Rabu, Maret 17, 2010

Sadie and Maud

Sadie and Maud
Gwendolyn Brooks
(1917- 2000)

Maud went to college.
Sadie stayed at home.
Sadie scraped life
With a fine-tooth comb

She didn’t leave a tangle in.
Her comb found every strand.
Sadie was one of the livingest chits
In all the land.

Sadie bore two babies
Under her maiden name.
Maud and Ma and Papa
Nearly died of shame.

When Sadie said her last so-long
Her girls struck out from home.
(Sadie had left as heritage
Her fine-tooth comb.)

Maud, who went to college,
Is a thin brown mouse.
She is living all alone
In this old house.


Puisi “Sadie and Maud” merupakan salah satu puisi ‘wajib’ bahas di kelas “Poetry Analysis” yang kuampu di semester genap di sebuah uni swasta Semarang. Dari hasil pembahasan di kelas, aku telah menulis sebuah artikel yang bisa diakses di http://afeministblog.blogspot.com/2010/03/sadie-and-maud.html

Semalam aku membahas puisi ini lagi, tentu dengan audience yang berbeda. Hasil interpretasi yang kita bahas bersama menghasilkan satu kesimpulan yang bisa dikatakan melengkapi artikel yang kupost di alamat di atas, yang ingin kushare di sini. (Dengan sengaja artikel yang ini kutulis dalam Bahasa Indonesia.)

Kelas diawali dengan diskusi yang sangat umum, “What is poetry?” Tidak ada satu pun definisi yang kusediakan di modul yang memberi gambaran secara exact. Matthew Arnold, seorang penyair zaman Victorian Era di Inggris mengatakan, “Poetry is simply the most beautiful, impressive, and widely effective mode of saying things”. William Wordsworth, sang ‘Bapak’ para penyair Romantic Era di Inggris menyatakan, “Poetry is the spontaneous overflow of powerful feelings; it takes its origin from emotion recollected in tranquility”. Sementara Ralph Waldo Emerson, sang filsuf dari para kaum Transcendentalist berpendapat bahwa ”Poetry teaches the enormous forces of a few words”. Emily Dickinson, sang recluse dari kelompok Transcendentalist-nya Emerson, dengan lebay mengatakan “If I read a book and it makes my whole body so cold no fire can ever warm me, I know that is poetry. If I feel physically as if the top of my head were taken off, I know that is poetry”.

Tak ada satu pun definisi yang exact. Inilah Sastra, yang membedakannya dengan ilmu-ilmu pasti. Maka, untuk mencapai ke sebuah interpretasi dari satu karya sastra, ada banyak teori yang bisa dipakai, tak ada tafsir yang salah. NAMUN, untuk sampai ke ‘message’ apa yang disampaikan dari sebuah karya, kita tak bisa begitu saja mengabaikan the choice of words dari karya tersebut, plus latar belakang sosio historis tatkala sebuah karya ditulis. (Secara, aku adalah salah satu pendukung teori Genetic Structuralism-nya Lucien Goldmann. Ga pede kalau ngikutin teori para Strukturalis sejati, misal F Saussure atau sang jenius T. S. Eliot.)

Yang pertama kali kita bahas dari puisi “Sadie and Maud” tentu adalah pilihan kata-kata yang ada.

Sadie scraped life
With a fine-tooth comb


Pemilihan kata ‘scraped life’ untuk menunjukkan cara Sadie menjalani hidupnya memberi gambaran bahwa hidup ini tidak mudah bagi seorang Sadie. ‘with a fine-tooth comb’ pun dipilih dengan sengaja untuk menghaluskan kata ‘prostitute’. Jika hal ini kita hubungkan dengan puisi milik Wanda Coleman yang berjudul “Women of My Color”, pada bait yang berikut:

there is a peculiar light in which women
of my race are regarded by white men
as exotic
as enemy
but mostly as whores


begitulah ‘kacamata’ yang dipakai oleh para lelaki kulit putih tatkala memandang perempuan berkulit hitam, sebagai ‘prostitute’.

(FYI, sampai di sini, aku belum memberi latar belakang Gwendolyn Brooks yang seorang African American poet kepada para mahasiswa yang hadir di kelas semalam.)
Adakah Sadie menyesali jalan hidupnya sebagai seorang prostitute, yang menyebabkannya memiliki dua orang anak tanpa menikah? Bait keempat menunjukkan bahwa Sadie tidak pernah menyesali jalan hidupnya, karena justru dia mewariskan ‘her fine-tooth comb’ kepada kedua anaknya sebelum dia meninggal.

Diskusi mulai memuncak tatkala kita membandingkan ‘nasib’ kedua tokoh dalam puisi, Maud yang mengejar pendidikan yang layak, namun berakhir mengenaskan (lihat bait terakhir), dan Sadie yang memilih jalan sebagai prostitute namun mati bahagia (di bait keempat kita membaca bahwa kedua anaknya mengikuti jejaknya, yang berarti anak-anaknya melihat kehidupan ibunya ‘baik-baik’ saja, bahkan mungkin ‘fulfilling’.)

Menggunakan kacamata para akademisi, yang tentu berpikir bahwa pendidikan adalah segalanya, yang akan membuat kehidupan lebih baik, hidup Maud ‘who went to college’ namun berakhir sebagai ‘a thin brown mouse, is living all alone in this old house’, kita menjadi tersentak, ‘mengapa begitu?’

Pada saat ini kemudian kubeberkan latar belakang seorang Gwendolyn Brooks yang seorang African American poet, sehingga kedua tokoh Saud dan Maud pastilah representatif kaum perempuan berkulit hitam. Brooks terkenal committed menulis untuk ‘racial identity’ dan ‘equality for African American’ Tak lupa juga mengingat Brooks yang lahir tahun 1917, tentu dia masih mengalami dekade-dekade pahit saat Jim Crow Law berlaku, meski perbudakan telah dihapuskan kurang lebih satu abad sebelumnya.

Maud adalah representatif perempuan kulit hitam yang tetap melanjutkan ‘budaya’ atau pun ‘label’ yang dikenakan oleh masyarakat kepada mereka “black women are exotic whores”, sehingga dia tidak asing dengan dirinya sendiri, “she is herself”. Sementara Maud adalah ‘korban’ kaum kulit hitam yang ingin ‘menyeberang’ menjadi kulit putih, bukan secara fisik, tapi secara intelektual. Para kaum kulit putih tidak serta merta menyambutnya dengan hangat, no matter what, kulit hitamnya tetap menjadi penghalang. Sementara di kalangan kaum kulit hitam, Maud bisa jadi dianggap ‘berkhianat’.

(Background, dengan dihapuskannya Jim Crow Law pada dekade tahun 1960-an, banyak kaum kulit hitam yang meninggalkan ‘heritage’ mereka dengan harapan mereka akan ‘naik derajat’ disamakan dengan kaum kulit putih. Sejarah mencatat baru pada tahun 2001 seorang African American actress, Halle Berry, memenangkan Academy Award. Dan baru pada tahun 2008 seorang African American politician memenangkan presidential election. Butuh hampir satu setengah abad setelah penghapusan perbudakan, dan hampir setengah abad setelah pidato kontroversial Martin Luther King Jr. “I have a dream”.)

“This is really an interesting class!” puji seorang mahasiswa sebelum meninggalkan kelas, setelah kita usai membahas “Sadie and Maud”.
YOU BET!!! :)

PT56 21.21 160310

Untuk tulisan yang membahas puisi Wanda Coleman, bisa diakses di

http://afeministblog.blogspot.com/2007/03/response-on-colemans-women-of-my-color.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar