bSabtu 14 Februari 2009 tatkala memasuki kelas, aku tertarik dengan penampakan dua mahasiswi perempuan yang memakai busana bernuansa pink yang kebetulan sama persis. Lupa bahwa pada hari itu banyak orang di dunia merayakan Valentines’ Day, aku pun bertanya,
“Hey you two, how come you are wearing exactly the same color for your clothes today?”
Secara serempak keduanya menjawab, “It’s Valentine’s Day, Miss...”
What a surprise ...
Mengapa surprise? Karena keduanya mengenakan jilbab, dan menurutku orang-orang yang berbusana muslimah seperti itu biasanya anti segala hal yang berbau Barat.
Berhubung pada hari itu topik pembahasan adalah tentang perbedaan budaya di beberapa tempat di dunia ini, aku langsung menggunakan topik Valentine’s Day sebagai ‘motivating strategies’, untuk elicit hal-hal yang kemungkinan besar akan muncul dalam perbincangan nantinya.
Hanya ada tujuh mahasiswa, dua laki-laki, lima lain lagi perempuan pada hari itu. Kebetulan yang pertama kali kutanya adalah seorang laki-laki, jebolan Islamic Boarding School (yang lumayan punya nama di Indonesia) tatkala dia duduk di bangku SMP dan SMA.
“In my opinion, I don’t agree with that kind of celebration. Simply because it is western culture. Not our own culture.”
Aku langsung menohoknya dengan mengatakan, “Do you use computer in your daily life?”
Dia jawab, “Yes Miss.”
“Don’t you think it is also western culture? Computer technology comes from the west. If you want to stick to your principle that western culture is not supposed to be followed by eastern people, you had better be consistent.” Jawabku nyelekit. LOL.
Kemudian dia pun mengatakan tentang (konon) sejarah tentang St. Valentine’s, seorang santo atau orang suci dari agama Katolik yang dihukum karena melanggar peraturan tidak boleh menikah.
“If we celebrate Valentine’s Day, it is said that we will be like them.” Kata mahasiswaku itu.
“What do you mean ‘to be like them’?” tanyaku, ingin memastikan, meskipun aku sudah bisa ‘membacanya’, to be Catholic, no longer Muslim. Bagi para Muslim yang naif (dan yang bukan sekuler atau pluralis sepertiku) hanya karena melakukan sesuatu kemudian kita ‘divonis’ tak lagi Muslim adalah sesuatu yang sangat menakutkan.
Aku pun kemudian menyitir salah satu artikel yang telah beredar di beberapa milis tentang ‘usulan 17 fatwa haram kepada MUI’, salah satunya adalah larangan orang Indonesia mengikuti Olimpiade, karena konon di awal sejarah penyelenggaraan Olimpiade adalah untuk memuja dewa orang Yunani. Nah, kalau kita mau saklek seperti dalam perayaan Valentine’s Day, ya ga boleh juga dong bagi orang Muslim Indonesia untuk bertanding di ajang Olimpiade karena itu sama saja dengan memuja dewa orang Yunani. Musyrik namanya.
Mengakui kekonyolan dalam hal pertandingan Olimpiade ini, mahasiwaku pun bisa melihat kekonyolan tidak boleh merayakan Valentine’s Day yang dihubungkan dengan kematian seorang Catholic Saint.
Yang mengherankan adalah tatkala kedua perempuan yang memakai busana pink, dan menyebut ‘Valentine’s Day’ sebagai ‘penyebab’ mereka memakai pink pun mengatakan hal yang senada dengan si jebolan Islamic Boarding School itu. Namun nampaknya mereka pun bisa menerima penjelasanku tentang perbandingan antara Valentine’s Day dan Olympic Games. Lebih lanjut lagi aku pun menyitir sebuah hadits yang menyatakan pentingnya ‘niat’ dalam melakukan sesuatu; waktu kita ikut merayakan Valentine’s Day—misal dengan saling berbagi coklat atau hadiah-hadiah kecil lain—kita niatnya untuk saling berbagi kasih sayang dengan teman-teman atau pun saudara atau boyfriends/girlfriends bagi yang punya atau pun suami/istri bagi yang sudah menikah atau mau memperingati kematian St. Valentine. Tapi, kalau tidak mau ‘dimanfaatkan’ oleh pihak yang menanggung keuntungan dalam perayaan ini (para penjual coklat, bunga, boneka, dll) ya ga usah aja. Toh menunjukkan kasih sayang kepada our loved ones tidak perlu harus memberikan ini itu.
Nana Podungge
PT56 14.00 150209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar