Tampilkan postingan dengan label misogini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label misogini. Tampilkan semua postingan

Kamis, September 08, 2022

Mimpi Basah dan Menstruasi

 postingan ini merupakan lanjutan di link ini.



MIMPI BASAH versus MENSTRUASI


Tatkala sedang ramai-ramainya membahas mimpi basah, seorang mahasiswa asli Papua, yang biasanya menjadi pendengar setia (honestly, it is due to his limited vocabulary in English), tau-tau unjuk jari dan bercerita. Mungkin kali ini dia tak lagi setia dengan mottonya sebagai 'pendengar setia' atau dia 'bernafsu' ingin berbagi kisah, akhirnya dia memberanikan diri bercerita. He did it mostly in Bahasa Indonesia.

 

Konon, ayahnya bercerita kepadanya bahwa perempuan yang muncul di mimpi basahnya yang pertama adalah calon istrinya di masa yang akan datang. Itu sebab ketika ayahnya bertemu dengan ibunya, dia langsung mengenalinya, bahwa perempuan itulah yang akan menjadi istrinya di kemudian hari.

 

Sementara itu, di Papua orang-orang (ternyata masih) mempraktekkan mengasingkan perempuan yang mendapatkan menstruasi ke sebuah bangunan tersendiri, terpisah dari bangunan utama, tempat tinggal keluarga besar. (FYI, ceritanya tidak begitu jelas, apakah hanya selama menstruasi pertama, ataukah sampai menstruasi-menstruasi berikutnya.) Pada saat itu, dia akan ditemani oleh beberapa anggota keluarga perempuan lain. Konon, si perempuan yang baru pertama mendapatkan menstruasi ini, dalam pengasingannya, akan mendapatkan mimpi-mimpi dimana dia akan tahu laki-laki calon suaminya kelak, dan juga jenis profesi apa yang akan dia kerjakan ketika dia sudah dewasa. itulah sebabnya, ibunya pun konon langsung mengenali ayahnya sebagai laki-laki yang muncul dalam mimpinya pada waktu dia dalam pengasingan yang pertama kali.

 

Cerita ini membuat keningku berkerut karena mengingatkanku pada beberapa artikel yang kubaca tatkala melakukan riset untuk tesis. Di zaman dulu, orang-orang pun mempraktekkan hal yang sama, yakni mengasingkan perempuan yang sedang menstruasi ke sebuah bangunan terpencil, yang terpisah dari bangunan utama tempat keluarga besar tinggal bersama. Bukan karena 'agar si perempuan mendapatkan mimpi yang akan memberitahunya tentang calon suami maupun profesi yang akan dia kerjakan', tapi karena PEREMPUAN DIANGGAP MAKHLUK ANEH YANG TIBA-TIBA MENGELUARKAN DARAH DARI DALAM TUBUHNYA.

 

Pada zaman kedokteran belum secanggih sekarang, organ-organ dalam tubuh manusia dianggap sebagai suatu misteri yang maha dahsyat. Orang-orang zaman dulu tidak mengerti mengapa perempuan tiba-tiba mengeluarkan darah tiap bulan; sama tidak mengertinya ketika tiba-tiba perut perempuan menggelembung, dan pada hitungan sembilan bulan tahu-tahu dari vagina perempuan keluarlah manusia mini. Konon, itu sebabnya muncullah istilah 'nenek sihir' karena perempuan dianggap main sihir.

 

Praktek pengasingan perempuan tatkala menstruasi disebabkan oleh kebencian kepada perempuan. Itu sebab aku ga begitu yakin pada pemaparan mahasiswaku itu (agar mendapatkan mimpi tentang calon suami dan profesi?). Tapi mungkin saja beda tempat beda kultur. Masih ada banyak praktek lain yang tentu merugikan kaum perempuan yang dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu kala karena ketidaktahuan mereka tentang banyak hal. Salah satu buku yang saya baca saat melakukan riset untuk menulis tesis adalah "Women's Madness: misogyny or mental illness?" karya Jane M. Usher.

 

Para mahasiswa menjadi terdiam membisu mendengar pemaparanku. Si mahasiswa dari Papua itu memandangku dengan sorot mata yang tidak bisa kujelaskan, mungkin dia tidak rela tatkala kukatakan bahwa pengasingan terhadap perempuan yang sedang menstruasi itu dilandasi karena kecurigaan terhadap perempuan sebagai ahli sihir.

 

PT28 20.52 160610

Kamis, September 26, 2019

Marital Rape




Merupakan satu keprihatinanku ketika menonton video pendek yang mempertunjukkan sekelompok anak-anak usia belasan tahun yang ikut-ikutan demo karena mereka mengatakan sesuatu seperti, "masak sudah menikah tidak boleh nge*e dengan istri sendiri."

Jika bahkan sekelas the so-called 'ulama' saja bilang bahwa marital rape itu tidak ada ("kan perempuan tinggal tidur telentang? Atau tinggal ngangkang? Ga sakit kok." katanya) apalagi anak-anak itu.

Bagi para perempuan yang kebetulan mendapatkan suami yang selalu mau mengerti apakah sang istri sedang mood 'bercinta' atau tidak, atau yang kebetulan suaminya selalu bisa membangkitkan gairahnya meski dalam kondisi lelah seperti apa pun, berbahagia lah. Namun ini tidak berarti bahwa semua perempuan seberuntung itu.

Sekian puluh tahun yang lalu seorang kawan (yang pernah) akrab denganku mengeluh tentang perilaku suaminya. Kebetulan sang suami bekerja sebagai pelaut, sehingga dia sering keluar negeri. Biasanya dia bekerja selama 10 bulan, 2 bulan di rumah. Nah, selama 2 bulan ini lah, kawanku tidak pernah berhenti melayani kebutuhan seksual sang suami. Terkadang ada malam-malam yang kawanku ini sama sekali tidak pernah bisa memejamkan mata karena harus terus menerus 'melayani' sang suami. Aku tidak tahu apakah hal ini dibarengi dengan KDRT -- misal dipukul atau apa kek -- tapi dia mengeluh bahwa 2 bulan saat suaminya di rumah adalah saat-saat terburuk baginya. Padahal dia tahu ketika sedang berlayar, sang suami juga punya 'simpanan' di beberapa negara di luar Indonesia.

Karena tidak tahan, akhirnya dia pun mengajukan gugatan cerai. 'untunglah mereka beragama yang membolehkan perceraian sehingga tidak sesulit mereka yang beragama Katolik, misalnya, yang harus mengajukan pembatalan pernikahan sampai ke Vatikan dan prosesnya butuh waktu berbulan-bulan. 

Kawanku ini masih tergolong 'beruntung'; perempuan yang mendapatkan perlakuan jauh lebih sadis dari suaminya tentu lebih banyak lagi. Cari saja contohnya sendiri. Jika kebetulan kalian berkawan dengan Tania Luna di facebook ini, bacalah kisah seorang perempuan yang dia tulis. Sangat menyedihkan.

Marital rape does exist, pals. Korbannya tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada. Googling saja.

Kamis, Juni 14, 2012

S U N A T



SUNAT

Beberapa saat lalu saya membahas tentang ‘sunat’ di kelas Religious Studies. Untuk materi diskusi, saya mendownload dari http://www.bbc.co.uk/ethics/ Dengan sengaja saya memilih topik ini untuk memperkenalkan ide ‘sunat perempuan’ atau mutilasi genital perempuan kepada para siswa. Dan seperti yang saya perkirakan, anak-anak belum pernah tahu bahwa sunat perempuan, praktek yang mengerikan ini, telah menjadi suatu tradisi di beberapa suku bangsa di dunia.

SUNAT LAKI-LAKI

Memulai diskusi, kita berbincang tentang sunat laki-laki. Salah satu siswa laki-laki yang satu tahun lalu kembali pindah ke Indonesia – setelah tinggal di Amerika selama tujuh tahun – bercerita bahwa dia dan kakak laki-lakinya disunat setelah mereka kembali ke Indonesia. dia berusia sekitar 18 tahun, dengan alasan orangtuanya meyakinkannya bahwa sunat itu untuk kesehatannya sendiri. Dia percaya omongan orangtuanya bahwa penis yang disunat lebih higienis. Setelah disunat, dia sendiri merasa bahwa lebih mudah baginya untuk membersihkan penisnya daripada sebelumnya.

Seorang siswa laki-laki yang lain mengatakan bahwa dia tidak disunat karena ibunya tidak pernah berbincang tentang hal ini dengannya. Dia yakin jika memang sunat ini bagus untuk kesehatannya, ibunya tente telah mengajaknya berbincang tentang hal ini dan menawarinya apakah dia ingin disunat atau tidak. Statistik yang diberikan dalam artikel yang kita bahas di kelas – hanya sekitar 30% laki-laki di seluruh dunia disunat – menunjukkan bahwa memang sebenarnya sunat tidak begitu diperlukan, karena 70% laki-laki yang tidak disunat hidup baik-baik saja.

Dua siswa perempuan berbagi kisah tentang pengalaman kakak laki-laki mereka ketika disunat. Mereka bercerita bahwa sebelum disunat kakak laki-laki mereka telah membahas hal tersebut terlebih dahulu dengan orangtua, terutama ayah: sunat itu penting untuk kesehatan. Selain itu juga karena mereka percaya sunat itu wajib karena merupakan keharusan dalam agama.
Akan tetapi, ketika tahu bahwa hanya Genesis – atau kitab Kejadian Lama – yang memuat keharusan sunat dan bukan di kitab Kejadian Baru juga tidak di Alquran, anak-anak mulai berpikir bahwa sunat dilakukan di banyak daerah di belahan bumi ini dikarenakan alasan tradisi kebudayaan dan bukan karena instruksi agama.

SUNAT PEREMPUAN

Seperti yang tertulis di atas, benarlah bahwa para siswa di kelas saya belum pernah mendengar kisah tentang sunat perempuan sehingga mereka belum pernah menyadari keberadaan praktik berdarah yang tidak manusiawi ini. Orangtua mereka tidak pernah bercerita tentang hal ini. Mereka juga belum pernah mendengar hal ini dari orang lain. Karena dalam kitab Genesis /Kejadian Lama hanya berkisah tentang sunat untuk laki-laki – dan tak satu pun ayat dalam Kejeadian Baru maupun Alquran menyebut tentang sunat perempuan – kita menyimpulkan bahwa sunat perempuan --- atau mutilasi genital perempuan – dikarenakan oleh tradisi budaya tempat-tempat tertentu. Bukan merupakan tradisi keagamaan. (Paling tidak jika kita melihatnya dari sudut pandang ketiga agama Ibrahimi.)

“Mengapa disebutkan bahwa sunat perempuan itu sangat menyakitkan sedangkan sunat laki-laki tidak? Atau paling tidak tidak disebut begitu menyakitkan?” tanya seorang siswa ketika artikel yang kita bahas bersama menyebutkan bahwa sunat perempuan merupakan prosedur yang menyakitkan.

Sunat perempuan menyakitkan mungkin karena sebenarnya pada alat kelamin perempuan tak ada satu titik pun yang perlu dipotong, untuk alasan apa pun – misal untuk alasan higienis. Maka, jika tak ada alasan higienis atau pun keagamaan, mengapa masih banyak orang melakukannya?

Pemotongan alat kelamin ini dikenal secara meluas di budaya dan suku-suku bangsa Afrika. Pemotongan ini dianggap sebagai klimaks inisiasi, suatu proses penting yang harus dijalani baik oleh anak laki-laki maupun perempuan sebelum mereka dianggap dewasa di dalam komunitas mereka. Menurut mereka yang mendukung praktik ini, proses pemotongan alat kelamin perempuan memiliki keuntungan praktis dalam masyarakat yang harus hidup secara keras. Keberanian menghadapi pemotongan alat kelamin ini menunjukkan bahwa seorang perempuan terbukti kuat secara mental dan akan sanggup menghadapi segala tanggungjawab yang harus ditanggung oleh seorang perempuan dewasa. Meskipun begitu, wakil dari banyak negara di Afrika setiap tahun berkumpul setiap tahun untuk berdiskusi dan mencari jalan untuk menghentikan praktik yang tidak manusiawi ini karena mutilasi alat kelamin perempuan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dewasa maupun anak-anak. “Mutilasi ini merupakan prosedur yang sangat berbahaya dan tak mungkin bisa ditarik kembali dimana prosesnya berdampak negatif terhadap kesehatan, kemampuan mengandung, dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi perempuan,” kata Carol Bellamy, direktur eksekutif UNICEF pada tanggal 7 Februari 2005, hari tanpa toleransi terhadap mutilasi alat kelamin perempuan yang diperingati secara internasional.
Perempuan-perempuan di negara Afrika menjalani mutilasi alat kelamin biasanya pada usia yang masih sangat muda – sekitar enam tahun – sehingga hal ini berarti keputusan untuk menjalaninya ada pada orangtua mereka, dan bukan keputusan mereka sendiri. Para orangtua tersebut mungkin saja mengambil keputusan itu dikarena tekanan sosial dan anak-anak perempuan mereka tak bisa mengatakan “JANGAN’ terhadap orangtua meski di kemudian hari anak-anak itulah yang akan mendapatkan dampak negatif yang disebabkan oleh pemotongan alat kelamin mereka tersebut.

SUNAT PEREMPUAN DI INDONESIA

Meskipun praktik sunat perempuan di Indonesia tidak segencar di Afrika, kita tetap bisa mendapatkan praktik ini di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil walau sebenarnya pemerintah Indonesia telah melarang praktik sunat perempuan ini pada tahun 2006. Jika di Afrika, sunat perempuan dianggap sebagai klimaks inisiasi sebelum anak-anak perempuan itu memasuki masa dewasa, bagaimana dengan di Indonesia? artikel dalam link ini  menyatakan ada tiga alasan mengapa beberapa yayasan yang menyelenggarakan acara sunatan massal juga menyertakan sunat perempuan:

·         Sunat perempuan akan menstabilkan libido seorang perempuan
·         Sunat akan membuat seorang perempuan nampak lebih cantik di mata suaminya
·         Sunat akan menyeimbangkan psikologinya

Alasan pertama menguatkan apa yang dikatakan oleh para aktifis perempuan bahwa praktik ini sangat misoginis (membenci perempuan). Laki-laki yang tidak percaya diri dan lemah perlu melakukan sesuatu untuk menaklukkan nafsu seks perempuan. Maka, untuk membuat mereka terkesan digdaya dalam urusan ranjang, mereka harus menjinakkan perempuan terlebih dahulu. Selain melakukan hal yang berhubungan dengan fisik perempuan ini, mereka juga menciptakan prasyarat bagi seorang perempuan agar dianggap sebagai perempuan sejati: dia haruslah tak memiliki nafsu seksual yang liar.

Alasan kedua jelas merupakan alasan yang tidak masuk akal karena kriteria cantik itu berbeda dari satu orang ke orang lain. Sedangkan alasan ketiga sangat salah karena bahkan mutilasi alat kelamin pada diri perempuan ini memberikan dampak negatif secara fisik. Secara psikis, hal ini bisa menyebabkan seorang perempuan trauma seumur hidup, apalagi jika dilakukan oleh seseorang yang tidak ahli dan tidak menggunakan alat yang higienis.

Artikel yang sama melaporkan bahwa sunat perempuan di Indonesia dilakukan tidak seekstrim yang dilakukan di belahan bumi yang lain – terutama Afrika. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan di Indonesia dilakukan hanya dengan menggosok atau menjepit ujung klitoris sampai setitik darah menetes, penelitian yang dilakukan oleh Dewan Populasi pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 82% ibu-ibu yang menjadi saksi sunat anak-anak perempuan mereka  mengatakan bahwa sunat itu dilakukan dengan ada ‘pemotongan’. Artikel lain di link ini  menyatakan bahwa “meski prosedur di Indonesia tidaklah sekasar di negara-negara Afrika dan memotong lebih sedikit daging, prosedur ini tetaplah memberikan akibat kesehatan yang serius.”

Lebih lanjut lagi Laura Guarenti, seorang dokter kandungan dari WHO mengatakan, “Kenyataannya adalah bahwa jelas tidak ada nilai kesehatan dalam praktik sunat perempuan. Maka melakukan hal ini jelas salah 100%.”

Jelaslah. Dalam sunat perempuan tidak ada nilai medis, tak ada tradisi budaya dan juga tak ada kandungan keagamaan. Selain itu, pemerintah Indonesia pun telah ikut meratifikasi pelarangan praktik sunat perempuan pada tahun 2006. Lalu mengapa justru dalam tahun-tahun terakhir ini bahkan lebih banyak ditemukan praktik sunat perempuan di tengah masyarakat? Ketidakmelekan sosial! Ketidakpedulian! Kebencian kepada perempuan! Langkah kemunduran yang diambil oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan adalah usaha untuk melegalkan praktik sunat perempuan dengan cara mengeluarkan himbauan agar praktik ini dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih untuk menghindari efek negatif. Himbauan yang tentu akan membuat orang berpikir bahwa sunat perempuan itu perlu dan penting dilaksanakan.

Maria Ulfah Anshor – seorang penggiat kesetaraan jender – dengan tegas mengatakan, “Saya tidak akan pernah menyarankan untuk melakukan sunat perempuan. Jika semua perempuan disunat, orang percaya bahwa mereka akan menjadi lebih cantik dan tidak liar di tempat tidur sehingga suami mereka akan merasa lebih excited. Namun untuk kaum perempuan sendiri, mereka tidak akan mendapatkan kesenangan sama sekali.”

KESIMPULAN

Bila sunat laki-laki mungkin memiliki keuntungan medis dan disarankan (atau diwajibkan) dari hukum agama – karena tertulis di kitab Kejadian Lama – sunat perempuan tidak memiliki keuntungan medis apa pun untuk perempuan itu sendiri, serta juga tidak disarankan di kitab suci mana pun. Sehingga jelas lah bahwa akar sunat perempuan ini berasal dari kebencian terhadap perempuan yang bermula dari ribuan tahun yang lalu.

GL7 07.34 120612

The English version can be viewed here  

Beberapa komen yang muncul di lapak sebelah, yang bakal digusur tanggal 1 Desember 2012.


rengganiez wrote on Jun 15
Lucunya di Indonesia Kementerian Kesehatan pernah melarang sunat perempuan pada 2006, tapi dianulir pada 2010. Aturan yang plin plan yang menjadi penegas legalisasi sunat perempuan di Indonesia. Pemerintah mengklaim aturan itu dibuat agar perempuan lebih “nyaman” dan higenis. Namun ada yang diabaikan, yakni hak perempuan atas otoritas tubuhnya.
afemaleguest wrote on Jun 15
Lucunya di Indonesia Kementerian Kesehatan pernah melarang sunat perempuan pada 2006, tapi dianulir pada 2010. Aturan yang plin plan yang menjadi penegas legalisasi sunat perempuan di Indonesia. Pemerintah mengklaim aturan itu dibuat agar perempuan lebih “nyaman” dan higenis. Namun ada yang diabaikan, yakni hak perempuan atas otoritas tubuhnya.
Jeng Niez,
ya betul. menyedihkan ya? :'(
rengganiez wrote on Jun 15
Jeng Niez,
ya betul. menyedihkan ya? :'(
ak pernah nulis lama soal ini, tapi untuk urusan kantor...pas nulis itu membayangkan sunatnya udah nyeriiii
afemaleguest wrote on Jun 15
pas nulis itu membayangkan sunatnya udah nyeriiii
aku juga ... perut langsung melilit perih, jantung mendadak berdetak lebih kencang ...
bambangpriantono wrote on Jun 15
Gajiku disunat bulan ini gara2 kebanyakan ijin..:(

*nyambung ora ki?*
afemaleguest wrote on Jun 15
Gajiku disunat bulan ini gara2 kebanyakan ijin..:(

*nyambung ora ki?*
salahmu dewe yen iki :-)
dinantonia wrote on Jun 15
ih ngeri dan merinding bacanya :(
afemaleguest wrote on Jun 15
ih ngeri dan merinding bacanya :(
sama Din :-(
agamfat wrote on Jun 15
laki2 yg menganjurkan sunat perempuan, disunat saja seluruh penisnya
afemaleguest wrote on Jun 15
Agam,
lha kalau yg nyaranin sesama perempuan enaknya diapain ya?
rembulanku wrote on Jun 15
sunat perempuan aku ga bisa membayangkan....

btw, sunat ki bhs inggris opo mbak hehhee
*ga nemu ning kamus jew*
afemaleguest wrote on Jun 15
sunat boso Enggrese 'circumcision' La :-)
onit wrote on Jun 15, edited on Jun 15
di koria jg ada sunat, mbak. tapi trend modern, bawaan dari amrik waktu habis perang sama jepang. sunatnya utk cowo dan dilakukan waktu bayi. apparently it's a christian influence?

http://www.circumstitions.com/Korea.html
agamfat wrote on Jun 16
Jew influence
martoart wrote on Jun 17
Di Afrika sunat perempuan tidak dilakukan dengan memotong klitoris, tapi menjahit hampir sebagian besr labium mayora. Juga tidak untuk menyimbolkan perempuan yang kuat menghadapi alam Afrika, tapi untuk menjaga keperawanan si bocah sampai kelk dinikahkan. Hanya disediakan jalan untuk menstruasi dan kencing, sampai kelak jahitan diuka kembali menjelang malam pertama untuk langsung 'dipakai'. Praktik ini masih berlangsung hingga sekarang. Di Afrika tradisi ini bawaan adat lama, namun pada bbrp wilayah mendapat angin berdasar versi Islam tertentu.

Di Indonesia ada berbagai jenis sunat perempuan. Yang cukup popular adalah yang disebut 'Toreh', yaitu sekadar menorehkan lengkuas, kunyit, atau kencur pada klitoris sebagai satu ritual kedewasaan (sudah tahu sekarang kenapa untuk bocah yg belum dewasa disebut dengan masih bau kencur?). Aku rasa ini cukup aman dan tidak cukup disebut mutilasi. Pada sunat yang cenderung mutilatif ada sedikit pengaruh versi Islam yang kental versi patriarkalnya.
afemaleguest wrote on Jun 19
martoart said
Di Indonesia ada berbagai jenis sunat perempuan. Yang cukup popular adalah yang disebut 'Toreh', yaitu sekadar menorehkan lengkuas, kunyit, atau kencur pada klitoris sebagai satu ritual kedewasaan (sudah tahu sekarang kenapa untuk bocah yg belum dewasa disebut dengan masih bau kencur?). Aku rasa ini cukup aman dan tidak cukup disebut mutilasi. Pada sunat yang cenderung mutilatif ada sedikit pengaruh versi Islam yang kental versi patriarkalnya.
sudah baca file yang bisa diunduh di sini Kang?

http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACU138.pdf
agamfat wrote on Jun 17
Oooo jadi pedofili yg bikin istilah itu bau kencur ya
martoart wrote on Jun 17
agamfat said
Oooo jadi pedofili yg bikin istilah itu bau kencur ya
nah.. kalo ketemu bau kencur Gam? jangan lanjutkan..

Minggu, Februari 13, 2011

Foot-binding versus Corset Wearing

MISOGYNY


Kebencian kepada perempuan (‘misogyny’ adalah terma yang biasa digunakan dalam Bahasa Inggris) telah berusia sangat tua, hingga tidak akan begitu mudah untuk merunutnya kapan hal ini mulai terjadi. ‘Misogyny’ ini membentuk praktik dalam berbagai hal, seperti anggapan bahwa tubuh perempuan penuh sihir hanya karena setiap bulan – secara misterius – mengeluarkan darah; hal ini terjadi sebelum dunia kedokteran menghasilkan ‘ilmu pengetahuan’ bagaimana organ-organ di dalam tubuh perempuan bekerja, bagaimana “tiba-tiba” perut perempuan membesar, dan dalam hitungan bulan keluar makhluk yang mirip manusia dari lubang yang terletak di antara kedua belah pahanya; tidak heran jika terjadi hal-hal yang belum bisa dinalar oleh otak manusia beberapa abad yang lalu, orang-orang yang berkuasa – dalam hal ini laki-laki – akan dengan mudah menimpakan kesalahan pada perempuan yang dianggap telah menggunakan kekuatan sihirnya. Eksekusi terhadap kaum perempuan karena dianggap ahli sihir ini banyak terjadi di Eropa maupun Amerika di abad-abad ketujuhbelas.  Nathaniel Hawthorne mengisahkannya dengan secara tragis namun sangat apik dalam novelnya yang berjudul “the Scarlet Letter”.

contoh gambar pelaksaan 'suttee'

Contoh lain adalah praktik ‘suttee’ di India, dimana seorang perempuan dianggap tak lagi layak hidup jika suaminya – sang tuannya – telah meninggal dunia, maka dia pun harus ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jasad suaminya. Pelabelan ‘mad woman’ hanya karena seorang perempuan tidak mengikuti konvensi masyarakat tentang perempuan baik-baik. Mutilasi alat genital perempuan yang banyak terjadi di benua Afrika dan beberapa negara Arab, hingga ‘foot-binding’ yang banyak dipraktekkan di China, sampai pemakaian korset di Eropa yang menyebabkan tubuh perempuan bagian dalam ‘tumbuh’ tidak semestinya.

Tulisan ini khusus membahas dua praktik yang disebut di atas, Chinese foot-binding dan European corset wearing.

contoh 'hasil' praktik foot-binding'

CHINESE FOOT-BINDING

‘Tradisi’ mengikat kaki perempuan di China ini terjadi dalam kurun waktu kurang lebih satu milenia, dari abad kesepuluh hingga abad keduapuluh. ‘Praktik ini mulai ditinggalkan sekitar tahun 1940. Praktik berawal dari harapan untuk menyamai kaki-kaki para selir raja yang memang sengaja dibentuk untuk menjadi sangat kecil. (Konon agar tidak bisa melarikan diri?) Para selir tentulah dianggap memiliki kecantikan yang di atas rata-rata, maka hal ini pun ‘mengilhami’ para orang kaya untuk melakukan hal yang sama.

Tatkala praktik ini dilakukan oleh para orang kaya, hal ini ‘digunakan’ untuk memamerkan pada khalayak bahwa sang suami adalah seseorang yang kaya raya hingga sang istri tidak perlu bekerja, pun juga melakukan pekerjaan rumah tangga karena dia hanya cukup memberi perintah kepada sang pelayan. Akan tetapi beberapa abad kemudian, praktik yang semula hanya dilakukan pada kaum elite, akhirnya menjalar juga ke kelas yang ada di bawahnya. Barangkali anggapan bahwa seorang laki-laki termasuk kelas ekonomi mapan telah melahirkan kelompok ‘baru’: laki-laki dari kelas ekonomi bawah pun menginginkan istri yang memiliki kaki yang sangat mungil. Dampaknya pun bisa diperkirakan, stereotyping ‘perempuan cantik dan seksi adalah perempuan yang kakinya berbentuk sangat mungil’ dan bakal dijadikan istri laki-laki kelas mapan pun telah membuat para perempuan tidak keberatan jika kakinya dibentuk sedemikian rupa hingga mereka kesulitan berjalan.

contoh hasil pemakaian korset dalam waktu lama

EUROPEAN CORSET WEARING

Kapan mulainya ‘tradisi’ pemakaian korset ini tidak merunut ke satu masa yang jelas. Meskipun begitu, satu sumber mengatakan bahwa korset pertama kali dikenakan oleh Catherine de Medici, istri raja Henry II di Perancis di tengah abad keenambelas. Pada awalnya korset (yang disebut ‘stays’ sebelum abad kesembilanbelas) dikenakan untuk menopang tubuh agar berbentuk silinder, meratakan perut dan mengangkat payudara. Akan tetapi memasuki era Victorian (awal abad kesembilanbelas) dimana domestikasi perempuan dilakukan dengan sangat rigid, dan mulai ‘disebarkan kepercayaan’ bahwa perempuan adalah ‘the weaker sex’ , pemakaian korset ini dipercaya untuk menopang tubuh perempuan karena perempuan adalah makhluk yang lemah hingga tak mampu menopang tubuh sendiri tanpa alat bantu.

Sama dengan fenomena ‘foot-binding’, pemakaian korset ini pun awalnya hanya ‘berlaku’ pada kaum kelas ekonomi tinggi, dimana seorang perempuan tidak perlu bekerja, di rumah pun dia hanya memberikan perintah kepada para pelayan. Ketika kaum perempuan dari kelas ekonomi bawah ‘ikut-ikutan’ mengenakan korset, mereka akan memilih korset yang tidak terlalu mengganggu gerak tubuh – dan juga pengambilan nafas – dan mengenakan pakaian yang tidak terlalu ribet.

Yang sangat mencengangkan adalah sebuah sumber mengatakan bahwa pemakaian korset memiliki nilai ‘moral’ yang cukup tinggi. Jika tali-tali yang terletak di bagian belakang korset diikat dengan sangat kencang, hal ini menunjukkan bahwa sang pemakai adalah seorang perempuan yang saleh, jika tali-talinya tidak begitu kencang, hal ini menunjukkan sang pemakai adalah seseorang yang tidak mampu menjaga moralnya dengan baik. Perempuan perlu mengenakan korset untuk melindungi diri dari laki-laki mata keranjang – bahkan juga dari godaan moralnya sendiri – karena pemakaian korset yang ketat tidak akan memudahkannya untuk melepas baju dan tergoda melakukan hal-hal yang ‘immorally wrong’.

Tidak jauh beda dengan satu peraturan di satu kota di Indonesia yang mengharuskan perempuan yang bekerja sebagai tukang pijat untuk mengenakan celana dalam yang bergembok. Perempuan selalu dituduh sebagai pihak yang akan menyebabkan hal-hal tidak senonoh sehingga perempuan harus dipenjarakan; entah di balik baju panjang dan jilbab, entah celana dalam bergembok, hingga hanya boleh beraktifitas di rumah saja, jika akan keluar rumah harus dengan muhrim, dll.

KESIMPULAN

Kebencian pada perempuan yang akut, namun terjadi dengan sangat ‘halus’ sehingga kaum perempuan sendiri tidak menyadarinya telah terjadi selama berabad-abad. Dua praktik yang disebutkan di atas memiliki persamaan: semula berlaku hanya pada kalangan ekonomi atas namun kemudian menjalar ke kalangan ekonomi bawah. Dalam praktek ‘foot-binding’ diciptakanlah ‘label’ bahwa perempuan akan dianggap ‘cantik’, dan ‘memiliki sex appeal yang tinggi’ (selain juga agar memiliki daya jual tinggi untuk diperistri) akan membuat kaum perempuan menginginkan memiliki kaki yang sangat kecil. Sedangkan dalam praktek ‘corset wearing’, perempuan ‘disihir’ untuk percaya bahwa tubuhnya akan terbentuk bagus, selain juga tubuh lemahnya butuh sokongan, hingga perlindungan diri dari godaan laki-laki mata keranjang, Perempuan menjadi korban sekaligus sebagai pelaku.

Nana Podungge
PT56 07.24 130211