Tahun ini untuk pertama kali aku mengemban ‘tugas negara’ sebagai proctor alias penjaga Ujian Nasional. Maklum baru tahun ajaran ini pula aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru sekolah.
Kita semua tahu betapa Ujian Nasional (yang dulu lebih dikenal sebagai EBTANAS) telah menjadi polemik yang hangat di tahun-tahun terakhir ini; kontroversi pro dan kontra dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah menginginkan agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh negeri memenuhi standard tertentu yang dimiliki oleh pemerintah. Lulusan sebuah SMA di pedalaman Kalimantan yang mungkin sekolahnya tidak memiliki fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah di kota besar di pulau Jawa diharapkan memiliku mutu yang sama dengan lulusan SMA N 3 Semarang (sebagai pengemban Sekolah Berstandar Internasional pertama di Semarang). Alasan yang dimiliki oleh mereka yang kontra adalah “keberhasilan seorang siswa hanya ditentukan pada empat hari diselenggarakannya Ujian Nasional” yang seolah-olah menghapus kerja keras para siswa sejak kelas X.
Seorang teman yang kebetulan memiliki jabatan sebagai kepala sekolah mengaku sangat stress menjelang penyelenggaraan Ujian Nasional. Stress ini lebih meningkat lagi tatkala hasil Ujian Nasional diumumkan. Kekhawatiran dicap sebagai kepala sekolah yang tidak becus sangatlah menggayuti pikirannya.
Berawal dari cara berpikir inilah akhirnya dia memaklumi tatkala ada kabar ataupun gosip-gosip yang bisa jadi menghancurkan reputasi kepala sekolah tertentu.
Berikut akan kutulis sedikit pengalamanku menjadi pengawas Ujian Nasional di sebuah sekolah di Semarang. (FYI, pengawas Ujian Nasional selalu berasal dari sekolah lain.)
Hari pertama, kita semua pengawas dikumpulkan di ruang sekretariat untuk menerima pengarahan dari kepala sekolah SMP tersebut pada pukul 06.30. Pukul 07.40 bel berbunyi, pengawas dan siswa yang mengikuti ujian menuju ke ruangan yang masih digembok, untuk sterilisasi. Pengawas ujian membuka gembok tersebut dan mempersilakan peserta ujian memasuki ruangan. Ujian sendiri dimulai pukul 08.00.
Tiga puluh menit kemudian, seorang guru dari SMP tersebut datang ke ruangan, menyodorkan ‘attendance list’ untuk pengawas. Orang ini, dengan sok akrab memelukku dari belakang, sembari berbisik, “Bu, jangan galak-galak ya? Kasihan murid-muridku kalau sampai tidak lulus.”
Aku tersenyum, berusaha memaklumi.
Tak lama kemudian, penjaga yang berada di ruangan yang sama denganku mulai mengajakku ngobrol dengan suara yang cukup keras. (Dia mengaku akan pensiun tahun depan, so you can imagine how old she is now. She is absolutely one senior teacher.) Hal ini membuat para peserta ujian merasa ‘diberi kesempatan’ untuk saling mencontek. Langsung kulihat beberapa anak menoleh kesana kemari mencari contekan. Ketika aku akan mengingatkan anak-anak itu, the senior teacher bilang, dengan nada sangat bersahabat, “Ayo cah, ojo rame-rame! Wes bar po? Yen durung bar, yo dilanjutke wae.” Kulihat hal ini tidak membuat anak-anak takut. Tetap dengan berani mereka menoleh kesana kemari.
I learned my lesson very quickly. This senior teacher memang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk saling mencontek.
Hatiku tidak terima. Tapi apa boleh buat? I am just a new kid on the block.
Hari kedua, aku mendapatkan partner, seorang laki-laki, yang nampaknya lebih muda dariku, namun telah memiliki pengalaman untuk menjadi pengawas Ujian Nasional. Dia sempat bercerita kepadaku—dengan berbisik-bisik, berbeda dengan partnerku satu hari sebelumnya—tentang rekan kerjanya yang setahun sebelumnya ‘caught in the act’ (alias ‘ngonangi’ boso Jowone, mboh aku lali Bahasa Indonesiane LOL) sang kepala sekolah membantu siswa-siswinya dengan memberi kunci jawaban soal-soal ujian. Dari orang yang sama pula aku mendengar cara-cara sekolah lain ‘membantu’ para siswanya mengerjakan soal-soal Ujian Nasional.
Dia juga komplain tentang ketumpulan ‘Tim independen’ yang nampak jelas bisa ‘disetir’ oleh Kepala Sekolah. Aku sendiri heran setelah mengetahui bahwa ‘tim independen’ yang dimaksud HANYALAH seorang mahasiswa semester 6, yang tentu sangat bisa ‘disetir’ oleh KepSek. Sebelum berangkat ke lapangan, aku membayangkan ‘tim independen’ pengawas penyelenggaraan Ujian Nasiolan ini terdiri dari beberapa orang, yang berwibawa, sehingga ‘disegani’ atau ‘ditakuti’ oleh pihak sekolah.
Partner di hari kedua ini tidak melulu bercerita, seperti partnerku di hari pertama. Bahkan dia lumayan ‘galak’ dengan terus menerus memperhatikan para peserta ujian, tanpa terserang kantuk sedikit pun. Aku sendiri sempat terkena ngantuk. LOL.
Hari ketiga, sebelum mulai menjaga, kepala sekolah komplain tentang seorang penjaga yang memelototi para peserta ujian, sehingga dia merasa perlu melaporkan sang ‘oknum’ penjaga yang melotot ini kepada atasannya. Kepala sekolah meminta para penjaga agar tidak membuat para peserta nervous sehingga justru tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan maksimal.
Partnerku seorang perempuan yang nampaknya juga baru tahun ini menjadi penjaga ujian. Dia membuatku tidak sempat mengantuk sama sekali, karena she was very talkative. Bisa disimpulkan hari ketiga ini ‘penjagaanku’ sama tidak maksimalnya dengan di hari pertama.
Hari keempat, dari penampilannya aku bisa mengira bahwa she is one senior teacher, only not as old as my partner di hari pertama. Aku suka padanya karena dia anteng, tidak banyak berbicara, tidak nampak mengantuk (aku ngantuk!!! LOL untuk mengantisipasinya, aku duduk di belakang, aku yakin bakal membuat anak-anak tidak berani bergerak karena mengira aku memelototi mereka dari belakang. LOL.) dan terlihat ‘serius’ menjaga anak-anak. Namun tentu saja she was not as bloody strict as my workmates di English course tempatku bekerja. Ada seorang anak yang duduk paling depan, terlihat sangat mencurigakan. Aku juga tahu dia berulang kali menoleh ke seorang temannya, berusaha mencontek. Partnerku ini HANYA menegurnya dengan, “Kamu ga belajar ya tadi malam?”
Kesimpulanku atas penyelenggaraan Ujian Nasional: pemerintah telah gagal membuat agar semua lulusan SD, SMP, maupun SMA di seluruh Indonesia memiliki mutu yang sama. Tentu banyak sekolah-sekolah lain di penjuru negeri yang melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya dilakukan untuk membantu anak didiknya agar lulus Ujian Nasional.
Kalau gagal, kenapa harus dipaksakan menyelenggarakan Ujian Nasional?
PT56 21.16 050509
aq setuju toh, buat apa ada UN kalo pas k SMA ato kuliahnya ada tes lagi ???
BalasHapushmmm ... begitu yah?
BalasHapusoke lah kalau begitu :)