Rabu, Oktober 16, 2019

Parent-child relationship

diambil dari sini



KONON, semakin sedikit 'age gap' antara orangtua dengan anak, hubungan antar keduanya semakin harmonis.


Di antara ayah dan ibundaku, aku lebih 'akrab' dengan ibuku. Jika melihat pernyataan di atas, beda usiaku dengan ibu 23 tahun (NOTE: aku ingat pada satu waktu ibuku sibuk mengurus akta kelahirannya karena belum punya, dan tanggal 8 Agustus 1944 yang beliau pilih itu bukan berdasarkan fakta bahwa beliau memang lahir tanggal itu, tapi aku tidak begitu ingat mengapa tanggal itu dipilih.) sedangkan dengan ayahku kita beda usia 33 tahun. Meskipun begitu, 'kenyataan' ini menurutku bukanlah alasan yang tepat mengapa aku lebih akrab dengan ibu ketimbang dengan ayah. Alasan yang kurasa tepat adalah karena ibu lebih sering di rumah, (she was a housewife) hingga lebih intens kita berkomunikasi; ini selain alasan-alasan lain seperti aku pernah dalam kandungan ibuku selama kurang lebih 9 bulan dan aku minum air susunya lho ya.


Kulihat kebanyakan kawan-kawanku juga memiliki kedekatan yang lebih dengan ibunya ketimbang dengan ayahnya. Maka aku super heran ketika duduk di bangku SMA seorang kawan sekelas terlihat jauh lebih akrab dengan sang ayah ketimbang dengan sang ibu. Jika dia tahu kedua orangtuanya terlibat satu pertengkaran, misalnya, dia terlihat sangat memusuhi ibunya; dia selalu melihat bahwa sang ayah adalah 'korban' dari pertengkaran itu, dan bukan pemicu. :)


Akan tetapi, sedekat-dekatnya aku dengan ibuku, hubungan kita tidak seharmonis hubunganku dengan Angie, anak semata wayangku. Belajar dari hubunganku dengan ibuku, aku memperlakukan Angie berbeda dengan cara ibuku memperlakukanku dulu waktu aku masih kecil. Dulu, banyak hal yang aku merasa lebih nyaman bercerita kepada seorang kawan dari pada kepada ibuku, misal naksir cowo. Aku tidak ingin hal ini terjadi antara aku dan Angie. Itu sebab aku mencoba semampuku membuat Angie merasa nyaman dan aman bercerita tentang apa saja kepadaku. I want to be the first person Angie talks to when she finds something she thinks she needs to talk. Well, tentu saja akan ada momen-momen dimana Angie akan curhat kepada kawannya karena aku sedang super sibuk (sibuk dolan maksudku, lol) namun akan ada saatnya dia akan curhat hal itu kepadaku.

 
diambil dari sini


Kebetulan salah seorang kawan kerjaku sekarang seusia Angie, bahkan mereka dulu bersekolah di sekolah yang sama, meski mereka dulu tidak berteman. Sebut saja kawan kerjaku ini Y. ibunya ternyata berusia lebih muda dariku sekitar 3 tahun. Melihat 'sepak terjang' Y aku sempat heran karena nampak sekali dia kurang perhatian di rumah sehingga selalu butuh perhatian di luar rumah. Pernikahan yang masih seumur jagung dia gagalkan sendiri, kemudian terlihat grabbing any guy she encounters in her life. Setelah kuselidiki (bukan) ala detektif, lol, kudapati bahwa hubungannya dengan sang ibu tidak seharmonis hubunganku dengan Angie. Hmmm … Dalam kasus ini, age gap yang sedikit antara Y dan ibunya tidak serta merta berarti bahwa mereka memiliki komunikasi yang terbuka.


Aku menikah di usia yang mungkin bisa dikategorikan (sangat) muda. Angie lahir sebelum usiaku genap 24 tahun.  (well, di dekade sembilanpuluhan usia segitu adalah usia yang sangat lumrah untuk menikah lah, lol.) Di masa kini pun kulihat banyak kawan sekolah Angie yang sudah menikah di usia yang sama dengan usiaku menikahi ayahnya Angie. Y memiliki anak di usia 24 tahun. Sementara Angie masih nampak nyaman-nyaman saja belum committed dengan seorang laki-laki. Jika kawan-kawan sebayanya ada yang curhat ke Angie karena mereka dikejar-kejar orangtuanya untuk segera menikah, Angie pendek saja menjawab, "Lha gimana, ibuku ga pernah ngejar-ngejar aku harus segera menikah kok." :) Sementara itu Angie sendiri sibuk memprotes mengapa 'mahar' itu diterjemahkan sebagai 'alat beli' dari pihak laki-laki ke perempuan.


"Kata Ama, (nenek-red) orang Jawa menyebutnya 'tukon' Sayang, memang pernikahan itu sejenis proses jual beli. Jika dalam budaya patrilineal, si laki-laki membeli perempuan, dalam budaya matrilineal si perempuan yang membeli yang laki-laki, meski dalam prakteknya, si perempuan tetaplah pihak yang (bisa dianggap) tertindas." kataku semalam.


Langsung kulihat kegusaran di wajah Angie. "Angie ga mau hidup dalam status seperti itu!" katanya. Hal ini langsung mengingatkanku pada Ayu Utami yang sempat menghindari pernikahan selama puluhan tahun karena dalam UU Perkawinan di Indonesia disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga. Ayu akhirnya menikahi Erik Prasetya setelah tidak mendapati ayat yang seksis seperti itu dalam Kitab Injil. (Pengakuan Ayu dalam novel otobiografinya PENGAKUAN EKS SI PARASIT LAJANG.)


Well, as far as I remember, aku tidak pernah berhasil 'mencekoki' paham feminisme pada Angie secara langsung, ga pernah berhasil membuatnya membaca buku-buku feminisme yang aku koleksi. Namun mungkin buku-buku bacaan yang dia pilih sendiri memberinya ide what kinda relationship a husband-wife should have; misal PRINCESS DIARY karya Meg Cabot. (aha … aku sih yang memperkenalkan buku ini ke Angie, 16 tahun yang lalu.) Namun jenis-jenis bacaannya  kian variatif dari tahun ke tahun.


Sampai saat ini, aku tetap membebaskan Angie dari social pressure bahwa untuk membuat hidup seseorang (kian) lengkap adalah dengan menikah plus punya anak. Dengan kematangan psikologi yang dia memiliki, aku yakin Angie akan mampu memiliki komunikasi yang terbuka dengan anaknya kelak.


LG 08.35 16-Oktober-2019

Kamis, September 26, 2019

Marital Rape




Merupakan satu keprihatinanku ketika menonton video pendek yang mempertunjukkan sekelompok anak-anak usia belasan tahun yang ikut-ikutan demo karena mereka mengatakan sesuatu seperti, "masak sudah menikah tidak boleh nge*e dengan istri sendiri."

Jika bahkan sekelas the so-called 'ulama' saja bilang bahwa marital rape itu tidak ada ("kan perempuan tinggal tidur telentang? Atau tinggal ngangkang? Ga sakit kok." katanya) apalagi anak-anak itu.

Bagi para perempuan yang kebetulan mendapatkan suami yang selalu mau mengerti apakah sang istri sedang mood 'bercinta' atau tidak, atau yang kebetulan suaminya selalu bisa membangkitkan gairahnya meski dalam kondisi lelah seperti apa pun, berbahagia lah. Namun ini tidak berarti bahwa semua perempuan seberuntung itu.

Sekian puluh tahun yang lalu seorang kawan (yang pernah) akrab denganku mengeluh tentang perilaku suaminya. Kebetulan sang suami bekerja sebagai pelaut, sehingga dia sering keluar negeri. Biasanya dia bekerja selama 10 bulan, 2 bulan di rumah. Nah, selama 2 bulan ini lah, kawanku tidak pernah berhenti melayani kebutuhan seksual sang suami. Terkadang ada malam-malam yang kawanku ini sama sekali tidak pernah bisa memejamkan mata karena harus terus menerus 'melayani' sang suami. Aku tidak tahu apakah hal ini dibarengi dengan KDRT -- misal dipukul atau apa kek -- tapi dia mengeluh bahwa 2 bulan saat suaminya di rumah adalah saat-saat terburuk baginya. Padahal dia tahu ketika sedang berlayar, sang suami juga punya 'simpanan' di beberapa negara di luar Indonesia.

Karena tidak tahan, akhirnya dia pun mengajukan gugatan cerai. 'untunglah mereka beragama yang membolehkan perceraian sehingga tidak sesulit mereka yang beragama Katolik, misalnya, yang harus mengajukan pembatalan pernikahan sampai ke Vatikan dan prosesnya butuh waktu berbulan-bulan. 

Kawanku ini masih tergolong 'beruntung'; perempuan yang mendapatkan perlakuan jauh lebih sadis dari suaminya tentu lebih banyak lagi. Cari saja contohnya sendiri. Jika kebetulan kalian berkawan dengan Tania Luna di facebook ini, bacalah kisah seorang perempuan yang dia tulis. Sangat menyedihkan.

Marital rape does exist, pals. Korbannya tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada. Googling saja.

Selasa, Januari 15, 2019

Bissu, Manusia Setengah Dewa dari Sulawesi Selatan


Tulisan saya ambil dari link ini.


Di Kabupaten Pangkep dan Bone, Sulawesi Selatan, hidup komunitas Bissu: kaum meta-gender yang mengabdi sebagai imam besar pada populasi Bugis setempat. Mereka bukan pria, bukan pula wanita. Namun, mereka memiliki banyak kelebihan, dan dipandang sebagai percampuran manusia dan dewa.
1001indonesia.net – Sebagian budaya Indonesia memiliki pemahaman yang lebih luas dan beragam mengenai gender daripada pandangan yang dominan saat ini yang melihat gender secara biner—pria dan wanita, maskulin dan feminin—dan tanpa mempertimbangkan jenis kelamin dan seksualitas lainnya.
Di Banyumas, misalnya, terdapat seni tari Lengger Lanang yang dimainkan oleh laki-laki yang berpenampilan dan berperilaku sebagai perempuan.
Di Sulawesi, masyarakat Toraja tradisional mengakui adanya gender ketiga, yang disebut to burake tambolang. Mereka percaya bahwa para pemimpin agama yang paling penting dalam budaya Toraja adalah seorang wanita, atau burake tattiku, dan seorang pria berpakaian sebagai seorang wanita, atau burake tambolang.
Hal yang serupa juga terjadi dalam masyarakat Bugis tradisional yang menempatkan kaum Bissu, yang merupakan kaum “meta-gender”, pada kedudukan yang terhormat.
Kepercayaan Tolotang yang dianut oleh masyarakat Bugis tradisional memiliki pandangan yang unik mengenai gender. Dalam kepercayaan tersebut, ada lima gender yang diakui, yakni Makkunrai (perempuan), OroanĂ© (laki-laki), Calabai (laki-laki feminin berpakaian sebagai perempuan), Calalai (perempuan maskulin berpakaian sebagai laki-laki), dan Bissu(pendeta sekaligus imam besar tanpa gender).
Kelima gender tersebut menjadi bagian integral dari struktur agama dan budaya tradisional orang Bugis.
Dari kelima gender itu, Bissu menduduki posisi yang istimewa. Untuk menjadi Bissu yang merupakan “meta-gender”, seseorang harus mengakumulasi keempat ciri gender lainnya. Dengan kata lain, kaum Bissu memiliki gender tersendiri yang merupakan gabungan dari keempat gender lainnya. Dikatakan mereka bukan lelaki maupun perempuan, tapi memiliki kelebihan keduanya. Sementara Calabai dan Calalai setara dengan trans-gender.
Kekhususan gender yang dimiliki Bissu terlihat dari busana yang mereka kenakan. Pada upacara resmi, mereka mengenakan pakaian yang berbeda dengan busana yang dikenakan lelaki dan perempuan pada umumnya; dan sebagai pelengkap, mereka membawa badik sebagai simbol laki-laki serta memakai hiasan bunga di kepala sebagai simbol perempuan.
Bissu yang berarti orang suci, merupakan konsep yang berasal dari La Galigo. Menurut epos kuno Bugis tersebut, kehadiran Bissu sama tuanya dengan sejarah keberadaan umat manusia di muka bumi. Ketika dewa penguasa langit mengutus Batara Guru untuk turun ke bumi, dua Bissu diutus mendampinginya.
Bissu itulah yang kemudian mengatur semua urusan di dunia, mulai dari menciptakan bahasa, adat istiadat, dan hal-hal lainnya yang dibutuhkan manusia. La Galigo juga menggarisbawahi peran penting Bissu untuk menjaga keberlangsungan kerajaan.
Dalam mahakarya yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno tersebut, Bissu juga menjadi tokoh sentral. Konon, saudara perempuan kembar Sawerigading, tokoh penting dalam Sureq Galigo, yakni We Tanriabeng, adalah seorang Bissu.
Sampai kedatangan Islam di Sulawesi pada abad ke-15, Bissu menjadi perwakilan paling agung dari Kerajaan Bugis dan Luwu. Mereka dipandang sebagai percampuran manusia dan dewa. Posisi mereka berada di tengah-tengah, untuk menjaga keseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah.
Saat itu, Bissu tinggal di istana kerajaan dan berperan sebagai abdi dalem bagi raja-raja Bugis. Mereka memainkan peran yang penting, seperti menjadi penasihat raja beserta keluarganya, merawat pusaka-pusaka kerajaan, dan memimpin ritual-ritual penting di kerajaan.
Para Bissu juga berperan sebagai mediator antara manusia dan roh-roh gaib. Mereka bahkan memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata, leluhurnya, dan sesamanya. Bahasa itu kadang disebutnya sebagai Basa Ugi Galigo atau Basa torilangi’(Bahasa orang langit).



Foto: boombastis.com

Tidak sembarang orang bisa menjadi Bissu, harus ada panggilan spiritual. Hal ini tidak bisa direkayasa. Orang yang terpanggil menjadi Bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkannya kepada mereka.
Layak tidaknya seseorang menjadi bissu sepenuhnya berdasarkan penilaian puang matoaatau puang lolo, pemimpin komunitas Bissu. Calon yang terpilih kemudian diwajibkan berpuasa (appuasa) selama sepekan hingga empat puluh hari. Setelah itu, ia bernazar (mattinja’) untuk menjalani prosesi irebba (dibaringkan) yang dilakukan di loteng bagian depan Bola Arajang (Rumah Pusaka).
Bola Arajang merupakan rumah panggung bercat hijau yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka. Rumah keramat ini juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat pada waktu-waktu tertentu, seperti Mappalili, yaitu upacara turun ke sawah saat memasuki musim hujan.
Prosesi irebba bisa berlangsung 3–7 hari. Setelah itu, calon dimandikan, dikafani, dan dibaringkan berdasarkan hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung sebuah guci berisi air. Selama disemayamkan, calon Bissu dianggap dan diperlakukan layaknya orang mati.
Pada hari yang dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami calon yang sedang menjalani prosesi irebba. Setelah melewati upacara sakral ini, ia resmi menjadi Bissu. Sejak itu, ia harus menjaga sikap, perilaku, dan tutur katanya, di antaranya dengan selalu tampil anggun dan menjaga kharisma serta senantiasa berlaku sopan.

Terpinggirkan

Pandangan positif terhadap Bissu mulai berubah beberapa dekade lalu. Seiring hancurnya kerajaan-kerajaan Bugis kuno dan masuknya Islam, peran kelompok ini perlahan terkikis. Mereka tidak lagi tinggal di istana dan memberi nasihat raja.
Mereka bahkan pernah dikejar-kejar untuk ditumpas oleh kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakar. Mereka dianggap sebagai penyembah berhala.
Puang Matoa Saidi merupakan pemimpin komunitas Bissu. Semasa hidupnya, ia kerap diundang ke luar negeri untuk membacakan naskah kuno La Galigo. (Foto: Irmawati)



Kini, Bissu masih dapat dijumpai di beberapa daerah yang dahulunya merupakan bagian dari kerajaan Bugis, seperti di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan.
Namun, kaum yang memiliki posisi terhormat sebagai pemimpin spiritual di era Bugis kuno ini, kini kian terpinggirkan. Saat ini, komunitas Bissu yang mendiami tanah Segeri, Pangkep tinggal enam orang saja. Itu pun hanya lima orang yang menjalankan aktivitas kebissuandan mengikuti upacara-upacara adat.
Karena tak lagi hidup dari kerajaan, kini mereka harus menghidupi diri mereka sendiri. Sebab itu, para Bissu biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan lain di luar kebissuansebagai mata pencaharian mereka.
Komunitas yang tetap teguh memegang adat, tradisi, dan kearifan lokal ini sempat mendunia dengan ikut sertanya Puang Matoa Saidi, pemimpin komunitas Bissu di Segeri, ke berbagai negara dalam pementasan I La Galigo.
Pertunjukan itu disutradarai oleh Robert Wilson, seorang sutradara asal Amerika. Puang Matoa Saidi yang meninggal pada Selasa, 28 Juni 2011, menjadi narator utama dalam pementasan tersebut.

Pementasan I La Galigo (Foto: Robert Wilson)