Banyak alasan yang membuatku lebih memilih menghindari menonton televisi.
Pertama, pembodohan publik terhadap iklan-iklan yang ada. Apalagi iklan yang membodohi masyarakat dalam hal ‘peran’ perempuan (misal: istri yang bijak menggunakan produk bla bla bla), atau bagaimana tubuh perempuan dilecehkan (misal: beberapa tahun lalu ada iklan kopi susu, dimana ketika seseorang mengatakan “pas susunya”, yang muncul di layar adalah dada membusung seorang perempuan); juga iklan yang dimaksudkan untuk membentuk opini publik bahwa perempuan yang cantik itu yang begini begini begitu begitu. Hal ini akan sangat mempengaruhi perempuan yang kurang menerima keadaan fisik diri sendiri (not to mention myself as one victim LOL); mereka akan menyiksa diri agar tampil seperti bintang-bintang iklan yang dipakai oleh produk-produk tertentu tersebut.
Kedua, acara-acara keagamaan yang bagiku justru malah memecah prinsip “bhinneka tunggal ika”. Dan ‘membaca’ bagaimana para penceramah berkhutbah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan kaum perempuan (misal mendukung poligami, atau memenjarakan tubuh perempuan di balik hijab) itu sangat bikin eneg. Belum lagi jika membahas segala sesuatu selalu dihubungkan dengan ayat-ayat kitab suci, yang bagiku justru berkesan betapa manusia seolah-olah tidak memiliki hati nurani untuk bisa memutuskan sendiri yang mana yang layak dilakukan dan yang mana yang sebaiknya atau seharusnya ditinggalkan, tanpa harus selalu ‘consult’ ke ayat-ayat kitab yang bagi para non-believer hanyalah buatan manusia saja (dalam hal ini hasil karangan mereka yang mengaku diri menjadi ‘nabi’.)
Ketiga, infotainment yang sering bikin muntah. Apa ya fungsinya ngobrak-ngabrik kehidupan para selebriti? Toh mereka juga manusia biasa? Apakah karena prinsip ekonomi “Ada permintaan maka ada barang”? Karena para penonton ingin tahu kisah para selebriti pujaan mereka maka infotainment itu dibuat? Banyak penonton bisa dipastikan banyak iklan yang masuk, sehingga ini berarti pemasukan? Padahal sekarang infotainment ini pun banyak dibuat tanpa cek dan recek pihak selebriti yang bersangkutan. Dan tatkala seorang selebriti ‘angkuh’ untuk diwawancarai (misal saja tatkala seorang Desi Ratnasari dulu sering menggunakan frasa “no comment” sebagai senjata), masyarakat infotainment akan berdalih, “sekali seseorang menjadi selebriti, dia tak lagi memiliki privasi pribadi, hidupnya menjadi milik masyarakat”, menurutku sangat keterlaluan. Orang tak lagi menghargai hak pribadi seseorang?
Keempat, sinetron yang sering dibuat-buat, serial yang begitu panjang sehingga membosankan. Mana akting para pesinetron pun hanya ala kadarnya. Bahkan para aktor yang pernah mendapatkan pujian di kala dulu pun sekarang ketika berakting di sinetron tak lagi menunjukkan kepiawaiannya berakting. Main di sinetron mana pun, penampilannya sama, gaya yang sama sehingga penonton tidak bisa membedakan kala dia berakting sebagai A maupun D di sinetron yang berbeda.
Kelima, acara berita yang analisisnya pun sengawur acara infotainment. “Look who is talking?” dan “Look who is producing the program” sangat pas dipertanyakan di tiap acara berita. Pembodohan masyarakat lagi.
Keenam, alasan yang sangat pribadi bagiku adalah, jika aku ingin menonton satu acara televisi, aku harus mau diatur oleh protokoler televisi. Misal, waktu luang yang kupunyai pada hari Minggu adalah jam 10 pagi menjelang siang. Namun ternyata acara yang ingin kutonton pada waktu itu tidak main di televisi. Tak jadi menontonlah aku ini.
By the way, speaking about commercial break (lihat alasan yang pertama di atas), kupikir dengan semakin meluasnya fenomena pria metroseksual, seharusnya sudah semakin banyak juga ya iklan-iklan produk yang menjadikan laki-laki sebagai objek? Aku ingat beberapa tahun lalu ada sebuah iklan – kalau tidak salah multivitamin penunjang vitalitas – dimana di situ terlihat seorang laki-laki ‘terpaksa’ mengkonsumsi multivitamin tersebut karena perempuan pasangannya ingin dipuaskan sekitar dua sampai tiga kali (entah dalam waktu satu hari, atau satu kali ‘main’? LOL.) Atau iklan parfum untuk laki-laki, dimana seorang laki-laki pengguna parfum itu menjadi babak belur karena aromanya sangat menarik dan menggoda perempuan untuk mengejarnya. Dengan disediakannya produk-produk tertentu untuk dikonsumsi kaum laki-laki, maka kaum berpenis ini pun telah dijadikan target market, yang berarti mereka juga telah dijadikan objek. Kaum laki-laki pun akan juga memiliki sifat konsumtif.
“Penyeimbangan negatif” kata Ayu Utami, dalam sebuah tulisannya yang mengemukakan perlunya laki-laki pun dijadikan objek seks. Dan televisi sebagai sebuah media yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, baik kelas bawah, menengah, maupun atas, bisa menjadi wahana yang sangat baik untuk pembelajaran penyeimbangan negatif ini.
PT56 22.20 090211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar