Istilah ‘dosa waris’ dalam bidang pendidikan pertama kali kudengar dari seorang (ex) rekan kerja mungkin sekitar satu dekade yang lalu. Mengingat kita adalah guru Bahasa Inggris, contoh yang paling sering kita bahas waktu itu adalah pronunciation yang salah. Jika seorang guru salah mengajarkan pronunciation sebuah kata, (mungkin dikarenakan malas ngecek kamus), maka bisa dipastikan anak didiknya akan salah juga cara membaca kata tersebut. Jika anak didiknya ternyata menjadi guru, dan ‘take it for granted’ tanpa ngecek kamus, dia juga akan mengajarkan cara membaca yang salah.
Misal waktu aku duduk di bangku SMP, guru Bahasa Inggrisku mengajari cara membaca ‘flour’ seperti tulisannya /flour/. Guru waktu SMA juga membacanya sama, maka kupikir memang begitulah cara membacanya. Sampai akhirnya aku menjadi guru, bertemu sebuah buku dimana di dalamnya berisi berbagai jenis games, salah satunya adalah ‘homophones’. Yang dimaksud ‘homophones’ dalam Bahasa Inggris adalah ada dua atau lebih kata yang cara membacanya sama namun penulisannya berbeda, misal /eyes/ dengan /ice/, /two/ dengan /too/ atau /to/. Nah, di lembar game ini lah aku menemukan kata /flour/ yang disamakan pronunciationnya dengan /flower/. Tentu saja aku kaget dan langsung ngecek kamus. To my surprise, I just realized sekian tahun aku pun telah membaca kata ‘flour’ dengan salah.
Satu kata lain lagi adalah kata ‘vehicle’. Guru SMA-ku membacanya /vihaikel/. Waktu kuliah S1 dengan pede aku membacanya /vihaikel/. Di satu kesempatan, aku disalahkan oleh seorang teman sekelas, karena katanya cara membacanya adalah /vi’ikel/. Karena tidak terima (mosok guruku salah?) aku langsung ngecek kamus, dan mendapati ... memang guruku yang salah cara membacanya.
Kalau “hanya” salah pronunciation begini (mungkin) masih bisa dimaafkan; toh tidak menimbulkan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan nyawa.
Yang lebih parah tentu adalah ketika seorang guru memberikan informasi yang salah kepada siswanya. Siswa menerima informasi itu apa adanya, dengan berbaik sangka, “masak guruku yang cerdas ini salah memberikan pengetahuan?” Namun ternyata memang sang guru mendapatkan informasi yang salah ketika (mungkin) masih duduk di bangku kuliah, took it for granted, dan memberikan pengetahuan yang salah itu kepada siswa-siswanya di kemudian hari.
Sebagai contoh:
Ketika kuliah S1, aku menerima jenis teori sastra masih sangatlah ‘terbatas’, teori yang merunut ke zaman ‘baheula’ dimana sebuah karya sastra hanya bisa digali dengan menggunakan empat pendekatan (alias teori),yakni pendekatan ‘ekspresif’, ‘objective’, ‘pragmatik’, dan ‘mimetik’. Belum kudengar jenis teori, semisal ‘New Criticism’, ‘Structuralism’, hingga ‘Feminism’ dan ‘Deconstruction’. Dll.
Ketika kuliah S2, seorang dosen senior, dalam kuliah “Literary Theories” mengajarkan teori ‘deconstruction’ tak ubahnya dengan pendekatan ‘objective’, hanya saja titik perhatiannya dibedakan. Misal, dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Jika ‘biasanya’ yang dianalisis adalah tokoh Siti Nurbaya dan Samsul Bahri ketika menggunakan pendekatan ‘objective’, maka jika kita menggunakan teori ‘deconstruction’, kita mungkin akan memilih tokoh lain, misal, Datuk Maringgih.
“Then what, Ma’am?” tanya kita waktu itu.
Ya sudah, langkah berikutnya sama seperti ketika kita menggunakan pendekatan ‘objective’.
LHO KOK? Apa bedanya dong dengan pendekatan ‘objective’ kalau begitu? Bukankah dalam pendekatan ‘kuno’ ini seorang peneliti bebas menentukan unsur apa saja yang ada di dalam sebuah karya? Mau meneliti sang tokoh utama atau pun a very minor character, kan suka-suka sang peneliti?
Kebingungan ini kemudian membuat aku dan beberapa teman duduk bersama di kursi kantin, makan sekaligus diskusi bersama untuk memahami lebih lanjut penggunaan teori ‘deconstruction’ dalam melakukan penelitian sastra. Kemudian diskusi ini kita lanjutkan ke kelas lain, “The History of American Literary Criticism” yang diampu oleh seorang dosen muda.
Dari beliau lah akhirnya kita mendapatkan ‘pencerahan’. Kata ‘deconstruction’ bermula dari kata ‘to deconstruct’, yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai ‘memutarbalikkan apa yang ada’ dengan menggunakan kacamata lain.
Misal, jika menggunakan kacamata ‘lama’, maka tokoh Samsul Bahri adalah sang pahlawan yang berjuang memenangkan cintanya dengan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih adalah tokoh tua yang tidak tahu malu dan tidak sadar diri dengan kelapukannya ingin memperistri Siti Nurbaya yang masih muda dengan menyalahgunakan kemiskinan orang tua Siti Nurbaya.
Teori dekonstruksi sangat memungkinkan cara membaca yang dibalik: Datuk Maringgih adalah sang pahlawan negara, karena dia melawan penjajah Belanda pada waktu itu. Sedangkan Samsul Bahri justru merupakan antek Belanda karena dia bekerja untuk pemerintah Kompeni.
Penerbit novel ‘Siti Nurbaya’ adalah ‘Balai Pustaka’. Siapakah yang mendirikan BP? Pemerintah Belanda yang memang sengaja ingin meneruskan kelanggengan masa penjajahannya di bumi pertiwi melalui pintu yang ‘cerdas’: buku. Dengan cara menerbitkan buku-buku yang menuliskan betapa baik hati pemerintah penjajah Belanda pada penduduk pribumi, dan betapa penduduk pribumi yang lain bisa menjadi tokoh yang pantas dimusuhi (dalam hal ini Datuk Maringgih).
Kembali ke masalah utama ‘dosa waris’. Tentu masih banyak contoh yang bisa digali dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh, salah satunya, a teacher’s not well-preparedness with his/her misleading knowledge.
PT56 08.53 211211
afemaleguest wrote on Dec 21, '11
onit said
aku
inget waktu smp ada guruku yg ngotot because ditulis becouse. uh oh.
tapi waktu itu gak bawa kamus, gak bisa buktiin. toh di test kutulis
because gak disalahin :D -- gak tau bocah2 yg lain gimana..
waktu
masih kul S1, aku eyel-eyelan dengan seorang teman yang kul di IKIP
Semarang jurusan Bahasa Inggris beberapa kata, misal 'caught' dia ngeyel
tulisannya 'cought'
waaahhh ... kalo aku ga tunjukin kesalahannya , dia bakal mewariskan kesalahan itu ke anak didiknya, dan bisa jadi bakal turun temurun ^__^ |
afemaleguest wrote on Dec 21, '11
rirhikyu said
Tak pikir ttg dosa warisan beneran yg diajarkan diagama :pTernyatah dosa waris yg laen :)
hihihihih
^__^ |
afemaleguest wrote on Dec 21, '11
martoart said
Tulisan semacam ini yang baiknya banyak ditemui di MP. Trims, gak segan baca postingan asyik cem gini.
tenkiu Kang ^__^
|
afemaleguest said
Kalau
“hanya” salah pronunciation begini (mungkin) masih bisa dimaafkan; toh
tidak menimbulkan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan seseorang
kehilangan nyawa.
Kalo mo bilang "excuse me sir", terus salah jadi "executed me sir"... bisa fatal juga loh...
|
afemaleguest wrote on Dec 21, '11
martoart said
Kalo mo bilang "excuse me sir", terus salah jadi "executed me sir"... bisa fatal juga loh...
qiqiqiqiqiqi
|
rembulanku wrote on Dec 22, '11
oh tentang bahasa tho, tak kira dosa warisan yg betulan perbuatan dosa xixixi....
aku sekarang banyak lupanya mbak kalo bahasa inggris terlalu banyak ngomong ga inget nulisnya gimana *mlenceng seko topic* |
afemaleguest wrote on Dec 22, '11
rembulanku said
oh tentang bahasa tho, tak kira dosa warisan yg betulan perbuatan dosa xixixi....
kayak Febbie, salah kira di awal
hihihihihi |
afemaleguest wrote on Jan 12
rawins said
aku bego banget bahasa inggriskarena kutukan waris juga kayaknya..
walaaahhhh ...
find a scape goat! yay!!! hihihihihi |
dinantonia wrote on Jan 12
ya,
ya... mayan banyak juga cara pronunciation yang ternyata saya salah
ketahui, misalnya pyramid (pi- bukan pay-), decisive (decaysive, bukan
decisive). Juga finance bisa dibaca fahy- atau fi-... Saya juga
terkadang salah memberi info ke anak2. Learning by doing lah :D
|
afemaleguest wrote on Jan 12
dinantonia said
Learning by doing lah :D
:-D
|