Selasa, Maret 31, 2009
Penyakit 'modern'
Namun, di zaman ‘modern’ ini pula pekerjaan yang seharusnya membantu orang untuk terus bertahan hidup justru bisa merupakan sumber penyakit yang kadang-kadang mematikan. Semua orang tahu beberapa lingkungan kerja yang membahayakan bagi para pekerjanya, misal: tempat-tempat pembangunan gedung/rumah/jembatan, dll; lokasi pertambangan, pabrik-pabrik industri. Tempat-tempat ini penuh dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan tubuh jika terhirup; misal asbes, debu batubara, arsenik, dll. Dalam film NORTH COUNTRY, Glory menderita penyakit yang membuat tubuhnya lumpuh karena bekerja di Pearson Taconite and Steel Inc, sebuah perusahaan pertambangan.
Selain lingkungan bekerja yang kurang higienis, melakukan pekerjaan dengan gerakan yang sama terus menerus bisa mengakibatkan luka. World Book 2005 digital version menyebutnya sebagai RSI’s (repetitive strain injuries). Contoh: melakukan pemotongan daging secara terus menerus, duduk di depan komputer seharian melakukan gerakan yang sama terus menerus, dll.
Beberapa minggu yang lalu tatkala kakakku masuk rumah sakit, hasil SCAN menunjukkan ada pembengkakan di bagian otak. Menurut analisa dokter, pembengkakan ini disebabkan dia harus bekerja keras, mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh empat orang! Kakakku sendiri mengaku dalam tidurnya kadang-kadang dia melakukan gerakan-gerakan yang biasa dia lakukan di kantor, misal menggerak-gerakkan mouse, tanpa sadar. Beban pekerjaan pun selalu menggelayuti pikirannya.
Hal ini mengingatkanku pada komplain sebuah siswa tentang pekerjaannya yang sangat melelahkan. Dia adalah seorang pegawai baru di sebuah BUMN, bank yang sama tempat kakakku bekerja. Posisinya adalah sebagai ‘customer service officer’. Namun dalam praktiknya, dia harus ikut membantu bagian-bagian lain, misal teller.
Kekurangan pegawai merupakan alasan utama mengapa seorang pegawai harus mengerjakan pekerjaan rangkap.
“Mengapa tidak rekrut pegawai baru?”
Pemerintah tidak mengizinkan karena kekurangan dana untuk membayar gaji, memberikan tunjangan, sampai membayar pensiun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Seorang tetangga yang bekerja di sebuah Bank BUMN juga berkisah tentang penurunan jasa yang diberikan oleh pemerintah. Bank tersebut tahun-tahun terakhir ini menggunakan jasa perusahaan ‘outsourcing’ untuk mencari pegawai baru. Status pegawai baru tidak segera ‘dinaikkan’ statusnya untuk menjadi tenaga tetap Bank meskipun pegawai ini telah bekerja selama beberapa tahun dan menunjukkan kinerja yang baik. Bank tidak mau mengeluarkan dana untuk memberikan tunjangan-tunjangan tertentu dan membayar pensiun.
Hal ini tidak jauh beda dari perusahaan-perusahaan swasta yang cara bekerjanya hanya memperhatikan kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kesejahteraan karyawan. Mereka tidak memberlakukan pengangkatan pegawai tetap karena mereka tidak mau menaikkan gaji dan memberikan tunjangan ini itu. Setelah tiba masa seorang karyawan naik menjadi karyawan tetap, itulah masa kontrak berakhir. Perusahaan akan mencari karyawan baru lagi.
Hidup di zaman ‘modern’ ini memang tidak mudah. Semua orang butuh bekerja untuk hidup. Namun pekerjaan ini bisa jadi merupakan sumber penyakit yang membahayakan. Apalagi bila bekerja di perusahaan yang mengabaikan kesejahteraan pegawainya, dengan membebani pekerjaan yang di luar batas kemampuan, baik secara fisik maupun secara mental dan intelektual.
Nana Podungge
PT56 16.16 200309
Poligami
Artikel ini ditulis terutama untuk ‘menjelaskan’ apa yang kutulis dalam postingan yang berjudul ‘LOOK WHO’S TALKING’, terutama yang berhubungan dengan poligami. Poligami seringkali dijadikan ‘kambing hitam’ orang-orang yang beragama non Islam untuk ‘menyerang’ agama Islam sebagai agama yang tidak friendly terhadap perempuan. Tentu ini dikarenakan tafsir surat An-Nisa ayat 3 yang lebih ‘terkenal’ adalah kaum laki-laki Muslim diperbolehkan berpoligami. Bahkan surat kawin yang diterbitkan oleh KUA untuk kaum Muslim pun berisi ‘syarat-syarat’ poligami yang harus dipenuhi oleh laki-laki Muslim. ‘Syarat-syarat’ ini bermakna bahwa negara memperbolehkan praktik poligami. Ini berarti, negara pun ikut campur dalam kehidupan pribadi warga negaranya dan ikut serta mendiskriminasi kaum perempuan Muslim. Bahkan bagi orang-orang Muslim yang sok merasa ilmunya sudah tinggi menutup matanya pada ‘syarat-syarat’ yang dikeluarkan oleh negara karena mereka berpikir bahwa tafsir surat An-Nisa ayat 3 itu sudah cukup kuat memperbolehkan kaum laki-laki berpoligami, tanpa perlu ada ‘harus begini harus begitu’.
Di blog Nana Podungge's simple thought aku telah menulis beberapa artikel tentang poligami, yang semuanya ANTI POLIGAMI. Di artikel ini, aku hanya akan menerjemahkan salah satu postinganku. Mengingat latar belakang studiku adalah Sastra, maka aku pun akan memberikan tafsir Surat An-Nisa yang berhubungan dengan poligami dari teori Sastra.
(CATATAN: orang-orang Muslim percaya bahwa Alquran tidak akan pernah mengalami perubahan dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai hari kiamat nanti, berdasarkan janji Allah. Akan tetapi tafsir Alquran tidak akan berhenti pada satu tafsir saja. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, meningkatnya akal manusia, tafsir-tafsir baru akan muncul. Perubahan adalah satu hukum alam yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan. Di zaman Nabi, orang-orang pergi berhaji naik onta, hal ini tentu tidak lantas orang-orang zaman sekarang harus pergi berhaji naik onta, bukan?)
Teori Strukturalisme. Teori ini berfokus kepada apa yang tertulis dalam suatu karya/tulisan, tanpa melibatkan aspek-aspek lain, misal latar belakang sang penulis (teori ekspresif), latar belakang masyarakat tatkala suatu karya ditulis (teori sosiohistoris), dan para pembaca karya tersebut (teori respons pembaca). Khusus untuk pendekatan ekspresif, hal ini sangat tidak dianjurkan dipakai untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran mengingat orang-orang Muslim percaya Alquran ditulis oleh Allah.
Ayat yang menjadi rujukan untuk membolehkan praktik poligami adalah Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya:
“Jika kamu takut bahwa kamu tidak berlaku adil terhadap anak yatim perempuan, maka kamu boleh menikahi dua, tiga, atau empat perempuan yang kamu pilih.”
Biasanya para pendukung poligami berhenti pada kalimat tersebut, dan melupakan kelanjutan ayat yang berbunyi:
“Namun jika kamu takut kamu tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah hanya satu perempuan saja.”
Ayat ini dilanjutkan pada ayat 129, surat yang sama yakni Surat An-Nisa:
“...meskipun kamu ingin bersifat adil, kamu tidak akan pernah bisa.”
Melupakan kelanjutan ayat ini menunjukkan dengan jelas egoisme para pelaku poligami, juga para ulama yang memberikan tafsir pembolehan praktik poligami. Mereka menutup mata untuk menggunakan teori ‘intertekstual’ bahwa ayat 129 ini berhubungan langsung dengan ayat 3. Bukankah Allah telah berfirman dengan jelas “KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA BERSIFAT ADIL”. Menyatukan ayat 3 dan ayat 129 menghasilkan tafsir MANUSIA TIDAK BISA BERSIFAT ADIL UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK POLIGAMI. Hal ini bisa bermakna hukum poligami HARAM.
Teori Sosiohistoris. Dalam teori ini kita menghubungkan satu karya saat ditulis (dalam hal Alquran, saat ayat tertentu diturunkan kepada Nabi Muhammad) dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Surat An-Nisa ayat 3 diturunkan kepada Nabi setelah kaum Muslim kalah dalam perang Uhud dimana banyak prajurit tewas. Dengan banyaknya prajurit yang tewas, banyak perempuan yang tiba-tiba menjadi janda. Mengingat pada saat itu kaum perempuan tidak memiliki akses ke ranah publik, tidak memiliki hak untuk menjadi ‘proprietor’ (atau pemilik) barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh suami-suami yang tewas dalam peperangan, ayat ketiga Surat An-Nisa ini diturunkan, untuk ‘menyelamatkan’ kaum perempuan dan anak-anak yatim mereka dari tindak ketidakadilan. Karena perempuan tidak bisa menjadi ‘proprietor’ maka harta benda mereka secara otomatis menjadi milik kakak atau adik laki-laki mereka sebagai pemilik hak waris, terutama jika anak-anak mereka masih kecil, atau tidak memiliki anak laki-laki.
Nabi Muhammad dan laki-laki Muslim pada waktu itu boleh menikahi para janda tersebut untuk menyelamatkan barang-barang warisan, untuk kemudian digunakan untuk kepentingan para perempuan dan anak-anak mereka.
Menggunakan teori ini, praktik poligami jelas tidak dapat dibenarkan mengingat di zaman sekarang (terutama di Indonesia), kaum perempuan memiliki akses ke ranah publik, dan perempuan pun berhak menjadi ‘proprietor’ harta benda yang ditinggalkan oleh suami yang sudah meninggal. Perempuan bisa melanjutkan hidup mereka dengan mengelola harta benda yang diwariskan oleh suami. Bila tidak ada warisan, perempuan memiliki akses ke ranah publik yang memungkinkan mereka bekerja untuk menafkahi diri sendiri maupun anak-anak mereka.
Apalagi jika istri kedua, ketiga, atau keempat bukan merupakan janda, bisakah praktik poligami ini dibenarkan, dengan merujuk ke Surat An-Nisa ayat 3?
Lebih baik berpoligami daripada selingkuh atau pergi ke tempat lokalisasi?
Pertanyaan retorik ini membenarkan apa yang dikatakan oleh Hilaly Basya dari Al-Azhar Youth Islamic Study (dimuat di Jurnal Perempuan no 31 yang berjudul “Menimbang Poligami” terbit September 2003): “Di zaman sekarang orang berpoligami untuk merayakan libido!”
Nana Podungge
PT56 15.55 290309
Untuk tulisan-tulisan lain dengan topik poligami, klik alamat berikut ini:
http://afeministblog.blogspot.com/search/label/polygamy
Senin, Maret 23, 2009
North Country
NORTH COUNTRY adalah sebuah film yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Charlize Theron bermain apik sebagai Josey Aimes, sedangkan Glory, teman baik Josey diperankan oleh Frances McDormand. Film ini menggambarkan pelecehan seksual yang dilakukan terhadap para pekerja perempuan di sebuah perusahaan penambangan, Pearson Taconite and Steel Inc.
Ada dua hal yang cukup menonjol untuk diperhatikan dalam film ini. Pertama, perjuangan Josey untuk mendapatkan keadilan bagi semua pekerja perempuan di Pearson Taconite and Steel Inc. Yang kedua, kehidupan pribadi Josey sebagai single parent untuk membesarkan dan membahagiakan kedua anaknya.
Film ini mengawali kisahnya dengan menggambarkan pada tahun 1975 perusahaan penambangan di North Minnesota mulai menerima perempuan sebagai pegawai. Namun sampai tahun 1989 perbandingan pegawai laki-laki dan perempuan masih menunjukkan selisih yang sangat besar 30:1. Seperti di banyak negara lain di dunia ini, Amerika pun mengklasifikasikan pekerjaan sebagai pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan.
Bekerja di perusahaan penambangan termasuk dalam kategori pekerjaan laki-laki. Salah satu resiko tatkala seseorang memiliki pekerjaan yang ‘tidak termasuk gender’ yang dia miliki, maka orang itu pun akan dengan mudah diprotes atau bahkan dicemooh oleh masyarakat sebagai orang yang tidak ‘normal’. Contoh yang sangat mudah kita dapati adalah tatkala pertama kali seorang laki-laki bekerja di salon kecantikan—yang notabene diklasifikasikan sebagai pekerjaan ‘perempuan—maka laki-laki ini akan dengan mudah dicemooh oleh masyarakat sebagai orang yang tidak normal.
Josey Aimes pun mendapatkan tentangan yang sangat keras dari ayahnya untuk bekerja di Pearson Taconite and Steel Inc, meskipun Hank—sang ayah—telah bekerja di perusahaan tersebut puluhan tahun lamanya. Meskipun begitu, Josey tetap bersikeras untuk bekerja di perusahaan pertambangan tersebut. Satu alasan utama yang dia miliki: pekerjaan itu memberinya gaji yang cukup besar sehingga dia bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Pekerjaan yang dia miliki sebelumnya—sebagai kapster sebuah salon—tidak memberinya banyak uang, sehingga dia terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya: satu hal yang sangat memalukan dalam kultur Amerika.
Ada dua alasan utama mengapa Hank tidak mengizinkan Josey bekerja di Pearson Taconite and Steel Inc.
Pertama, Hank merasa malu karena anak perempuannya melakukan pekerjaan yang seharusnya untuk laki-laki. Latar belakang anak pertama Josey yang lahir di luar perkawinan menyebabkan Hank semakin keras melarang Josey bekerja di situ. Kebungkaman Josey untuk memberitahukan siapa ayah anak pertamanya membuat Hank pun memandang Josey seperti para laki-laki umumnya: Josey adalah seorang perempuan yang brengsek. Dengan kecantikan yang dia miliki, Josey pun berpindah-pindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain.
Satu pagi tatkala Josey datang ke rumah orang tuanya dengan membawa kedua anaknya, Hank menuduh, “Suamimu memukulmu karena mendapati kamu tidur dengan laki-laki lain?”
Kedua, ada perasaan tidak terima bahwa dia disaingi oleh anaknya yang perempuan dalam hal menerima gaji yang besar. Tatkala Josey mengatakan padanya, “I work in the same company as you. I got good money. I will buy a house for my children,” Hank memandangnya remeh dan berkata, “So now you feel as good as me?” Meskipun perempuan menerima penghasilan yang besar, laki-laki tetap tidak mau tersaingi dalam hal ini.
Selain itu, dengan lebih banyak perempuan yang diterima dalam perusahaan penambangan tersebut, terlihat kekhawatiran para laki-laki bahwa perempuan akan menggeser kedudukan mereka. Kedudukan sebagai ‘pencari nafkah’ mereka bisa jadi akan terancam.
Josey sang pemberani pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya manakala dia merasa bahwa pelecehan seksual yang dia terima dari rekan-rekan kerjanya telah membuatnya merasa tidak nyaman, walaupun dia membutuhkan uang untuk membesarkan anak-anaknya. Dia memutuskan keluar setelah dia lihat bahwa serikat pekerja di perusahaan tersebut tidak menawarkan bantuan, bahkan menganggap laporan Josey tentang pelecehan seksual yang dia terima sebagai sesuatu yang mengada-ada. Latar belakang Josey sebagai seorang perempuan yang hamil di luar pernikahan, dalam usia yang masih relatif muda, justru membuatnya dituduh sebagai perempuan penggoda, sehingga ‘pelecehan seksual’ pun terjadi.
Setelah keluar dari pekerjaannya, Josey melaporkan perusahaan pertambangan tersebut ke pengadilan tentang praktik pelecehan seksual yang dilakukan kepada semua pegawai perempuan. Setelah melalui sidang-sidang yang alot, berusaha meyakinkan teman-teman perempuannya untuk ikut mendukungnya, akhirnya kasus ini pun dimenangkan oleh pihak Josey. Kemenangan ini memiliki arti yang sangat penting karena di kemudian hari dibuatlah undang-undang yang melindungi para pegawai perempuan di perusahaan-perusahaan dari pelecehan seksual yang dilakukan di dalam perusahaan tersebut.
Siapapun tentu akan mengatakan bahwa Josey Aimes merupakan seorang perempuan yang kuat, tabah dan tangguh. Dia memilih mempertahankan kehamilannya yang terjadi tatkala dia duduk di bangku sekolah menengah meskipun kehamilannya adalah hasil perkosaan yang dilakukan oleh salah seorang gurunya. Bahkan dia pun memilih bungkam tatkala orang tuanya bertanya siapa yang menghamilinya. Untuk menjaga “nama baik” gurunya? Bagaimana mungkin seorang anak perempuan berusia belasan tahun merasa perlu menjaga nama baik guru yang telah memperkosanya?
Resiko dari memelihara kehamilan yang terjadi akibat perkosaan tentulah Josey akan selalu teringat peristiwa menyakitkan itu setiap kali dia memandang Sammy—anaknya. Dia tetap selalu berusaha untuk berada di samping Sammy tatkala dia membutuhkannya meskipun Sammy sering kali bersikap memusuhinya dikarenakan ‘termakan’ omongan orang di luar bahwa ibunya adalah seorang ‘perempuan penggoda’.
Sidang-sidang dalam pengadilan—dan usaha-usaha yang dilakukan oleh Pearson Taconite and Steel Inc untuk memenangkan kasus pelecehan seksual—justru telah membuat kasus perkosaan itu mencuat. Sammy yang terpuruk setelah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pemerkosa akhirnya menyadari betapa besar cinta yang ibunda untuknya, betapa Josey Aimes sang ibu adalah seorang perempuan tangguh.
PT56 17.10 220309
Househusband
Di Indonesia, atau mungkin juga di banyak negara di belahan dunia lain, istilah ‘bapak rumah tangga’ bisa jadi membuat orang banyak mengerutkan dahi, karena merupakan sesuatu yang belum lazim. Dalam surat kawin yang dikeluarkan oleh KUA—bagi orang Islam—tertulis peran-peran yang mendadak sontak menjadi milik sepasang lelaki yang menikah. Yang laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Yang perempuan menjadi ibu rumah tangga dan pengasuh anak. “Didikan” Orde Baru selama tiga puluh dua tahun ini bisa jadi menyebarkan kekerasan di seluruh lapisan masyarakat, di desa maupun di kota.
Bagi laki-laki, mereka dipaksa untuk menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah, jika ingin dianggap sebagai laki-laki yang bertanggungjawab. Laki-laki yang kebetulan memilih untuk tinggal di rumah—mungkin karena karier istrinya jauh lebih melesat dibandingkan dirinya, sehingga atas kesepakatan bersama sang istri memilih untuk meninggalkan pekerjaan kantorannya, misalnya untuk mengawasi perkembangan anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga—akan dengan serta merta dituduh sebagai lelaki yang mau enak sendiri, tidak bertanggungjawab. Dalam masyarakat bisa jadi mereka pun akan dilabeli sebagai lelaki pemalas.
Bagi laki-laki yang ‘terpaksa’ meninggalkan pekerjaannya—mungkin karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut, seperti banyak terjadi pada saat krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1997-1998—banyak dari mereka tidak siap mental untuk tinggal di rumah, dan menjadi ‘bapak rumah tangga’, mereka akan memiliki beban psikologis yang tinggi dalam menghadapi masyarakat yang ‘judgmental’. Pada tingkat tertentu yang tidak tertahankan, mereka justru bisa menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, untuk melampiaskan beban mental ini, misalnya menjadi laki-laki yang ringan tangan, baik kepada istri maupun kepada anak-anak.
Bagi perempuan, mereka pun dipaksa menjadi makhluk domestik. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu mereka hanya menjadi ‘breeder’ atau mesin penghasil anak, kemudian mengasuhnya. Setelah gerakan feminisme meluas dan membawa perubahan di sana sini, banyak perempuan mulai ingin melepaskan status kedomestikannya—bekerja di luar rumah. Namun, apa yang ditulis dalam surat kawin—bahwa perempuan memiliki peran sebagai ibu rumah tangga—perempuan pun dipaksa untuk memiliki peran ganda: bekerja di luar rumah dan melakukan segala pekerjaan rumah tangga, mulai dari mengasuh anak, memasak, mencuci dan menyeterika pakaian, sampai bersih-bersih rumah. Jika seorang perempuan memiliki suami yang ‘taat’ pada apa yang ditulis dalam surat kawin ini—dan menganggapnya sebagai kodrat yang dibawa seorang perempuan begitu dia lahir di dunia ini—maka sang suami pun akan membebaninya dengan segala pekerjaan rumah tangga itu, tanpa membantu melakukan apa pun, karena yakin bahwa laki-laki diciptakan untuk menjadi ‘raja’ yang harus selalu dilayani oleh sang istri, tak peduli apakah sang istri ‘hanya’ menjadi ibu rumah tangga, ataukah juga berkarier di luar rumah.
Di masa seperti sekarang dimana harga barang-barang begitu mahal, banyak keluarga pun memutuskan bahwa sang suami dan istri akan sama-sama menjadi pencari nafkah. Namun beban untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga tetap dibebankan kepada perempuan.
Sudah tiba saatnya untuk melakukan koreksi peran-peran laki-laki dan perempuan yang ditulis dalam surat kawin. Selain tentu saja untuk menghilangkan ‘privilege’ bagi kaum laki-laki untuk beristri lebih dari satu.
Nana Podungge
PT56 17.17 210309
NOTE:
Untuk tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan topik ini, klik aja
http://afeministblog.blogspot.com/search/label/househusband