Sabtu, April 03, 2010

Perempuan versus Perempuan


Beberapa saat yang lalu, di status FB seorang teman menulis, “terkadang musuh seorang perempuan itu perempuan juga ...” Seorang teman lain mengangkat gosip infotainment sebagai status, yang akhirnya kulihat dari komen-komen yang masuk kebanyakan ditulis oleh kaum perempuan yang menjelek-jelekkan seleb perempuan juga. Beberapa bulan lalu, di status online buddy yang sama, dengan status tanpa menyertakan seleb perempuan, kulihat di komen yang masuk juga ada judgment yang ditulis oleh seorang perempuan, atas kaum perempuan yang lain.

Sebagai seorang ‘self-acclaimed feminist’, aku pun menulis komen, “this patriarchal culture caused this. ...”

Kultur patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi dari pada perempuan telah menciptakan ‘marriage-oriented society’ yang sangat kental. (Betapa para kaum feminis radikal menyalahkan perkawinan ini sebagai satu lembaga pengukuhan superioritas laki-laki. To make things worse, karena menganggap laki-laki sebagai sumber kekerasan di dunia ini, maka lesbianisme merupakan jawaban to be in a relationship.)

“Cinderella complex” yang disebarluaskan lewat dongeng-dongeng yang meninabobokkan kaum remaja putri (atau bahkan lebih muda lagi) membuat kaum perempuan berlomba-lomba untuk mencari sang pangeran yang akan membawa mereka ke ‘eternal love and happiness’. Dongeng-dongeng sejenis Cinderella memang hanya berhenti di pelaminan, dengan kalimat “and they live together happily ever after” mengakhiri segala kisah. Tak ada kisah selingkuh, poligami, kekurangan finansial yang menimbulkan pertengkaran dan pemukulan, pertumbuhan intelektual, spiritual dan mental kedua belah pihak yang tidak setara sehingga menimbulkan kesenjangan dan berakhir ke eternal quarrel yang menciptakan hellish life bagi keduanya.

Jargon ‘and they live together happily ever after’ pun benar-benar membuat para penderita Cinderella complex berbuat segalanya demi mendapatkan sang pangeran yang diidam-idamkan, kalau perlu singkirkan perempuan-perempuan yang lain.

Mitos bahwa jumlah perempuan berkali lipat dari jumlah laki-laki pun disebarluaskan oleh kaum patriarki agar para perempuan saling sikut menyikut demi mendapatkan sang lelaki idaman, mitos yang dipakai untuk tetap melegalkan dominasi posisi laki-laki di atas perempuan.

Kultur patriarki dengan hegemoni ‘marriage-oriented principle’ nya pun menghasilkan label ‘perawan tua’ yang telah membuat banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri mana kala mereka mencapai usia di atas tigapuluh tahun dan tetap menjomblo. Hal ini pun bisa jadi telah ‘makan korban’, mulai dari grabbing any guy to marry, menjadi pelaku dan korban poligami, dan mungkin yang ‘paling ringan’ adalah menggosip, “Ih, perempuan itu kok begitu ya?” yang kalau kita amati, gosip ini didasari dengan pernyataan, “Aku ga begitu, maka aku lebih baik ...” divide et impera khas kultur patriarki.

Sigmund Freud dengan teori ‘penis envy’ yang menyebalkan kaum feminis itu pun menciptakan ‘penyakit’ yang dia beri nama ‘Oedipus complex’ sehingga membuat laki-laki yang menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih tua dipaksa mengakui something wrong with them; satu hal yang juga menjadi santapan empuk para penggosip di layar kaca. Para ‘korban’ kultur patriarki pun merayakannya dengan bergosip besar-besaran; tetap dengan ‘jalur’ yang sama => sang perempuan yang disalahkan karena menjalin hubungan dengan laki-laki yang berusia lebih muda.

Perempuan versus perempuan. Siapa yang diuntungkan? Tetap saja kaum laki-laki. So pathetic.

~ Nana Podungge, sang feminis, yang heteroseksual, yang tetap saja melankolis dan romantis tatkala jatuh cinta, wkwkwkwk ... ~

PT56 08.08 030410

3 komentar:

  1. judul tulisannya mirip dg punya saya, walaupun pastinya isinya beda :)

    http://www.sitihajarrahmawati.blogspot.com/2013/02/perempuan-vs-perempuan.html

    BalasHapus