabu, April 21, 2010

Kartini Day 2008

Berikut ini adalah foto-foto perayaan Hari Kartini 2008 di sekolah. Dengan catatan, foto-foto ini kutemukan di komputer teachers' room. Aku belum bergabung bekerja di sini.

Personally I felt so excited to find these pictures, to see my students wearing traditional clothes.

I understand how my fellow feminists dislike the idea of celebrating Kartini Day by wearing those traditional clothes. This is really downgrading Kartini's struggle to get equal chance to pursue education for women into JUST wearing traditional clothes. While in fact, what Kartini fought was not to wear such clothes.

However, when finding these pictures below, I considered it something 'important' because I viewed it from different perspective -> to make students know kinds of traditional clothes in Indonesia, to give them a chance to wear them because I believe that they would not rather wear them in their daily life. LOL. Wearing such outfit is not wrong isn't it? although it is for commemorating Kartini Day? Of course as long as we tell the students the essence of celebrating Kartini Day is to encourage women that they deserve to get the exactly same chance with men to pursue education, to choose any profession they desire.

And I expect that next year the school will do something to celebrate Kartini Day, and the students are to go to school by wearing various kinds of traditional clothes in Indonesia. They are graceful and beautiful, aren't they? :)

C-net 21.32 210410

Hari Kartini 2010

Ini adalah tanggal 21 April kedua di tempatku kerja sekarang. Tidak ada kegiatan apa pun untuk memperingati Hari Kartini. Aku tidak ingat apakah setahun yang lalu aku sudah punya akun di FB, mungkin belum. :) Hari ini aku lumayan 'terhibur' karena ternyata banyak teman di listku yang menulis sesuatu yang berhubungan dengan Hari Kartini. :)

Satu tahun yang lalu di sekolah tempatku bekerja mengundang tiga tamu perempuan yang dianggap cukup professional di profesi masing-masing, yakni dokter hewan, seorang pakar hukum, dan seorang businesswoman. Mereka diminta berbagi pengalaman tentang profesi mereka masing-masing dengan para siswa. Karena mereka (kebetulan) berjenis kelamin perempuan, tentu mereka diminta juga berbicara hubungan mereka mencapai profesi tersebut dengan perjuangan Kartini. Tiga tamu tersebut mengunjungi kelas-kelas yang berbeda. Kebetulan aku berada di kelas 7, yang menerima tamu si businesswoman. Sebagai seorang pengamat gerakan feminisme di Indonesia, tentu aku sangat antusias mendengarkan, sekaligus bergabung dengan diskusi yang ada.

Catatan, anak-anak tidak diminta mengenakan busana tradisional tatkala berangkat ke sekolah pada tanggal 21 April 2009 itu.

Acara memperkenalkan jenis-jenis profesi para perempuan ini menurutku cukup berhasil memberikan wawasan yang lebih luas kepada anak-anak. Meski aku yakin anak-anak (perempuan khususnya) di zaman sekarang tentu lebih 'melek' untuk memilih berbagai jenis pekerjaan yang ingin mereka geluti di masa depan mereka.

Tahun ini sekolah cukup sibuk dengan beberapa kegiatan lain, sehingga tidak ada acara khusus untuk menyambut Hari Kartini.

C-net 21.17 210410

Selasa, April 13, 2010

Rasisme


Tulisan ini merupakan komentar tulisan Habe yang berjudul RASISME 180 derajat di http://www.apakabar.ws/content/view/3093/88888889/

Tulisan "TERIMA KOST PUTRI (MUSLIMAH)" sebagai dasar penulisan artikel Habe tersebut tentu saja tidak hanya bisa ditemukan di kota Bandung. Ketika aku kuliah di American Studies UGM tahun 2002-2005 pun aku banyak menemukan kasus atau pun tulisan seperti itu. Bahkan yang lebih parah lagi, aku pernah menemukan tulisan MENERIMA KOS PUTRI MUSLIMAH KHUSUS YANG MENGENAKAN JILBAB.

Sebagai catatan, kasus ini tidak pernah kutemukan di Jogja tatkala aku masih kuliah S1 di Sastra Inggris UGM pada tahun 1986-1990.

Pertanyaannya adalah, apakah Jogja tak lagi ramah kepada para pendatang baru yang non Muslim? Jikalau iya, apa penyebabnya?

Di awal tahun 2002, ada hasil polling yang menghebohkan kota Jogja khususnya, dan (mungkin) Indonesia pada umumnya. Pada waktu itu sebuah lembaga mengadakan polling seberapa banyak para remaja yang tinggal di Jogja melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Hasilnya amat sangat menghenyakkan karena ternyata dari 100 responden, ada lebih dari 80% yang mengaku telah melakukan hubungan seks. Hasilnya para pengelola kos pun dituduh hanya mementingkan keuntungan finansial, tanpa merasa terbebani bahwa mereka (selayaknya) ikut mengawasi perilaku para penghuni kos.

Rasialis lah penyebab para pengelola kos berpikir agar tidak dituduh membiarkan praktek seks bebas dilakukan di rumah yang mereka sewakan, mulai memberlakukan 'screening'. Yang menjadi masalah adalah, seolah-olah para kaum Muslimah -- apalagi yang berjilbab -- tentu tidak termasuk para pelaku seks bebas itu.

Selain itu, konon tiba-tiba harga sewa kamar kos menjadi jauh lebih mahal daripada sebelum hasil polling (yang tidak jelas apakah valid atau tidak). Hal ini berhubungan dengan alasan, "untuk lebih menjaga situasi yang kondusif" sehingga para pengelola kos membutuhkan membayar aparat RT/RW untuk menjaga lingkungan sekitar.

Mengenai reverse racism -- kaum minoritas melakukan rasisme kepada kaum mayoritas -- aku pikir ini merupakan pembalasan dendam dari para kaum minoritas. Memang tentulah sangat menyebalkan. Apalagi aku sendiri pernah mengalami diskriminasi seperti ini.

Di kantor tempatku bekerja sekarang, konon sebelum aku mulai masuk bekerja di sini tahun akademik 2008/2009, lebih banyak pekerja yang non Muslim. Namun semenjak jabatan kepala sekolah dipegang oleh seorang Canadian, yang pernah bekerja di Egypt, dia tak lagi mempedulikan agama calon karyawan, asalkan memenuhi syarat.

Konon manusia adalah ciptaan Sang Maha Kuasa yang paling sempurna karena dikaruniai akal untuk berpikir. Namun sedihnya justru karena itulah, manusia tak bisa hidup rukun seperti ketiga kucing yang dikisahkan oleh Habe dalam tulisannya.

PBIS 14.54 130410

Jalur Sepeda, please?

Ki - ka = Nana Podungge, moderator; Gurun, Kadishub; Djoko, Peneliti Transportasi, Tjahjono, dosen S2 Teknik Lingkungan

Mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk ikut mengurangi dampak negatif global warming dengan bersepeda ke tempat kerja, sekolah, maupun kampus, pada hari Minggu 11 April 2010 Komunitas b2w Semarang mengadakan TALK SHOW yang diberi tajuk DUKUNG PEMERINTAH KOTA SEMARANG UNTUK MENYEDIAKAN JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG. Hal ini tentu saja dilatarbelakangi dengan kurangnya rasa aman dan nyaman yang menghinggapi para pesepeda tatkala mengayuh sepeda di jalan raya, karena mereka harus 'bersaing' dengan kendaraan bermotor lain. Tak jarang para pengguna kendaraan bermotor tidak memberi ruang maupun kesempatan pada para pesepeda. Hal inilah yang terutama melatarbelakangi komunitas sepeda Semarang -- dan digawangi oleh Komunitas b2w -- untuk mengajukan usulan kepada Pemerintah Kota Semarang untuk menyediakan jalur sepeda.

X-banner jalur sepeda

Tiga narasumber yang diundang untuk mengisi acara talk show ini adalah Djoko Setijowarno yang berprofesi sebagai Dosen S2 Teknik Sipil Unika, yang kebetulan juga merupakan seorang peneliti transportasi; Tjahjono Rahardjo, dosen S2 Teknik Lingkungan Perkotaan Unika, beserta Gurun Risyadmoko, kepada Dinas Perhubungan Kominfo kota Semarang. Nana Podungge selaku sekretaris komunitas b2w Semarang mendapat kepercayaan sebagai moderator dalam acara talkshow tersebut.

Sebagai seorang peneliti transportasi, Djoko Setijowarno mengungkapkan salah satu upayanya untuk mengajukan wacana penyediaan jalur sepeda di kota Semarang melalui tulisan di beberapa media surat kabar. Beliau menyatakan bahwa pada beberapa ruas jalan di kota Semarang kita masih bisa menemukan 'sisa-sisa' jalur sepeda yang telah disediakan oleh pemerintah beberapa dekade yang lampau, yakni di jalan MT Haryono dan jalan Indraprasta. Sayangnya sekarang ini jalur sepeda di kedua jalan tersebut tidak lagi dimaksimalkan penggunaannya. Bahkan pada saat-saat tertentu -- misal mulai sore sampai malam hari -- jalur sepeda tersebut justru digunakan oleh para PKL untuk menggelar dagangannya. Atau kalau tidak, digunakan oleh beberapa toko atau tempat umum lain sebagai tempat parkir para pengunjung yang berkunjung ke tempat mereka masing-masing. Sementara itu, jalur sepeda yang pernah ada di jalan Majapahit dan jalan Sugiyopranoto justru menghilang, tanpa alasan yang jelas. Selain menyoroti beberapa ruas jalan yang masih memiliki jalur sepeda maupun yang jalur sepedanya telah menghilang, Djoko juga menyoroti hilangnya tempat parkir khusus untuk sepeda di beberapa tempat umum, misal pasar, beberapa sekolah 'ternama', utamanya Sekolah Menengah Atas.

Tjahjono sebagai pembicara kedua berbagi pengalaman tatkala beliau menimba ilmu di Belanda, negara yang konon paling ramah dengan para pesepeda. Belanda mendapat julukan seperti ini karena memang konon jumlah sepeda di negara tersebut melebihi jumlah penduduk yang ada. Selain itu, pemerintah sangat mendukung dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang sangat memadai bagi para pesepeda. Jalur sepeda yang disediakan oleh pemerintah tidak hanya bisa ditemukan di dalam kota, namun juga antar kota, membuat para pesepeda yang melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain sangat nyaman dan aman. Selain jalur sepeda, fasilitas lain yang disediakan oleh pemerintah adalah tempat parkir yang aman dan tersendiri buat sepeda, tempat-tempat tertentu untuk beristirahat para pesepeda yang mungkin kelelahan dalam perjalanan, sekaligus juga mudahnya para pengguna kereta api tatkala mereka harus membawa sepeda saat bepergian. Jika seorang pekerja tinggal lumayan jauh dari kantor, ada kemungkinan dia memiliki sepeda dua buah. Pertama, dia berangkat dari rumah naik sepeda menuju stasiun. Di stasiun, dia menitipkan sepeda di tempat parkir. Di stasiun tujuannya, dia pun telah menitipkan sepeda, yang akan dia naiki untuk menuju ke kantor. Selain itu, Belanda juga memiliki tempat-tempat wisata -- misal camping ground -- yang hanya bisa diakses bagi para pengguna sepeda.

Pembicara ketiga, Gurun kepala Dinas Perhubungan menyampaikan tiga saran. Pertama, menyelenggarakan CAR FREE DAY secara teratur, misal satu bulan sekali. Kedua, melakukan rally wisata sepeda yang bisa diikuti oleh para pesepeda di kota Semarang, untuk mengadakan kunjungan dari satu tempat wisata ke tempat wisata lain. Misal: dari stasiun Tawang ke Gereja Blenduk, ke Lawangsewu, kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata lain. Yang ketiga, untuk mengenakan 'atribut' sepeda yang lengkap untuk keselamatan diri; misal jangan lupa mengenakan helm sepeda, busana yang tepat untuk bersepeda sehingga lebih nyaman, sepatu olahraga, plus sarung tangan. Selain itu, Gurun juga menyarankan lebih mencintai sepeda yang dimiliki dengan senantiasa menjaga kebersihan sepeda yang dimiliki.
yang terlihat mengenakan busana 'jawa' adalah para anggota SOC (Semarang Onthel Community)

CAR FREE DAY dipandang sebagai satu upaya awal untuk mensosialisasikan jalur sepeda ke masyarakat. Dengan mengadakan CAR FREE DAY secara teratur, diharapkan masyarakat mulai memberi perhatian kepada para pesepeda, sekaligus mengingatkan mereka betapa pentingnya ikut berupaya mengurangi semburan emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor mereka, demi kebersihan udara yang kita hirup bersama. Ide yang kedua, untuk lebih memperkenalkan tempat-tempat wisata di kota Semarang, tanpa mengotori udara dengan asap knalpot yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor. Diharapkan jika ada kunjungan wisatawan nusantara dari tempat-tempat lain, mereka pun akan dengan senang hati berkunjung ke tempat-tempat wisata tersebut dengan naik sepeda. Mengenakan 'atribut' pesepeda tentu saja sebaiknya diikuti dengan mengikuti peraturan lalu lintas yang ada, sehingga tidak ada tudingan dari pengguna jalan lain bahwa para pesepeda menaiki sepedanya seenak perutnya sendiri; misal tidak berhenti tatkala lampu traffic light menyala merah.

Dua anggota b2w Semarang yang didapuk untuk berbagi pengalaman di panggung yaitu saudara Riu. Riu tinggal di Banyumanik -- terletak di Semarang bagian atas -- sedangkan kantornya terletak di jalan Dr Wahidin. Tatkala berangkat dia menuruni bukit Gombel -- yang sangat bikin para pesepeda amatir enggan untuk bersepeda -- karena ketinggian dan panjangnya jalan. Pulangnya tentu Riu harus menaiki bukit ini. Komplain yang disampaikan oleh Riu adalah arogansi para pengguna kendaraan bermotor yang seringkali tidak memberinya ruang yang cukup memadai, selain juga 'semburan' asap knalpot yang sama sekali tidak sehat. Anggota lain, Ravi, berbagi pengalaman bagaimana komunitas b2w Bandung mengupayakan disediakannya jalur sepeda di kota Bandung. Mengingat jalan-jalan di kota Bandung yang kebanyakan lebih sempit daripada jalan-jalan kota Semarang, dan juga terletak pada kontur tanah yang naik turun, tentu memberi harapan kepada para pesepeda di kota Semarang bahwa adalah hal yang sangat mungkin bagi pemerinah kota Semarang untuk menyediakan jalur sepeda.
Sepeda anggota b2w Semarang, dengan bike-tag di bawah sadel

Pada sesi tanya jawab, Tunggal menyatakan harapannya bahwa pemerintah memberi dukungan penuh pada harapan para pesepeda ini. Para anggota komunitas sepeda dengan senang hati bekerjasama dengan pemerintah untuk memetakan jalan-jalan manakah yang nantinya tepat dibangun jalur sepeda. Penanya kedua, Budianto, mengharapkan bahwa jika nantinya harapan para pesepeda ini dikabulkan oleh pemerintah, semoga bisa dimaksimalkan penggunaannya, jangan hanya karena mengikuti gengsi sebuah kota melihat kota-kota lain telah menyediakan jalur sepeda. Alangkah baiknya jika apa yang sudah kita miliki saat ini -- misal jalur sepeda yang masih tersedia di jalan MT Haryono dan Indraprasta -- kita maksimalkan kembali penggunaannya. Budianto juga menyampaikan dalam waktu dekat ini yang paling penting untuk segera disediakan adalah tempat parkir di tempat-tempat umum. Jangan sampai orang malas bersepeda ke tempat mereka melakukan aktifitas hanya karena mereka tidak tahu dimana mereka bisa memarkirkan atau pun menitipkan sepeda mereka.

Penanya ketiga, Budi Tjahjanto, bercerita tindakan diskriminasi kepada para pesepeda di Balaikota karena ada tulisan "para pengguna sepeda diharapkan turun" tatkala memasuki tempat parkir. Seperti kita tahu, sepeda justru tidak mengeluarkan polusi, juga tidak menimbulkan suara. Mengapa justru tidak ada peringatan, "para pengguna sepeda motor dan mobil diharapkan turun"? Wahyu, seorang anggota bike to campus, menyatakan kesediaan para pesepeda untuk ikut serta dengan aparat pemerintah untuk memetakan jalan-jalan khusus yang sekiranya disukai para pesepeda, utamanya tentu karena dilindungi oleh pohon-pohon peneduh jalan. Dari komunitas SOC, seorang anggota mengharapkan adanya tempat parkir khusus pesepeda di tempat umum, misal di pusat kota Semarang, Simpanglima.

Sebelum mengakhiri talk show, Gurun sebagai pihak yang paling berkompeten berjanji untuk mengundang para ketua komunitas sepeda di kota Semarang untuk duduk bersama, bertukar pikiran tentang dilaksanakannya penyediaan jalur sepeda, sekaligus fasilitas parkir yang memadai di tempat-tempat umum.

Nana Podungge
Sekretaris Komunitas b2w Semarang

PBIS 11.57 130410

Photos credit to http://semaranggoesblog.blogspot.com/2010/04/proposal-bike-lane-in-semarang.html

Sabtu, April 03, 2010

Perempuan versus Perempuan


Beberapa saat yang lalu, di status FB seorang teman menulis, “terkadang musuh seorang perempuan itu perempuan juga ...” Seorang teman lain mengangkat gosip infotainment sebagai status, yang akhirnya kulihat dari komen-komen yang masuk kebanyakan ditulis oleh kaum perempuan yang menjelek-jelekkan seleb perempuan juga. Beberapa bulan lalu, di status online buddy yang sama, dengan status tanpa menyertakan seleb perempuan, kulihat di komen yang masuk juga ada judgment yang ditulis oleh seorang perempuan, atas kaum perempuan yang lain.

Sebagai seorang ‘self-acclaimed feminist’, aku pun menulis komen, “this patriarchal culture caused this. ...”

Kultur patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi dari pada perempuan telah menciptakan ‘marriage-oriented society’ yang sangat kental. (Betapa para kaum feminis radikal menyalahkan perkawinan ini sebagai satu lembaga pengukuhan superioritas laki-laki. To make things worse, karena menganggap laki-laki sebagai sumber kekerasan di dunia ini, maka lesbianisme merupakan jawaban to be in a relationship.)

“Cinderella complex” yang disebarluaskan lewat dongeng-dongeng yang meninabobokkan kaum remaja putri (atau bahkan lebih muda lagi) membuat kaum perempuan berlomba-lomba untuk mencari sang pangeran yang akan membawa mereka ke ‘eternal love and happiness’. Dongeng-dongeng sejenis Cinderella memang hanya berhenti di pelaminan, dengan kalimat “and they live together happily ever after” mengakhiri segala kisah. Tak ada kisah selingkuh, poligami, kekurangan finansial yang menimbulkan pertengkaran dan pemukulan, pertumbuhan intelektual, spiritual dan mental kedua belah pihak yang tidak setara sehingga menimbulkan kesenjangan dan berakhir ke eternal quarrel yang menciptakan hellish life bagi keduanya.

Jargon ‘and they live together happily ever after’ pun benar-benar membuat para penderita Cinderella complex berbuat segalanya demi mendapatkan sang pangeran yang diidam-idamkan, kalau perlu singkirkan perempuan-perempuan yang lain.

Mitos bahwa jumlah perempuan berkali lipat dari jumlah laki-laki pun disebarluaskan oleh kaum patriarki agar para perempuan saling sikut menyikut demi mendapatkan sang lelaki idaman, mitos yang dipakai untuk tetap melegalkan dominasi posisi laki-laki di atas perempuan.

Kultur patriarki dengan hegemoni ‘marriage-oriented principle’ nya pun menghasilkan label ‘perawan tua’ yang telah membuat banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri mana kala mereka mencapai usia di atas tigapuluh tahun dan tetap menjomblo. Hal ini pun bisa jadi telah ‘makan korban’, mulai dari grabbing any guy to marry, menjadi pelaku dan korban poligami, dan mungkin yang ‘paling ringan’ adalah menggosip, “Ih, perempuan itu kok begitu ya?” yang kalau kita amati, gosip ini didasari dengan pernyataan, “Aku ga begitu, maka aku lebih baik ...” divide et impera khas kultur patriarki.

Sigmund Freud dengan teori ‘penis envy’ yang menyebalkan kaum feminis itu pun menciptakan ‘penyakit’ yang dia beri nama ‘Oedipus complex’ sehingga membuat laki-laki yang menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih tua dipaksa mengakui something wrong with them; satu hal yang juga menjadi santapan empuk para penggosip di layar kaca. Para ‘korban’ kultur patriarki pun merayakannya dengan bergosip besar-besaran; tetap dengan ‘jalur’ yang sama => sang perempuan yang disalahkan karena menjalin hubungan dengan laki-laki yang berusia lebih muda.

Perempuan versus perempuan. Siapa yang diuntungkan? Tetap saja kaum laki-laki. So pathetic.

~ Nana Podungge, sang feminis, yang heteroseksual, yang tetap saja melankolis dan romantis tatkala jatuh cinta, wkwkwkwk ... ~

PT56 08.08 030410

Adam & Hawa dan Kita


Di bawah ini adalah sebuah tulisan lama, kutulis empat tahun yang lalu, kuimpor dari alamat

http://afemaleguest.blog.friendster.com/

Mengapa laki-laki dianggap NORMAL untuk memiliki nafsu yang tinggi dan berhak mengumbarnya? Kebalikannya mengapa perempuan diyakini seolah-olah tidak memiliki nafsu? Atau kalau pun memiliki, mengapa perempuan harus selalu menahan nafsunya sekuat tenaga?

Semua KONON berasal dari kejatuhan Adam dan Hawa ke dunia fana ini. Adam dan Hawa yang sedang enak-enaknya hidup di surga yang konon dipenuhi dengan segala hal-hal yang enak-enak, sehingga mereka berdua tak perlu kekurangan suatu apa tahu-tahu harus terlempar ke bumi yang fana ini, yang mengharuskan mereka berdua bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Kejatuhan Adam dan Hawa ini konon disebabkan oleh bujuk rayu setan kepada Hawa untuk makan buah khuldi (well, dalam cerita di Al-Quran, begitulah nama buah itu disebut). Setan berhasil membujuk Hawa, dan kemudian Hawa berhasil membujuk Adam.

Konon Tuhan sangat marah yang kemudian melemparkan mereka ke bumi. Sebagai tambahan hukuman kepada Hawa, sang penggoda, Tuhan memberi dua macam hukuman kepada Hawa, yakni, Hawa akan merasakan kesakitan tatkala melalui fase-fase tertentu dalam hidupnya, untuk menunjukkan kekedewasaannya dan perempuan HARUS mampu menahan hawa nafsunya (terbukti Hawa telah gagal menahan hawa nafsunya dan tergoda rayuan setan.)

Begitulah. Hawa kemudian diwakili oleh seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini. Fase pertama seorang perempuan beranjak ke akil balik adalah menstruasi. Pengalaman pertama mengalami menstruasi bagi seorang perempuan adalah pengalaman yang tidak menyenangkan, penuh kebingungan tatkala tiba-tiba darah keluar dari bagian tertentu tubuhnya, disertai dengan sakit perut, yang kadang bagi sebagian perempuan sakitnya tak tertahankan, ketidaknyamanan secara fisik dan psikis pun melanda.

Fase kedua adalah tatkala melakukan hubungan seks yang pertama. Konon semua perempuan akan mengalami kesakitan yang luar biasa ketika ada satu benda tumpul dipaksa untuk memasuki lubang vaginanya. (Bayangin aja, sekian puluh tahun lubang itu tertutup rapi, bahkan mungkin tak bercelah, dan tiba-tiba ada benda asing memasukinya secara paksa. Jelas sakit!)

Fase ketiga adalah tatkala melahirkan. Tak ada satu pun perempuan yang tidak mengeluh kesakitan ketika dia melahirkan secara alami, bukan lewat operasi caesar.

“Hukuman“ yang kedua adalah bahwa perempuan HARUS selalu menahan hawa nafsunya, seberapa pun inginnya dia melakukan hubungan seks. Perempuan yang tidak dapat menahan hawa nafsu, akan diberi “label” perempuan murahan, bitch, bukan perempuan baik-baik dan lain lain yang sama sekali tidak mengenakkan telinga.

Kebalikan dari hukuman yang ditimpakan kepada Hawa, Adam diberi “hadiah”. Tatkala memasuki fase kehidupan akil balik, seorang laki-laki akan bermimpi basah. Dan katanya, sekali lagi, katanya, (karena aku sendiri tidak mengalaminya, LOL) mimpi basah itu uenak. LOL. Demikian juga tatkala melakukan hubungan seks yang pertama; perempuan merasakan kesakitan, laki-laki, enak-enak aja. (Bener nggak yah? LOL. Someone out there, a guy, tell me please??? LOL.)

Hadiah berikutnya, jika perempuan HARUS menahan hawa nafsunya, laki-laki BOLEH mengumbarnya kapan saja mereka menginginkannya. Bahkan jika laki-laki mampu menunjukkan kemampuannya mengumbar hawa nafsunya, dia akan diberi “label” jagoan, perkasa, dll yang memuakkan itu. (well, bagiku, MEMUAKKAN)

MITOS inilah yang melatarbelakangi bahwa laki-laki memang diciptakan dengan memiliki hawa nafsu yang tinggi sedangkan perempuan rendah. Karena hawa nafsu yang tinggi ini, kemudian akan dimaklumi jika mereka selalu memandang perempuan sebagai objek seks dan kemudian mengumbar nafsunya di mana pun mereka berada. Perempuan yang memang sudah terbiasa menahan hawa nafsunya dengan sekuat tenaga, mereka menjadi merasa memang tidak memiliki hawa nafsu setinggi laki-laki, selain juga keengganan untuk dicap sebagai bitch, perempuan murahan.

Tatkala mulai muncul gigolo, PSK laki-laki, di pertengahan abad 20, hal ini menunjukkan bahwa sebenanrnya perempuan pun memiliki nafsu yang tinggi, sama tingginya dengan laki-laki, kalo mereka mau mengakui. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai, jika perempuan yang memiliki hawa nafsu sama tingginya dengan laki-laki bisa menahan nafsunya, dan tidak menganggap laki-laki sebagai objek seks, SEHARUSNYA laki-laki pun mampu menahan nafsunya, sehingga tidak perlu terjadi pelecehan seksual kepada perempuan YANG TIDAK MENYEDIAKAN DIRINYA UNTUK DILECEHKAN. Jika semua laki-laki bisa menahan nafsu, dan menjaga otaknya dari pikiran kotor, tak perlu lagi ada RUU APP yang hanya menempatkan perempuan sebagai kriminal hanya gara-gara berpakaian yang DIANGGAP VULGAR.

Kembali ke dongeng Adam dan Hawa. Konon Hawa diciptakan sebagai manusia yang kedua. Dalam buku yang berjudul “Setara di hadapan Allah”, Riffat Hassan dan Fatima Mernissi mementahkan interpretasi bahwa Hawa adalah manusia yang diambilkan dari rusuk Adam. Bagi yang tertarik untuk mempelajarinya, cari aja bukunya di toko buku. LOL. Atau cari aja di internet versi bahasa Inggrisnya.

Seorang teman yang beragama Kristiani mementahkan mengapa Hawa yang disalahkan dengan kejatuhan nenek moyang kita itu ke bumi dengan mengatakan, bahwa Hawa, sebagai seseorang yang berfungsi sebagai pelengkap, teman, pembantu bagi Adam, tentu memiliki tingkat intelektualitas yang sama tingginya dengan Adam, atau bisa jadi lebih tinggi. Hal ini untuk mementahkan kepercayaan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari pada perempuan (ciptaan yang kedua tentu lebih sempurna dibanding yang pertama, lelucon kanak-kanak mengatakan begitu. LOL.) Adam seharusnya mampu menggunakan intelektualitasnya untuk menolak bujukan Hawa. Kesalahan ada pada Adam yang tidak menggunakan kemampuan berpikirnya, dan kemudian memakan buah terlarang itu.

17.03 09042006