Minggu, Agustus 15, 2010

Feminisme: budaya Barat?

Feminisme: budaya Barat?

NOTE: mengingat kata feminisme ‘ditemukan’ pada tahun 1891 untuk mengacu ke gerakan kesetaraan jender kaum perempuan di Amerika, maka kata ‘feminisme’ di judul ini bisa juga dibaca sebagai “kesetaraan jender: budaya Barat?”
“Feminisme adalah gaya hidup orang Barat. Oleh karena itu, kita sebagai orang Timur tidak selayaknya ikut-ikutan mengamininya, karena feminisme bukanlah budaya kita sendiri. Bisa juga ditambahkan bahwa ajaran feminisme itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Itulah sebabnya maka kita sebagai Muslim di belahan bumi Timur dilarang membolehkan budaya asing ini masuk ke dalam kehidupan kita.”

Seberapa sering anda mendapatkan pernyataan yang demikian itu? Atau mungkin justru andalah yang menyatakan keragu-raguan yang seperti itu? Untuk menghadapi keraguan seperti itu (yang kudapatkan dari salah satu postinganku di blog Nana's Cyber Home beberapa tahun lalu) aku sitir definisi budaya dari “World Book 2005” versi digital:
“Culture is a term used by social scientists for a way of life. … People are not born with any knowledge of a culture. They generally learn a culture by growing up in a particular society. … Therefore, one of its characteristics is that culture is acquired through learning, not through biological inheritance. Children take on the culture in which they are raised through enculturation.“

“Kebudayaan adalah sebuah istilah yang digunakan oleh para ilmuwan sosial yang mengacu ke gaya hidup. Seseorang lahir tanpa membawa budaya apa pun. Dia akan mempelajari sebuah budaya di tengah masyarakat dimana dia tinggal. Oleh karena itu, salah satu karakteristik budaya adalah bahwa hal tersebut diperoleh dari pembelajaran, bukan dari warisan biologis. Anak-anak menyerap kebudayaan dengan cara mereka dibesarkan melalui enkulturasi.”

Ribuan tahun yang lalu nenek moyang kita berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari Timur ke Barat, atau mungkin juga sebaliknya sambil membawa gaya hidup (budaya) mereka. Ketika era nomaden usai (dengan ditemukannya teknologi pertanian oleh kaum perempuan) nenek moyang kita mulai menetap di satu tempat sambil mengembangkan gaya hidup mereka, berdasarkan cara berpikir mereka yang disesuaikan dengan kondisi dan iklim tempat mereka tinggal. Hal ini menyebabkan kebudayaan di satu tempat nampak berbeda dengan kebudayaan di tempat lain.

Sementara itu bias jender telah ada sangat lama. “Penemuan” atau pun “pembentukan” agama-agama Ibrahimi pun menguatkan bias jender ini karena para pencetus agama-agama tersebut adalah kaum laki-laki. Itulah sebabnya, tidak di Barat maupun di Timur, kebudayaan yang berkembang – dengan diwarnai oleh kehadiran agama-agama Ibrahimi tersebut – memiliki satu kesamaan: marjinalisasi terhadap kaum perempuan.

Mungkin anda masih ingat kejayaan negara-negara beragama Islam ribuan tahun yang lalu. Banyak ilmuwan Islam menciptakan banyak hal. (Coba cari saja di google, misal dengan menggunakan kata kunci “Muslim scientist inventions”) Namun, perseteruan antara ketiga agama Ibrahimi tersebut – demi untuk mendapatkan label agama yang paling benar, yang kemudian membuat negara-negara tersebut keasyikan berperang – membuat mereka tertinggal di belakang para ilmuwan Barat. Itulah sebabnya ketika negara-negara Barat maju pesat dengan penemuan-penemuan ilmuwan mereka, negara-negara Timur bisa dikatakan masih dalam era kegelapan.

Berkaitan dengan itu, sangatlah dipahami jika para perempuan di belahan bumi Barat terlebih dahulu mulai menanyakan kemarjinalan posisi mereka di masyarakat dibandingkan para perempuan di belahan bumi Timur. Namun, untuk kemudian mengatakan bahwa ideologi feminisme hanya milik Barat sangatlah tidak pas.

Seperti yang kutulis dalam postigan yang berjudul “Feminisme a la Nana Podungge”, perjuangan kaum perempuan Amerika pertama kali ditandai dengan diselenggarakannya KTT Perempuan yang pertama di Seneca Falls tahun 1848. Mesin cetak dan perusahaan penerbitan di negara Barat tentu jauh lebih maju ketimbang negara Timur – misal Indonesia – pada waktu itu. Meski kaum perempuan Amerika diserang dengan adanya “the Cult of True Womanhood” (pengkultusan perempuan sejati) dimana salah satu ‘prinsip’nya adalah perempuan tidak selayaknya menulis, karena menulis itu termasuk ranah maskulin (konon kata ‘pen’ berasal dari kata ‘penis’) di pertengahan abad sembilan belas tersebut, di sana masih bisa ditemukan tulisan-tulisan perempuan.

Di Indonesia, pada masa yang sama, sangat sedikit perempuan yang bisa menikmati ‘kemewahan’ mendapatkan pendidikan. Bisa dipahami jika mereka belum bisa menuangkan protes mereka dalam bentuk tulisan. Untunglah kita memiliki R. A. Kartini sebagai contoh. Dia memberontak belenggu budaya yang mengungkungnya melalui surat-surat yang dia kirimkan kepada teman-temannya di negeri Belanda. Aku yakin protes Kartini ini disebabkan oleh buku-buku berbahasa Belanda yang dia terima dan baca, dimana dia kemudian membandingkan kondisi perempuan di negara Eropa – Amerika pada waktu itu dengan kondisi perempuan di bumi Nusantara.

Sangatlah melecehkan jika dikatakan bahwa kaum perempuan di belahan bumi Timur tak selayaknya berjuang untuk mendapatkan kesetaraan jender. Dengan kata lain, kaum perempuan di belahan bumi Timur dianggap tidak sepantasnya merasa mereka termarjinalisasi, dengan alasan “kesetaraan jender itu milik Barat”.

Di awal kelahirannya, gerakan kesetaraan jender kaum perempuan ini memang dimotori oleh kaum perempuan berkulit putih yang berasal dari kalangan kelas menengah masyarakat sehingga terkesan gerakan mereka tidak mewakili suara seluruh perempuan sedunia. Oleh sebab itu, untuk mengakomodasi suara-suara perempuan lain, yang tidak berkulit putih juga tidak berasal dari kelas menengah, muncullah gerakan-gerakan lain, misal ekofeminisme dan feminisme multikultural yang mewakili perempuan kulit berwarna. Kemunculan gerakan-gerakan ini membuat ideologi feminisme sebagai sesuatu yang sangat membumi, yang sangat dekat dengan kehidupan kaum perempuan dimana saja, termasuk mereka yang tinggal di negara berkembang, seperti Indonesia.

Kebudayaan memang sering dijadikan kambing hitam untuk menolak sesuatu yang baru. Kata kebudayaan terkadang memang disalahgunakan agar manusia bisa menggunakan hak-haknya untuk menilai sesuatu. Seperti yang ditulis dalam World Book, kebudayaan diperoleh melalui cara pembelajaran, bukan melulu menerima begitu saja tanpa enkulturasi. Jika seseorang memiliki cara pandang yang lain dari masyarakat kebanyakan, menggunakan metode pembelajaran mereka sendiri, menggunakan logika mereka sendiri, apa yang salah?

Untuk mengakhiri tulisan ini, apakah ideologi feminisme – dengan ide kesetaraan jender sebagai ‘anak’nya – merupakan budaya Barat maupun Timur tidak lagi penting. Yang lebih penting adalah menggunakan cara berpikir dan kesadaran kita untuk memandang sebuah gaya hidup sesuai atau tidak dalam kehidupan kita. Langkah berikutnya adalah saling menghormati nilai-nilai norma yang dianut oleh orang lain sehingga orang lain pun menghormati kita.

P.S.: Terjemahan dari tulisan yang berjudul “Feminism: A Western Culture?” yang kutulis pada tanggal 21 Januari 2008. The English version can be viewed at Feminism: Western Culture?
Nana Podungge
PT56 14.59 150810


Rabu, Agustus 11, 2010

Tonggak Kebangkitan

“Ideologi Feminisme” sebagai tonggak kebangkitan kaum perempuan lebih mencintai diri sendiri.

Tulisan di bawah ini merupakan terjemahan dari tulisanku yang berjudul “Feminism Ideology” yang bisa di akses di Feminism Ideology kutulis empat tahun yang lalu.

Tatkala membaca buku berjudul KAJIAN BUDAYA FEMINIS karya Aquarini Priyatna (diterbitkan oleh Jalasutra pada tahun 2006), aku terkaget-kaget berulang kali: betapa kita berdua memiliki pengalaman yang sama sebagai sesame perempuan yang merasa mendapatkan ‘awakening’ alias pencerahan dalam ideology feminism. Satu hal aku setuju padanya bahwa seorang perempuan tidak perlu membaptis dri menjadi seorang feminis terlebih dahulu untuk menyadari hak-hak yang mereka miliki dalam kultur patriarki ini. Meskipun begitu, untuk dirinya sendiri, Aquarini merasa perlu untuk ‘mengumumkan’ kepada public sikap politik hidupnya sebagai seorang feminis – aku juga merasakan hal yang sama – untuk menekankan bahwa dia tidak mengikuti ‘jalan setapak’ yang diikuti oleh banyak perempuan Indonesia yang mengimani par a pendukung status quo kultur patriarki.

Pengalamanku ketika rajin ngeblog di A Feminist Blog yang bermarkas besar di Inggris, aku banyak berinteraksi dengan para pengunjung blog yang berasal dari daratan Eropa yang membuatku menyimpulkan bahwa kaum perempuan di belahan bumi Barat sana menyadari kesejajaran posisi  mereka dengan kaum laki-laki, mereka pun nampaknya menikmati hidup mereka tanpa harus selalu berhubungan dengan laki-laki yang konon berhak merasa memiliki mereka, membuat keputusan untuk hidup mereka sendiri, tanpa bertanya pada laki-laki apakah mereka setuju atau tidak. Untuk itu mereka tidak perlu menjadi seorang ‘declared feminist’ seperti yang kulakukan – yang juga dilakukan oleh Aquarini. Namun Indonesia bukanlah Eropa. Masih banyak orang-orang Indonesia yang awam dengan apa yang disebut sebagai ‘kodrat perempuan’ misalnya. (‘Pernyataan’ bahwa perempuan adalah makhluk ‘kasur – sumur – dapur’ kodratkah? BUKAN! Itu hanyalah konstruksi social belaka!)
Tulisan ini terinpirasi oleh artikel Aquarini yang berjudul “Menulis Saya – Perjalanan Menuju Diri yang Baru”.

Perempuan pelu mencintai diri mereka sendiri dengan cara menyediakan waktu luang khusus untuk diri mereka sendiri tanpa harus melibatkan suami dan anak-anak. Kultur di Indonesia yang kuamati selama ini – terutama kultur Jawa dimana aku lahir dan dibesarkan – menyatakan bahwa setelah memutuskan untuk menikah, perempuan tak lagi selayaknya memiliki waktu luang dimana mereka berhak melakukan apa saja sesuka mereka yang tidak terhubung dengan posisi mereka sebagai seorang istri maupun ibu. Mereka harus mendedikasikan seluruh waktu mereka untuk keluarga. Mereka ‘hanya’ berhak menikmati waktu luang tatkala suami pergi bekerja dan anak-anak pergi sekolah; ini khusus bagi mereka para penyandang label ‘ibu rumah tangga’. Waktu luang ini pun harus mereka gunakan untuk mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga, mulai dari bersih-bersih rumah, mencuci, memasak, dlsb. Jika mereka beruntung karena memiliki PRT (pekerja rumah tangga) yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga mereka, mungkin mereka akan memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan sosial, seperti arisan di daerah rumah sekitar, dharma wanita, atau pun berbelanja ke mall, dengan catatan: suami mereka mengizinkan. Jika tidak? Tinggal di rumah.

Konsensus ini telah berlaku selama beberapa puluh tahun (atau mungkin berabad-abad?) Jika seorang perempuan tidak mematuhinya, serta merta masyarakat – bahkan termasuk kaum perempuan itu sendiri – akan melabelinya sebagai ‘perempuan yang tidak baik’.
Aquarini hampir saja menolak beasiswa yang diberikan kepadanya untuk melanjutkan studinya ke Inggris karena dia tidak berani meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Pada tahun 2006 seorang sobat lamaku harus rela dipergunjingkan orang-orang di sekitarnya manakala dia pergi ke Amerika setelah mendapatkan beasiswa – dengan catatan suaminya telah membolehkannya pergi – hanya karena dia lebih memilih pergi demi studi ketimbang ‘berusaha’ untuk memberikan keturunan kepada suaminya setelah mereka menikah selama kurang lebih enam tahun.

Tahun 2002, seperti Aquarini pun aku hampir tidak jadi mengambil beasiswa yang kudapatkan dengan alasan yang sama: (mantan) suami yang keberatan kutinggal ke luar kota dan anakku.

Tahun 2003 seorang sobat lamaku yang lain tidak jadi melanjutkan kuliahnya ke Jogjakarta (dia tinggal di Semarang) karena suaminya keberatan melepasnya pergi. Dia pun mengiyakan keinginan suaminya – tidak mau ditinggal pergi oleh istrinya – dengan alasan, “Demi kebahagiaan suamiku”.

Seperti Aquarini yang menganggap ideologi feminisme sebagai tonggak kebangkitan dalam hidupnya, untuk lebih mencintai dirinya sendiri, aku pun menganggap kuliahku di American Studies UGM (karena ketika kuliah inilah aku berkenalan dengan ideologi feminisme) sebagai tonggak kebangkitanku untuk lebih mencintai diriku sendiri, menghargai hak-hakku sendiri sebagai perempuan, sekaligus membunuh karakter yang dulu pernah kuciptakan untuk diriku sendiri sebagai ‘angel of the house’. Aku hanyalah manusia biasa, seperti yang diungkapkan oleh Henrik Ibsen dalam dramanya yang terkenal “A Doll’s House”:
HELMER: Before all else, you are a wife and a mother.
NORA: I don’t believe that any longer. I believe that before all else I am a reasonable human being.
A Doll’s House, by Henrik Ibsen, (1999:68)

Seorang perempuan yang bersedia membiarkan dirinya terperangkap dalam posisi “mulia” sebagai seorang istri dan suami, biasanya telah melupakan kenyataan bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa. Dengan mudah dia akan berusaha mengikuti konsensus-konsensus yang ada dalam kultur patriarki, meski tak sedikit kaum perempuan itu yang merasa tidak bahagia.

Aku berharap kaum perempuan Indonesia lebih menyadari hak-hak yang mereka miliki untuk melakukan apa saja yang mereka butuh lakukan, tanpa harus merasa terbebani akan dicap sebagai perempuan yang tidak baik. Aku pun juga berharap kaum laki-laki Indonesia lebih merasa percaya diri untuk melihat kaum perempuannya mengejar karier setinggi yang mereka inginkan sehingga kaum laki-laki tidak memenjarakan mereka dalam penjara sebagai ‘perempuan yang baik-baik’.

Nana Podungge
PT56 16.16 110810

Senin, Agustus 02, 2010

Beragama secara Sosial

Beragama secara sosial, sebetulnya, menyalahi sejarah kelahiran agama itu sendiri. Hampir sebagian besar agama lahir karena sikap yang resisten terhadap praktek sosial yang ada. Dengan kata lain, sejarah kelahiran agama adalah sejarah penyimpangan dari norma yang berlaku. Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu. (Ulil Abshar-Abdalla)

Tatkala membaca kalimat di atas, di satu milis yang kuikuti (topik utama sebenarnya adalah “mempertanyakan puasa”), aku teringat dua hal. Yang pertama tentang seorang teman kos waktu aku kuliah S1 dulu. Aku tinggal di sebuah kos yang terletak di Jalan Kaliurang Km 5. Jumlah penghuni kos sekitar 18 perempuan, rata-rata seusia denganku, atau lebih tua 2-4 tahun. Seingatku hanya ada satu di antara kita yang beragama Katolik.

Di antara yang beragama Islam, ada satu yang dengan konsisten tidak menjalankan ibadah shalat lima waktu. Aku dan kebanyakan temanku yang waktu itu cara berpikirnya masih seperti Fahri Anwar, LOL, tentu merasa sangat prihatin karena kita yakin tentu dia akan berteman dengan setan di neraka setelah hari kiamat nanti. Oleh karena itu, beberapa hal kita lakukan bersama untuk ‘menyentilnya’ agar dia mau menjalankan shalat lima waktu.

Pertama, kita memberi ‘mandat’ kepada teman sekamarnya (kebetulan dia menyewa kamar berdua, beda denganku yang hanya sendirian saja menyewa satu kamar) untuk menyentilnya. Bagaimana caranya? Temanku—sebut saja namanya Jujuk—membaca Alquran dan terjemahannya keras-keras setelah shalat Maghrib di kamar agar teman yang tidak shalat itu—sebut saja namanya Eva—mendengarnya. Jujuk dengan sengaja memilih ayat-ayat Alquran (terjemahannya) dimana (konon, bagi yang mengimani) Allah berfirman agar manusia menjalankan shalat lima waktu dengan teratur. Kalau tidak nerakalah tempatnya, dibakar bersama segala bentuk jin dan setan, kekal di dalamnya. Tentu saja kita bermaksud agar Eva takut dengan siksaan api neraka itu jika tidak shalat, sehingga dia akan shalat.

Apa yang terjadi setelah itu? Eva memilih ngeluyur di ruang TV atau ruang tamu tatkala waktu shalat Maghrib tiba dan dirasanya Jujuk akan ‘menyindirnya’.

Tidak berhasil dengan cara tersebut, aku dan teman-teman menggunakan cara lain. Waktu Eva merayakan ulang tahun, kita mengumpulkan uang untuk membelikannya satu hadiah. Tepat di hari ulang tahunnya, kita ajak dia jalan-jalan ke Kaliurang, sambil membawa berbagai macam makanan dan minuman, kita mengadakan pesta kecil untuknya. Di tengah-tengah acara makan-makan dan nyanyi, tak lupa kita serahkan kado ultah untuk Eva. Eva nampak senang. Namun setelah dia buka kado itu, wajahnya nampak sedikit kesal dan kecewa. Isinya: mukena dan sajadah!

Setelah balik ke kos, dia sempat komplain ke Jujuk, “Kenapa sih teman-teman kok gitu? Sudah tahu aku tidak shalat aku diberi mukena dan sajadah? Mubazir kan? Mending juga aku ga usah diberi apa-apa aku ga bakal tersinggung.”
Aku sudah lupa apa yang dikatakan Jujuk kepadanya.

Beberapa bulan kemudian, tatkala bulan Ramadhan datang untuk pertama kali kita menjalani puasa bersama di kos, aku dan teman-teman terheran-heran melihat Eva begitu antusias menyambut bulan Ramadhan. “Dia ga shalat, ngapain juga dia heboh begitu menyambut puasa?” pikir kita.

Ternyata Eva ikut menjalankan ibadah puasa bersama. Dia mengaku meskipun dia tidak shalat secara teratur, dia selalu menjalankan ibadah puasa, dan bolong hanya waktu dia sedang menstruasi saja. Wah! Jujuk sempat menegurnya dengan mengatakan, “Sia-sia saja puasamu kalau tidak dibarengi dengan shalat. Ibadah itu harus dijalankan bersama-sama, tidak bisa kamu memilih yang mana yang ingin kamu lakukan.”

Malamnya, tatkala kita rame-rame mau menghadiri shalat tarawih bersama di Gelanggang Mahasiswa UGM (waktu itu UGM belum punya masjid kampus yang megah itu, yang sekarang terletak di daerah Kuningan, sebelah Tenggara Fakultas Ilmu Budaya), ternyata Eva dengan malu-malu bilang dia ingin ikut bersama kita. Akhirnya mukena dan sajadah yang kita berikan kepadanya, dia pakai juga. LOL.

Beragama secara sosial, eh? Melakukan ritual agama karena tekanan sosial?

Satu tahun lalu, dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan, aku menulis sebuah artikel untuk mengingat masa kecilku di bulan Ramadhan. Tatkala aku post tulisan itu di blog http://afemaleguest.blog.co.uk dimana kebanyakan pengunjung berasal dari Eropa, seorang teman blog bertanya, heran, “Why did you teach Angie to do such a foolish thing? To starve yourself/herself? What’s the point?” Jika aku menjawab, “Agar masuk surga, atau agar terhindar dari api neraka” tentu aku akan ditertawakan olehnya. LOL. Jawabanku adalah, “I live in Indonesia, where social pressures to do religious teachings are very big. Later after Angie grows up and can use her own common sense, I let her choose what she wants to do. I don’t want her to be judged irreligous or evil or ‘naughty’ by her friends. I am still worried if her mental is not strong yet with that. Let her follow the mainstream first.”

Temanku masih heran, namun dia tidak mendesakku untuk memberikan jawaban yang masuk akal buatnya. LOL.

Hal kedua yang kuingat berdasarkan kalimat “Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu.”

Aku teringat waktu kuliah di American Studies dan mempelajari sejarah awal ‘terbentuknya’ negara Amerika. Para imigran “pertama” adalah kaum yang konon disebut ‘The Pilgrim” yang menaiki kapal Mayflower di awal abad ke-17. Di antara kaum “The Pilgrim” itu ada sekolompok orang yang menamakan diri mereka kaum “Puritan” yang memegang peran sangat penting dalam pembentukan awal koloni-koloni yang berjumlah 13 itu. Kaum “Puritan” ini terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya karena mereka merasa tidak bisa menjalankan agama yang mereka yakini dikarenakan raja Inggris yang sangat memaksakan agama yang dia anut untuk seluruh rakyat Inggris. Sejarah kaum Puritan ini bisa dikatakan sebagai sejarah “kekafiran” mereka terhadap agama yang diyakini oleh para penguasa Inggris di sekitar abad 16-17. Kediktatoran raja Inggris yang menganggap mereka sebagai Kaum Pembangkang/Pembelot atau “The Dissenter” membawa mereka ke the New Land yang “ditemukan” oleh Columbus beberapa abad sebelumnya. Kaum Puritan ini beralasan ingin mendapatkan kebebasan beragama sesuai dengan apa yang meraka yakini.

Setelah berimigrasi ke Amerika, sayangnya mereka pun melakukan hal yang sama dengan raja Inggris, yakni sewenang-wenang kepada mereka yang tidak meyakini agama yang sama dengan mereka. Tidak hanya kepada “penduduk asli” yang mereka sebut suku Indian, juga kepada para imigran lain yang tidak meingimani kepercayaan kaum Puritan, kaum Puritan ini bertindak persis dengan raja yang mereka benci.

Kembali ke topik utama tulisan ini “beragama secara sosial”, kapankah manusia akan bersikap dewasa terhadap agama yang mereka anut, tidak memaksakan kebenaran absolut yang mereka yakini kepada orang lain, dan menghormati agama orang lain, juga menghormati orang lain yang memilih untuk tidak melakukan ritual agama apapun.

-- Nana Podungge yang (pernah) relijius karena tekanan sosial, dan sekarang memilih menjadi sekuler karena ‘fatwa’ dari dalam hati sendiri –
PT56 22.12 130907

Fanatik

Ketika pertama kali berkenalan dengan ideologi feminisme tahun 2003, aku begitu terpesona dengan ide-ide yang terkandung di dalamnya (karena aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuiku bertahun-tahun, yang karena indoktrinasi agama yang sangat kuat yang kuterima sejak kecil membuatku tak berani berpikir bahwa sebenarnya ide perempuan adalah makhluk nomor dua setelah laki-laki hanyalah hasil bentukan konstruksi sosial dan bukanlah diciptakan oleh Tuhan) sehingga aku tak bersedia membaca buku-buku/artikel-artikel yang tidak ditulis dari perspektif feminis. Dengan sengaja aku menghindari berbagai macam tulisan yang ditulis untuk mengukuhkan status quo budaya patriarki. Sebelum aku memutuskan untuk membeli sebuah buku/novel/jurnal, aku harus memastikan dulu bahwa buku/novel/jurnal tersebut ditulis oleh para penulis feminis, atau paling tidak bebas dari bias gender.

Karena itulah seorang teman dekatku menertawakanku atas tindakanku yang menurutnya menggelikan ini. “Hal ini menunjukkan bahwa hati kecilmu sendiri masih merasa khawatir bahwa kamu akan menemukan ideologi lain lagi yang akan mematahkan kepercayaanmu pada ideologi feminisme.” Katanya.
Tatkala membeli buku-buku yang berkaitan dengan Feminisme dan Islam, kebetulan aku menemukan buku-buku tulisan Fatima Mernissi dan Riffat Hassan (diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul “Setara di Hadapan Allah”), Qasim Amin (judulnya diterjemahkan menjadi “Matinya Perempuan”), Nawal El Sadawi (novel berjudul “Perempuan di Titik Nol” dan bukunya yang berjudul “Perempuan dalam Budaya Patriarki”), dll. Dalam artikelnya yang berjudul “Menyikapi Feminisme dan Isu Gender”, Dr. Syamsuddin Arif ternyata melabeli mereka sebagai “Feminis Muslim Radikal”. Seradikal apakah ide yang mereka lontarkan kepada khalayak ramai? Menurutku tentu saja tidak seradikal Mary Daly ataupun Germaine Greer yang memutuskan untuk menjadi homoseksual yang sampai sekarang masih dianggap melenceng dari “norma sosial yang normal”.

Ternyata, dalam proses pembentukan diri menjadi seorang feminis, “perkenalanku” dengan ideologi feminisme telah memanjakan diriku sendiri dengan ide-ide liberal (dan mungkin pula “radikal”) untuk memenuhi karakterku sebagai seorang rebel (penentang) selain untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah memenuhi otakku semenjak kecil. Bila bagi banyak orang Indonesia kata LIBERAL dicurigai sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif, di mataku kata ini menjadi begitu menarik untuk dipelajari. Hal ini membuatku membaca lebih banyak buku yang lebih bervariatif, termasuk buku-buku yang tentu bakal kena sensor oleh guru-guruku tatkala masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (SD Islam), mungkin juga orang tuaku sendiri. 

Keingintahuanku yang besar apakah Tuhan cenderung untuk memilih agama mana yang akan Dia ridhai perlu mendapatkan jawaban. Aku ingat chat yang kulakukan beberapa kali dengan beberapa orang yang tinggal di belahan bumi yang lain tentang “kebenaran absolut” atas satu agama, seseorang berkata, “Bagaimana mungkin seseorang akan percaya bahwa hanya agamanyalah yang benar? Dan pada saat yang bersamaan banyak orang lain lagi yang berpendapat sama, dari agama yang berbeda. Bagaimana mungkin begitu banyak orang mengklaim hal yang sama?”

Selain itu, keyakinanku bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar Maha Penyayang, dan bukan Maha Penghukum maupun Maha Pemarah telah mendorongku untuk membaca buku lebih banyak lagi. Juga keyakinanku bahwa cara berpikir manusia yang sok tahu itu tentulah sangat jauh berbeda dengan cara berpikir Tuhan yang bukan makhluk, melainkan sang Khalik. Kita sering berpikir (atau menuduh) bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan melakukan ini itu, sesuai dengan cara berpikir kita yang tentu sebagai makhluk sangatlah terbatas.

Dan, tanpa kusadari aku mulai meninggalkan sikapku yang menggelikan di tahun 2003 lalu itu. Aku tak lagi memenjarakan diri untuk membaca buku-buku yang ditulis menggunakan perspektif feminis maupun yang ditulis oleh para Muslim fanatik yang dengan mudah menuduh agama atau keyakinan lain sebagai sesat hanya karena mereka tidak beragama Islam. Tentu saja pada saat yang bersamaan aku juga geli (dan kasihan) pada mereka yang beragama Non-Islam yang beranggapan bahwa Islam maupun agama-agama lain (yang tidak mereka peluk) sebagai agama yang sesat. Hal yang menyedihkan pula bagiku karena kemudian hal tersebut membuat mereka sibuk menjelek-jelekkan agama lain dan menghasut agar orang-orang tersebut untuk murtad. 

Siapa tahu di atas sana Tuhan yang kita perjuangkan (dalam agama masing-masing) justru sedih melihat makhluk-Nya berperang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu sampai mengeluarkan darah, mengorbankan jiwa dan raga. 

Atau seperti yang pernah kudiskusikan dengan seorang teman kerjaku yang beragama Kristen, “Eh, siapa tahu ya Tuhan di atas sana malah menertawakan kita yang merasa sok paling benar dalam agama kita.”
Aku tak lagi memenjarakan diri dengan bacaan-bacaan tertentu karena:

  1. Aku memiliki keyakinan yang kuat bahwa keberadaan ideologi feminisme membantu mengurangi penindasan yang dilakukan kepada kaum perempuan. Selain itu, ideologi ini juga membantu melepaskan beban berat di pundak laki-laki yang dipaksa untuk menjadi pencari nafkah utama dalam budaya patriarki.
  2. Aku memiliki keyakinan yang kuat bahwa Tuhan tidak pilih kasih atas umat-Nya yang beragama tertentu. Aku tetap memilih untuk beragama Islam karena aku pun memiliki keyakinan yang kuat pada agama yang telah kupeluk sejak aku lahir. Satu hal yang tentu sangat berbeda dibandingkan kondisiku di waktu lalu: aku Islam karena orang tuaku beragama Islam, seolah-olah aku tidak memiliki pilihan lain. Saat ini aku Islam karena pilihanku sendiri.

Namun aku bukanlah seorang fanatik. Aku bukan seorang feminis fanatik. Banyak teman perempuan yang kukenal lewat milis maupun dari blogging yang mengatakan mereka tidak perlu merasa menjadi seorang feminis hanya untuk berpendirian bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Yang penting mereka tahu hak-hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Aku juga bukan seorang Muslim yang fanatik yang harus memusuhi (meskipun hanya dalam hati, apalagi ditunjukkan dalam tindak tanduk yang nyata dalam kehidupan sehari-hari) orang-orang lain agama. 

Sekitar satu tahun yang lalu aku menemukan satu pepatah bijak mengenai fanatisme ini di salah satu blog seorang teman dari Inggris:
A fanatic is one who can't change his mind and won't change the subject.
Seseorang yang fanatik adalah seseorang yang tidak dapat mengubah cara berpikirnya, dan tidak akan mengubah topik pembicaraannya. 

Kataku sendiri, seorang fanatik hanya mempertontonkan kesempitan nalarnya.

Sir James Dewar mengatakan,
Minds are like parachutes; they only function when they are open.
Otak itu seperti parasut; dia hanya berfungsi tatkala terbuka.
Seorang fanatik membiarkan nalarnya terus tertutup yang berarti otaknya tak berfungsi dengan baik.
Nana Podungge
PT56 11.30 210607