Selasa, April 07, 2009

Family Name


 

 

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) 16: 1g menyatakan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memilih ‘family name’ (nama marga atau nama ‘fam’). Dalam hal ini seorang perempuan boleh memilih menggunakan nama marga dari orang tua—baik sang ayah maupun sang ibu—atau dari suami.

 

Di Indonesia, tidak semua suku memiliki budaya menggunakan nama marga di belakang namanya. Hal ini membuat jarang ‘kekerasan’ terjadi dalam hal memiliki anak laki-laki, kecuali di kalangan suku tertentu, misal Batak. Karena tidak menginginkan nama keluarga berhenti di satu keturunan, maka seorang perempuan pada zaman tertentu (semoga sekarang sudah tidak terjadi lagi) dipaksa untuk melahirkan anak laki-laki, karena hanya laki-lakilah yang bisa meneruskan menggunakan nama marga keluarga. Seorang perempuan tidak bisa melakukannya karena dia harus menggunakan nama marga suaminya, setelah dia menikah. Maka memiliki anak laki-laki ‘hukumnya’ wajib sedangkan memiliki anak perempuan tidak diwajibkan.

 

Di suku Jawa, budaya menggunakan nama marga tidak dikenal, sehingga kekerasan memaksa seorang perempuan memiliki anak laki-laki tidak sesering yang terjadi di suku lain. Orang-orang Jawa sendiri tidak memiliki ‘preference’. Namun ada kecenderungan mereka ingin memiliki anak ‘lengkap’ yakni laki-laki dan perempuan.

 

*****

 

CEDAW dikeluarkan tentu saja untuk mengurangi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, baik yang dilakukan oleh laki-laki, maupun oleh perempuan lain, berdasarkan stereotipe yang ada. Demikian juga halnya dalam menggunakan nama marga. Perempuan boleh menggunakan nama marga yang mereka sukai—dari orang tua maupun dari suami. Atau tanpa nama marga mana pun.

 

Contoh dalam novel SAMAN. Ayu Utami memberikan ‘jalan keluar’ bagi Shakuntala yang sangat enggan menggunakan nama ayahnya tatkala mengisi aplikasi formulir untuk keluar negeri. Shakuntala tidak ingin sang ayah yang identik dengan tokoh otoriter ‘mengikutinya’ kemana pun dia pergi, meskipun hanya dalam bentuk ‘nama marga. Di formulir yang dia isi. ‘Shakun’ merupakan ‘first name’ sedangkan ‘Tala’ merupakan ‘last’ atau ‘family name’.

 

Apakah kemudian seorang perempuan yang menggunakan nama marga suaminya di belakang namanya menunjukkan bahwa perempuan tersebut merelakan dirinya berada di bawah bayang-bayang suami? Sehingga dia tetap menjadi ‘nonsignificant other’? Invisible? Nonexistent? I don’t think so. Ini berarti kita telah menihilkan hak perempuan lain untuk exist dengan caranya sendiri.

 

Bagaimana dengan seorang perempuan yang memilih menggunakan nama marga dari orang tuanya, dan tidak menggunakan nama marga sang suami? Ya biar sajalah.

 

Nana Podungge

(‘Podungge’ adalah nama marga dari orang tuaku yang kebetulan adalah sepupu, dan memiliki nama marga yang sama.)

PT56 20.20 050409

4 komentar:

  1. Ya, sy sepakat dgn Jeng Sri. Kami, baik yg lelaki maupun yg perempuan gak ada embel2 nama klg di nama kami. Sy kemana2 ya cm bawa nama sy aja, bw family gak, bw husband name jg gak, pokoknya bawa apa yang ada di diri sendiri aja. Apa yg sy lakukan diluar sana adalah sepenuhnya tg-jwb sy, yg jelas dmnpun sy berada sy menjun jung tinggi harkat menausiaan sy jg harkat kemanusiaan org lain. Sy jg gak mau memandang duia ini terkotak-kotak, memandang laki-laki itu jahat, perempuan itu lemah hrs dilindungi, maaf sy gak begitu suka dgn ide2 spt ini. Baik lelaki maupun perempuan sm sj potensinya. Perempuan yg jelek kelakuannya jg banyak, lelaki jg begitu. Jd ya lelaki dan perempuan saling menghargai dan saling mendukung sj, manusia itu (baik lelaki maupun perempuan ) sm sj. Salam kenal mbak nana, blog yg bagus.

    BalasHapus
  2. Buat Jeng Sri:
    Good idea to shorten your name into SAM, Jeng. :) At first I did not recognize it was you till I looked into your picture, "Loh, ini kan Jeng Sri?" I told myself. Baru kemudian, mengira-ira, SAM adalah singkatan dari SRI AGUSTIANI MONOARFA. :)

    Untuk mbak Elly:
    Thanks for visiting my blog and leaving this lovely comment. :)

    BalasHapus
  3. well nana, i m a minangkabau girl so i will never face what shakuntala does. the culture of taking your father's name is so colonialist in the nature. i am not sure whether i read this in saman or in one of pramoedya's article. but in that article it is mentioned that the javanese aristocrats imitated their Ducth masters in terms of taking (or adding) the name of the father or husband to their names.
    to me, a woman who uses her husband's name is a woman who has no her own existence. she simply does not exist.

    BalasHapus
  4. Well, when I was at college, one of my lecturer said that in the past, in Javanese culture a new bride and groom adopted a new name for both of them, an androcentric name, so that both the husband and the wife could use it. They would leave or abandon their previous name. :)

    BalasHapus