Selasa, Mei 12, 2009

Seandainya Antasari Berpoligami


Judul di atas tentu saja murni bukan ideku, namun aku hanya mencomot dari salah satu message yang kuterima di sebuah milis yang kuikuti. Kontan saja ‘thread’ satu ini menjadi bahan diskusi yang hangat. Tidak mengherankan pula jika pada perkembangannya yang lebih disorot adalah masalah poligami yang selalu kontroversial, bukan kasus Antasari yang konon terlibat cinta segitiga dengan Nasruddin Zulkarnaen dan Rani Juliani yang mengakibatkan kematian Nasruddin.

Artikel yang dikirim ke milis merupakan comotan dari koran ‘Waspada’ yang ditulis oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai wartawan koran yang bersangkutan. Merupakan kebetulan belaka jika si wartawan ini memiliki embel-embel gelar ‘Hj’ di depan namanya. Wartawan ini memiliki nama marga ‘Tarigan’.

Aku selalu percaya betapa dahsyatnya dampak media kepada pembaca maupun konsumennya. (Ini salah satu trigger yang sangat kuat mengapa aku blogging.) Jika si pembaca artikel tersebut menelannya mentah-mentah dan memahaminya secara bulat, tanpa menggunakan ‘critical thinking’ alias berpikir secara kritis, betapa pembodohan terhadap masyarakat tidak akan pernah berhenti.

Seperti yang dikatakan oleh Pastor Gustav Briegleb kepada Christine Collins dalam film ‘Changeling’ (film yang berdasarkan kisah nyata), “Pembaca (koran Times) yang menggunakan akalnya bisa langsung tahu perbedaannya. Sayangnya lebih dari setengah pembaca tersebut tidak menggunakan akalnya.”

Apalagi jika sang wartawan yang menulis artikel tersebut tidak menggunakan akal sehatnya, hanya bermodalkan idiom ‘harta, tahta, wanita’ sebagai godaan terberat bagi laki-laki sukses, kemudian menulis artikel dan diberi judul kontroversial “Andai Antasari Berpoligami”. Seolah-olah jika Antasari berpoligami, maka Nasruddin tidak akan terbunuh. Seolah-olah jika Antasari berpoligami, maka dia tidak akan terjerembab ke dalam bui.

Sebenarnya talking about politics is not my cup of tea. Meskipun sebagai seorang claimed-feminist, aku pun setuju dengan salah satu ‘slogan’ kaum feminis, “the personal is political”. By the way, aku ngeblog juga merupakan salah satu cara untuk menyampaikan sesuatu untuk mereka yang menggunakan ‘critical thinking’ mereka. 
PT56 22.50 120509

2 komentar:

  1. Very well said, mba about the 'critical thinking';)

    Aku tidak bisa berkomentar lebih banyak karena seperti Mba, politics is not my cup of tea (ato coffee malah karena labih doyan kopi hehehe) dan aku juga kurang mengikuti perkembangan kasus Antasari ini hehehe.

    BalasHapus
  2. Ah, that makes the two of us, Regina :)

    BalasHapus