Apakah pelecehan seksual itu?
Pelecehan seksual adalah suatu pelecehan yang berhubungan dengan tindakan seksual yang dilakukan oleh seseorang, atau sekelompok orang, kepada orang lain, sehingga orang tersebut merasa direndahkan, muak, jijik, dan tentu saja terluka. Tindakan seksual ini tidak dikategorikan pelecehan jika kedua belah pihak menikmatinya.
Hari Sabtu 6 Desember 2008 aku mengajak salah satu kelas yang kuampu untuk menonton film NORTH COUNTRY. Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi kepada seorang perempuan bernama Josey Aimes yang bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. (Akan kutulis resensi film ini di post yang lain.)
Pada pertemuan hari itu, ada delapan mahasiswa yang hadir, semua perempuan; enam dari mereka kuliah di Fakultas Teknik (yang biasanya lebih banyak memiliki mahasiswa berjenis kelamin laki-laki), satu kuliah di Fakultas Ekonomi, dan satu lagi kuliah di Fakultas Kedokteran. Berkebalikan dengan Fakultas Teknik, di kedua fakultas yang kusebut belakangan lebih banyak memiliki mahasiswa perempuan daripada laki-laki.
Topik dalam film NORTH COUNTRY merupakan topik yang sangat menarik bagi delapan mahasiswa tersebut karena film ini menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang bekerja di bidang pekerjaan yang umumnya digeluti oleh laki-laki, dan semua mahasiswaku perempuan. Tidak heran jika kedelapan mahasiswa itu langsung tertarik pada kisah tersebut.
Setelah selesai menonton film, aku bertanya kepada keenam mahasiswa yang kuliah di Fakultas Teknik. “Karena kalian kuliah di jurusan dimana kebanyakan mahasiswa berjenis laki-laki, apakah kalian pun mengalami pelecehan seksual, seperti yang dialami oleh Josey Aimes, sang lakon utama film NORTH COUNTRY?”
Well, sebenarnya aku sendiri yakin bahwa Indonesia bukanlah negara dimana para penduduk perempuan perlu senantiasa merasa selalu terancam akan mengalami pelecehan seksual, seperti dalam film tersebut. (Itu sebabnya aku MENOLAK UU APP yang menurutku justru menuduh laki-laki akan selalu tidak mampu menahan nafsu tatkala melihat seorang perempuan yang ‘kebetulan’ berpakaian sedikit terbuka (misalnya), UU APP juga membuat perempuan rentan dituduh menjadi kriminal; misal saja tatkala seorang perempuan terpaksa menyusui bayinya di tempat umum, karena sang bayi perlu disusui karena lapar maupun haus; sang ibu yang malang ini bisa saja dikenai hukuman berdasarkan UU APP dengan tuduhan, “memamerkan bagian tubuh yang seksi, sehingga dikhawatirkan membangkitkan nafsu laki-laki yang melihatnya”.) Aku tidak heran tatkala para mahasiswa itu mengatakan mereka tidak pernah mengalami pelecehan seksual dari teman-teman kuliah mereka, meskipun mereka termasuk kelompok minoritas. Bahkan ada kecenderungan para mahasiswa laki-laki itu untuk melindungi para mahasiswa perempuan. Misal: tatkala mereka mengerjakan tugas kuliah bersama-sama sampai larut malam, yang laki-laki merasa bertanggungjawab untuk mengantar pulang yang perempuan ke rumah atau kos masing-masing, dan tidak membiarkan mereka pulang sendiri. Akan tetapi, setelah beberapa waktu berlalu, dan mereka tak lagi merasa ada ‘hambatan’ dikarenakan jenis kelamin yang berbeda (menurut bahasa mereka, ‘lupa bahwa mereka berjenis kelamin perempuan’), mereka tak lagi mendapat perlakuan bak ‘porselin’. LOL.
Dua mahasiswa yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan Kedokteran mengatakan meskipun lebih banyak perempuan yang kuliah di kedua fakultas tersebut, hal ini tidak berarti laki-laki menjadi kelompok minoritas.
“Bagaimana kalau di komunitas dimana laki-laki termasuk kelompok minoritas, para perempuan gantian melakukan pelecehan seksual kepada mereka?” iseng kulontarkan ide seperti ini kepada mereka.
Secara spontan di wajah-wajah mereka terpasang mimik jijik. LOL.
“Wah, mereka ga bakal merasa terlecehkan, Ma’am. Bahkan mereka justru akan menikmatinya!” salah satu dari mereka berkata dengan suara nyaring. LOL.
Kemudian aku bercerita kepada mereka pengalamanku naik bus dari Jogja ke Semarang beberapa tahun yang lalu. Aku duduk di samping seorang laki-laki yang mungkin berusia menjelang tigapuluh tahun. Aku tidak begitu ingat kita waktu itu ngobrol tentang apa, tatkala tiba-tiba dia nyeletuk,
“Zaman sekarang ini, dikarenakan ideologi feminisme, kaum perempuan sudah banyak lupa keperempuanan mereka.”
Sebagai seorang feminis, aku langsung melengak keheranan mendengar pernyataan yang entah datang darimana itu.
“Maksudmu kaum perempuan lupa keperempuanan mereka itu yang bagaimana? Lupa ‘kodrat’ mereka sebagai perempuan? Kalau iya, ‘kodrat’ yang mana yang kamu maksud?” tanyaku, tidak terima. LOL.
Sayangnya dia tidak memberiku jawaban yang memuaskan. Malah dia dengan sekenanya berkata,
“Jika tiba waktunya perempuan memperkosa laki-laki, aku akan dengan senang hati menawarkan diri untuk diperkosa.”
Pede, eh? LOL.
Sontak aku langsung menoleh ke arahnya, agar bisa memandangnya dengan lebih jelas (sebelum itu aku selalu memandang ke arah depan, atau ke arah jendela, kebetulan aku duduk di samping jendela, dan bukan ke arahnya, meskipun aku sedang ngobrol dengannya). Kemudian aku berkata dalam hati, karena dia tidak memenuhi kriteriaku, LOL,
“Jika waktunya tiba aku ingin memperkosa seorang laki-laki, kamu tidak masuk perhitunganku.”
Wakakakaka ...
Namun kepadanya aku berkata, setelah tersenyum tipis,
“Jika tindakan seksual itu dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak, itu namanya bukan perkosaan, maupun pelecehan. Namun seks atas dasar suka sama suka.”
Para mahasiswaku langsung tertawa mendengarnya. Kemudian salah satu dari mereka berkomentar,
“Itulah sebabnya, Ma’am, kita ga bakal mau melakukan tindakan pelecehan seksual kepada teman-teman laki-laki kita. Mereka malah bakal senang menerimanya.”
Tentu mereka belum pernah menonton film “Indecent Proposal” dimana ada seorang perempuan melecehkan seorang laki-laki secara seksual, dan sang laki-laki merasa tidak nyaman karenanya. Aku juga kemudian bercerita kepada mereka pengalaman seorang ‘online buddy’ku (laki-laki) yang dilecehkan secara seksual oleh keponakan (perempuan) bosnya. Pada hari yang sama dia mendapatkan pelecehan seksual itu, dia langsung mengundurkan diri dari perusahaan yang cukup ternama di zaman Orde Baru itu. Peristiwa ini menunjukkan bahwa laki-laki pun rentan pada pelecehan seksual yang dilakukan oleh perempuan. (Pelecehan yang dilakukan oleh kaum ‘waria’ atau ‘homo’ tentu beda lagi. Atau sebaliknya, pelecehan yang dilakukan kaum ‘straight’ kepada para ‘waria’ atau ‘homo’.)
Kesimpulannya adalah pelecehan seksual bisa terjadi kepada siapa saja, laki-laki maupun perempuan, dilakukan oleh lawan jenis mereka. Biasanya dalam kultur patriarkal, laki-laki melecehkan perempuan; atau perempuan yang memiliki kelas sosial lebih tinggi melakukannya kepada laki-laki yang ada di bawah mereka.
Nana Podungge
PT56 21.26 310109
(terjemahan postingan “Sexual Harassment” bisa diakses di http://afeministblog.blogspot.com/2008/12/sexual-harassment.html )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar