Selasa, Maret 29, 2011

Perempuan oh Perempuan (2)

Ketika memposting Perempuan oh Perempuan di networking sebelah, aku mendapatkan link ini yang mengisahkan bahwa "Dutch women don't get depressed" yang merupakan parody "French women don't get fat".  Untuk mencari padanan parodi ini, si penulis artikel, Jessica Olien, an American woman, menulis "American women don't get satisfaction?"

How can Dutch women not get depressed?

Judul link bahwa "WOMEN IN THE NETHERLANDS WORK LESS, HAVE LESSER TITLES AND A BIG GENDER PAY GAP, AND THEY LOVE IT" mungkin memberi bocoran sedikit mengapa perempuan-perempuan Belanda tidak stress.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: HOW? dan WHY?

Honestly, I still don't get it.

Perhatikan frasa "a big gender pay gap". Hal ini terjadi karena para perempuan lebih memilih bekerja paruh waktu (bukan karena hourly mereka dibayar lebih rendah) agar mereka bisa lebih menikmati hidup. Mereka bekerja di pagi hari, pulang jam 2 siang untuk ngopi di kafe bersama teman-teman atau pun melakukan hal-hal lain yang lebih bersifat fun, misal berolahraga, berkebun, and some other leisure stuff sembari tak lupa 'mengasihani' rekan-rekan kerja mereka yang laki-laki karena mau tidak mau harus bekerja sepanjang hari to make ends meet.

My own question is: are all those women married?

Karena jika mereka single, apalagi single parents, tentu mereka harus tetap mikir panjang lebar bagaimana memenuhi kebutuhan anak-anak yang tentu high cost di Belanda. Atau, kalau pun mereka single parents yang disebabkan divorced, their ex husbands masih wajib memberikan nafkah untuk anak-anak dimana jika mereka tidak mau membayar, mereka akan dipenjara.

Kira-kira parodi yang pas untuk perempuan Indonesia apa ya? "Indonesian women don't get treated well by their peers?"

Perempuan Indonesia jelas masih dibayar lebih rendah dari pada laki-laki, (posisi sama, latar belakang pendidikan sama, masa kerja sama). Atau, kalaupun dibayar sama, tatkala membayar pajak penghasilan, perempuan Indonesia -- whether they are single or married or single parents -- tetap dianggap single yang membuat mereka harus membayar pajak lebih tinggi dibandingkan their male colleagues dengan status pernikahan yang sama.

Meski ada peraturan bahwa ex husbands harus memberikan nafkah kepada anak-anak (plus mantan istri), namun dalam prakteknya masih banyak yang tidak mendapatkannya. Ketika melaporkan hal ini ke pengadilan, urusan berbelit-belit dan biayanya pun tidak murah.

How about the parody for Arabian women yah?

GL7 15.43 290311

Sabtu, Maret 26, 2011

Perempuan oh Perempuan

Tulisan di bawah ini merupakan komen pribadiku untuk tulisan di sini

    "Perempuan masih lebih memilih menikah dan memilih suami yang berpenghasilan lebih besar dari mereka," demikan dituliskan dalam riset Hakim. ...

"Perempuan di sejumlah negara di Eropa bersikeras untuk menikah, jika bisa, dengan laki-laki yang memiliki pendidikan dan penghasilan lebih tinggi darinya," kata Hakim. Ia menambahkan, perempuan memanfaatkan pernikahan dengan pria kaya sebagai alternatif atau tambahan yang menunjang kehidupan, pekerjaan, dan kariernya.


"Dr." Catherine Hakim konon adalah seorang researcher. Just check this out. Preferensinya adalah bidang 'labor market', 'erotic capital' dan lain sebagainya hingga 'women's issues'. Seperti artikel di atas yang mengacu ke hasil riset yang dilakukan Hakim di beberapa negara Eropa, di Spanyol dan Inggris, disebutkan bahwa jumlah perempuan yang memilih menikahi laki-laki yang memiliki pendidikan dan penghasilan lebih tinggi darinya. Tidak tanggung-tanggung hasil riset ini konon dimaksudkan untuk mengkritisi David Cameron yang melontarkan ide tentang penambahan kuota perempuan sebagai pimpinan dalam perusahaan dan adanya isu untuk menurunkan pembedaan upah antara pria dan wanita.


Kita semestinya jeli menyikapi hasil riset ini dan tidak serta merta menyimpulkan bahwa perempuan lebih memilih menikah dari pada melajang dan menjadi financially self-established. Beberapa dekade yang lalu jumlah perempuan yang memilih menikahi laki-laki yang memiliki pendidikan dan penghasilan lebih tinggi memang rendah. Hal ini tentu disebabkan perempuan-perempuan zaman sekarang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan beberapa dekade lalu sehingga mereka lebih kritis dalam hal memilih pasangan; tidak asal 'laku' (^_^) and not just grab any guy.


Yang mengesalkan dari hasil riset ini adalah ketika kemudian masyarakat -- atau pemerintah -- menggeneralisir bahwa semua perempuan akan memilih menikah dan berhenti berkiprah di ranah publik. Apalagi jika gara-gara hasil riset ini kemudian isu menurunkan pembedaan upah antara pria dan wanita melulu hanya isu belaka. Terlebih jika 'termakan' isu yang digembar-gemborkan oleh Hakim bahwa feminisme hanya mitos belaka dan mementahkan kembali usaha-usaha yang telah dilansir oleh para penggiat kesetaraan jender selama berabad-abad.


Mengingat background Hakim yang lahir dan tumbuh remaja di kawasan Timur Tengah, kita bisa menyimpulkan dari mana akar misoginis yang dia miliki.


----------- ---------- ----------

PT56 19.59 260311

Sabtu, Maret 19, 2011

Rebut Ruang Kota!


REBUT RUANG KOTA!

Frankly speaking aku ga pernah ‘ngeh’ apa arti frasa REBUT RUANG KOTA! meski sudah beberapa bulan terakhir ini pernyataan itu selalu diulang oleh ‘panitia’ SCMR alias Semarang Critical Mass Ride atau “sepedaan ramai-ramai secara kritis (di) Semarang” tatkala mengirim email pemberitahuan pelaksanaan SCMR. Aku pikir frasa REBUT RUANG KOTA! ini berkaitan dengan usaha komunitas b2w Semarang (yang tentu didukung oleh komunitas maupun klub sepeda lain di kota Semarang) mengajukan permohonan disediakannya BIKE LANE di Semarang.

Frankly speaking juga bahwa meski SCMR telah dilaksanakan beberapa kali, sama sekali aku belum pernah berkesempatan untuk meluangkan waktu untuk mengikutinya. Seperti kesepakatan dengan komunitas/klub sepeda di kota lain, SCMR dilaksanakan pada hari Jumat akhir tiap bulan, dari pukul 19.00 sampai selesai. (Aku tidak akan mengekspose my excuses mengapa di sini. Ga penting.)

Sampai sekitar sebulan lalu adikku ikut SCMR dan pulangnya komplain betapa pengendara sepeda ketika merasa menjadi mayoritas di jalan raya pun bertingkah layaknya raja jalanan dan tidak memberi kesempatan pengguna jalan lain. Memang mereka tidak membuat udara semakin berpolusi – beda dengan klub moge maupun klub mobil yang banyak berkeliaran di mana-mana, tatkala mereka berkumpul dan melakukan konvoi, suara mesin moge maupun mobil plus asap yang keluar dari knalpot membuat polusi udara, sangat amat membuat kesal, belum lagi jika ditambah kearoganan seolah pemilik jalan raya. Namun, apa pun, tatkala pihak mayoritas itu sok menunjukkan ‘keakuan’ sebagai yang berkuasa di jalan raya pada waktu tertentu, tentu akan sangat mengesalkan bagi pengguna jalan lain. Bukankah akan sangat lebih baik jika SCMR itu dilakukan dengan tertib dengan meninggalkan gaya ‘sok memiliki’ jalan raya?

REBUT RUANG KOTA! disamakan dengan shock therapy?

Shock therapy yang bagaimana? Hasil akhir bahwa jika REBUT RUANG KOTA! ini sama dengan mengendarai sepeda beramai-ramai menguasai seluruh badan jalan tanpa mengindahkan pengguna jalan lain akan sama: KEAROGANAN YANG MENGESALKAN. Boro-boro mendapatkan simpati kemudian berhasil menarik orang untuk berangsur-angsur meninggalkan kendaraan bermotor mereka dan beralih naik sepeda, bahkan mungkin akan mengakibatkan antipati!

Aku tidak tahu bagaimana pelaksanaan Critical Mass Ride di kota lain. Aku juga belum tahu apakah mereka juga menggunakan jargon REBUT RUANG KOTA! dan bagaimana mereka menerjemahkan jargon ini. Namun yang aku tahu, tatkala bersepeda bersama komunitas sepeda lipat yang berkumpul di Jogja 5-6 Maret 2011 lalu, para voijrider (bagaimana cara menulisnya yang benar?), para marshall, dan sweeper berusaha ‘merapikan’ kita dengan berbaris rapi dua-dua jika jalanan kurang luas, dan satu-satu jika melintasi jalanan yang cukup sempit. Tanggal 6 Maret waktu ke Borobudur, ada lebih dari 150 orang yang mengikuti acara gowes tersebut. Dan kuperhatikan tidak ada peristiwa menguasai seluruh badan jalan hanya untuk kita semua.

Meski belum pernah ikut SCMR dan akhir-akhir ini datang ke CFD (Car Free Day) hanya sekedarnya saja, aku tetap tawadhu’ menjalani bike to work, alias bersepeda ke kantor, sebagai bukti nyata peduliku pada lingkungan, kampanye dalam diamku untuk Ibu Bumi.

P.S.:
‘hanya’ keprihatinan seorang bike-to-worker.
PT56 21.21 180311

photo credit to: Yoga

Kamis, Maret 17, 2011

Marriage and Divorce

Karena ideologi feminisme banyak menyoroti lembaga perkawinan sebagai cikal bakal kekerasan terhadap perempuan, atau merupakan 'lembaga resmi' yang banyak mendukung pendomestikasian perempuan maka sejauh ini aku banyak menulis tentang pernikahan. Ada 28 posts so far di marriage, 2 posts di menikah , 1 post di menikah dan ada 7 posts di Divorce. Dalam tulisan-tulisan sebelum ini, banyak orang yang kuwawancarai -- my students, workmates, friends -- bisa dikategorikan sebagai mereka yang sangat setuju dengan marriage-oriented society => menikahlah, maka kamu akan dianggap 'normal'. :) 

Di tulisanku kali ini, however, aku memiliki responden yang berbeda. :) 

Di postingan Why getting married? aku menulis beberapa alasan mengapa orang menikah:

  1. Mengikuti sunnah rasul
  2. Punya anak
  3. Agar punya seseorang yang selalu menamani kita
  4. Untuk memiliki kehidupan yang lebih baik
  5. Demi cinta
Di kelas "Religious Studies" minggu lalu aku dan my students membahas tentang "Marriage and Divorce". Ketika kutanya apa alasan orang menikah, mereka menjawab dengan seenaknya. :)
  1. Kurang kerjaan (LOL)
  2. Demi uang dan kekayaan
  3. Memperbaiki keturunan
  4. For fun
  5. To have legal sex 
Resiko menikah:
  1. Lebih banyak kerjaan => punya anak dan mengurusi mereka
  2. Harus bekerja lebih keras dikarenakan harus meng'cover' kebutuhan suami/istri/anak
Kesimpulan dari diskusi:
  1. It is not a must to get married
  2. A marriage does not always mean happiness
Di bawah ini kucopy-paste dua tulisan siswaku.
JOHN:

Strangely, religions seem to believe someone must marry to be happy. In my opinion, this belief would not work well in the modern world. Taking care of yourself alone is already hard enough. And an entire family? Marriage = trouble.

Here is an equation:

time = money
marriage = money x time
marriage = money (pangkat dua)
money = problem
marriage = problem (pangkat dua)

Well, that was offensive, but I am just trying to say that people don't have to love or marry each other to be happy. Marriage is not a thing in the past; it is not a happy thing anymore, except in some cases. We, human, enjoy the company of others and have the ability to choose, right? We can also understand others and have friends, right? So, we should be free to choose whether we want to marry or be just friends. 

Pre marital sex? I don't care. Dogs and lions do that, so you will bring yourself to that level, animals, which we are all.

VANYA:
Marriage and divorce are important topics in religious studies although perhaps they are not as relevant as other topics of religion.

In most religions, marriages are encouraged (or, even, in some cases, considered an obligation) as it reflects love for others and unity; although there are, too, several religions that promotes celibacy, sucs as Catholics.

While marriages are encouraged, however, divorces are not. Although some religions allow married couples to divorce, it is always discouraged and seen as a last resort (especially in Christianity, as it is written in Bible that marriage is to be kept pure. This means that no matter what happens, the ties of marriage should not be broken by divorce.)

Also, most religions promote (emphasize) monogamy. But in the case of Muslims, polygamy is allowed, (but for some reasons, polyandry is not) although a man who has more than one wife must treat all his wives in the same way.

GL7 14.00 170311

Kamis, Maret 10, 2011

Kehamilan dan Pengguguran Kandungan

Di zaman dahulu konon mengapa perempuan tiba-tiba menjadi hamil dan menghasilkan manusia dalam bentuk mini merupakan rahasia alam yang tidak pernah bisa dipahami. Nenek moyang kita tidak tahu apa yang menyebabkan seorang perempuan mengandung, sama dengan ketidaktahuan apa yang membuat setiap perempuan setelah menginjak usia tertentu berdarah-darah di tiap bulan. Itu sebab zaman dahulu perempuan dengan mudah dituduh melakukan sihir karena hal-hal yang 'ajaib' ini.



Kemajuan di bidang kedokteran tak lagi membuat hal ini menjadi misteri. Seorang perempuan mendapatkan menstruasi karena memang cara kerja hormon di dalam tubuh perempuan. Dari cara kerja hormon ini seorang perempuan akan menghasilkan sel telur yang akan berkembang menjadi embryo jika dibuahi oleh sel sperma. Kemajuan di bidang kedokteran pula yang akhirnya menjadikan kehidupan di dalam rahim tak lagi menjadi misteri; calon orang tua bisa mengetahui terlebih dahulu jenis kelamin jabang bayi, bisa juga mengetahui kira-kira sang jabang bayi memiliki jenis penyakit tertentu yang mematikan atau tidak. dan seterusnya.



*bless the great progress of medical field*



Demikian juga kemisteriusan mengapa seorang perempuan bisa hamil sedangkan perempuan yang lain tidak bisa. Jika tidak bisa, maka usaha apa yang bisa dilakukan oleh kedua calon orang tua yang tentu saja akan dibantu oleh majunya bidang kedokteran, misal apakah diperlukan bayi tabung. Jika bayi tabung ini berhasil dilakukan, apakah rahim sang ibu bisa menerima embryo yang telah diusahakan berkembang dalam 'tabung' tertentu, ataukah ... diperlukan seorang surrogate mother.



Beberapa saat lalu, aku menulis tentang 'surrogate mother' di note. Dimana kutulis di salah satu kesempatan English Conversation Club aku memperkenalkan istilah ‘surrogate mother’ to my students. “Keanehan” fenomena surrogate mother membuat beberapa siswa bertanya tentang apakah hal ini dibolehkan di Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara ‘agama’. (Padahal ya ga juga ya?) Dan orang-orang lebih memilih untuk mengadopsi anak untuk ‘memancing’ agar pasangan suami istri segera memiliki momongan sendiri. Mungkin yang lebih familiar di telinga masyarakat adalah keberadaan bayi tabung. Meski, tetap saja hal ini mengakibatkan pro dan kontra di masyarakat.



Di antara salah satu komen yang masuk ada yang menyebut tentang 'pengguguran kandungan' yang tidak selayaknya dilakukan. Hal ini mengingat betapa rumit dan ribet usaha yang dilakukan banyak perempuan yang sangat menginginkan untuk punya anak; be it lewat bayi tabung, maupun menyewa rahim perempuan lain, yang tentu tidak murah. Dalam film BABY MAMA disebutkan harga kurang lebih seratus ribu dollar Amerika untuk sekali sewa.



Well, I got the point there. Namun, kita sebaiknya dengan arif menyikapi mengapa pengguguran kandungan ini terjadi. Menurutku tak ada seorang perempuan pun yang dengan sukarela menggugurkan kandungan, karena jauh lebih sering pengguguran kandungan dilakukan karena terjadi 'kehamilan yang tidak diinginkan'. Menurut sumber yang dapat dipercaya, pengguguran kandungan lebih sering dilakukan oleh para perempuan yang telah menikah dengan alasan yang hanya mereka sendiri yang tahu. Jika pengguguran kandungan selalu dihubungkan dengan para perempuan yang seolah-olah 'hanya' mau melakukan hubungan seks yang tidak aman (alias tanpa pengaman) dan dicap 'bitchy' betapa piciknya.



Mengenai kehamilan yang tidak diinginkan yang terjadi di kalangan remaja sebenarnya bisa dihindari dengan memberikan pendidikan seks yang sesuai dan membekali para remaja itu dengan bagaimana melakukan seks yang aman -- atau beri mereka 'shock therapy' dengan menunjukkan video para penderita penyakit kelamin yang disebabkan melakukan hubungan seks yang tidak sehat agar mereka berpikir-pikir ribuan kali untuk mencoba melakukan hubungan seks out of wedlock. Remaja tidak bisa hanya dicekoki dengan mendirikan masjid-masjid dan khotbah-khotbah moral yang terlalu di awang-awang.



========= ========== ==========

PT28 18.58 090311

Beberapa komen yang masuk di lapak sebelah:


            Syam Harjono Aku nda setuju Na, abortus krn sebab apapun juga, baik krn alasan medis terlebih criminalis. Bagiku, abortus adlh tragedi kemanusiaan! Seorang Beethoven pun terlahir dr seorang ibu penderita sipilis.
            17 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge Syam
            it is okay ..., siapa pun boleh berpendapat apa pun, dan orang lain mendengarkan dan mengapresiasinya.
            ^_^
            17 hours ago · LikeUnlike
          o
            Helmanus Damanik Haid dianalogkan air mata darah krn ovum tdk ada yang membuahi,jd menangis lah dia dengan airmmata sampai 3-7 hari.Hehehe
            17 hours ago · LikeUnlike
          o
            Ratna Kumala aku setuju solusinya, bahwa remaja harus diberikan pendidikan sex. dalam hal ini tentunya peran ortu sgt lah penting.
            17 hours ago · LikeUnlike
          o
            Whytoro Saharwi Hanya masalah selembar kertas yang bisa membedakan keduanya ....
            16 hours ago · LikeUnlike
          o
            Helmanus Damanik The next“ Rent The Womb” is possible. Unwanted child,the solution is conseling,not pregnancy termination.
            16 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge
            Om Hel,
            'surrogate mother' is the term for women who rent their womb.
            for me, to avoid unwanted children, we had better try to reduce the number of the pregnancy of unwanted children; such as using protection, pregnancy termination perhaps is... still a choice, though, especially if it is the result of rape.
            14 hours ago · LikeUnlike
                    o
            Nana Podungge Ratna,
            yup!
            14 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge Why,
            bedain apaan bro?
            ^_^
            14 hours ago · LikeUnlike
          o
            Helmanus Damanik I'm a sort of opposed to abortion except for life saving mother (eg:pegnancy women with heart failure,severe diseases). For unwanted babies women, no way to terminate her pregnant ,every baby has authority for life,we must be careful of decision making in a such problem,it's very complicated problem.For me althogh she is a victim of a rape the first I tried to make conselling as a comprehensive decision of the problems.Actually reducing unwanted children mothers using contraceptions,but how unmarried women and widows?
            12 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge
            I am using women's point of view that strictly think that women's bodies are their authorities. and I realize that to have abortion, it is really a complicated problem.
several years ago, I discussed this in one mailing list I join. Due to t...his, I had a quite long talk with a Catholic priest via emails. but still, I insist that in this abortion case, women should listen to their own heart.
            12 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge Om Hel,
            what's up with unmarried women and widows? they don't have rights to get check up to get warranty that they are sexually healthy?
            12 hours ago · LikeUnlike
          o
            Lucia Setyo Utomo
            Di agamaku aja masih tegas2 menolak aborsi dgn dalih apapun. Boro2 aborsi, lha wong KB aja (kondom) masih baru2 aja disetujui itupun belom tegas2 benar diakuinya ...
            Berbicara mengenai pengguguran kandungan memang sedikit rumit karena ada ma...nusia yg berhak untuk hidup tp di satu sisi juga ada hak perempuan atas tubuhnya sendiri.
            Apa yg dilakukan agama Katholik dgn melarang aborsi menurutku terlalu idealis. Padahal realitasnya pengguran kandungan itu bisa terjadi karena banyak sebab. Tidak sesimple 'seorg ibu yg ingin membunuh bayinya' thok.
            Klo pendapatku pribadi melihat kasus pengguguran kandungan sama seperti melihat kasus eutanasia. Kalau memiliki alasan yg kuat syah2 saja dilakukan ...See More
            10 hours ago · LikeUnlike
          o
            Wahyu Handayani Iswandi Mbak Na, perempuan selalu jadi obyek dan saat dia mau jadi subyek banyak sekali yang mempertanyakan!
            10 hours ago · LikeUnlike
          o
            Buntung Kertopati
            Wah, seru baca artikel ini, ....let me ( Habib) share a story with you all. Habib kenal seorang keluarga dari Arab, yg sudah bertaon-taon ingin punya anak. Di negerinya yang Suci tanda kutip, bayi tabung masih diharamkan ( pada waktu itu--s...ekarang habib nggak tahu). Diem-diem Fatimah dan Ali baba ( bukan nama asli) pergi ke Australia mencoba dengan bayi tabung IVF -in Vitro Fertilisation. Program IVF ternyata berhasil, dan fatimah and Ali Baba happpy dengan bayi yang sering digoda " CilukBaaaaa"...nah menurut kabar burung banyak orang arab yg datang ke negeri Kangguru ini untuk ikut program IVF- bahkan ada juga yang menggugurkan bayi- karena teknologi yg lebih humaqnsi, padahal dulu menurut agama Islam, Katolik, Kristen dll, diharamkan. Nha kini Ilmu Kedoktoran ternyata mampu mengatasi kebodohan manusia. Ilmu pengetahuan tiu adalah bagian dari semesta ini dan bagi orang yg beragama ( seperti habib yg sholatnya 6x sehari ) tentunya Ilmu pengetahuan adalah bagian dari kemuzizatan TUHAN. Sorry Mbak Nana aku ikut memberkan kuliah...di post mu ...
            7 hours ago · UnlikeLike · 1 personYou like this.
          o
            Karina Yoke Finalli
            hmm, spt biasa lazim nya ms. Na yg satu ni sll punya topik seru utk dijadiin renung       an.
            Well, as a new mother myself, q kadang2 msh suka termenung, koq bs ya dr ovum-sperma bs tumbuh jd bayi yg (subhanallah-anak q) cantik sekali.
            Ada asap krn... ada api, ada akibat dr sebab. Selama alasan pengguguran msh bs dipertanggung jawabkan, maka (mgkn) sah2 saja pengguguran. Tapi, terkadang yg terjadi justru sebalik nya. Maka nya praktik2 aborsi ilegal msh byk berkeliaran. Karna jk memang pengguguran tu utk alasan medis [*baca: bs dipertanggung jawakan] tentu jg dilakukan oleh tangan2 yg bertanggung jwb pula...
            3 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge Lucia,
            thanks for sharing your opinion here ...
            as usual, I love your comments
            ^_^
            2 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge Wahyu,
            and we MUST keep struggling to make women as subjects despite the consequences.
            2 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge mas Bun,
            thanks for sharing that story of hypocrite 'habib' or perhaps religious minister or whateva ...
            2 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge
            Karin sayang,
            you reminded me of my own experience when Angie was just born; I also thought that way, how could I produce a very cute baby? I just gave birth to another life of another human being! my very own baby!
            tempat-tempat aborsi illegal masih berkeliaran karena negara ini terlalu hipokrit dengan masih tetap menganggap aborsi sesuatu yang immoral.
            2 hours ago · LikeUnlike
          o
            Nana Podungge
            for all,
            I wanna share something that I sent to Om Helmanus's inbox below:
            by the way,
            ...have you ever known a certain community somewhere on this earth that has a contradictory tradition from most communities? they have a ritual to cry together in a village to welcome a newborn baby. a birth of a baby is analogous with misery; the baby will have to undergo lots of miserable pains, problems, and stuff.

            on the contrary, they have a ritual to have a big celebration to show happiness when someone dies. death means the release of those pains and problems and stuff.

            it means from the point of view of this community -- or tribe or whatever we call it -- terminating pregnancy at a 'safe age of pregnancy' is absolutely okay. at least, we help reduce the number of human being that will undergo miserable pain and stuff.
            2 hours ago · LikeUnlike
    *
     
========= ========= ==========
GL7 13.18 100311

Jumat, Maret 04, 2011

Gender Voices in Literature


GENDER VOICES IN LITERATURE

Tahun 1998 konon dianggap sebagai awal mula digulirkannya tema-tema yang mengusung suara perempuan. SAMAN, novel pertama karya Ayu Utami, didapuk sebagai karya sastra yang mewakili tema ini. Dalam novel ini Ayu Utami mengkritisi pandangan masyarakat yang mengkultuskan keperawanan perempuan lewat keempat tokoh sentral yang kebetulan perempuan: Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok. Laila yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tingkat relijiusitas lumayan tinggi dikisahkan menghadapi dilemma tatkala ingin mendobrak kesakralan selaput dara dengan usahanya untuk melakukan sexual intercourse dengan kekasihnya yang kebetulan adalah suami perempuan lain. Cok dikisahkan sebagai pembangkang tentang hal ini dengan memiliki banyak pacar dan sexual intercourse jelas bukan hal yang tabu untuk dia lakukan. Sedangkan Yasmin – a too good to be true character – akhirnya pun menjerumuskan dirinya dengan terlibat pengalaman seksual dengan Saman, sang mantan frater. Shakuntala – mungkin karena kebenciannya pada kaum laki-laki yang dia anggap sebagai pangkal mula permasalahan yang menimpa kaum perempuan – merusak selaput daranya sendiri. Jika di buku yang kedua, LARUNG, Ayu Utami mengisahkannya sebagai seorang lesbian tentu sangat masuk akal. Kaum feminis radikal menyodorkan lesbianisme sebagai opsi agar sama sekali tidak terlibat dengan kaum laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.

SAMAN kemudian diikuti oleh novel-novel maupun cerita pendek cerita pendek karya penulis perempuan lain dengan menyuguhkan tema yang sama: mendobrak status quo posisi perempuan, baik dalam rumah tangga, maupun dalam relasi hubungan seksual. Beberapa nama penulis perempuan yang mengikuti ‘aliran’ ini misalnya Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu.

Bagaimana dengan penulis laki-laki? Adakah yang kemudian juga menghasilkan karya yang memiliki tema yang sama? Apakah mereka pun menyodorkan wacana dimana si tokoh perempuan bisa dikategorikan sebagai seorang Laila, Yasmin, Cok, atau Shakuntala? Dengan kata lain perempuan adalah subjek dalam menentukan kehidupannya sendiri. Terlepas dari campur tangan dan pandangan laki-laki tentang posisi perempuan yang konvensional.

Tulisan ini akan membandingkan tokoh perempuan dalam cerita pendek berjudul “Janji Jalu” karya Dewi Ria Utari dan “Mengawini Ibu” karya Khrisna Pabhicara.

JANJI JALU

Ada dua tokoh sentral dalam cerpen ini, Galuh dan Nyi Pamengkas, sang Bude. Galuh yang sejak kecil dibesarkan oleh sang Bude – karena kedua orangtuanya dikisahkan merantau ke Abu Dhabi demi masa depan yang lebih menjanjikan namun kemudian ternyata keduanya dikabarkan meninggal dunia dalam sebuah kebakaran yang herannya tidak melukai sang majikan – adalah contoh tokoh perempuan yang masih ‘hijau’,  yang tidak mengenal karakter laki-laki dengan baik. Dalam kultur patriarki tidak terhitung jumlah laki-laki yang hanya memanfaatkan keluguan seorang perempuan demi keberhasilan sang laki-laki itu sendiri.

Nyi Pamengkas merupakan tokoh kebalikan dari Galuh. Pengalaman hidupnya mengajarkannya bagaimana dia bisa seolah-olah menjadi ‘korban’ ketamakan kaum laki-laki, namun sebenarnya dia mengambil keuntungan dari ‘sandiwara’ yang dia mainkan itu. Dia memiliki sejumlah laki-laki yang lebih muda darinya untuk klangenan. Para laki-laki itu berpikir mereka bisa mendapatkan keuntungan dari Nyi Pamengkas tanpa mereka sadari bahwa Nyi Pamengkas lah yang paling memperoleh untung dari hubungannya dengan para ‘klangenan’ itu: dia senantiasa awet muda dan memesona meski usianya telah lebih dari kepala lima.

Nyi Pamengkas yang seorang dalang tersohor ingin menurunkan kepiawaiannya kepada Galuh; tidak hanya dalam bidang mendalang namun juga bagaimana bersikap menghadapi laki-laki.


MENGAWINI IBU

Tokoh sentral dalam cerita pendek ini adalah seorang laki-laki yang tidak terima tatkala melihat ayahnya selalu dan selalu menyakiti hati ibunya dengan membawa pulang para perempuan untuk bercinta di rumah. Konon ‘kebiasaan’ ini dimulai ketika sang ibu telah kehilangan kemampuan untuk ‘serve’ sang ayah di tempat tidur.

Sang anak laki-laki selalu memprotes sang ibu yang diam saja dan tidak pernah memprotes tindakan sang ayah yang nampak telah menafikan perasaan istrinya. Sang ibu dikisahkan sebagai seorang perempuan yang senantiasa memiliki berjuta maaf dan berjuta cinta untuk memahami apa pun yang dilakukan oleh sang suami. Namun toh sang anak sering juga melihat luka di mata sang ibu, yang coba dia samarkan dengan kata-kata bijak penuh maaf.

Hingga satu kali sang ibu meninggal dengan membawa luka di hati. Sang anak pun berjanji pada diri sendiri untuk membalas dendam kepada sang ayah, meski sang ibu melarangnya untuk membalas dendam karena biar bagaimanapun, laki-laki berhidung belang itu adalah ayahnya. Dia ternyata tidak akan pernah bisa memaafkan tindak-tanduk ayahnya yang telah membunuh ibunya.

“Jangan tiru kelakuan ayahmu,” pesan sang ibu tetap terngiang di telinga sang anak.

Dia memang tidak dikisahkan menelantarkan istrinya secara psikologis kelak di kemudian hari. Dendamnya kepada ayahnya dia salurkan dengan cara meniduri perempuan-perempuan yang menjadi ‘ibu barunya’,  tanpa sepengetahuan sang ayah tentu.

TOKOH PEREMPUAN DALAM KEDUA CERPEN

Dari ringkasan kedua cerita pendek di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pengarang laki-laki dan pengarang perempuan mendudukkan tokoh perempuan dalam posisi yang berbeda. Dewi mengisahkan Nyi Pamengkas yang perkasa, yang menguasai setiap permasalahan dengan kelihaiannya sebagai seorang perempuan. Dia tidak kehilangan kontrol emosi ketika Galuh mengkhianatinya dengan memberikan gunungan emas kepada Jalu, salah satu laki-laki klangenannya yang ternyata menipu Galuh. Bahkan dari kasus ini, dia mengajari Galuh bagaimana bersikap menghadapi laki-laki. Nyi Pamengkas adalah sang subjek.

Sedangkan Khrisna tetap memberikan karakter perempuan yang dipuja dalam kultur patriarki, seorang perempuan yang maha pemaaf dan maha pecinta. Perempuan sang maha ini – tak peduli bagaimana pun caranya meyakinkan sang anak bahwa cinta dan pengertian adalah segalanya dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan catatan pihak perempuan lah yang didudukkan dalam posisi “the most loving, loyal, and understanding angel” – akhirnya dikisahkan meninggal karena tak mampu lagi menahan duka. Kematian yang membebaskan segala duka duniawi? Apa pun itu, tokoh perempuan di sini adalah objek. Sang ibu objek permainan sang ayah. Tokoh-tokoh perempuan yang kemudian menjadi ‘ibu-ibu’ berikutnya adalah permainan sang anak dalam membalas dendam kepada sang ayah.

READER-RESPONSE THEORY

Tatkala sebuah karya diterbitkan dan sampai ke tangan pembaca, para pengikut teori ‘the death of the author’ pun berpesta-pora bagaimana mereka akan menanggapi karya tersebut. Seorang pembaca yang mengimani ideologi feminisme akan sangat memuja karya-karya yang memiliki tema seperti cerpen JANJI JALU, tokoh perempuan adalah subjek. Karya yang mendobrak status quo tentang posisi perempuan yang diobjekkan, yang hanya bisa menangis meski menggunakan ‘cinta’ sebagai tameng.

Meski tentu saja tak bisa kita negasikan bahwa dalam kultur yang masih saja mengunggulkan patriarki ini tokoh perempuan yang merupakan objek bisa jadi merepresentasikan kondisi perempuan dalam banyak kasus di tengah masyarakat. Masih banyak kasus perempuan yang membiarkan dirinya menjadi korban yang diam saja tatkala sang suami berbagi kelamin dengan perempuan lain. Apalagi dengan embel-embel label “perempuan merupakan makhluk sempurna,  yang tidak pernah menyadari kesempurnaannya, sebagai satu-satunya kelemahannya.” Perempuan yang dininabobokkan dengan pernyataan “engkaulah ibu semesta dimana pusat segala cinta dan maaf ada dalam dirimu.”

KESIMPULAN

Laki-laki dan perempuan bisa saja mengusung tema yang sama, menyodorkan suara perempuan. Namun, hasilnya bisa jadi tetap terjebak dalam kultur yang telah menjajah kaum manusia sejak zaman yang entah.

GL7 11.44 040311

Kamis, Maret 03, 2011

Chinese Foot-binding

From my post in this topic at Chinese foot-binding versus European corset wearing I got one very intriguing, though somewhat shocking link here

A Taiwanese doctor -- the so-called respected expert in foot-binding -- was interviewed about this in-fact-secretly-hidden fact in Chinese culture. He -- and perhaps also with many other contemporary men at his age or older -- found bound foot the most important sex appeal in women; even a lot more sexier than a woman's genital organ. He has thousand pictures and knick-knack of this stuff in his house. In short, he said that a woman's bound feet were so erotic that she would cover them in order that public would not be able to see them. A woman would even choose to be photographed naked but still wear her tiny feet. Men in his era would very much be aroused only to see a tiny shoe, and not so much when seeing naked breast or vagina.

For this reason then many mothers would rather make their daughters cry when binding their feet to get a lotus shape in order that they would not see their daughters cry in the future because they would not be wanted to be men's wives. As a result, since women could not do many household chores, men -- from not so rich families -- would work like slaves as long as they had wives with lotus-shaped feet.

For further reading, just click the link here .

GL7 15.18 030311