Di pertengahan dekade lapanpuluhan, mengenakan jilbab bukanlah satu hal yang ngetren. Para pemakainya masih dianggap aneh. Satu kasus yang terjadi pada kakak kelasku waktu aku masih duduk di bangku SMA, tatkala pertama kali dia mengenakan jilbab ke sekolah, dia dipanggil oleh kepala sekolah dan 'diinterogasi'. Dia diberi ultimatum, "Kalau ingin mengenakan jilbab, kamu harus pindah ke sekolah lain. Jika masih ingin tetap bersekolah di sini, lepas jilbabmu!"
Entah dengan alasan apa, akhirnya dia memilih option kedua. Sekolah 'cukup memberinya kelonggaran' dengan memperbolehkannya mengenakan atasan berlengan panjang. Untuk bawahan, dia mengenakan rok sepanjang betis. Untuk sebagian kaki yang masih kelihatan, dia menutupinya dengan mengenakan kaos kaki panjang. Untuk kepala, tentu saja dia tidak diperkenankan mengenakan tutup kepala, maka dia dengan sangat terpaksa harus merelakan kepalanya terlihat telanjang.
Jangan berharap bahwa pada tahun-tahun itu akan menemukan guru-guru sekolah negeri mengenakan jilbab, karena pegawai negeri hukumnya masih 'haram' berjilbab.
Setelah aku lulus SMA tahun 1986, beberapa tahun kemudian, ternyata mengenakan jilbab tiba-tiba menjadi trend baru di dunia fashion. Berbondong-bondong perempuan mengenakan jilbab. Bagi para pemula, mereka akan dielu-elukan oleh orang-orang sekitar, sebagai seseorang yang telah 'tercerahkan'. Jogja, yang mendapatkan label 'kota pelajar', sehingga banyak dikunjungi orang-orang dari seluruh penjuru negeri, tiba-tiba pun memiliki pemandangan yang seragam, dimana-mana kita akan mudah mendapati perempuan berjilbab.
Seorang sobat waktu duduk di SMA pun berjilbab. Namun orang tuanya sempat khawatir jika kemudian hal itu akan membuatnya membatasi pergaulannya hanya dengan mereka yang berjilbab. Memang, pada waktu itu, meski mengenakan jilbab merupakan trend baru, namun keberadaannya belum benar-benar diterima masyarakat, para jilbabers pun terkesan eksklusif. Honestly speaking, aku belum pernah melakukan riset mengapa eksklusifisme ini terjadi, maka aku tidak tahu apakah para jilbabers mengekslusifkan diri karena merasa tidak nyaman berada di lingkungan mereka yang tidak berjilbab, atau apakah mereka yang non jilbab memperlakukan mereka dengan tidak bersahabat? Yang paling parah adalah jika ternyata para jilbabers ini merasa lebih baik dari yang lain karena merasa 'telah dicerahkan', ahlul jannah. :-D dan para non jilbabers adalah mereka yang masih hidup pada zaman kegelapan, ahlun naar. :-P sehingga para jilbabers ini merasa tidak selayaknya bergaul dengan para ahlun naar. LOL.
Memasuki milennium baru, jilbab ternyata mendapatkan tempat yang lebih luas. (Trust me! Agama juga merupakan aset bisnis yang sangat amat menjanjikan bagi para pelaku bisnis.) Pegawai negeri sudah boleh mengenakan jilbab, sehingga berbondong-bondonglah mereka berjilbab, dengan alasan yang hanya masing-masing orang yang tahu. Ketika Angie masuk SMA 3 tahun 2006, guru-guru yang dulu tidak mengenakan jilbab (waktu aku masih duduk di bangku SMA) pun telah banyak yang berjilbab.
Kehebohan UU Pornografi pun berdampak pada seragam yang dikenakan oleh anak-anak sekolah. (NOTE: Perempuan memang tidak akan pernah memiliki tubuhnya sendiri? Dengan memilih jenis pakaian apa yang ingin dia kenakan!) Anak-anak perempuan harus mengenakan rok sepanjang mata kaki dengan alasan agar lebih tertutup sehingga tidak akan membangkitkan hal-hal yang akan bisa bangkit (pada diri laki-laki yang 'straight' tentu saja) jika mereka melihat kaki perempuan yang 'telanjang'. Dan laki-laki pun direndahkan karena dengan ini mereka dianggap hanya melulu berpikir tentang seks tatkala memandang perempuan. Perempuan pun tentu saja juga direndahkan sebagai makhluk yang hanya akan membangkitkan syahwat laki-laki saja.
Ekslusifisme?
Akankah mengenakan jilbab membuat seseorang akhirnya membatasi diri dalam lingkup pergaulan? Para jilbabers seyogyanya bisa menjawab pertanyaan ini sendiri-sendiri; dan tidak selalu harus memiliki jawaban yang seragam. (Bukankah keseragaman itu membosankan? Dan pluralisme merupakan satu keniscayaan?) No matter what, di Indonesia, mengenakan jilbab bukan merupakan satu halangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi mereka yang tertarik dengan topik jilbab, tentu akan mendapati link ini sangat menarik untuk disimak dan dijadikan bahan renungan. Penulisnya bisa dihubungi di Facebook di sini
Women ... choose anything you want to do because your heart says that ... not because of society, not because of culture, and not because of your very own parents.
PT56 21.26 030411
Entah dengan alasan apa, akhirnya dia memilih option kedua. Sekolah 'cukup memberinya kelonggaran' dengan memperbolehkannya mengenakan atasan berlengan panjang. Untuk bawahan, dia mengenakan rok sepanjang betis. Untuk sebagian kaki yang masih kelihatan, dia menutupinya dengan mengenakan kaos kaki panjang. Untuk kepala, tentu saja dia tidak diperkenankan mengenakan tutup kepala, maka dia dengan sangat terpaksa harus merelakan kepalanya terlihat telanjang.
Jangan berharap bahwa pada tahun-tahun itu akan menemukan guru-guru sekolah negeri mengenakan jilbab, karena pegawai negeri hukumnya masih 'haram' berjilbab.
Setelah aku lulus SMA tahun 1986, beberapa tahun kemudian, ternyata mengenakan jilbab tiba-tiba menjadi trend baru di dunia fashion. Berbondong-bondong perempuan mengenakan jilbab. Bagi para pemula, mereka akan dielu-elukan oleh orang-orang sekitar, sebagai seseorang yang telah 'tercerahkan'. Jogja, yang mendapatkan label 'kota pelajar', sehingga banyak dikunjungi orang-orang dari seluruh penjuru negeri, tiba-tiba pun memiliki pemandangan yang seragam, dimana-mana kita akan mudah mendapati perempuan berjilbab.
Seorang sobat waktu duduk di SMA pun berjilbab. Namun orang tuanya sempat khawatir jika kemudian hal itu akan membuatnya membatasi pergaulannya hanya dengan mereka yang berjilbab. Memang, pada waktu itu, meski mengenakan jilbab merupakan trend baru, namun keberadaannya belum benar-benar diterima masyarakat, para jilbabers pun terkesan eksklusif. Honestly speaking, aku belum pernah melakukan riset mengapa eksklusifisme ini terjadi, maka aku tidak tahu apakah para jilbabers mengekslusifkan diri karena merasa tidak nyaman berada di lingkungan mereka yang tidak berjilbab, atau apakah mereka yang non jilbab memperlakukan mereka dengan tidak bersahabat? Yang paling parah adalah jika ternyata para jilbabers ini merasa lebih baik dari yang lain karena merasa 'telah dicerahkan', ahlul jannah. :-D dan para non jilbabers adalah mereka yang masih hidup pada zaman kegelapan, ahlun naar. :-P sehingga para jilbabers ini merasa tidak selayaknya bergaul dengan para ahlun naar. LOL.
Memasuki milennium baru, jilbab ternyata mendapatkan tempat yang lebih luas. (Trust me! Agama juga merupakan aset bisnis yang sangat amat menjanjikan bagi para pelaku bisnis.) Pegawai negeri sudah boleh mengenakan jilbab, sehingga berbondong-bondonglah mereka berjilbab, dengan alasan yang hanya masing-masing orang yang tahu. Ketika Angie masuk SMA 3 tahun 2006, guru-guru yang dulu tidak mengenakan jilbab (waktu aku masih duduk di bangku SMA) pun telah banyak yang berjilbab.
Kehebohan UU Pornografi pun berdampak pada seragam yang dikenakan oleh anak-anak sekolah. (NOTE: Perempuan memang tidak akan pernah memiliki tubuhnya sendiri? Dengan memilih jenis pakaian apa yang ingin dia kenakan!) Anak-anak perempuan harus mengenakan rok sepanjang mata kaki dengan alasan agar lebih tertutup sehingga tidak akan membangkitkan hal-hal yang akan bisa bangkit (pada diri laki-laki yang 'straight' tentu saja) jika mereka melihat kaki perempuan yang 'telanjang'. Dan laki-laki pun direndahkan karena dengan ini mereka dianggap hanya melulu berpikir tentang seks tatkala memandang perempuan. Perempuan pun tentu saja juga direndahkan sebagai makhluk yang hanya akan membangkitkan syahwat laki-laki saja.
Ekslusifisme?
Akankah mengenakan jilbab membuat seseorang akhirnya membatasi diri dalam lingkup pergaulan? Para jilbabers seyogyanya bisa menjawab pertanyaan ini sendiri-sendiri; dan tidak selalu harus memiliki jawaban yang seragam. (Bukankah keseragaman itu membosankan? Dan pluralisme merupakan satu keniscayaan?) No matter what, di Indonesia, mengenakan jilbab bukan merupakan satu halangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi mereka yang tertarik dengan topik jilbab, tentu akan mendapati link ini sangat menarik untuk disimak dan dijadikan bahan renungan. Penulisnya bisa dihubungi di Facebook di sini
Women ... choose anything you want to do because your heart says that ... not because of society, not because of culture, and not because of your very own parents.
PT56 21.26 030411
Tidak ada komentar:
Posting Komentar