Minggu, Februari 15, 2009

Perempuan dalam sinetron

Aku ingat satu hari tatkala aku duduk di bangku kuliah (sekitar lima tahun yang lalu), salah seorang dosen senior, yang kebetulan seorang profesor, memprotes penggambaran perempuan ‘modern’ di banyak sinetron di televisi. Perempuan ‘modern’ digambarkan sebagai perempuan yang tak lagi memiliki sifat yang secara stereotipikal dianggap sebagai sifat ‘alamiah’ perempuan: mengalah, lemah lembut, feminin, dan keibuan. Dan yang membuatku kecewa, beliau menyatakan bahwa gambaran perempuan yang ‘tidak perempuan’ itu disebabkan oleh gerakan feminis; feminisme dijadikan kambing hitam sebagai penyebab ‘kebencian’ kepada segala hal yang feminin.

Berhubung aku sangat jarang nonton televisi (yang berarti pula aku jarang nonton sinetron) aku tidak tahu pasti gambaran perempuan yang seperti apa yang ada di benak dosen senior tersebut. Oleh karena itu, aku pun tidak menyangkalnya atau pun melibatkan diri kedalam diskusi yang lebih jauh lagi, meskipun sebenarnya aku tidak setuju jika gerakan kesetaraan perempuan (yang juga dikenal sebagai feminisme) dijadikan penyebab gambaran seperti itu.

Beberapa tahun telah berlalu ...

Beberapa saat yang lalu aku membaca sebuah artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol 30, No. 1, 2006 yang berjudul “Menjadi Perempuan di dalam Sinetron: Kekinian Femininitas” tulisan Widjajanti Mulyono Santoso. Artikel ini ditulis oleh Widjajanti berdasarkan riset pada sebuah sinetron yang berjudul “Inikah Rasanya” yang ditampilkan dalam sebuah stasiun televisi pada tahun 2004.

Jenis-jenis perempuan yang bagaimana kah yang ditampilkan dalam sinetron ini?

Pertama: seorang perempuan yang jatuh cinta pada seorang laki-laki.

Gerakan feminis mendukung perempuan pun berhak untuk mengekspresikan perasaannya kepada sang laki-laki yang mereka taksir terlebih dahulu (sebagai pihak yang aktif, dan tidak hanya pasif menunggu ‘ditembak’) meskipun di masyarakat masih banyak orang—baik laki-laki maupun perempuan—yang beranggapan adalah sesuatu yang memalukan (dan tidak feminin) bagi seorang perempuan untuk menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Bisa jadi sang tokoh Rena yang secara terbuka menunjukkan perasaannya terhadap laki-laki yang dia taksir (bahkan cenderung agresif) dianggap merupakan representasi tokoh feminis. Buruknya, Rena digambarkan sebagai seseorang yang sangat emosional, apalagi saat mengetahui sang gebetan lebih memilih perempuan lain, yang mewakili tokoh perempuan ‘tradisional’ yang feminin, yang lebih memilih ‘menunggu’ daripada ‘menembak’ terlebih dahulu.

Kedua: seorang perempuan jomblo atau pun ‘single mother’.

Perempuan yang tidak memiliki pasangan digambarkan memiliki kondisi emosional sangat terganggu. Dalam sinetron “Inikah Rasanya” ibu Jason maupun tante Nadia digambarkan memiliki gangguan psikologis karena mereka berdua tidak memiliki suami. Gangguan psikologis ini menyebabkan keduanya memperlakukan anak dan keponakannya secara kasar. Sebenarnya gambaran seperti ini bukanlah hal yang jarang terjadi dalam kultur patriarki, apalagi jika si perempuan telah mencapai usia tertentu. Orang akan selalu menghubungkan kondisi psikologis seorang perempuan yang masih jomblo di usia lebih dari tigapuluh tahun dengan ketidakadaan seorang pacar atau suami, sehingga tidak memiliki ‘media’ untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Seorang perempuan adalah seorang perempuan yang ‘nakal’ jika dia melakukan hubungan seks di luar nikah, sementara laki-laki dianggap biasa-biasa saja, karena mereka dimaklumi memiliki libido yang lebih tinggi daripada perempuan. Selain itu, karena dalam kultur patriarki orang-orang memuja pernikahan (menikah dipercaya sebagai satu-satunya cara untuk mencapai puncak kebahagiaan yang hakiki), maka banyak orang yang masih jomblo akan merasa nelangsa, merana, dll. Terkadang untuk mengurangi perasaan negatif itu, mereka pun akan dengan ngawur memilih siapa pun yang ‘tersedia’ tanpa berpikir panjang apakah orang itu orang baik-baik, memiliki pekerjaan yang mapan, tidak bersifat ringan tangan; bahkan kadang suami orang lain pun tidak apa-apa, asal terlepas dari sorotan masyarakat sebagai seseorang yang ‘tidak laku’. Jika mereka tak kunjung mendapatkan apa yang mereka cari (pasangan), untuk melepaskan perasaan nelangsa tersebut, mereka pun bertindak kasar kepada orang-orang yang ada di sekitarnya; kebetulan dalam sinetron ini, kepada sang anak dan keponakan.

Hubungan dengan tuduhan campur tangan gerakan feminis adalah bahwa gerakan ini mendukung perempuan untuk menjadi ekspresif, tidak melulu bungkam. Keekspresifan ibu Jason dan tokoh Nadia pun dituding sebagai imbasnya.

Ketiga: seorang guru perempuan yang bawel dan menyebalkan.

Perempuan yang memiliki kemampuan dianggap tidak konvensional dalam kultur patriarki. Kekuasaan yang dimiliki oleh guru perempuan di hadapan murid-muridnya membuatnya menjadi bahan tertawaan. Selain itu, kebanyakan guru perempuan digambarkan sebagai perempuan yang sudah berusia tidak muda lagi namun masih jomblo, sehingga mereka pun memiliki gangguan psikologis. Lebih buruk lagi mereka digambarkan memiliki kekurangan secara fisik, misal memiliki suara yang nyaring melengking sehingga terdengar menggelikan. Dari segi penampilan, mereka digambarkan memakai kacamata tebal dan baju yang kaku serta memiliki mimik wajah yang tidak bersahabat.

Gambaran ketiga tokoh perempuan tersebut aku yakin tidak hanya ada dalam sinetron “Inikah Rasanya”, namun juga dapat ditemukan dalam sinetron-sinetron yang sejenis.

Menilik bahwa kebanyakan scriptwriter (penulis naskah) adalah laki-laki, mudah saja kita menyimpulkan bahwa ada pemahaman gerakan feminis yang melenceng dalam pengertian para laki-laki tersebut. Atau bisa juga dikatakan para penulis naskah itu termasuk laki-laki yang merasa terancam dengan gerakan kesetaraan jender, sehingga mereka menggambarkan perempuan independen yang kejam, sebagai akibat feminisme. Hal ini bukan bermaksud menegasikan adanya laki-laki feminis. Namun dalam bisnis besar seperti pembuatan sinetron, ada berapa gelintir laki-laki feminis yang terlibat di dalamnya? Kalau pun ada, mereka tentu kalah dengan para pemilik modal yang kebanyakan lebih ingin menampilkan perempuan dengan stereotipe feminin, mengalah, lemah lembut, dan keibuan.

Apa yang mereka harapkan? Masyarakat akan memiliki gambaran negatif tentang gerakan kesetaraan jender, sehingga akan menghentikan usaha para ‘pejuang kesetaraan’ karena feminisme hanya akan membuat perempuan tidak memiliki hati, berubah menjadi monster, tidak feminin, sehingga melawan hukum alam.

Nana Podungge

PT56 15.45 150209

(terjemahan artikel “Women in our sinetrons”

at http://afeministblog.blogspot.com/2009/01/women-in-our-sinetrons.html )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar