Tampilkan postingan dengan label Semarang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Semarang. Tampilkan semua postingan

Rabu, September 30, 2020

Urban Mobility Plan Kota Semarang

 

Konsultasi Publik III

Urban Mobility Plan

Rencana Aksi dan Implementasi

 

 


Hari Senin 29 September 2020 saya dan Arif Daeng menghadiri acara yang bertajuk "Konsultasi Publik III Urban Mobility Plan Rencana Aksi dan Implementasi" yang diselenggarakan di Hotel Novotel pukul 12.00 - 16.30. Kami berdua mewakili komunitas sepeda kota Semarang.

  

Berdasarkan visi misi kota Semarang, yakni "Kota Semarang Kota Perdagangan dan Jasa yang Hebat Menuju Masyarakat Semakin Sejahtera", Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang tahun 2011 - 2031 meliputi

  

1.     Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berbudaya dan berkualitas

2.     Mewujudkan pemerintahan yang semakin handal dalam meningkatkan layanan publik

3.     Mewujudkan kota metropolitan yang dinamis dan berwawasan lingkungan

4.     Memperkuat ekonomi kerakyatan berbasis keunggulan lokal dan membangun iklim usaha yang kondusif

 

 Hasil skenario komitmen kebijakan transportasi berkelanjutan bisa dibaca di bawah ini:

 

1.     Perbaikan layanan angkutan umum ke simpul-simpul utama transportasi

2.     Pembangunan infrastruktur dan simpul angkutan barang dengan kapasitas yang memadai untuk menjamin ketahanan warga kota

3.     Perbaikan kinerja dan kualitas jalan arteri primer dan sekunder

4.     Pengembangan jalan lingkar luar, tengah, dan dalam

5.     Pembangunan fasilitas dan kawasan transportasi tidak bermotor

6.     Pembangunan Intelligent Transport System

7.     Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi

8.     Meningkatkan pangsa penggunaan angkutan umum menjadi 20% pada tahun 2030

9.     Penurunan polusi transportasi melalui pembangunan sistem transportasi rendah karbon

10.      Peningkatan keselamatan jalan

  


Dari pembahasan sekian strategi dan target Urban Mobility Plan, saya akan melaporkan yang paling penting diketahui oleh kawan-kawan pesepeda.

  

Rencana aksi fisik untuk strategi kendaraan tidak bermotor yaitu

 

1.     Peningkatan fasilitas trotoar dan penyeberangan di jalan arteri dan kolektor dalam kota

2.     Perbaikan akses pejalan kaki dan pesepeda pada simpul-simpul angkutan massal

3.     Pengembangan satu kawasan Transportasi Tidak Bermotor baru (selain seperti 'rahasia umum' yakni area Kota Lama)

4.     Pengembangan jaringan fasilitas pesepeda di koridor angkutan massal

 

 UMP merencanakan akan dibangun jalur khusus sejauh 12,8 kilometer untuk BRT dari Simpang Ngaliyan sampai Simpang Sukarno Hatta. Jalur sepeda direncanakan juga disediakan berdampingan dengan jalur khusus untuk BRT ini. Seperti kita tahu area Krapyak memiliki badan jalan yang sangat lebar sehingga bisa dibagi untuk jalur khusus BRT dan jalur sepeda.

 


Berita menggembirakan dari pihak Trans Semarang yakni mereka akan mengeluarkan peraturan yang jelas bahwa sepeda lipat boleh dibawa naik bus Trans Semarang, terutama jika bus dalam kondisi tidak penuh penumpang. Seperti yang kita tahu selama ini, ada kawan-kawan pesepeda yang 'beruntung' bisa naik BRT dengan membawa sepeda lipat, sedangkan ada juga kawan-kawan yang ditolak. Pihak Trans Semarang berdalih bahwa belum semua petugas di lapangan tahu peraturan baru bahwa SEKARANG sepeda lipat boleh dibawa naik BRT.

  

(FYI, sekitar 3/4 tahun lalu saya dan Tami menghadiri Forum Group Discussion yang membahas hal ini juga, pihak dishub propinsi membolehkan sepeda lipat dibawa masuk BRT, namun dishub kota melarang, dengan alasan BRT yang menjadi angkutan massal primadona sering penuh dengan penumpang jadi sudah menyediakan ruang untuk mereka yang membawa sepeda lipat.)

 

Untuk sementara ini, masih sepeda lipat yang bisa dibawa naik BRT, sepeda jenis lain belum bisa.

 

 Ketika membahas jalur sepeda, UMP sudah merencanakan seperti yang saya tulis di paragraf atas, yakni dibangun bersamaan dengan jalur khusus untuk BRT. Saya mencoba menyatakan bahwa jalur sepeda yang benar-benar aman dan nyaman untuk pesepeda kebanyakan (bukan pembalap ya) misal para bike-to-worker adalah seperti yang di beberapa dekade lalu kita kenal sebagai 'slow lane' alias jalur lambat, yang terpisah dari fast lane alias jalur cepat. Jika ada target di tahun 2030 penggunaan angkutan massal akan mencapai 20% dari total perjalanan orang, dan cakupan layanan angkutan umum mencapai 80% dari luas wilayah kota, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan agar kian banyak warga beralih ke angkutan massal, maka jalan raya tidak akan dipenuhi kendaraan pribadi sehingga mengurangi kepenuhan jalan raya atas kendaraan pribadi yang mungkin bahan bakarnya tidak ramah lingkungan.

  

Perwakilan dari Kasatlantas menyatakan bahwa pihak Satlantas telah melakukan kajian menyediakan jalur sepeda di sekitar Simpanglima, Jalan Gajahmada, Jl. Depok, Jalan Pemuda (dari Paragon sampai Tugumuda), Tugumuda, Jalan Pandanaran.

 

Demikianlah point-point yang bisa saya laporkan. Terima kasih.

 

Nana Podungge

Ketua B2W Semarang

 

PT56 21.58 30 September 2020

 

Senin, Juli 08, 2013

JALAN RAYA : MILIK SIAPA?

JALAN RAYA : MILIK SIAPA?

JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG

Dengan semakin semaraknya jalan raya dengan para pesepeda, dan juga rasa ‘iri’ terhadap beberapa kota lain di Indonesia yang telah memiliki jalur sepeda, di tahun 2010 (tanggal 11 April dan 6 Juni 2010) Komunitas B2W (Bike to Work) Semarang mengadakan talk show yang diberi tajuk DESAK PEMERINTAH SEMARANG UNTUK MENYEDIAKAN JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG. Di talk show yang kedua, Ari Purbono, selaku ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah waktu itu (yang juga diajukan sebagai calon wali kota Semarang oleh sebuah Partai Politik) berjanji bahwa jalur sepeda akan segera direalisasikan. Guntur Risyadmoko, salah satu keynote speaker dari Dinas Perhubungan mengiyakan pernyataan ini, paling lambat akhir tahun 2011.

Awal tahun 2012

jalur sepeda di Semarang, foto dijepret 7 Juli 2013

Jalur sepeda akhirnya memang ada di Semarang! Untuk mewujudkan janji menyediakan jalur sepeda, pemerintah memilih Jalan Pemuda, Jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Ahmad Yani dan kawasan Simpang Lima, jalan-jalan utama kota Semarang. Jalur sepeda yang ditandai dengan marka garis berwarna kuning, dengan gambar sepeda di tengah-tengah, berada di sisi paling kiri, lebar sekitar satu meter. Jalur sepeda ini bisa didapati di dua jalur yang berlawanan, misal di Jalan Pemuda, di jalur yang menuju arah Utara, maupun di jalur yang menuju arah Selatan.

Akan tetapi ketika ditelusuri, jalur sepeda itu tidak benar-benar bisa dinikmati oleh para pesepeda, karena sering jalur itu justru dipakai untuk parkir mobil maupun motor. Apalagi di Jalan Pandanaran dimana terletak toko-toko yang berjualan makanan oleh-oleh asli Semarang. Di depan toko-toko tersebut, tak lagi terlihat jalur sepeda, karena dipenuhi dengan mobil yang berderet parkir.

Maka kemudian muncul tuduhan bahwa jalur sepeda ini akan mematikan ladang rezeki tukang parkir. Atau menyulitkan para pemilik usaha untuk menyediakan lahan parkir karena terbatasnya ruang yang ada.

Jika kemudian jalur sepeda itu tidak benar-benar dimanfaatkan untuk melajunya para pesepeda, lantas untuk apakah jalur sepeda itu disediakan? Hanya sekedar untuk menghamburkan uang rakyat? Lalu bagaimana menyelesaikan masalah parkir?

REBUT RUANG KOTA

Mulai pertengahan tahun 2010, ada gerakan “menyepedakan masyarakat” dengan jargon REBUT RUANG KOTA! Tidak jelas siapa yang melontarkan ide yang menggunakan istilah “critical mass” ini. Di Semarang event ini disebut “Semarang Critical Mass Ride” yang dilaksanakan setiap hari Jumat terakhir tiap bulan. Para pesepeda berkumpul di Jalan Pahlawan pukul 19.00 dan kemudian bersepeda bersama-sama keliling kota, sesuai rute yang dipilih pada hari itu.

nite ride 30 Juli 2010

Sesuai dengan jargonnya, gerakan ini konon diharapkan akan mampu merebut ruang kota hanya untuk para pesepeda, tak lagi ada tempat untuk mereka yang menaiki kendaraan bermotor. Di awal penyelenggaraannya, ratusan pesepeda yang hadir benar-benar memenuhi badan jalan di seluruh rute yang dilewati, hingga tak menyisakan tempat bagi pengguna jalan lain, tanpa ada “road captain” yang memimpin, tanpa “marshall” yang mengawasi para pesepeda, juga tanpa “sweeper” yang mengecek apakah ada peserta yang ketinggalan.

Bisa dibayangkan betapa kesalnya para pengguna jalan lain jika melihat kearoganan ini. Bukankah jalan raya itu milik bersama? Para pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki? Alih-alih menarik orang untuk beralih naik sepeda dan meninggalkan kendaraan bermotor mereka, justru gerakan “rebut ruang kota” ini akan membuat orang tak simpatik dengan para pesepeda. Akibatnya mereka akan tetap berkendaraan bermotor, tetap membutuhkan bahan bakar yang bakal habis satu saat nanti, dan terus menyebabkan polusi udara.

Sekitar dua tahun kemudian, “Semarang Critical Mass Ride” tak lagi ada pengikutnya. Entah mengapa.

JALUR SEPEDA DI PURWOKERTO

Bulan Maret 2013 aku dan Ranz berkesempatan gowes di kota Purwokerto, dalam rangkaian bikepacking Solo – Purwokerto. Kita sangat terkesan dengan jalur sepeda yang ada disana. Di salah satu jalan utamanya, Jalan Jendral Sudirman, kita dapati jalur sepeda hanya di satu sisi. Di jalan yang sama, di jalur yang berlawanan arah, di sisi paling pinggir kiri digunakan untuk parkir kendaraan bermotor. Maka, tak ada kendaraan bermotor yang menghalangi pesepeda menggunakan jalur yang disediakan buat mereka. Di beberapa tempat, kita menemukan poster yang bertuliskan “keselamatan jalan tanggung jawab kita semua; beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya.”

beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya

Ini adalah ide yang bagus untuk diterapkan di kota Semarang, mungkin juga di kota-kota lain. Jalur sepeda tetap ada dan dimanfaatkan oleh para pesepeda; lahan parkir di satu jalan pun tetap ada sehingga tidak mematikan ladang rezeki para tukang parkir. Para pengendara kendaraan bermotor pun tidak perlu bingung mencari tempat parkir.

PENUTUP

Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 pasal 106 ayat 2 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda.” Ayat ini jelas mengatakan bahwa jalan raya itu milik semua yang menggunakannya, para pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki.

Dalam prakteknya, meski UU ini disahkan empat tahun lalu, ayat tersebut kurang dikenal masyarakat dengan bukti masih banyak ditemukan arogansi para pengendara kendaraan bermotor kepada para pesepeda, juga pejalan kaki. Sebagai seorang praktisi bike-to-work maupun pehobi bikepacking, terlalu banyak pengalaman tersingkirkan di jalanan, demi keselamatan diri dikarenakan hanya dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan lain. Namun, tetap, semua orang berhak menggunakan jalan raya bersama-sama, dan saling menghormati pengguna jalan lain.

Nana Podungge
seorang bike-to-worker dan bikepacker


PT56 19.00 070713

Selasa, Januari 17, 2012

Jalur Sepeda di Semarang

Dan satu kali aku dikejutkan dengan postingan sebuah foto di grup 'b2w Semarang' maupun 'Komselis' yang menunjukkan bahwa JALUR SEPEDA telah hadir di kotaku tercinta, Semarang!

jepretan Mas Budenk
Rasa haru segera meruak karena aku teringat usaha Komunitas b2w Semarang untuk 'mendesak' pemerintah kota untuk menyediakan jalur sepeda, demi keamanan pesepeda di Semarang -- me included for sure -- ketika bersepeda, baik ketika sedang bike to work (alias berangkat kantor naik sepeda) maupun ketika sedang berolahraga di akhir pekan. Pertama, kita mengadakan TALK SHOW JALUR SEPEDA pada tanggal 11 April 2010 yang ktia selenggarakan di halaman depan McD Mall Ciputra. (Check the link at http://nana-podungge.blogspot.com/2010/04/jalur-sepeda-please.html ) Talk show yang kedua kita selenggarakan pada tanggal 6 Juni 2010 di halaman kantor koran Kompas di Jalan Menteri Supeno.

spanduk yang b2w Semarang buat di tahun 2010
WOW! akhirnya impian para pesepeda Semarang pun terwujud.
AKAN TETAPI ...
Ternyata nampaknya apa yang dikatakan oleh seorang online buddy di FB yang tinggal di Bandung tentang jalur sepeda di Bandung pun terulang di Semarang. :( Jalur sepeda yang tersedia tidak digunakan sebagaimana mestinya. You can guess by the very first picture I posted above. Jalur sepeda yang telah disediakan oleh pemerintah kota Semarang di sepanjang Jalan Pandanaran, seputaran Simpanglima dan Jalan Pahlawan hanyalah hiasan belaka.
Pemerintah kota Semarang tidak serius menyediakan jalur sepeda demi keamanan pesepeda? Sang wali kota sekarang hanyalah mengejar pencitraan semata?

sebuah mobil berplat merah diparkir di jalur (supposed to be) sepeda
Hari Senin 16 Januari 2012 untuk pertama kali aku berbike-to-work ke kantorku yang 'baru' yakni di Jalan Majapahit (tepatnya di daerah Gayamsari) sekitar pukul setengah lima sore. Sepanjang jalan Pandanaran yang telah ada jalur sepeda mungkin tidak sampai 25% dari sepanjang jalan itu yang bisa benar-benar kulewati dengan naik sepeda dengan tenang. 75% dari seluruh jalur ditempati oleh mobil-mobil parkir. :( Demikian juga di seputar Simpanglima. Apalagi ketika aku pulang sekitar pukul setengah delapan malam. Bisa dikatakan hampir 90% di 'jalur sepeda' di kawasan Simpanglima dipenuhi mobil-mobil parkir.
Karena lahan parkir tidak tersedia? Para penyedia bisnis tidak paham apa arti 'jalur sepeda'? Ataukah mereka tidak peduli dengan adanya jalur sepeda?

Berapa banyak dana yang telah dikeluarkan oleh pihak pemerintah kota untuk mengecat jalan-jalan tersebut dan para pesepeda tetap terjepit di sela-sela kendaraan bermotor?
Rasa haruku berubah menjadi satu kesedihan. :'(

Nana Podungge
seorang b2wer Semarang
GL7 15.45 17/01/2012

Komen dari lapak sebelah

orangjava wrote on Jan 17
Disini bisa dihajr sama yang naik sepeda....itu namanya kurang ajar dan bisa didenda tinggi....Buta Huruf tuh orang mana pegawai negeri...
afemaleguest wrote on Jan 17
orangjava said
Disini bisa dihajr sama yang naik sepeda....itu namanya kurang ajar dan bisa didenda tinggi....Buta Huruf tuh orang mana pegawai negeri...
aaahhh ...
I wish I could just crash those cars ...
hikkkssss
orangjava wrote on Jan 17
aaahhh ...
I wish I could just crash those cars ...
hikkkssss
stone-throwing!!!!!!!
afemaleguest wrote on Jan 17
orangjava said
stone-throwing!!!!!!!
yeah ... itulah yang ingin kulakukan :'(
orangjava wrote on Jan 17
yeah ... itulah yang ingin kulakukan :'(
Do It for Your RIGHT.......
srisariningdiyah wrote on Jan 17
ini udah ada di berita di televisi beberapa waktu lalu deh, tentang jalur sepeda khusus di semarang
afemaleguest wrote on Jan 17
Jeng Ari,
waduuuhhh aku ga nonton tipi
beritanya bagus atau jelek ya?
onit wrote on Jan 17, edited on Jan 17
mbak nana, kalo di sini jalur sepeda ada 2 jenis:
1) yg sebelahan dgn trotoar, ada pembatasnya
2) yg di atas aspal (seperti yg ada di semarang)

biasanya no.2 terletak di jalan2 sepi (daerah perumahan, jalannya sempit2), dan emang buat mobil parkir. kalo ada yg parkir sih biasanya aku meliuk aja ke bagian yg dilewati mobil, dgn aman krn biasanya gak banyak mobil.

nah, pada kasus di semarang, itu terletak di jalan lebar, tapi ada tandanya p dicoret tak? kalau ada tandanya p dicoret, maka berarti mobil itu melanggar si tanda dilarang parkir. kalo gak ada, mustinya sah2 aja si mobil parkir di situ, karena itu bagian dari aspal (badan jalan).

tambahan: lain halnya kalo mobil itu berjalan. gak boleh di atas jalur sepeda.
afemaleguest wrote on Jan 18
onit said
1) yg sebelahan dgn trotoar, ada pembatasnya
aku ingat ketika aku masih duduk di bangku SMA -- tahun lapan puluhan -- di beberapa ruas jalan kota Semarang memiliki slow lane yang ada pembatasnya, misal di Jalan Pandanaran, Jalan Sugiyopranoto, Jalan Pemuda, Jalan Indraprasta, Jalan Mataram, dll ...

aku ingat waktu masih SMA dulu -- sebelum bokap membelikanku sepeda motor -- aku kadang jalan kaki sepulang sekolah, maka aku berjalan sepanjang Jalan Pemuda dan Jalan Sugiyopranoto, aku merasa aman karena ada pembatas.

aku lupa kapan 'pembatas' itu mulai hilang untuk memperlebar jalan raya. Sekarang yang masih ada di Jalan Indraprasta dan sepanjang Jalan Mataram, namun as you can guess, jalur itu tak lagi bisa dipakai oleh pejalan kaki ataupun pesepeda karena dipakai parkir mobil, motor, dll. di sore hari, jalur itu dipenuhi pedagang kaki lima ...

jika memang pemerintah serius ingin mengembalikan slow lane yang khusus untuk pejalan kaki dan pesepeda, lakukan dengan sesungguh hati dong, ga cuma menggambar jalan dan tidak melakukan hal-hal lain, misal sosialisasi, pengawasan, dll.

waktu b2w Semarang mengadakan talk show tahun 2010 lalu kita sadar penuh bahwa bisa jadi jalur sepeda itu akan mengurangi pendapatan para 'tukang parkir yang mungkin liar' karena mereka tak lagi bisa mendapatkan pendapatan dari menjadi tukang parkir, but, kembalikan lagi kepada pemerintah how to solve it. jangan hanya untuk pencitraan menggambari jalan untuk seolah-olah menunjukkan ada jalur sepeda but then doing nothing more.
afemaleguest wrote on Jan 18
onit said
biasanya no.2 terletak di jalan2 sepi (daerah perumahan, jalannya sempit2),
hmmm ... ini yang kuingat ada di beberapa ruas jalan di Jogja waktu aku gowes dari jalan Kaliurang ke daerah Gedong Kuning -- sekitar 10 kilometer mungkin -- ketika aku melewati jalan-jalan sempit.

entahlah apakah akan dilakukan juga 'penggambaran' ini di ruas-ruas jalan sempit di Semarang
martoart wrote on Jan 17
sebuah mobil berplat merah diparkir di jalur (supposed to be) sepeda
panggil anak2 freestyle bmx untuk menjadikannya media latihan halang rintang.
orangjava wrote on Jan 17
martoart said
panggil anak2 freestyle bmx untuk menjadikannya media latihan halang rintang.
Sambil bawa piso buat nyoret cet........
afemaleguest wrote on Jan 18
martoart said
panggil anak2 freestyle bmx untuk menjadikannya media latihan halang rintang.
terrific idea :)

btw, haruskah kita menunggu ada peraturan mobil dilarang parkir di sepanjang jalur sepeda sehingga para pengendara bmx merasa aman dan tertantang melakukannya?
rembulanku wrote on Jan 17
fasilitas kota ditambahi tapi intine pemerintahe serius rak?
maksudnya, siap turunkan aparat buat bantu mentertibkan lalu lintas
sanksi bila ada pelanggaran, sosialisasi, dsb
afemaleguest wrote on Jan 18
fasilitas kota ditambahi tapi intine pemerintahe serius rak?
maksudnya, siap turunkan aparat buat bantu mentertibkan lalu lintas
sanksi bila ada pelanggaran, sosialisasi, dsb
iya La, harusnya ada tindakan lanjut, minimal sosialisasi dan pengamatan dari pihak yang berkepentingan
agamfat wrote on Jan 17
persis walikota jakarta selatan tuh, pencitraan
afemaleguest wrote on Jan 18
agamfat said
persis walikota jakarta selatan tuh, pencitraan
huuuffffttt T.T

Kamis, April 28, 2011

Dugderan


"Jadilah orang Cina!" adalah judul sebuah cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen PETUALANGAN CELANA DALAM karangan Nugroho Suksmanto. Latar tempatnya ada di Semarang, terutama di daerah Pendrikan dan Magersari, dimana di perbatasan antara kedua daerah inilah sang pengarang lahir.
Cerpen diawali dengan paragraf berikut ini:
"Aku ingat betul pesan bapakku. Kalau ingin jadi pengusaha, aku harus jadi orang "Cina". Maksudnya tidak hanya bergaul dan memahami perilakunya, tetapi juga mendalami budayanya agar bisa sukses seperti mereka."
'warak' icon kota Semarang yang konon mewakili tiga etnis yang paling banyak ditemukan di Semarang, Jawa, Cina, dan Arab

Dalam kisah ini, Nugroho menceritakan pengalaman seorang anak laki-laki berusia awal belasan tahun sebelum bulan Ramadhan datang. Beberapa minggu sebelum Ramadhan, para penghuni Magersari sibuk melakukan berbagai macam kegiatan untuk mengumpulkan dalam rangka merayakan hari Lebaran, Hari Raya terbesar kaum Muslim. Telah menjadi tradisi dalam merayakan Lebaran dengan mengenakan baju baru, pergi keliling kota, makan dan minum sesuka hati. Untuk melakukan ini semua tentu orang butuh uang yang tidak sedikit.

Kegiatan apa sajakah yang dilakukan orang-orang Magersari untuk mengumpulkan uang? Mereka membuat mainan seperti warak ngendog, celengan (tabungan yang terbuat dari tanah liat dalam berbagai bentuk), membuat kue-kue, menjahit pakaian dan kemudian menjualnya pada event DUGDER. Sementara itu, bagi sebagian anak-anak nakal, mereka akan mencoba berjudi, misal main 'dadu kopyok', 'udar-bangkol, 'cap-sa'.
gerabah salah satu mainan 'khas' yang dijual di 'dugderan'

ZAMAN 'MODERN'

Sekarang, meski DUGDERAN masih diselenggarakan oleh pemerintah kota Semarang, 'grengseng'nya tak lagi seheboh seperti yang digambarkan oleh Nugroho Suksmanto dalam cerpennya ini. Orang-orang Semarang tak lagi melakukan hal yang sama dalam mengumpulkan uang untuk merayakan Lebaran -- misal membuat mainan, menerima jahitan pakaian -- mungkin karena sekarang para pegawai telah menerima THR dari tempat kerja mereka masing-masing. Mereka yang memang dalam kehidupan sehari-hari mencari uang dengan membuat mainan, menerima jahitan pakaian atau membuat kue-kue akan meneruskan 'pekerjaan' mereka ini meski tentu menjelang Lebaran omzet mereka akan meningkat pesat. Namun semua ini tak lagi langsung dihubungkan dengan tradisi DUGDERAN.
Anak-anak 'kota' dari kalangan menengah ke atas pun tak lagi tertarik untuk mengunjungi DUGDERAN ini. Konon kebanyakan para penjual yang 'mremo' berjualan berasal dari kota-kota lain di daerah Jawa Tengah. Tahun 2007 lalu terakhir kali aku menyambangi DUGDERAN yang waktu itu diselenggarakan di daerah POLDER Tawang, ada seorang penjual mainan mengaku datang dari Wonogiri. Setiap tahun dia memang khusus datang ke Semarang untuk ikutan mremo dalam tradisi DUGDERAN. Pada kesempatan lain mungkin dia akan berkunjung ke kota lain untuk berjualan mainan yang sama.
Btw, DUGDERAN datangnya masih lama yak?

GL7 14.14 270411
P.S.:
Sebagian merupakan terjemahan dari postinganku di Be a Chinaman!
Untuk mengetahui tentang tradisi 'dugderan' lebih dalam lagi, klik link ini.
Tulisanku tentang Jawa, Cina dan Arab klik link ini.