Tampilkan postingan dengan label MUI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MUI. Tampilkan semua postingan

Minggu, Februari 08, 2009

Perkawinan Beda Agama


Di salah satu milis yang kuikuti ada diskusi sangat menarik, yakni tentang perkawinan beda agama. Diskusi ini berasal dari laporan pandang mata dari seorang member tatkala menghadiri bedah buku ‘Perkawinan Beda Agama’ tulisan Muhammad Munif dan Ahmad Nurkholis, yang diterbitkan oleh GM Pustaka. Tiga pembicara utama bedah buku yakni Prof Musdah Mulia (Muslim), Pendeta Saut Sirait (Kristen), dan Bapak Herman (pemuka agama Buddha).
Sebagai seorang Muslim, dalam postingan ini aku hanya ingin menuliskan tentang pandangan yang disampaikan oleh Prof Musdah, dan bukan diskusi dalam milis secara keseluruhan. FYI, milis ini diikuti oleh orang-orang dari berbagai macam agama, dan kebanyakan dari mereka memiliki sifat broad-minded dan open-minded, selain juga pluralis dan well-educated.
Prof Musdah mengatakan dalam Islam ada tiga pandangan dalam hal ini:
Pertama, haram. Karena banyaknya ulama mengatakan haram, MUI pun dengan serta merta mengeluarkan fatwa haram dalam hal ini. (Jika mengacu ke postingan sebelum ini, tentang fatwa haram merokok, bisa jadi tatkala MUI mengeluarkan fatwa haram untuk perkawinan beda agama pun cuma iseng belaka ya? karena kurang kerjaan. Atau seperti my ex boss bilang, “MUI members get paid to make fatwa.”
Kedua, boleh, asal yang laki-laki Muslim yang perempuan boleh non Muslim. BIAS JENDER banget kan? Alasan utama (menurutku) karena dalam kultur patriarki perempuan menjadi the second sex, selalu pihak yang kalah, maka dalam perkawinan beda agama dimana si perempuan yang Muslim dan laki-laki non Muslim, dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan dari pihak laki-laki agar sang istri mengikuti agama suami. Atau pemaksaan dalam hal anak-anak harus mengikuti agama sang ayah, sang pemimpin keluarga. Kalau begini jadinya dikhawatirkan pengikut agama Islam akan berkurang. LOL.
Ketiga, boleh tanpa ada syarat apapun. Yang penting dalam suatu perkawinan kedua belah pihak setuju untuk menikah, tanpa ada pemaksaan dari satu pihak, bukan karena kasus trafficking, bukan merupakan nikah siri, bukan kasus poligami, maupun pedofil, seperti kasus Puji dan Ulfa. Untuk kasus ketiga ini, menurutku masih sangat jarang di Indonesia yang berpandangan seperti ini. Para anggota MUI apalagi, tentu kebanyakan tidak setuju. Atau mungkin ada baiknya mereka dibayar untuk membuat fatwa baru dalam hal perkawinan beda agama ini? LOL. Selama ada uang, fatwa baru boleh dibuat kali ya?
Lebih lanjut Prof Musdah mengemukakan dalam ajaran Islam ada tiga hal yang harus diketahui:
Aqidah, berhubungan langsung dengan ketuhanan dan kenabian.
Ibadah, hubungan manusia dengan Tuhan, misal shalat dan puasa.
Muamalah, hubungan antara manusia dengan manusia.
Perkawinan termasuk masalah muamalah, hubungan antara satu manusia dengan manusia lain, tidak berhubungan dengan ketuhanan maupun kenabian.
Masalahnya adalah, dalam agama Islam, banyak ulama mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan salah satu ibadah. Lah, kan jadi rancu ya? Tapi memang di Indonesia banyak terjadi kerancuan dalam ketiga masalah di atas, aqidah, ibadah, maupun muamalah. Misal: Orang-orang lupa bahwa masalah ibadah—misal shalat dan puasa—adalah hubungan langsung antara Tuhan dan makhluk-Nya. Banyak orang merancukannya dengan masalah muamalah, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka memiliki hak untuk campur tangan urusan ibadah orang lain.
Masih ada hal-hal lain lagi yang ingin kutulis tentang perkawinan beda agama ini. But karena sesuatu dan lain hal, aku harus mengakhiri tulisan ini. Lain waktu kusambung lagi. Sebagai seorang feminis yang percaya bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk tubuh dan cara berpikirnya, aku setuju bahwa perempuan Muslim pun berhak untuk menikah dengan laki-laki non Muslim.
PT 19.03 080209

Fatwa: Merokok Haram


Lama-lama MUI seperti kurang kerjaan aja yah, sampai masalah merokok pun dibuatkan fatwa. Selain fatwa dalam urusan merokok, MUI pun mengharamkan golput. (Correct me if I am wrong, aku super jarang baca surat kabar hari-hari terakhir ini, selain karena sibuk, tapi juga ‘fed-up’ dengan berita-berita yang menghiasi lembar-lembar koran, plus malas membaca ulasan yang kurang cerdas di surat kabar langganan Nyokap.)
Aku bukan perokok. Aku juga tidak pernah kepikiran untuk mencoba bagaimana rasa rokok itu maupun ‘rasa merokok’, apakah aku akan merasa menjadi ‘cool’ atau maskulin (orang-orang sering salah interpretasi bahwa yang feminis itu non feminin sehingga bisa jadi beranalogi dengan maskulin). Bahkan waktu di usia remaja—konon usia dimana seseorang merasa tertantang untuk melakukan segala sesuatu—aku juga tidak tergoda untuk mencobanya. Waktu mulai kuliah di Sastra Inggris UGM semester 1, aku kulihat beberapa teman sekelas (cewe) mencoba merokok, mumpung tinggal jauh dari orang tua, mungkin begitu jalan pikiran mereka. Dan aku tetap tidak bergeming.
Aku juga tidak begitu peduli apakah orang lain merokok atau tidak. Mungkin karena aku pun sadar bahwa pabrik-pabrik rokok memberi kontribusi paling besar sebagai pembayar pajak di Indonesia. Namun ada satu syarat penting: JANGAN PERNAH MEROKOK DI DEKATKU. My ex hubby used to be a ‘train smoker’, namun dia selalu keluar dari ruangan untuk merokok. Kalau dia mau mati karena kanker, jangan ngajak-ngajak orang lain. Itu intinya. LOL.
Nah, bagaimana dengan fatwa haram untuk merokok?
Aku paling tidak suka tatkala ada paksaan untuk melakukan sesuatu, apalagi ada embel-embel hukuman, untuk sesuatu yang menurutku hanya merupakan ‘little misdemeanor’. Para perokok itu sebaiknya, atau SEHARUSNYA, sadar diri bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain yang berada di dekat mereka. Kalau tidak tahan untuk tidak merokok, ya hormatilah hak para non-smoker (orang lain yang tidak merokok) untuk menghirup udara yang bersih, bebas dari asap rokok.
Namun mengingat banyak orang bilang bahwa kebanyakan orang Indonesia kurang dewasa cara berpikirnya (misal: “Terserah gue dong mau merokok, kenapa elo yang repot? Emang dunia ini milik nenek moyang elo saja?” Mereka lupa bahwa para non-smoker pun bisa mengajukan protes yang sama, “Kalo elo mau bunuh diri pelan-pelan dengan ngisep nikotin, jangan ajak-ajak gue dong. Emang udara ini milik elo doang?”) mungkin ada baiknya juga MUI mengeluarkan fatwa ini. Kebanyakan orang Indonesia harus dipaksa untuk melakukan sesuatu atau harus diancam agar meninggalkan suatu kebiasaan buruk.
Yang pasti I am not included. LOL.
PT56 18.29 080209