Jumat, Agustus 15, 2014

Pilpres 2014

Seingatku tak pernah aku merasa begitu 'terlibat' dalam sebuah pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden. Seperti kebanyakan orang, pilpres tahun ini memang demikian istimewa. Yes, you can guess, JOKOWI lah penyebab semua ini.

Aku termasuk orang yang apatis dalam kehidupan politik, sejak dulu. Jika dalam blognya Dee Lestari menulis bahkan sejak pertama kali dia ikut pemilu, dimana waktu itu hanya ada 3 kontestan, dan dia tahu cara curang Golkar memenangkan pemilu, dia telah menjadi golput semenjak usianya mencukupi untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Aku tidak. Aku adalah tipe warga negara yang penurut, (duluuuuu). Sudah tahu Golkar selalu curang, ya aku tetap ikut mencoblos, sejak pertama kali aku berhak ikut.

Aku menjadi golput di pemilu 2004, ketika melihat bahwa reformasi yang didengung-dengungkan sejak tumbangnya orde baru tahun 1998, tidak menunjukkan perkembangan apa-apa dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. (Nampaknya begitu.) Okelah yang menang tidak lagi Golkar -- pemilu tahun 1999 dimenangkan PDIP, tahun 2004 dimenangkan Partai Demokrat -- namun korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap marak. Bahkan mungkin kian marak, jumlah kasus korupsi kian meningkat. Entah kian meningkat atau karena sekarang sudah zaman internet, segala hal kian transparan. Atau karena pemimpin Indonesia tidak sediktator presiden Indonesia kedua yang berkuasa selama 32 tahun ya? Hukum tetaplah menajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Aku menjadi golput lagi di tahun 2009. SBY terpilih lagi. Sialnya di periode kedua SBY segala hal justru memburuk. Kekerasan terhadap minoritas atas nama agama; kasus huk sum yang terkatung-katung; kian merajalelanya front-front yang menyalahgunakan nama agama. Capek banget rasanya membaca berita setiap hari.

JOKO WIDODO

Istilah satrio piningit mulai muncul setelah tumbangnya Orde Baru. Aku pun ikut berharap-harap cemas akan ada seorang satrio piningit yang ditunggu-tunggu. Sekian nama disebut, sekian orang diberi harapan besar. Sekian kekecewaan ternyata tetaplah menyertai.

Hal ini membuatku berpikir bahwa kekuasaan ternyata berdampak sangat buruk. Orang yang dulunya baik pun akan berubah menjadi tamak -- bisa jadi jahat -- jika memegang tampuk kekuasaan. Mungkin aku pun -- yang mengaku pada diri sendiri adalah orang baik -- akan berubah menjadi tamak jika berada di posisi yang sama.

Aku lupa kapan pertama kali aku mendengar nama JOKO WIDODO. Mungkin sekitar tahun 2010 ketika aku sedang menjadi salah satu 'jury' dalam satu event AFS (exchange students). Seorang calon siswa yang akan dikirim keluar negeri kebetulan berasal dari Solo. Ketika diminta berpidato tentang salah satu tokoh Indonesia yang menginspirasi, dia memilih walikota Solo yang lebih dikenal dengan nama Jokowi. That name absolutely didn't ring a bell at all to me. :)

Dan aku tetaplah apatis. Masak ada pejabat di Indonesia yang sama sekali tidak terlibat kasus korupsi, kolusi dan nepotisme? Barangkali belum ketahuan aja lah. :)

Tahun 2011 pertama kali aku berkunjung ke Solo dan menginap disana dua malam. Oh, kota ini berbeda ternyata. Aku terkesan dengan trotoarnya yang sangat friendly terhadap pejalan kaki, pesepeda, dan para penjual kaki lima. (Yang ada di sepanjang Jalan Slamet Riyadi.) Aku juga terkesan dengan Taman Balekambang dan bus wisata tingkat duanya. Pelaksanaan CFD (Car Free Day) juga jauh lebih terkesan rapi dibanding dengan pelaksanaan CFD di Semarang.

Karena kiprah Jokowi ya? Wow.

Di luar dugaan kemudian Jokowi 'dibawa' hijrah ke ibukota! Meski tidak secara langsung mengikuti perkembangan politik di tanah air, waktu pilgub di Jakarta tahun 2012, aku yakin Jokowi bakal menang. Aku tidak peduli apakah waktu itu yang membawa ke Jakarta adalah Jusuf Kalla, Megawati, atau bahkan Prabowo Subianto. Aku tidak peduli. Jokowi seemed an honest and hardworking person. And trustworthy too!

Waktu itu pun diam-diam aku mulai berharap jika memang Jokowi adalah orang yang jujur, pekerja keras dan memiliki kredibilitas tinggi terhadap pekerjaannya, mengapa dia tidak dicalonkan jadi presiden ya dalam pilpres tahun 2014? Tapi kan dia baru menjelang dua tahun menjadi gubernur Jakarta. Bakal diprotes banyak orang ga ya?

Harapanku yang sifatnya diam-diam itu ternyata disambut oleh beberapa orang yang kukenal lewat FB, salah satunya Muhammad Amin yang banyak dikritik juga dipuja para facebooker Indonesia karena status-status spiritualnya yang kontroversial. Awal tahun 2013, dia bahkan sudah mulai menyebar 'harapan' atau 'kampanye' di FB untuk membawa Jokowi ke kursi nomor satu di Indonesia.

Aku senang. Honestly. Ada harapan baru untuk masa depan Indonesia!

Namun aku belum 'tergerak' untuk ikutan mengkampanyekan Jokowi di media sosial.

Usai pileg bulan April 2014 dan melihat perolehan suara PDIP yang kurang dari 20% membuatku miris. Namun satu hal yang membuatku akhirnya ikutan 'berkampanye' (semampuku) lewat media sosial adalah ketika seorang facebooker yang ada di list pertemananku, yang di tahun 2010 lalu pernah lumayan dekat dan sok curhat, membaptis diri sebagai 'srikandi gerindra'. Entah mengapa aku tidak terima. LOL.

Maka mulailah aku ngeshare link-link berita positif tentang Jokowi, dan ... link-link berita negatif terhadap PS. LOL. Tidak hanya lewat FB namun juga twitter. Mendadak kehidupan media sosial-ku begitu menggairahkan! Tak ketinggalan juga tentu aku pun memasang foto "I stand on the right side" untuk foto profile.


Hanya itu yang bisa kulakukan untuk -- semoga bisa -- mendongkrak jumlah para voter untuk mencoblos Jokowi. Selain juga menulis status agar tidak menjadi golput. Jika di pilpres sebelumnya golput adalah satu cara protes kepada negara, tahun ini golput berarti membiarkan capres yang tidak layak dipilih mendapat keuntungan dari kecuekan warga negara.

Well, pilpres sudah selesai. Jokowi sudah dinyatakan menang oleh KPU, meski saat ini kubu capres yang kalah masih berupaya menjegal Jokowi di MK. Bahkan mungkin ga akan berhenti di MK. Kubu mereka mungkin akan meneror pemerintahan Jokowi dengan cara-cara kasar seperti yang selama ini mereka lakukan. Semoga barisan relawan Jokowi akan terus diberi kekuatan untuk mendampingi Jokowi, hingga akhirnya kubu capres sebelah mengakui bahwa Jokowi-lah pilihan tepat untuk membawa perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik. (minimal bagiku hukum tak lagi tajam ke bawah namun tumpul ke atas; tak ada lagi diskriminasi terhadap kaum minoritas; semoga dilanjutkan dengan dibubarkannya front-front yang tidak jelas, hanya menyalahgunakan nama agama; KPK bekerja jauh lebih tegas dan tajam, tak ada perlindungan terhadap koruptor, meski pejabat tinggi sekalipun sehingga kasus korupsi berkurang atau menghilang sama sekali.)

Semoga pemerintahan Jokowi adalah titik tolak Indonesia baru, dipimpin oleh para pejabat yang memang hanya mengabdi untuk rakyat. Semoga!

PT56 21.40 15/08/2014